Kamis, 30 September 2021

SEPTEMBER DAN HAL-HAL LAIN

September bulan yang mungkin para aktivis yang belum merasakan kehidupan realistis akan merasakan hidup gelap di negeri ini. Semua teman-teman yang punya semangat akan perjuangan mengingat sejarah gelap, merasakan kehilangan. Sehingga bulan september ini jadi momen mengesankan untuk direfleksikan. 


Membaca sejarah sama halnya mengingat tahun-tahun kejadian hidup seorang di masa lalu. 30, September selalu dikaitkan dengan hari kesaktian Pancasila, sebagaimana mestinya masyarakat Indonesia dianjurkan untuk menaikkan bendera setengah tiang. Pada tanggal 1 Oktober dinaikkan  secara sempurna. Sehingga masyarakat akan mengetahui hari kesaktian Pancasila. 


Dari sisi lain para aktivis akan mengingat dari sisi gelap bulan di bulan September, Mulai dari tragedi pembantaian 1965-1966, tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir 2004, hingga brutalitas aparat dalam aksi Reformasi Dikorupsi yang baru saja terjadi 2019 lalu. Peristiwa yang terjadi di Bulan September tersebut kemudian oleh Kontras disebut sebagai September Hitam. 


Dari sisi lain secara subjektif tidak ada yang mengesankan di bulan September 2021 ini. Semua seperti sebuah kehidupan tanpa perubahan signifikan bagi saya. Sebab kehidupan yang begitu rentan dan banyak jadi tanggung jawab: belum terjawab secara jelas. Semua target masih berserakan tanpa kejelasan, kapan segera selesai. Sepertinya, tak perlu mencapai semua untuk selesai mustahil, minimal kehidupan lebih tenang. Itulah cita-cita sederhana diri kita setiap bulannya. 


Namun, hidup bukan tentang diri sendiri saja, tapi kehidupan perlu memberi kontribusi ke kehidupan orang lain, berbicara tentang manfaat dan cinta pada semua, tanpa membenci. Mungkin itulah bagian perjalan hidup seorang yang tidak hanya tentang manfaat dan cinta, tapi tentang kenyamanan dan ketenangan yang dapat diciptakan dan dirasakan bersama-sama, kecuali diselimuti rasa benci. 


September di akhir bulan ini telah banyak dilakukan oleh saya. Mengenai proses selama sebulan melatih konsistensi hidup. Mulai dari menulis membaca serta mencari solusi hidup; baik yang sekiranya berbiak. Hal ini tentu menjadi jalan hidup paling ideal secara subjektif, menikmati tanpa ada yang dibenci. 


Dilema yang dirasa sangat sempurna, sebab masih saja penuh banyak tanya. Bagaimana manajemen serta mengatur hidup untuk bekerja ini. Sebenarnya hidup ini perlu mengukur kebutuhan  dan keinginan diri, ini. Di antara yang berfungsi pada diri perlu diperjuangkan dan ini masih mengambang serta mencari jalan paling baik versi sendiri. 


Catatan setiap hari hanya beberapa hal saja dapat dilakukan.  Ada yang maksimal, tapi juga tidak. Hal tersebut selalu berulang-ulang terjadi dan diri sendiri selalu mencari sumber menemukan solusi, di sebelah mana ini benang merah: pencapaian diri. 


Adapun selalu ada cara serta pencarian dari proses belajar, dan selalu meniti point-point hidup paling pantas diperjuangkan serta dikorbankan. Tentang waktu yang sia-sia berjalan tanpa punya nilai paling bernilai bagi orang lain. Hanya sekedar kalau perjalanan hanya punya pengalaman bukan keuntungan yang dapat dinikmati oleh jalan panjang. 


Namun, saat berjalan tidak semua langkah ini dikaitkan dengan hubungan orang lain. Boleh saja mengambil inspirasi, tapi tidak perlu merasa iri. Karena kurang lebih dari mereka dan kita punya porsi berbeda-beda, yang perlu dibangun dalam diri kita yaitu logika syukur serta logika pikir--yang pantas tolok ukur kita--bahwa semua orang punya kehidupan berbeda-beda, dan itu seperti memiliki kelas, sendiri-sendiri. Dan sebagai orang yang paham mengukur ujian setiap masing-masing manusia. Mungkin. 


Selamat datang Oktober 2021.


Rabu, 29 September 2021

PEREMPUAN DAN CITA-CITA

 

"Perempuan yang kuat dengan cita-cita dan mempertahankan  apa yang dijaga, jadi sosok mulia: menjaga apa yang perlu dijaga" 

Saya tertarik mereview film Nurbaya ini dari pandangan perempuan yang begitu kental dengan nilai-nilai patriarki. Nurbaya khususnya. Perempuan yang punya semangat cita-cita luar biasa, tapi hanya jadi perempuan bercita-cita: tidak biasa. 

Jika ditarik benang merah dari itu, yang begitu pekat mempertahankan untuk terus menulis dan bercita-cita akan kebebasan dari konstruksi sosial-perempuan tetap menjadi sosok lemah, ketimbang pria. Perempuan yang ingin selalu punya semangat dalam membela hak diri dan pendidikan. Dan semangat ingin berkontribusi di kehidupan intelektual, seperti dilakukan oleh RA. Kartini. 

Mengambil potret, jawaban Nurbaya ketika ditanya oleh orang perihal pernikahan. Persis seperti apa yang biasa dilakukan saya di masyarakat; sambil tersenyum dengan bahasa tubuh yang lain, selalu begitu. Paling relevan yaitu ketika ditanya tidak terlalu panjang menjawab. Karena, ia meyakini kalau akan dijawab akan  terus punya pandangan berbeda. Dan terus berdebat tanpa menemukan solusi. 

Hal tersebut, mengajarkan kita pada satu personal. Yang tidak dipungkiri urusan kedua hal, perempuan menikah dan punya cita-cita. Begitulah selalu ada narasi yang membangun citra perempuan dari masa ke masa, berlaku dan selalu ada di masyarakat. 

Namun, pada abad 21 ini, hanya dapat dihitung jari memandang hal tersebut di masyarakat. Walaupun pandangan ini sangat sempit--dan seperti menghakimi perspektif ini. Akan tetapi, menjadi pandangan langka seorang perempuan membaca dan menulis terus memberikan kontribusi pada kehidupan manusia. 

Film ini, memberi refleksi pada satu hal paling relevan kalau ada satu perempuan mempertahankan apa yang dicita-citakan. Dan itu melawan konstruksi sosial. Maka akan ada hal yang perlu dikorbankan, yaitu perasaan kepada pasangannya. Namun, suatu ketika nanti akan tetap bertahankah kondisi tersebut; keadaan, kebutuhan, dan lingkungan, yang membentuk. 

Adapun, pada momen si Samsul memberikan kabar ke Nurbaya. Kalau Dia mendapat beasiswa ke Belanda, yang dibangun dan punya pandangan yang sama--punya cita-cita mulia. Saat kabar disampaikan ke Nurbaya, disitu terlihat sikap perempuan berpengetahuan dan selalu berpikir positif dan hidup. Terlihat kalau bukan perempuan yang-menye-menye- dalam bahasa gaul sekarang. Dia malah memberikan dukungan yang kuat. Begitulah pengetahuan bekerja dalam diri selalu optimis dan mampu menerima serta tidak ada tendensi dari setiap kejadian. Apalagi yang masih belum terjadi: terus melangkah. 

