sumber gambar: eangelhododia.com |
“Terasa
malu aku bicara deganmu anak muda, karena derajatku, denganmu, beda masih di
bawah bapak, ada di bawahmu”
“Di
sini bapak lagi apa, rumahnya di mana?,
“Aku
tak memiliki rumah, tinggalku di kuburan, nak”
“Kuburan
mana pak?,
“Makam
pahlawan dekat Malang Town Square”, dengan tersendat-sendat bahasa yang dilontarkan
dengan getaran bibirnya, fonologi artikulasi kata Twon Square dalam bahasa
penyampaiannya tersendat-sendat.
Terasa malu lantaran tidak pernah
bersekolah, merasakan perbedaan jauh bahwa manusia yang berada di gedung tinggi
adalah orang memiliki derajat lebih tinggi pula. Serasa akan menjadi seorang
yang gila, melihat raut wajahnya melukiskan wajah orang yang hidup di rumah
sudah mencarikan dan memberikan aku belajar di sini, terlukiskan kehidupan yang
dangkal dari secengkal harapan dariku yang masih belajar, bahwa masih banyak
sendi-sendi kelas dalam pandangan hidup manusia, berharga itu dilihat dari yang
nyata. Padahal aku tadinya juga berdosa dibatalkan puasa oleh yang kuasa,
lantaran surga itu masih saja aku nikmati sendiri.
Cerita itu terhenti lantaran tidak kuat untuk
diceritakan, matanya memecahkan cahaya air, bibir yang kering lantaran seharian
berpuasa, hari ini bulan puasa, berpuasa dengan yang kuasa pula. Beruntulah
Ainun masih bisa berpuasa, mungkin ini yang dinamakan yang beruntung matI muda,
yang tersial berumur tua yang pernah dituliskan Soe Hok Gie dalam puisinya
diambil dari tulisan filsuf Yunani.
Bapak Ainun, berkata tatkala berpuasa takut batal
puasanya. Yang kuasa bukan tidak melihat tangisanmu dalam perpuasa hari ini,
akan tetapi tangisan apa yang dirasakan itu. Puasamu apakah tetap berpuasa akan
kuasa Ilahi, hingga nanti berbuasa dengan yang kuasa di rumah yang di puasai
hari ini.
Saya masih ingat, pada bulan puasa masih kecil dulu,
terhadap kalimat“kalau puasa itu tidak boleh nangis, kalau nangis akan batal
puasanya”. Katanya yang masih 20thn yang lalu masa kecil dulu, ternyata bapak
Ainun tidak bisa menahannya, sehingga tidak ingin menceritakan lanjut
perjalanannya.
Berangkat
dari rumah untuk mencari kerja, yang lebih berharga.
Bahasa raut wajah yang linglung, tidak pernah
dimerngerti dengan semua yang dijalani “katanya dalam bahasa hatiku”, dengan
sebuah keputusan hari ini terjadi, apa harus menyalahkan Tuhan (Allah), atau
kah dengan keputusan sendiri yang dijalani hari ini, yang harus aku salahkan?.
Katanya
semua yang terjadi semua ini adalah perjalanan dari yang Tuhan rencanakan, yang
semua sebab dan akibat itu Tuhan rencanakan.
“Kamu
di sini ngapain nak, sekolah ya?”
“Iya
pak, sekolah”.
“Berarti
kamu tinggal didekat sini nak?”
Pertanyaan dan bahasa tutur yang digunakan
mencerminkan pada saat saya ingin meminta tolong, mengingat pada saat
diperjalanan tahun 2014 di Cilacap, semua mata dan semua manusia serasa Tuhan
ingin disembah, ingin sekali merayunya untuk bisa menolongnya. Getaran
bibirnya, ketidak tahuan mengenai penyesalan hidup, mengenai pendidikan. Sekali
lagi matanya pecah dengan tersendat-sendatlah kata yang keluar. Kebingungan,
keadaan, yang mengajarkan sebuah arti dari hidup yang dijalaninya. Menyimpan
banyaknya pertanyaan mengenai hidup yang dibawa, pekerjaan yang dimimpikan
sudah hilang sudah tidak jadi harapan, temnnya sudah hilang tidak tahu kemana,
lantaran teman yang menjanjikan sudah tidak ketemu.
