Sabtu, 30 Juni 2018

Meminjam Surga Untuk Ainun

sumber gambar: eangelhododia.com


“Terasa malu aku bicara deganmu anak muda, karena derajatku, denganmu, beda masih di bawah bapak, ada di bawahmu”
“Di sini bapak lagi apa, rumahnya di mana?,
“Aku tak memiliki rumah, tinggalku di kuburan, nak”
“Kuburan mana pak?,
“Makam pahlawan dekat Malang Town Square”, dengan tersendat-sendat bahasa yang dilontarkan dengan getaran bibirnya, fonologi artikulasi kata Twon Square  dalam bahasa penyampaiannya tersendat-sendat.
            Terasa malu lantaran tidak pernah bersekolah, merasakan perbedaan jauh bahwa manusia yang berada di gedung tinggi adalah orang memiliki derajat lebih tinggi pula. Serasa akan menjadi seorang yang gila, melihat raut wajahnya melukiskan wajah orang yang hidup di rumah sudah mencarikan dan memberikan aku belajar di sini, terlukiskan kehidupan yang dangkal dari secengkal harapan dariku yang masih belajar, bahwa masih banyak sendi-sendi kelas dalam pandangan hidup manusia, berharga itu dilihat dari yang nyata. Padahal aku tadinya juga berdosa dibatalkan puasa oleh yang kuasa, lantaran surga itu masih saja aku nikmati sendiri.
Cerita itu terhenti lantaran tidak kuat untuk diceritakan, matanya memecahkan cahaya air, bibir yang kering lantaran seharian berpuasa, hari ini bulan puasa, berpuasa dengan yang kuasa pula. Beruntulah Ainun masih bisa berpuasa, mungkin ini yang dinamakan yang beruntung matI muda, yang tersial berumur tua yang pernah dituliskan Soe Hok Gie dalam puisinya diambil dari tulisan filsuf Yunani.
Bapak Ainun, berkata tatkala berpuasa takut batal puasanya. Yang kuasa bukan tidak melihat tangisanmu dalam perpuasa hari ini, akan tetapi tangisan apa yang dirasakan itu. Puasamu apakah tetap berpuasa akan kuasa Ilahi, hingga nanti berbuasa dengan yang kuasa di rumah yang di puasai hari ini.
Saya masih ingat, pada bulan puasa masih kecil dulu, terhadap kalimat“kalau puasa itu tidak boleh nangis, kalau nangis akan batal puasanya”. Katanya yang masih 20thn yang lalu masa kecil dulu, ternyata bapak Ainun tidak bisa menahannya, sehingga tidak ingin menceritakan lanjut perjalanannya.
Berangkat dari rumah untuk mencari kerja, yang lebih berharga.
Bahasa raut wajah yang linglung, tidak pernah dimerngerti dengan semua yang dijalani “katanya dalam bahasa hatiku”, dengan sebuah keputusan hari ini terjadi, apa harus menyalahkan Tuhan (Allah), atau kah dengan keputusan sendiri yang dijalani hari ini, yang harus aku salahkan?.
Katanya semua yang terjadi semua ini adalah perjalanan dari yang Tuhan rencanakan, yang semua sebab dan akibat itu Tuhan rencanakan.
“Kamu di sini ngapain nak, sekolah ya?”
“Iya pak, sekolah”.
“Berarti kamu tinggal didekat sini nak?”
Pertanyaan dan bahasa tutur yang digunakan mencerminkan pada saat saya ingin meminta tolong, mengingat pada saat diperjalanan tahun 2014 di Cilacap, semua mata dan semua manusia serasa Tuhan ingin disembah, ingin sekali merayunya untuk bisa menolongnya. Getaran bibirnya, ketidak tahuan mengenai penyesalan hidup, mengenai pendidikan. Sekali lagi matanya pecah dengan tersendat-sendatlah kata yang keluar. Kebingungan, keadaan, yang mengajarkan sebuah arti dari hidup yang dijalaninya. Menyimpan banyaknya pertanyaan mengenai hidup yang dibawa, pekerjaan yang dimimpikan sudah hilang sudah tidak jadi harapan, temnnya sudah hilang tidak tahu kemana, lantaran teman yang menjanjikan sudah tidak ketemu.