Saya belum lihat yang lain, jadi belum bisa komentar. Kalau ada, nanti akan dicoba resensi film tersebut. Sebab cerita masih penuh tanda tanya: nanti kisah selanjutnya. Mungkin.


Selasa, 28 September 2021

HIDALGO DAN IBNU HAJAR

  "Kisah-kisah yang belum selesai dan motivasi belajar 'mengingat kisah dulu' perlu terus dipompa agarmenimbang-nimbang--kedepan terus berjuang." 

Kisah perjalanan kuliahku, yang begini-begini saja, pinter tidak, saya teringat dengan kisah pada saat masa sekolah madrasah beberapa tahun lalu, tepatnya di desa kecil saya. Tidak kenal buku-buku yang katanya bagus atau tidak. Saya Pernah menemukan kisah dari seorang tokoh Hidalgo dalam kisah salah satu tokoh novel Don Quijote dari La Mancha (1) karya Miguel D Cervantes. Tokoh tersebut memiliki kekeringan otak tanpa harus seperti apa harus melangkah akan memandang hidup dengan dasar apa bisa menemukan hidup ideal. 

Dengan itu, teringat dengan kisah seorang Ibnu Hajar waktu sekolah madrasah dulu diceritakan kisah tersebut. Ibnu Hajar salah seorang santri semasa di pesantren tidak bisa apa-apa (tolot, bodoh, gedeng, nolspot) kompleks pokoknya akan hal itu, jangankan baca kitab atau baca Al-Quran sama halnya santri lainnya, tidak tahu (tidak bisa membaca dll). 

Adapun suatu waktu putus asa hingga pada suatu masa ia harus merasa paling tidak bisa, lalu memutuskan untuk pulang (kabur dari pesantren tanpa sepengetahuan) Di tengah perjalanan tersebut Ibnu Hajar dikejutkan dengan temuan aneh tapi nyata. Ketika melihat batu keras diteteskan air dari sisa air hujan hingga bolong saking terus-menerusnya batu itu bolong, (dalam versi cerita lain hancur batu tersebut). Ketika itu, si Ibnu tersebut mendapatkan hidayah dan mulai tafakkaru (berpikir sejenak), kalau semua kejadian tersebut bukan semerta merta hanya tiba-tiba atau dengan tidak sengaja (berpikir akan kejadian air yang membuat batu itu hancur atau berlobang). Semua harus dilakukan dengan kerja keras, sehingga hemat saya berasumsi kalau untuk menjadi berkualitas manusia harus keras dalam melakukan sesuatu. 

Ibnu Hajar mengurungkan niat untuk pulang lalu kembali ke pesantren di mana ia harus belajar kembali dengan serius (sungguh-sungguh, lalu ia memang berhasil dalam kisah singkatnya, ia bahkan bisa membaca kitab dengan kondisi kitab terbalik. Saking pahamnya dan alim. Otak kering akan seperti apa yang telah Tuhan berikan pada manusia. Apa yang telah dianugerahkan seperti tong kosong harus mengisi tong itu dengan air. Begitupun, untuk mengisi tong tersebut harus memilihnya airnya. 

Dari kisah di atas dapat bisa mengambil pelajaran berkelas. Dari kedua tokoh yang punya semangat sama dalam hidup mereka. Bagaimana kita menjadi makhluk hidup yang semestinya terus berproses belajar sepanjang masa sambil menikmatinya. 

Selaras dengan narasi kuat di lingkungan pendidikan hari ini--belajar seumur hidup--terus disuarakan. Harapan tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa hidup perlu menentukan pelajaran yang dapat dipelajari dan mampu dilalui: baik atau buruk ditentukan oleh diri sendiri mengambil keputusan. 

Adapun sosok yang terus belajar akan punya nilai paling dalam--untuk hal kehidupan yang tidak krusial. Bagaimana mungkin seorang bisa membaca dan mengenal diri kalau sibuk dengan di luar diri. Langkah-langkah sulit seorang untuk membuka peluang akan jadi manusia utuh, tumbuh bersama sesuai harapannya. Menatap sambil meratap minta pengunjuk jalan paling tepat serta baik. Seorang bisa karena terbiasa atau sekedar menata setiap keinginannya. Dan dengan logika serta rasa ingin belajar tersebut dapat menuntut hasil. Mungkin.



Senin, 27 September 2021

PESANTREN, SEMINARI DAN SASTRA

 

Beberapa hari lalu di akun facebook ramai membahas sastra pesantren. Keramaian di laman terus membuatku berpikir walaupun tidak tahu dan tidak bisa ngapain-ngapain. Pertanyaannya "sastra pesantren itu ada apa tidak?" Kok, para golongan tua akhir-akhir ini membahas itu, saling sahut menyahut melalui tulisan pendek maupun panjang. Mereka selalu meramaikan dan membuat hati berpikir. Andai berirama enak akan baik di telinga, sangat asik serta membuat tenang. 

Sebagai ihwal awam dan baru kemarin sore tahu sastra, yang terseok-seok masih berusaha memahami relung-relung untuk mendalami. Dengan membaca, diskusi, atau mendengar berita di media sosial, di spotify, dan youtube. Dari para pegiat yang dianggap sudah di luar kepala mengenai dunia sastra. Bahkan yang masih saja amatiran menjelaskan, didengarkan. Namun, tidak semua yang didengar direkam lalu disimpan dalam ingatan. Ternyata mereka berbicara ada yang layaknya manusia bisa, perlu disaring sebelum dapat share. 

Dalam hal ini, penulis tidak ingin memberikan pandangan yang benar-benar benar, atau membenarkan. Tapi, ini sebagai usaha spesifik sastra pesantren seperti apa yang menjadi fokus pembahasan. Tentu, hal tersebut perlu diluruskan bila itu perlu agar tidak ada kesangsian bagi yang awam atau sudah berpengalaman. 

Pembahasan akan berfokus pada sebuah pandangan umum. Bahwa setiap karya sastra akan punya genre yang dibentuk oleh khalayak umum--yang disepakati. Kalaupun akan ada punya pandangan lain agar menyempurnakan yang telah ada (umum). Itu bagian dari proses kesusastraan. Siapa yang menemukan atau yang memulai akan jadi orang diperhitungkan oleh para penikmat sastra atau yang punya kebijakan mengakui karya, lalu disebut ia sebagai sastrawan. Ya, minimal sastrawan bagi dirinya sendiri yang berkarya tidak untuk dikenalkan dan dikenang, cukup di lingkungan bernilai: baik dan karyanya. 

Secara proses, sastra pesantren memiliki proses yang sama, atau sama dengan seorang non-pesantren menggarap atau membuat karya sastra dengan cara-cara umum, prosesnya. Dengan membaca, diskusi, banyak cari pengalaman, banyak ngopi, dan merenungi sesuatu di ruang sepi, itu sama saja. Yang jelas tidak hanya menjadi seorang suci yang tahu banyak hal, berada di menara gading.