Di rumah Tuhan ini merasa malu, di sini tempatnya
orang yang pintar-pintar, tidak seperti bapak, “katanya”, tidak bersekolah,
sehingga dalam proses mencari kerja sulit, apalagi di kota, seperti di sini. Orang-orang
itu sangat rapi, sedangkan pakaian bapak itu hanya seperti ini di masjid ini
tempat suci. Kesucian tidak bisa berada dilihat oleh mata, tapi hati. Tidak semua
suci, karena tidak semua di tempat suci manusia bisa berpuasa, dalam masjid ini
pun tidak semua suci, ada yang berangkat dengan niat bersih dan suci, sebelum
ke masjid belum tentu dia suci sesuai dengan pandangamu dan pekerjaan puasa itu.
Manusia berbanggalah masih bisa bernafas dan hari ini bisa berpikir seperti bapak
Ainun.
***
Keberadaan manusia bukan dilihat dari tempatnya,
tempat ini bukan saja tempat orang yang berpuasa, jika kau anggap ini tempat
surga. Sebentar lagi tempat ini ada kajian kitab Ihyahulumuddin (menghidupkan
kembali ilmu agama), karya Al-Ghazali. Bapak yang diajak untuk bisa mengikuti
kajian itu, setelah itu berbukalah puasa di sini.
Kalau pun di sini ada surga, surga itu bukan untuk
mereka saja, karena rumah suci bukan tempat ia juga. Yang berada di pojok
seperti kita melihat dan mendengarkan orang pintar memberikan pengetahuan,
sebagai orang awan mendengarkan saja.
“Masuklah
pak”
“Malu
nak”
“Berbukalah
di sini”
“Boleh?”
“Sangat
boleh”
Bukannya masuk, bergegaslah kembali keluar dari
tempat yang dianggap suci itu. Pemuda itu terasa kehilangan, simpati atas
ceritanya, masuklah untuk mendengarkan isi dari tulisan Al-Ghazali. Terdengar
ada tiga tingkatan kreteria puasa manusia “katanya”, pertama puasa orang awam
yang umum menahan lapar dan minum, yang kedua puasa orang khusus menahan lapar
dan minum serta puasa badannya, yang ketiga puasa orang tingkat tinggi Khoasun Khowas puasa selain lapar dan
haus, naluri serta dohir dan batin berpuasa. Terdengar jelas rangkaian kalimat
yang dirangkai Al-Ghazali, dengan apa yang ada di tempat suci itu.
Ada disalah satu ciri yang mana, sebagai manusia?. Dari
apa yang lakukan bapak Ainun itu, bahwa surga ini hanya untuk orang-orang yang
rapi dan yang ada dalam tempat suci. Saya sendiri tidak tahu dengan itu semua
serasa sudah keluar dari itu semua. Hingga beduk berbunyi.
***
Ainun mengambil keputusan sesuai dengan pilihan
hati, sesuai dengan keadaan pula. Keadaan
yang mengajarkan tetang hidup, hidup bagaiamana ia bisa mendapatkan gaji lebih
besar dari pada pekerjaan yang ditinggalkan di Ponorogo. Hidup bersama keluarga
yang sederhana, yang ditinggalkan menahan kegelisahan atas keberangkatan si
tulang punggung. Pergi dengan keberanian tidak memperhitungkan sebuah kejadian,
hanya saja apa kata yang terjadi nantilah.
Keluarga anak dan isteri, ditinggal dengan ketidak
tahuan mengenai Kota Malang. Rudi yang menjanjikan gaji setiap bulan 50rb di
kota ini, tidak ditemukan di kota ini. Tidak mengetahui bahwa Rudi itu sudah
membohonginya, penyesalan itu datang ketika tujuan utama tidak dapat diterima
dengan keadaan yang sekarang.
Ainun meninggal pekerjaan yang pasti di Ponorogo,
dengan gaji yang jelas 30rb, namun manusia yang selalu dikudrotkan oleh Tuhan
bahwa rasa yang kurang terus atau rakus, mengenai meterialis. Harapan 50rb
sehari pupus, Rudi sudah tidak ketemu, kegelisahan dan keputusan untuk tinggal
di kuburan, yang diperhitungkan hari ini keluarga yang ditinggalkan, bagaimana
untuk pulang, sedangkan untuk dimakan pun harus menunggu suara adzan dan
menyamperi mahasiswa yang membagikan takjil di lampu merah.