Di rumah Tuhan ini merasa malu, di sini tempatnya orang yang pintar-pintar, tidak seperti bapak, “katanya”, tidak bersekolah, sehingga dalam proses mencari kerja sulit, apalagi di kota, seperti di sini. Orang-orang itu sangat rapi, sedangkan pakaian bapak itu hanya seperti ini di masjid ini tempat suci. Kesucian tidak bisa berada dilihat oleh mata, tapi hati. Tidak semua suci, karena tidak semua di tempat suci manusia bisa berpuasa, dalam masjid ini pun tidak semua suci, ada yang berangkat dengan niat bersih dan suci, sebelum ke masjid belum tentu dia suci sesuai dengan pandangamu dan pekerjaan puasa itu. Manusia berbanggalah masih bisa bernafas dan hari ini bisa berpikir seperti bapak Ainun.
***
Keberadaan manusia bukan dilihat dari tempatnya, tempat ini bukan saja tempat orang yang berpuasa, jika kau anggap ini tempat surga. Sebentar lagi tempat ini ada kajian kitab Ihyahulumuddin (menghidupkan kembali ilmu agama), karya Al-Ghazali. Bapak yang diajak untuk bisa mengikuti kajian itu, setelah itu berbukalah puasa di sini.
Kalau pun di sini ada surga, surga itu bukan untuk mereka saja, karena rumah suci bukan tempat ia juga. Yang berada di pojok seperti kita melihat dan mendengarkan orang pintar memberikan pengetahuan, sebagai orang awan mendengarkan saja.
“Masuklah pak”
“Malu nak”
“Berbukalah di sini”
“Boleh?”
“Sangat boleh”
Bukannya masuk, bergegaslah kembali keluar dari tempat yang dianggap suci itu. Pemuda itu terasa kehilangan, simpati atas ceritanya, masuklah untuk mendengarkan isi dari tulisan Al-Ghazali. Terdengar ada tiga tingkatan kreteria puasa manusia “katanya”, pertama puasa orang awam yang umum menahan lapar dan minum, yang kedua puasa orang khusus menahan lapar dan minum serta puasa badannya, yang ketiga puasa orang tingkat tinggi Khoasun Khowas puasa selain lapar dan haus, naluri serta dohir dan batin berpuasa. Terdengar jelas rangkaian kalimat yang dirangkai Al-Ghazali, dengan apa yang ada di tempat suci itu.
Ada disalah satu ciri yang mana, sebagai manusia?. Dari apa yang lakukan bapak Ainun itu, bahwa surga ini hanya untuk orang-orang yang rapi dan yang ada dalam tempat suci. Saya sendiri tidak tahu dengan itu semua serasa sudah keluar dari itu semua. Hingga beduk berbunyi.
***
Ainun mengambil keputusan sesuai dengan pilihan hati, sesuai dengan keadaan pula.  Keadaan yang mengajarkan tetang hidup, hidup bagaiamana ia bisa mendapatkan gaji lebih besar dari pada pekerjaan yang ditinggalkan di Ponorogo. Hidup bersama keluarga yang sederhana, yang ditinggalkan menahan kegelisahan atas keberangkatan si tulang punggung. Pergi dengan keberanian tidak memperhitungkan sebuah kejadian, hanya saja apa kata yang terjadi nantilah.
Keluarga anak dan isteri, ditinggal dengan ketidak tahuan mengenai Kota Malang. Rudi yang menjanjikan gaji setiap bulan 50rb di kota ini, tidak ditemukan di kota ini. Tidak mengetahui bahwa Rudi itu sudah membohonginya, penyesalan itu datang ketika tujuan utama tidak dapat diterima dengan keadaan yang sekarang.
Ainun meninggal pekerjaan yang pasti di Ponorogo, dengan gaji yang jelas 30rb, namun manusia yang selalu dikudrotkan oleh Tuhan bahwa rasa yang kurang terus atau rakus, mengenai meterialis. Harapan 50rb sehari pupus, Rudi sudah tidak ketemu, kegelisahan dan keputusan untuk tinggal di kuburan, yang diperhitungkan hari ini keluarga yang ditinggalkan, bagaimana untuk pulang, sedangkan untuk dimakan pun harus menunggu suara adzan dan menyamperi mahasiswa yang membagikan takjil di lampu merah.