Majalah Tempo 2013, dalam liputan khusus Sastra Religi berjudul "Pada Mulanya Kata". Liputan panjang tersebut menguraikan beberapa kehidupan sastrawan yang lahir dari pesantren. Namun, tidak hanya dari pesantren yang diangkat melainkan juga sastrawan yang lahir dari Seminari--yang mana, keduanya melakukan proses serta cara-cara 'nyaris' sama." "Pesantren dan Seminari tidak hanya melahirkan kyai dan pastor yang pandai berkhotbah serta bergiat mengurusi dakwah dan tanah misi. Dari sana, lahir pula sejumlah sastrawan yang memperkaya khazanah sastra Indonesia." 

Sastra pesantren dalam hemat penulis hanya wadah penampungan ilmu, sebagaimana sekolah tempat belajar banyak orang. Tidak punya nilai kalau penghuni sekolah tak mencerminkan manusia terdidik. Begitupun di Seminari. Bahwa sastra tetap sebagai alatnya, alat yang dapat menyampaikan sesuatu--dari gagasan, nilai, dan tujuan. Sastra sebagai lapis dari ketiganya. Hal ini dapat dipandang kalau isi dalam karya sastra sastra membawa semangat apa. Penulis yang ingin bawa semangat nilai agama, nilai budaya, HAM, sejarah, dan nilai-nilai lokal, atau sekadar membagi kisah tragis atau senang kehidupan orang lain atau diri sendiri dan banyak lagi. Setiap penulis akan membawa semangat berbeda-beda dalam berkarya, khususnya karya sastra. 

Adapun, tokoh-tokoh sastra yang pernah mencicipi atau menikmati dunia Pesantren dan Seminari. Bahkan sastrawan yang diperhitungkan di Indonesia, lahir dari lembaga pendidikan keagamaan. Dari Seminari ada, Jokpin, Romo Mangun, Remy Suka di, Mario F. Kawi, serta pastor Leo Kleden, SVD adalah sederet sastrawan dengan latar belakang yang sama. Dari Pesantren, mengenal Mustofa Bisri (Gus Mus), Zawawi Imron, dan Acep Zamzam Noor, beserta Abidah El Khalieqy dan Ahmad Fuadi dari generasi baru. Tempo (hal 51, 2013). 

Mereka, pada dasarnya manusia yang pada umumnya, sama. Memakan, meminum, serta berak. Namun, mereka punya semangat besar berkarya di bidang kesusastraan. Hingga pada akhirnya dapat diakui dalam karya atau secara kepribadiannya--yang bisa membawa semangat berbeda-beda--dan sastra seperti wadah netral tanpa tendensi. Atau tidak membuat chaos dengan saling membenarkan karya sastra. DAN sastra memang tidak memiliki agama, kecuali yang penulis karya sastra punya keyakinan.

Pada dasarnya esensi sastra dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Sebab bahasa menjadi media sastra, sastra menjadi pembalut dari ide dan bahasa jadi alat pembeda (representasi) mencipta keindahan. Hal tersebut selalu jadi kelebihan karya sastra. Maka, bahasa dalam karya sastra selalu membuat manusia hidup seperti tak punya agama tapi punya Tuhan. Seperti seorang bocah yang iman kepada Pencipta alam, yang mendahului alam semesta ini, diyakininya. 

Manusia jenis tersebut termasuk manusia yang gandrung akan keindahan bukan perkelahian dan perpecahan. Mengupas puisi Soe Hok Gie (1961) "aku tak ingin berbicara tentang nilai dan cinta, melainkan tentang keindahan," kurang lebih demikian kutipannya. Interpretasi makna tersebut punya kekuatan nilai puncak dari hidup manusia dapat mencapai ma'rifat keindahan. 

Kalau dicermati manusia yang menggemari sastra yang lahir dari Pesantren dan Seminari, secara laku ataupun karya selalu bersentuhan dengan hati. Terkontaminasi pada ideologi atau agama yang digandrungi--yang diamati sebagai keyakinan akan membawa keselamatan. Makrifat indah dalam hidup Tuhan. Sastra sebagai jalan penyatuan bermula dsri kata. Mungkin. 


Minggu, 26 September 2021

MANUSIA

Seorang Narcissus yang tergila-gila dengan  dirinya sendiri. Jatuh cinta pada dirinya yang pada akhirnya ia dihukum karena kesombongan sendiri yang pada akhirnya terpeleset jatuh, lalu meninggal. 

Ada seorang yang sangat percaya diri dengan kemampuannya, pada akhirnya tidak percaya dengan orang lain. Terkadang. Ini seringkali kita temukan di dunia nyata bahkan dekat dari kehidupan. Sehingga hidup bersosial atau sekedar hidup tanpa memikirkan orang lain terjadi. 


Puisi berjudul "Kangen" karya WS Rendra. Pada bait pertama yang berbunyi "kau tak akan mengerti/bagaimana/ kesepianku /menghadapi kemerdekaan tanpa cinta." Kutipan tersebut memberi gambaran bahwa manusia tidak akan mampu hidup sendiri. Butuh cinta dengan makhluk lain, terutama Tuhan. Mungkin demikian interpretasi teks puisi tersebut. 


Sebuah objek manusia memaknai hidup dan kehidupan yang tidak dapat digerakkan oleh diri sendiri saja. Sebab makhluk dicipta secara hidup bersosial (zonpoliticum). Sehingga tidak ada yang bisa bertahan di muka bumi sendiri, apalagi tanpa cinta. 


Secara esensial hidup manusia butuh cinta. Sebab biologis manusia secara kodrati perlu itu. Begitulah hidup yang secara otomatis koneksi manusia punya kebutuhan akan hal tersebut pasa hasrat. Salah satu filsuf bernama Schopenhauer menjadi misoginis bukan karena tidak ingin dicintai, ia dikenal misoginis, bersikap demikian karena mengalami hidup tragis 'ditinggal pas sayang-sayangnya' oleh pasangannya. 


Pelajaran yang dapat diambil dari pelajaran seorang tokoh di atas bahwa pada dasarnya manusia dibenturkan dengan hasrat: kebutuhan. Kebutuhan yang melekat dalam diri dan menjadikan diri manusia mandiri secara pemikiran tapi tidak secara tindakan, sebab manusia secara tidak langsung karena diberikan hasrat kebutuhan, bukan lagi keinginan yang dapat dikatakan semata-mata. 


Kita akan mengenal di masyarakat umum seorang menjadi asing. Asing yang dapat dikatakan ini menjadi masyarakat tidak pasif atau keberadaannya dipertanyakan. Kondisi seperti ini menjadi persoalan sebab menjadi persoalan, walaupun hidup pilihan: mau jadi pribadi bersosial atau jadi pribadi individual. Jika dipandang secara psikologis tidak menjadi masalah makhluk (manusia seperti itu). 


Namun, hidup bukan tentang penyempurnaan; id, ego, dan superego. Psikis yang terpisah tapi berinteraksi. Konsep ini dirumuskan oleh Sigmund Freud. Bahwa manusia akan memiliki poros yang seimbang jika ketiganya dapat dikerjakan secara maksimal. Dan ini tidak keluar konteks kebutuhan esensial dan eksistensial manusia, di masyarakat: sosial maupun individual.


