Buku ini berkisah seorang memiliki mimpi besar; dengan kondisi memiriskan, lahir dari seorang petani, hidup harus mengembala domba, memberontak untuk melakukan perjalanan susuai harapan tanpa ada campur tangan orang lain; walaupun harus melakukan penolakan harapan orang tua, dengan cara menjadi pengelana. Orang tua menginginkan anaknya menjadi seorang pastur, tapi impian itu tidak lahir dari dalam dirinya. Lebih memilih menjadi pengembala domba dengan berkelana, hanya dengan berkelana banyak mengetahui dunia, dan memahami dosa-dosa manusia.
“Sejak kecil Ia sudah ingin tahu tentang dunia, dan
baginya ini lebih penting daripada menenal Tuhan dan mempelajari dosa-dosa
manusia. Pemberontakan merupakan jalan paling ramai dan sunyi baginya. Bukan tidak memiliki keyakinan pada Tuhan namun tidak menunjukkan akan itu untuk bisa merasakan hidup dengan pilihan paling bisa lebih dekat drngan Tuhannya. Membantah keinginan orang tuanya untuk menjadikan dirinya seorang
Pastor, membantah harapan orang tua yang belum tentu akan merasakan kebahagiaan
dalam perjalanan nantinya. Memutuskan jalan paling adil bagi dirinya yaitu
menjadi pengelana”
Sang Alkemis mengambil
sebuah buku yang dibawa oleh seseorang dari Karavan. Dan ia membuka-buku buku
cerita tersebut dan menukan kisah Narcissus. Narcissus ialah tokoh dalam legenda
selama hidup berlutut di tepi Telaga untuk memandangi ke-elokkkan dirinya.
Bahkan Ia terpesona pada dirinya sendiri, tanpa sadar akan posisi dirinya
hingga suatu saat Ia terjatuh ke dalam telaga lalu tenggelam di tempat
terjatuh, tumbuh sekuntum bunga yang dinamai narcissus.
Tetapi di pengarang
buku tidak menutup cerita hanya sampai disitu. Ketika Narsissus mati dewi-dewi
hutan itu datang menempati telaga tersebut, di mana telaga yang pernah di tempati
Narcissus. Ketika para dewi itu merasakan kehilangan semula air tawar menjadi
asin oleh air matanya.
Poulo Celho menawarkan
psikologis dalam berpikir dengan menggunakan kata telaga dan dewi. Bahwa
Narcissus pernah diajarkan oleh dewi-dewi itu. Tapi ia tidak pernah menunjukkan
ke-elokannya. Hanya telaga yang memahami lebih dekat. Seorang tidak akan
membahami walaupun dekat, karena manusia memiliki ego rasa kadang tidak
menerima apa yang diharapkan oleh manusia itu. Dan benda (telaga) akan lebih
menerima apa adanya, tanpa melihat tentang latar belakang.
Telaga merasa
kehilangan bukan karena ke-elokan, merasa kehilangan karena tidak bisa
memberikan apa-apa telaga. Kehilanganya bukan karena tidak akan kembali
selamanya, merasa kehilangan bukan karena ke-elokannya, tapi lebih ke dalam
matanya kala berlutut di tepiannya.
*
“kesadaran Santiago seorang pengemabala akan dirinya membuat ia harus bisa baca. Santiago seorang pertain harus bekerja keras tidak sekedar untuk bisa makan dan minum, sama seperti domba-domba itu”
Sebab aku tidak hidup
di masa lalu ataupun di masa depan. Aku hanya tertarik pada saat ini. Berbahagialah
orang yang bisa beronsentrasi hanya untuk saat ini. (hal;3). Sejeleknya ciptaan
seharusnya sadar akan pemberian Tuhanya, tidak ada yang sia-sia dari segala
ciptaanya, benda kecil pun seperti hewan kutu. Kalau kutu di kepala tidak ada,
mungkin ketombe di ramput akan banyak karena tidak akan digeruknya.
Akan kulihat bahwa di
gurun ini pun ada kehidupan, di langit
sana ada bintang-bintang bersinar, dan suku-suku berperang karena mereka bagian
dari umat manusia-hidup ini seperti persta bagimu, suatu festival meriah,
sebuah hidup ini adalah saat yang kita alani sekarang ini. “Sebab orang-orang mudah perpesona oleh
gambar-gambar dan kata-kata, hingga pada akhirnya mereka bahasa dunia”.