Mahasiswa yang diajak berbicara mendengar cerita darinya, masih memikirkan panjang menganai  sekarang yang ingin mencari. Merasakan malu lantaran merasakan bahwa dalam kehidupan manusia dibedakan melalui tempat serta estetika penampilan. Padahal manusia berharga tetap bukan dari yang ada di depan mata, akan tetapi sebuah cara dan sebuah pengetahuan yang bisa dinikmati seperti orang-orang di pinggir jalan seperti bapak Ainun.
Bapak Ainun kembali menunggu apa yang akan terjadi esok, jika Sang Ilahi memberikan jalan kepada Ainun, lantaran tidak bisa pulang perantara mahasiswa, maka bersyukurlah ada manusia yang masih bisa diberi kesempatan akan sadar bisa membantunya.
Kuburan sudah sangat mengerikan, yang biasanya hanya kesedihan. Lantaran makanan serta pegangan sudah tiada lagi di selengkangan serta saku. Keberadaan siang dan malam serasa sempit. Neraka serasa makin dirasa dalam kehidupan, surga hanya berada di saat tidurku yang lelap. Sebuah penyesalan telah datang dari beberapa waktu lalu ketika Rudi sudah tidak bisa ditemui.
Ainun mengundang setiap perjalanannya diselimuti oleh perjuangan yang disesalkan, karena buah hati dan bidadari ditinggal untuk merantau, tidak tahu akan mati atau tidak, yang dirasa dari keluarga hari ini bisa makan apa tidak di sana. Mungkin saja Tuhan akan memberikan kebijakan, jika manusia belum tentu kepikiran ke sana, karena terlalu banyak, termasuk Ainun yang hanya memikirkan dirinya sendiri, daripada memperhatikan kehidupan manusia lain. Kecuali rasa itu sudah Tuhan bentuk dan dituliskan di laufilmahfud1 akan dipertemukan dengan manusia yang diperuntukan mengobati kegelisahanmu.
Bercakapalah kembali dengan mahasiswa itu, bahwa mahasiswa itu melihat bentuk ciptaan Tuhan yang kuat, dengan rasa itulah perjalanan ingin saja diakhiri, di dunia pendidikan, terasa gagal sebagai manusia sadar serta berpengetahuan tapi belum bisa seperti apa menyikapi kehidupan seperti Ainun, belajar dengan alam dan keadaan hingga kaya sebuah pengetahuan. Apapun yang terjadi tidak bisa diulangi kecuali hal itu dipelajari apa yang telah terjadi itu.
“Aku malu dengan dirimu nak, aku tak menyalahkan Tuhan, aku yang salah karena aku tak bisa menerima apa yang sudah jelas”.
“Enggeh pak, esok ketemu di sini surgaku ini juga surgamu”.
“Terima kasih nak”, tapi bapak malu nak”,
“Tidak usah malu pak, ini surgamu juga, berbuka puasalah di sini lagi!”,
“Malu nak”, bapak hanya mikir pulang, karena kerja sudah tidak dapat”, kembalii pecah air mata bapak itu.
“Jika esok bapak Ainun ke sini ketemu di sini, untuk ongkos pulang akan ada pak”.
“Terima kasih nak”.
“Untuk malam ini, biarkan kamu pulang dengan sedikit yang telah dimiliki”.
“Aku doakan dirimu nak”.
“Doakan dirimu lebih dulu pak, setelah itu kau bisa berdoa untuk manusia, alam, serta Tuhan.
            Esoknya sudah tiba, namun tidak ada tanda-tanda dari gerak gerik bapak itu. Ciri dari bapak yang berkopiah coklat. Kemana kah bapak tersebut, serasa puasaku akan batal seumur hidup, karena surga yang dijanjikan tidak bisa dinikmati juga, kemanakah akan dicari. Sebagai perantau berjiwa kemarau saat musim hujan badai tetap saja ada dalam derasnya hujan. Surga itu baru didapatkan dari seorang yang teman, saat paginya, saya pinjamkan untuk bapak Ainun.
1.        Bagaimana Allah menuliskan sekenario kehidupan manusia di bumi serta alam semesta. Lauh Mahfuzh (Arab:لَوْحٍ مَحْفُوظٍ) adalah kitab tempat Allah menuliskan segala seluruh skenario/ catatan kejadian di alam semesta. Lauh Mahfuzh disebut di dalam Al-Qur'an sebanyak 13 kali.