Jika memandang secara eksistensi manusia, dapat dikaitkan dengan buku berjudul Modern Times: Selected Non-Fiction penulis Jeans Paul Sartre 2002, dalam pembahasan mengenai hasrat, bahwa hasrat adalah kesadaran, karena hasrat hanya bisa eksis sebagai suatu kesadaran non posisional dari hasrat itu sendiri. Manusia eksis dibentuk dari dalam diri kesadaran--yang menjadikan keinginan. 


Dalam tataran sosial, manusia tidak dapat menjadi asing dari kehidupan. Sebab manusia satu akan butuh dengan yang lain. Namun perihal kebaikan yang ditawarkan kepada makhluk lain tentu berbeda-beda, jika kebaikan manusia satu bisa dengan bahagia senyuman. Tapi, berbeda dengan yang introvert hanya sibuk dengan manfaat bagian dirinya. Mungkin.

Sabtu, 25 September 2021

GELAS, MUSIK, DAN NILAI-NILAI ETIK


Orang akan selalu meratapi luka, bahkan sering merayakan luka dengan kesedihan berlebihan. Bersama atau sendiri selalu jadi momen selalu terbesit di ingatannya. Berbeda dengan kondisi rasa bahagia akan dirayakan sendiri, tanpa berbagi. Kecuali bahagia yang dititipi oleh orang lain, untuknya. 

Manusia selalu mengingat-ingat luka dan derita yang menimpa. Coba saja diperhatikan pada saat kaya dan sukses, selalu aja berkata "kamu hanya tahu kondisi sekarang, tapi tidak melihat masa lalu--yang penuh dengan luka-luka, dan kini beruntung." Perkataan tersebut menunjukkan kalau derita selalu diingat, melekat dalam ingatan bahkan dalam. 

Mengingat dengan lirik lagu, "aku yang dulu bukanlah yang sekarang, dulu ditendang sekarang disayang, dulu ku tak diperhitungkan sekarang diperhatikan" lagu yang dibawakan oleh Tegar Septian 2013, pengamen yang famess sehingga jadi artis, dadakan. Lagu itu, yang aposteriori dirasa oleh pengamen bocah sekarang terkenal dan sudah tak kenal jalan-jalan pinggir jalan mengharap uang receh seribuan, atau uang dua ribuan, dikasih karena malu kalau tidak memberi lantaran sedang bersama pasangannya. 

Kesedihan juga dipotret oleh film "Ada Apa Dengan Cinta" yang dibintangi oleh Dian Sastrowardoyo (Cinta) dan Nicholas Saputra (Rangga). Film tersebut menampilkan kisah remaja yang dimabuk cinta, dimasa gejolak romance berapi-api. Latar film di Jakarta genre; masa SMA. 

Film yang alur cerita sangat membuat pelbagai masyarakat khusus anak muda merasa penasaran. Sebab sosok Rangga yang sangat cool dan suka baca, pendiam. Jadi, idola banyak orang di luar film maupun di dalam film. Sedangkan Cinta yang tipe orang Jakarta gaul--yang sebagai perempuan manis, cantik, dan kaya. Sehingga film tersebut menampilkan sosok bahagia, sedangkan harus merasakan kesedihan karena temannya bernama Alya broken home, Cinta sebagai orang yang peduli ikut merasakan penderitaannya. 

Suatu perjalan panjang, Cinta dan Rangga sudah tidak seperti kucing dan tikus. Mereka dekat bahkan sudah saling kenal dan akrab. Sehingga suatu ketika Rangga mengajak ke toko buku loakan di daerah JL. Kwitang, Jakarta, toko "Restu," disitu mereka bercanda sambil memilih-milih buku lawasan. Adegan film di sana waktu Cinta sebel dan harus pulang lebih dulu, Rangga tidak mengantarkan. Tapi, di sekolah mereka harus bertemu kembali seperti seorang biasa anak SMA. 

Suatu ketika, mereka pergi ke salah satu kafe yang ada live musiknya. Itu puncak kesedihan tergambar dari seorang perempuan. Saat puisi membacakan puisi. Di atas panggung, ia membacakan puisi kurang lebih potongan puisinya, "Ku lari ke hutan kemudian menyanyiku/Ku lari ke pantai kemudian teriakku/Sepi... sepi dan sendiri aku benci/Ingin bingar aku mau di pasar/Bosan aku dengan penat/Enyah saja kau pekat/Seperti berjelaga jika ku sendiri/Pecahkan saja gelasnya biar ramai/Biar mengaduh sampai gaduh/Ada malaikat menyulam jaring laba-laba belang ditembok keraton putih/Kenapa tidak kau goyangkan saja loncengnya biar terdera/Atau aku harus lari kehutan/Belok ke pantai?

Dalam film Rangga tersentak diam. Kesedihan menyelimuti. Mengapa setiap pencarian, pelarian, lalu membuat sebuah luka lebih besar lagi dengan tergambar dalam potongan bait puisi "pecahkan saja gelasnya biar ramai,"--bukti, bahwa kesedihan identik perlu dirayakan secara bersama. Apa mungkin kesedihan perempuan yang tidak mampu menahan sendiri butuh orang lain. Dan seperti itulah potret eksploitasi perempuan terjadi, identik sosok minye-minye. 

Miss Uun, mengatakan kalau lagu atau puisi yang ada kata "gelas" selalu identik dengan perempuan yang sedih, ini jadi kecenderungan perempuan sedih: terus. Padahal tidak demikian, tapi gelas selalu dekat dan jadi atribut luka. Pendapat ini disampaikan saat mengikuti diskusi Surawung ke-9, bersama Bandung Mawardi. 

Gelas, dikaji dari bentuk serta secara fungsi, bahwa gelas sebagai wadah kopi, teh, dan bahkan  air. Di zaman sekarang gelas tidak terlalu dipakai untuk kegiatan kenduri, tahlil, dan perkumpulan warga. Ternyata sudah berkurang. Karena adanya air mineral kemasan; berganti air. 

Pergeseran kebudayaan tersebut jadi sangat tidak baik. Karena secara tidak langsung tuan rumah lebih simpel menjamu tamu. Tapi, bisa saja mempermudah manusia bertamu atau hidup tidak perlu repot-repot. Namun, ada nilai yang kurang dalam kehidupan berdampingan kita. Rasa menghargai berkurang. Mungkin. 


Jumat, 24 September 2021

MUSIK, JIWA, DAN NILAI SPIRITUAL

  

Imagine there's no heaven

It's easy if you try

No hell below us

Above us, only sky

Imagine all the people

Livin' for today

Ah

Imagine there's no countries

It isn't hard to do

Nothing to kill or die for

And no religion, too

Imagine all the people

Livin' life in peace

You

You may say I'm a dreamer

But I'm not the only one

I hope someday you'll join us

And the world will be as one

Imagine no possessions

I wonder if you can

No need for greed or hunger

A brotherhood of man

Imagine all the people

Sharing all the world

You

You may say I'm a dreamer

But I'm not the only one

I hope someday you'll join us

And the world will live as one

1971 Imagine- John Lennon 

Menikmati lagu dengan tenang, sambil menghayati satu per-satu kata, frasa, dan kalimat pada setiap lirik lagu di atas sangat tersentuh jiwa. Bunyi yang begitu mendayu; tenang, intonasi pas, dan artikulasi perkata jelas. Seperti membangunkan jiwa-jiwa hampa, jadi bertenaga. Dan berbicara tentang makna sebenarnya sederhana, namun punya kekayaan makna luar biasa. Saat seperti apa cara terbaik musik dapat dinikmati, mencapai nikmat ilahi.