Manusia sering kali
merasakan kehilangan, pada akhirnya merasakan ketidak yakinan dalam hidup
sendiri, karena terpengaruh dengan kesenangan dunia; di realitas ini seperti menghilangkan nada hidupunya di
logika. Sehingga yang jauh akan lebih dekat, yang dekat menjadi jauh. Sehingga
dalam buku Sang Alkemis termaktub bahwa ‘di mana hatimu berada, disitulah
hartamu berada’.
Cara pandang manusia
dalam mencipta karya yang agung. Melakukan hal-hal yang kecil, menyelesaikan
fungsi manusia secara posisi maupun secara fungsi; eksistensi letaknya ada pada
rasa, esensi terletak dalam bahasa. Sehingga dalam buku Sang Alkemis ‘aku ingin
menjadi angin agar mencipta karya agung’.
Seperti halnya batu
yang telah dilemparkan, dan ucapan yang telah terucapkan. Tidak akan bisa
kembali lagi dan ketika di ulang untuk mengembalikan lemparan tidak akan
kembali pada pertama kali posisi, dan ucapakan akan kembali sempurna namun
sebuah pemahaman dan makna yang akan diterima tidak bisa sempurna seperti apa
yang ada dalam rasa; bahasa representasi dari jiwa. Dalam buku Sang Alkemis
‘apa yang terjadi satu kalai, satu kali lagi tak akan terjadi lagi’.
**
Sebuah perjalanan
seorang pengembala domba, merasa sangat terpukul dengan perkataan Sang Alkemis,
ketika bertemu di jalan. Ia berkata “Di mana kamu menemukan hatimu berada
disitulah harta karmamu’. Semua ketenagan sebenarnya dekat dengan manusia
memahami jasadnya tentu akan bahagia datang; tiada guna harta ada namun tidak
bisa merasakan kebahagiaan, itu representasi kata harta sebagai arti dari
barang berharga, sebagai posisinya.
Langkah semakin jauh
setiap perjalanannya ia akan menemukan banyak hal, pengalaman, pengetahuan, dan
penderitaan. Salah dua dari penemuannya kala bertemu dengan golongan gipsi,
gipsi tersebut dalam satu sisi pandang, ada anggapan negative ‘konon pernah
melakukan perjanjian dengan setan, untuk menculik anak-anak yang kemudian
dibawa ke tenda-tenda Mestevius untuk dijadikan budak’ (hal:20)
Santiago yang berkelana
bertemu dengan Raja Salim, seorang yang memiliki hobi dan kealian berkelana,
tidak menemukan semua itu dengan membaca atau dengan mendengarkan guru. Paling
pasti dari setiap berkelana akan banyak pengetahuan didapatkan sebab akan
sering kali ditemukan hal baru atau hl dekat dengan diri kita namun tidak
dirasa, dan orang lain akan memberitahukannya, sebab terlalu sibuk hingga lupa
akan semua. Kealian akan datang kala ada sebuah suara, teks, dan rasa ada
sesuai realita. ‘impian seperti itu tertanam, sekarang bekerja sesuai dengan
kebutuhan. Ketika banyak uang bisa jalani impiannya (hal:33).
Dalam dialog seorang
tukang roti dan pengembala jadi lebih penting bagi mereka daripada
takdir-takdir mereka sendiri. Santiago menyakini bahwa Tuhan memiliki sifat
baik pada setiap manusia. Domba-dombanya saja bisa memilih, maka jangan kwatir
pengembala juga akan diperhatikan oleh Tuhan. Sebab Tuhan sangat
toleransi-tanpa pandang bulu.
Dengan kemampuan
intuitif memahami. Kata si pemandu Unta. Dan ia juga mulai belajar bahasa
universal tentang masa lalu dan masa kini semua orang, mengenai ‘firasat’
menurut istilah ibunya. ‘bahwa intuitif sebenarnya peleburan jiwa, dengan
begitu saja ke dalam arus kehidupan universal, di naba sejarah semua manusia
saling terkait, dan kita bisa mengetahui segalanya, sebab segalanya telah
tertulis di sana’.
akhmad mustaqim