Mahasiswa yang diajak berbicara mendengar cerita
darinya, masih memikirkan panjang menganai sekarang yang ingin mencari. Merasakan malu
lantaran merasakan bahwa dalam kehidupan manusia dibedakan melalui tempat serta
estetika penampilan. Padahal manusia berharga tetap bukan dari yang ada di
depan mata, akan tetapi sebuah cara dan sebuah pengetahuan yang bisa dinikmati
seperti orang-orang di pinggir jalan seperti bapak Ainun.
Bapak Ainun kembali menunggu apa yang akan terjadi
esok, jika Sang Ilahi memberikan jalan kepada Ainun, lantaran tidak bisa pulang
perantara mahasiswa, maka bersyukurlah ada manusia yang masih bisa diberi
kesempatan akan sadar bisa membantunya.
Kuburan sudah sangat mengerikan, yang biasanya hanya
kesedihan. Lantaran makanan serta pegangan sudah tiada lagi di selengkangan
serta saku. Keberadaan siang dan malam serasa sempit. Neraka serasa makin
dirasa dalam kehidupan, surga hanya berada di saat tidurku yang lelap. Sebuah
penyesalan telah datang dari beberapa waktu lalu ketika Rudi sudah tidak bisa
ditemui.
Ainun mengundang setiap perjalanannya diselimuti
oleh perjuangan yang disesalkan, karena buah hati dan bidadari ditinggal untuk merantau,
tidak tahu akan mati atau tidak, yang dirasa dari keluarga hari ini bisa makan
apa tidak di sana. Mungkin saja Tuhan akan memberikan kebijakan, jika manusia
belum tentu kepikiran ke sana, karena terlalu banyak, termasuk Ainun yang hanya
memikirkan dirinya sendiri, daripada memperhatikan kehidupan manusia lain.
Kecuali rasa itu sudah Tuhan bentuk dan dituliskan di laufilmahfud1 akan dipertemukan dengan manusia yang
diperuntukan mengobati kegelisahanmu.
Bercakapalah kembali dengan mahasiswa itu, bahwa
mahasiswa itu melihat bentuk ciptaan Tuhan yang kuat, dengan rasa itulah
perjalanan ingin saja diakhiri, di dunia pendidikan, terasa gagal sebagai
manusia sadar serta berpengetahuan tapi belum bisa seperti apa menyikapi
kehidupan seperti Ainun, belajar dengan alam dan keadaan hingga kaya sebuah
pengetahuan. Apapun yang terjadi tidak bisa diulangi kecuali hal itu dipelajari
apa yang telah terjadi itu.
“Aku
malu dengan dirimu nak, aku tak menyalahkan Tuhan, aku yang salah karena aku
tak bisa menerima apa yang sudah jelas”.
“Enggeh
pak, esok ketemu di sini surgaku ini juga surgamu”.
“Terima
kasih nak”, tapi bapak malu nak”,
“Tidak
usah malu pak, ini surgamu juga, berbuka puasalah di sini lagi!”,
“Malu
nak”, bapak hanya mikir pulang, karena kerja sudah tidak dapat”, kembalii pecah
air mata bapak itu.
“Jika
esok bapak Ainun ke sini ketemu di sini, untuk ongkos pulang akan ada pak”.
“Terima
kasih nak”.
“Untuk
malam ini, biarkan kamu pulang dengan sedikit yang telah dimiliki”.
“Aku
doakan dirimu nak”.
“Doakan
dirimu lebih dulu pak, setelah itu kau bisa berdoa untuk manusia, alam, serta
Tuhan.
Esoknya sudah tiba, namun tidak ada
tanda-tanda dari gerak gerik bapak itu. Ciri dari bapak yang berkopiah coklat.
Kemana kah bapak tersebut, serasa puasaku akan batal seumur hidup, karena surga
yang dijanjikan tidak bisa dinikmati juga, kemanakah akan dicari. Sebagai
perantau berjiwa kemarau saat musim hujan badai tetap saja ada dalam derasnya
hujan. Surga itu baru didapatkan dari seorang yang teman, saat paginya, saya
pinjamkan untuk bapak Ainun.
|