Saat mendengar musik akan sedikit tenang. Apalagi saat pagi kala semua orang menghirup udara segar disandingkan dengan lantunan musik kesukaan dan kopi di hadapan, sangat paripurna untuk hidup perorangan. Dan kopi dibuat oleh kekasih hatinya. Mungkin begitulah gambaran saja. Bahkan jika khusuk lalu niat mendengar di telinga, di hati bisa dzikir. Mungkin itu dapat lebih baik. Sehingga yang lain terasing kecuali diri dengan yang Maha Kuasa, saat semua ramai tanpa ada harapan, ia yang diharapkan keharibaannya, senang mengingatnya. 

Kala matahari dari ufuk timur menyambut alam dengan salam cahayanya. Bumi bersyukur dan merasa senang dengan segala hal. Lalu, semua tersungkur dan ada yang mendiang ke langit yang lepas dan luas. Dengan warna biru dilapisi awan putih yang saling berganti, sebab angin selalu menggoyangkan. Putih sering berpindah. Namun, suasana tetap gagah tanpa gegabah. Dan angin terus berdesir mengharapkan keindahan dari barat yang selalu menjanjikan merah keemasan, yang indah. 

Bumi selalu berharap sinar dan air dari langit menjanjikan, serta menempatkan janjinya. Saban siang dan mendung tiba selalu iba pada manusia-manusia kecil yang masih menunggu bulan depan panen padi, kacang, dan jagung. Tanpa memandang siapa yang punya dan yang menghidupkan. Tanah berharap selalu tetap hinggap dan tiarap, saat hujan-hujan membasahi. Diserap cepat kalau tidak banjir. Begitulah alam menerima dan langit memberikannya. 

Beberapa hari lalu ada yang bersuara mengenai haramnya orang bermusik. Ternyata orang yang punya pandangan tersebut mantan atau sedang redup band musiknya, ia melontarkan statement kontroversi. Pendapat tersebut menghadirkan banyak respon tidak terima kalau musik itu haram. 

Sebagai orang yang awam akan hal musik. Sekedar saja menjadi penikmat, enak dan buruknya nada atau makna saja dapat diterima. Namun, penikmat yang awam lalu bisa sekedar mendengarkan saat sunyi atau ramai. Ternyata ada nilai tersendiri dalam diri, menerima akan hal nada maupun liriknya yang enak didengar. Ditarik dari kenyamanan dan ketenangan mirip dengan sebuah tentangnya hati, menikmati kalau ada nikmat begitu dekat dicipta Tuhan (Allah) sebagai nikmat rasa mendengar. Dan kuping mendengar bukan sekedar suara manusia. Tapi, juga memahami dari itu semua. 

Jika, ditelisik rasa kedinginan akan hal rasa dalam hati. Seperti sangat begitu dengan Tuhan saat mendengar musik. Ternyata bisa saja musik punya nilai spiritual jika di objekkan ke arah ibadah. Seorang penyair sufi pecinta tarian Rumi, namanya Jalaluddin Rumi. Suka dengan tarian sufi. Tarian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhannya. Dengan seperti itu menganggap Tuhan lebih dekat dari urat nadi (wanahnu aqrabu min hablil warit." 

Pada intinya musik tidak dapat di harapan, selagi masih tetap melakukan bahkan rajin salat. Serta tidak keluar konteks dari aturan sosial, agama, atau adat. Musik sebagai penghilang penat. Bukan menghilangkan Tuhan di dalam dirinya. Mungkin. 

“Menurut Jalaluddin Rumi, musik yang diharamkan dalam Islam itu adalah ketika suara piring ketemu dengan sendok, dimainkan oleh orang kaya dan didengarkan oleh orang kelaparan. ... “Musim pandemi seperti ini jangan sampai ada orang miskin yang hanya bisa mendengarkan suara piring dan sendok tanpa bisa menikmati isinya. Bukan bunyi musik yang haram, tapi seorang muslim masih membiarkan tetangga lapar, atau saat masak dan tetangga mendengar tidak diberi, itu yang haram. Mungkin.

Kamis, 23 September 2021

AGAMA DAN SASTRA

 

"Bahasa sebagai cara kita pandai bercerita atau memberikan jalan dengan lisan maupun tulisan, sastra sebagai wadah berkarya, sebagai jembatan-jembatan ide manusia"

Sudah lama duduk malas-malasan di depan. berpikir kapan  nanti mampu memikirkan apa. Dalam hal ini saya tak akan membicarakan tentang sejarah sastra dan agama dari sudut pandang yang memang telah ada, karena tidak ada kemampuan ke sana. Namun, setiap cara sederhana untuk membuka pertemuan  ini dibuka dengan sebuah narasi sastra--yang diambil dari tokoh Bissu dalam novel "Tiba Sebelum Berangkat" karya Faisal Oddang. Di pantik dengan pertanyaan sederhana, dibuat pembaca dan peserta mendengar serta menangkap mampu menuliskan kisah tentang 'gender'--yang akan dianalisis. 

Agama dan sastra tidak dapat berpisah jauh dalam menyumbangkan ke berhadapan dunia, kedua seperti logam dengan gambar bolak balik berbeda tapi tidak dapat dipisahkan. Jika di awal masuk nusantara abad ke-16 berhasil masuk karena perdagangannya. Tapi, tidak lepas dengan sastra yang jadi alatnya salah satu tokohnya: Amir Hamzah dan Nur Muhammad mengenalkan karya hikayat. 

Selain itu, sastra merupakan karya yang sengaja dibuat secara baik oleh proses kreatif manusia. Manusia bisa mencipta karya sastra sebab punya keinginan untuk mengimplementasikan hidup--separuh hidupnya diniatkan untuk merawat keabadian atau mencipta dunia baru dalam karya. Tapi, bukan kebaruan yang menjadi tawaran, melainkan  sebuah otentisitas. Perlu disederhanakan otensitas bukan suatu karya murni orisinil manusia, tapi masih perlu karya lain untuk dianggap baik dan orisinil. Terpenting karya keluar dari dalam diri (eksistensial) bukan menjiplak, namun tiruan. 

Plato memberi pandangan mengenai karya sastra. Bahwa karya sastra merupakan mimesis (tiruan) yang diambil dari objek ada. Tidak ada kebaruan saklek di bawah matahari ini. Semua masih duplikat yang memadukan dari banyak sisi sehingga menemukan satu jalan lain paling menonjol dalam memandang satu hal. Tapi, dari banyak sisi, dan itu jadi ideal. Contoh sederhana, sastra realisme magis yang sebenarnya disuarakan oleh Gabriel Garcia Marquez dari Colombia-Amerika Latin mengenal "bom sastra" dianggap baik dan adiluhung karya bar-genre tersebut. Padahal Roberto Bolano seorang yang menawarkan pakem baru setelah bom sastra bergaung realisme magis. Sejarah ini dapat dijadikan rujukan kalau ideal sastra dan originalitas saling melengkapi. 

Representasi dalam kehidupan atau yang ada di alam diciptakan kembali ke dunia baru nama sastra. Sastra di dalam ada bentuk lisan dan tulis. Budaya lisan lebih tua dan tulisan dapat dikatakan anak kandung dari budaya lisan. Sehingga sastra hidup bersamaan dengan masyarakat. Agama akan jadi dasar akan jadi jalan dan arahnya akan ke mana sastra. Jika dikaitkan agama sebagai pondasi sastra sebagai alat dari peradaban. 

Lagi-lagi mengingat dengan pengantar buku Faisal Oddang di karya "Manurung" 2017, Ia mengatakan bahwa sastra merupakan kendaraan saja (sebagai wadah saja) isinya adalah ide,m (pemikiran manusia) atau cara mudah memberi sebuah cara berupa teks maupun lisan. Puisi, Cerpen, dan Novel, serta karya sejenis lainnya, merupakan cara mengantarkan  apa yang akan disampaikan kepada manusia lain. 

Adapun cara lain, kalau manusia punya cara selain sastra. Tidak masalah, bahkan baik. Walaupun masih belum punya cara paling sederhana dalam memaknai hidup atau memahami hidup, selain sastra. Contohnya bisa saja manusia mencipta piramida peradaban, atau manfaat-manfaat lain manusia yang berguna. Hemat saya juga baik, tidak buruk akan hal tersebut. Maka sastra sebagai jembatan membuat kebaikan yang dengan abadi, dapat ditengok kembali (pengarsipan) jika ditulis, atau sebagai keindahan yang sekali-kali dapat dinikmati, jadi obat hati--yang luka atau sedang mengalami hasrat semangat hidup turun. 

Agama sebagai dasar manusia sekaligus jadi pedoman bahkan pengetahuan manusia, hidup dalam dirinya. Jika Kh. Zawawi Imron sastrwan Madura menuliskan esai memberi jawaban tentang definisi sastra menurutnya. Bahwa "sastra sebagai dakwah tidak lain," kurang lebih demikian bahasa singkatnya, ini dapat dikatakan relevan menggunakan sastra sebagai alat. Namun, isi atau nilai yang terkandung dari karya sastra lahir atau ditukil dari intisari agama. Mungkin.


Rabu, 22 September 2021

MODERNISASI, AGAMA, BUDAYA, DAN OPOSISI BINER: KALIS MARDIASIH

 

Modernisme merupakan era kehidupan yang tidak dapat ditolak, kehadirannya. Modernisme perlu diikuti polanya, serta selalu survive menerima, bahkan perlu memanfaatkan, jika perlu. Terkhusus dalam urusan agama, budaya, dan cara berperspektif. "Tuntutan hari ini bukan menjadi konservatif melainkan perlu suatu hal yang kreatif dengan dasar-dasar yang berlaku di kehidupan serta lingkungan kita." 

Buku "Hijrah Jangan Jauh-jauh Nanti Nyasar" ditulis Kalis Mardiasih, penerbit Mojok (2019). Buku yang mencoba memberikan sebuah pandangan tidak hanya oposisi biner, tentang banyak hal. Tapi, yang jelas mengarah pada satu dasar "bagaimana kita beragama," yang baik tidak konservatif. Tapi, adaptif tidak muluk-muluk, kita beragama. 

Beragama yang tidak begitu kaku tapi benar. Dimodernisasi ini perlu pandangan-pandangan sederhana dalam hal apapun, tidak hanya bicara sains, agama, dan bahkan budaya, atau yang lainnya. Semua perlu disederhanakan untuk memudahkan setiap hal. Paling sederhana, agama dapat diterima secara universal oleh logika atau jiwa secara rasional, dan riil dengan kehidupan sehari-hari. 


Kalis Mardiasih bukan seseorang nyai atau ahli agamis. Hal ini disampaikan di awal-awal paragraf bertujuan agar tidak salah paham, kalau ada pandangan liberal atau pandangan sedikit menyimpang dari setiap pandangan. Tapi, hal ini bukan ad hominem. Lebih pada sebuah pandangan yang dikaji secara tekstual dan kontekstual. Intinya, ia perempuan yang berupaya menyederhanakan perspektif beragama di abad ke-21. 

Secara mendalam subjektif penulis. Kalis seorang yang frontal, ceplas-ceplos dalam teks tulisannya. Lebih tepatnya apa adanya. Tanpa mengurangi rasa kurang pengalaman, ia selalu menyampaikan dengan narasi baik sertakan dengan referensi yang menguatkan. Karena paham pembicaraan panjang lebar butuh penguatan dari pendapat-pendapat, entah dari buku, kitab, atau dari pendapat langsung--yang ditemukan secara pengalaman langsung olehnya. Sederhana berbual panjang lebar ada dasarnya. 

Berangkat dari hasil pengalaman membaca yang dapat dianggap tidak konsisten dan baik. Karena membaca buku hingga selesai tidak hanya sekali duduk, tapi butuh dua-tiga hari menuntaskan. Saat membaca dapat dikatakan tidak dalam kondisi baik selalu, sebab dibaca saat Hapean-kadang, saat sepi-kadang, saat ramai-kadang, bahkan saat dengarkan musik-kadang. Cara baca tersebut bisa dikatakan pola membaca manusia di abad ke-21. Sebab belum menemukan efektif tidaknya, tapi kegiatan tersebut masih eksis dan tidak keluar dari esensinya. Sebab ada beberapa yang masih diingat intisari bacaannya, karena masih mencatat hal penting dalam bukunya. 

Jadi, buku ini secara garis besarnya sangat kental berbicara tentang agama--yang mungkin tidak akan ditemukan dalam ajaran agama secara struktural--melainkan secara santai dibagi dengan beberapa sub-bab yaitu, ada V bab: pertama "Islam dan Kebaikan Anak-Anak", kedua "Islam dan Kemanusian", ketiga "Islam dan Akal Sehat", keempat "Islam dan Contoh Baik", kelima "Islam dan Modernitas". Kalau dicermati dari lima sub pembahasan tersebut mengarah pada diri setiap individu dengan dasar-dasar Agama Islam. 

Lanskap yang disajikan kepada pembaca seperti seorang berdiskusi di warung kopi, sambil ngudud, nyeruput, bahkan ngentut-samar-samar. Bahwa agama pada dasarnya agama tidak mengerikan, tidak rumit, bahkan tidak sulit. Jika tidak merumitkan sendiri, dan mencari dalil-dalil setiap geraknya. Contoh sederhana, jika ada kejadian seorang ibu-ibu ramai membahas puisi Sukmawati yang ramai dibicarakan di sosial media, lalu menanyakan, serta salah anggapan mengenai kegiatan pada Mei 2017, dalam acara pameran seni rupa bertema "Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa" karya Andreas Iswinarto yang diselenggarakan Kantor Pusat Studi HAM (Pusham) di Universitas Islam Yogyakarta, serombongan anggota organisasi massa datang sambil berteriak-teriak "Mana Wiji Thukul, mana Wiji Thukul! Tangkap Wiji Thukul!" (Hlm.182). 

Kutipan di atas merupakan bukti, bahwa di era sekarang perlu namanya melek literasi kritis. Sebab media selalu hadir setiap waktu dibutuhkan atau tidak, tetap ada untuk kita. Sehingga konteks seperti ini; agama, budaya, dan kebiasaan, menjadi jaminan kita sebagai dasar menerima atau menghakimi fenomena yang ramai, atau hanya sekedar numpang. 

Kejadian di atas merupakan potret dari hidup sekarang. Bahwa orang bisa saja saling bunuh-membunuh karena sosial media atau penerimaan informasi. Hal ini biasanya yang sering terjadi chaos--ketika berkaitan dengan agama, ideologi, dan isu-isu PKI--yang selalu mengerikan di kepala kalau hanya sekedar baca dan hanya tahu dari referensi informasi. Kedua contoh di atas jelas menjadi tantangan di era sekarang kita hidup. 

Adapun problematik hidup sekarang pertarungan informasi. Sharing sebelum share, salah satu cara. Mendapat konfirmasi dari sosial media tidak hanya diterima dikunyah lalu ditelan. Tapi, perlu adanya pendapat dari sana family yang ahli atau paham akan hal sebuah topik, agar terjadi manusia yang bijaksana mengambil keputusan. Sebab tidak dapat dipungkiri era sekarang era banjir informasi, tak kamu kemungkinan; lahir beragam kepentingan. 

Ada orang yang memanfaatkan media sebagai ajang propaganda agama, ada pula yang menjadi jalan baik untuk agama. Bahkan memahami agama dengan mudah. Salah satunya yaitu, memanfaatkan media untuk dakwah secara baik dan bijak, tidak sekedar comot sebar. Kalau hal itu terjadi khawatir terjadi kecelakaan besar bagi diri dan orang lain. Dalam agama sudah diajarkan. Mungkin. 

Selasa, 21 September 2021

TAMASYA, TOLERANSI, DAN TEORI HIDUP HEWAN BUNGLON

   

"Konon cinta lebih tua daripada ideologi, jadi aku berjalan dengan cinta, sebab hanya itu yang kita punya untuk mencapai merdeka mengintai." 

Salah satu penulis Indonesia pernah menuliskan, cintai semua jangan sampai membenci. Semua yang punya cara dan bisa belajar bersama tidak lain hanya untuk memperluas pengetahuan, mempertajam pikiran, dan memperhalus perasaan. Semua di didefinisikan dengan paling sederhana, entah diberi kesempatan dan terus dijalankan semaksimal. Dalam hal ini, tentu tidak merasa bahwa paling bisa serta paling pandai, tapi juga paling bisa dilakukan; berdialektika, tukar pikiran, dan saya bisa belajar dari banyak isi kepala mereka. 

Di luar begitu ramai dan begitu banyak hal yang bolong-bolong dan perlu ditambal, lalu di jahit jika perlu. Membenahi apa yang sudah baik dan bagus tidak perlu merombak, tapi hanya perlu menjahit ulang letak yang rusak atau perlu diberi jalan baru membenahi, atau sekedar berupaya menyempurnakan. dengan kata lain, semua dapat dijadikan wadah belajar. 

Di dalam masih saja berkutat dengan banyak hal yang belum selesai, bacaan atau tindakan. Bacaan seorang belum fokus dengan satu tujuan. Belum juga menjadi pembaca gelandangan, hanya amatiran. Tindakan yang begini-begini saja, masih belum apa-apa semua kawan sudah bisa membuat bahagia orang, atau keluarga dan bahkan masyarakat yang membutuhkan. Sehingga tak ada yang paling berarti kalau tidak mau menyelesaikan ngurusin pribadi lebih baik. 

Sebuah perkataan yang melekat dalam diri yaitu, Kh. D. Zawawi Imron, sastrawan dan budayawan mengatakan pada suatu acara 2019 lalu, jangan berbicara perubahan kalau kita masih belum selesai mencuci baju di kamar mandi yang telah lama direndam. Semua di bumi ini punya takaran, kalau usaha sudah dilakukan 'perubahan belum tercapai' selesaikan nanti sebagai pertanggungjawaban di akhirat. Perkataan tersebut mengarahkan kita untuk tidak optimis untuk berpihak. tapi, jangan lupa perpihakan kita kembali pada diri, dan dasar paling kuat dari dalam diri yang telah mempengaruhi. Begitulah terjemahan sederhana, dengan bahasa Indonesia yang dan benar, beliau berkata.  

Mungkin, semua diajarkan tidak perlu terlalu banyak berharap pada dunia, dunia sebagai jalan usaha dan doa, hasilnya pencipta. karena kalau selalu bertolok ukur kepada dunia, tak ada ujung jelas dan dapat dinikmati dari hidup. Dunia hanya sebagai cara saja untuk bisa hidup bahagia atau bisa menentukan tapi tidak sesuai. Dalam hal ini sering terjadi di setiap organisasi. 

Kondisi seperti ini dapat dibenturkan dengan sebuah proses seseorang berorganisasi yang berbeda-beda. Di setiap organisasi akan punya dasar serta tujuan, baik atau buruk akan punya. Kedua hal akan selalu hidup dalam tubuh organisasi, mengemban kepentingan atau sekedar berdiri saja. Tentu ada, dan tidak keluar konteks para pendahulunya. Apalagi yang berlabel agama akan senantiasa membawa nilai-nilai adiluhung di dalamnya, untuk dapat eksis di dalam tubuh kader atau di luarnya. 

Saya merasa menjadi seorang yang meniru cara-cara bertoleransi seperti hewan bunglon. Bunglon akan berubah warna saat tersentuh dengan warna lain. Tapi, secara esensi tetap bunglon adalah bunglon, tidak akan berubah menjadi biawak. Begitupun dengan diriku, tidak akan berubah jadi manusia lain, kalau berhadapan. Kecuali, dapat melebur jadi dirinya dia. 

Seorang filsuf pernah menuliskan, untuk menjadi seorang yang baik dan bisa bijaksana dengan orang lain, belajarlah kita memasukkan kaki satu kita ke dalam sepatu orang lain yang satu, maka akan kamu rasakan, apa yang dirasa orang lain. Sederhananya, kebijakan akan bisa dicapai kala mencoba memposisikan diri dengan orang lain. Begitulah. 

Saat saya diberi kesempatan untuk mengisi di beberapa tempat organisasi, sebut saja HMI, PMII, dan IPNU. Organisasi tersebut, organisasi yang besar. Kader-kader mereka sudah tidak dapat diragukan secara kualitas dan kuantitas. Namun, disini saya tidak berbicara sebagai kader, tidak sebagai kader. Melainkan sebagai sebagai seekor bunglon yang kedatangannya diharapkan untuk mengusir hewan-hewan lain, untuk tidak dimakan sembarangan. Tentu, dengan membawa banyak keterbatasan, selalu coba berikan terbaik sesuai harapan dan ketentuan. 

Dalam konteks tersebut, diniatkan belajar, belajar, belajar, dan berpikir. Sebab dengan seperti itu, cara terbaik kadang datang tiba-tiba. Sebuah kebaikan terpenting selalu termaktub, walaupun dianggap setiap perjalanan kadang dianggap "tidak punya prinsip." Tapi, semua merupakan pilihan yang dalam setiap perjalan sekiranya tidak dirugikan, terobos, jalani, dan nikmati. Siapa tahu cepat atau lambat dapat buah yang dapat dipetik secara bersamaan. Kan, pada intinya melakukan dengan rasa cinta, dan cintai semua jangan ada yang dibenci. Mungkin. 

Senin, 20 September 2021

KRITIK, SASTRA, DAN KRITIK (AN): DEA ANUGRAH

  

Walaupun Dea Anugrah, memberikan pandangan lain mengenai apresiasi sastra, kalau kritik sastra tahun ini tidak laki, sama dengan tahun lalu. Pernyataan di akun twitter @wildwestraven (Dea Anugrah): Senang lihat daftar nomine Penghargaan Sastra Badan Bahasa isinya tidak laki semua spt tahun lalu. Mungkin ini berarti penyelenggara mau mendengarkan kritik, dan mencari buku2 bermutu selain yg dikirimkan kepada mereka. Semoga untuk seterusnya. Selamat buat kawan2 yg terpilih! Pernyataan sosok Dea Anugrah seorang penulis buku Misa Arwah, Kertas Basah, Bakat Menggonggong, dan buku esai Hidup Begitu Indah hanya Itu yang Kita Punya. Serta pernah lolos untuk berangkat ke Mexico residensi penulis 2017. 

Sebagai tokoh yang perlu diperhitungkan juga oleh saya sebagai orang yang masih sangat awam dunia sastra. Bahkan salah satu penulis puisi yang dikagumi. Dea Anugrah dengan nama di pencarian google, ditemukan sebagai penulis. Tidak mungkin pernyataan di atas tanpa dasar, pasti tidak kurang referensi baginya. Ada apa di dalam nominasi sastra, khususnya pada pilihan esai kritik sastra yang telah dipilih yang akan diberikan pada tgl 28, Oktober 2021. 

Buku esai kritik sastra, mendapat kritik. Hal ini tidak mengurangi rasa yang ada pada buku. Bahkan tidak mengurangi kualitas pengkritik. Dea Anugrah mengatakan kembali dalam sambungan status di twitternya; Sy bayangkan, kerja juri pun jadi lebih enak. Memilih yang terbaik di antara banyak karya yang baik tentu lebih menyenangkan dibanding mencari jarum di tumpukan jerami. Narasi yang diberikan tersebut membuat, saya seorang awam tentu terngiang-ngiang kalau ada sesuatu yang ganjal, atau harus berpikir positif mengenai tugas seorang, tidak tahu baik atau buruk, tapi bagian dari usaha baik.


Pengalaman Bacaan Subjektif 

Saya sebagai pembaca yang jauh dari kata gelandangan membaca, hanya merasa beruntung telah diberikan kesempatan dari kedua buku kritik sastra tersebut yang telah dinobatkan sebagai pilihan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia 2021. Buku pilihan esai kritik sastra berjudul "Jalan Kritik Sastra" karya Yusri Fajar dan  "Sebelum Lampu Padam" karya Abdul Aziz Rasjid. Mendapat nominasi kategori esai kritik sastra. 

Tahun lalu tepat tahun 2020, Mas Deni meminta saya meresensi buku penulis asal Cilacap Abdul Aziz Rasjid dengan judul "Sebelum Lampu Padam" terbit di Pelangi Sastra Malang 2020. Buku tersebut berisi tentang esai penjelajahan sebelum menulis karya sastra, hemat saya kurang lebih berisi tentang silsilah bacaan seorang penulis yang ketat--dengan jauh maupun pembacaan dekat--dipaparkan secara jelas dan detail, mulai penulis luar negeri hingga dalam negeri tersampai di buku tersebut. Resensiku berhasil menembus di koran Jawa-pos Radar Madura dengan judul "Kiat Sukses Menjadi Penulis Besar" termuat pada (12, Mei 2020). Begitulah pengalaman bacaan yang dapat dibaca.

Ternyata, Tuhan merahasiakan sesuatu, mungkin. Tapi, yang jelas secara tidak langsung dan secara tidak bersama, selang tepat tanggal (18, September 2021) disalah satu portal online Alif.id memuat tulisan resensi buku yang berjudul "Jalan Kritik Sastra Poskolonial dan Ekokritik" ditulis oleh Dosen Yusri Fajar. Buku yang berisi tentang kritik terhadap karya sastra terhadap inter-tekstualitas maupun teks, yang dimulai dari mana bagaimana mengkritik puisi, cerita pendek, novel, naskah drama, alih wahana karya sastra dan bahkan film. Namun, bukan berisi tentang cara-cara baik atau ideal, melainkan cara tersebut paling tidak jadi pelengkap atau bisa jadi alternatif referensi awal mula mengenal 'analisis teks yang baik dan benar, dan kompleks.' Kurang lebih demikian isinya. Akan tetapi, saya mereduksi isi tersebut setelah dikirimkan ke media menggunakan judul "Dari Minim Kritikus ke Jalan Kritik Sastra". Bisa dibaca di links Alif.id kolom resensi buku. 

Kedua buku tersebut kini mendapat nominasi buku terbaik versi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang hadiahnya akan diberikan pada peringatan bulan Bahasa 28, Oktober 2021. 

Di masa pandemi seperti ini, tentu tidak semua orang bisa survive menghadapi hidup penuh ketakutan atau hanya sekedar merasakan itu. Namun, tidak merasakan dampak lebih keras lagi, seperti apa yang terjadi di lingkungan kita para penjual kaki lima serta masyarakat berharap dari hasil hari ini untuk makan, dan untuk membiayai hidup keluarganya. Beruntunglah yang tak merasakan demikian dampak pandemi ini. Mungkin para ahli atau para yang lebih tahu dan paham tentang hidup dan karya sastra, ketika ada penghargaan yang diberikan kepadanya dan merasa kurang tepat penghargaan diberikan, banyak faktor, tapi narasi yang begitu kuat ketika dianggap kurang tepat jika karya tersebut yang dinobatkan, melainkan karya lainnya. Sifat tersebut dapat diterima sebagai kritik inovatif dan lebih selektif lagi, penyelenggara. 

Sistem yang dilakukan oleh para dewan juri, memilih buku terbaik dan menentukan nominasi ini sulit, tentu di masa sulit seperti ini tidak akan mengurangi akurasi yang telah hati-hatian. Kalau kehati-hatian dilakukan oleh dewan juri di masa pandemi karena sistem sudah baik dan maksimal, tapi kondisi saja tidak memungkinkan. Sehingga jalan dewan juri melakukan pemilihan ada tidak setuju atau dianggap tidak maksimal, serta tidak sesuai dengan baik usahanya tetap saja, tidak maksimal. Semoga saja yang bisa memaksimalkan bisa menduduki jadi dewan juri tahun depan, sehingga baik dan tepat memilih nominasi. Mungkin. 


Minggu, 19 September 2021

KESEPIAN YANG TAJAM

Tidak semua bisa merasakan apa yang menjadikan kita tangguh dan tahan banting. Terkadang hal berat dirasakan dan kadang tidak sampai diselesaikan, sebab masalah selalu datang tak henti-henti. Sebenarnya, saat melakukan hal sesuatu tentu, bisa melakukan dengan kesadaran penuh. Kesadaran yang perlu dibangun yaitu dari banyaknya pandangan, serta sisi yang pantas, dan tepat. Bahkan kesepian akan menjadi jalan paling berharga mencipta ketajaman mata indra dan mata jiwa. Maka, ada kalanya kesepian jadi jalan paling baik mempertajam pola pikir atau mempertemukan hal-hal ideal di dalam diri. 

Masa sulit di masa pandemi ini banyak kesadaran kita dibangun dari keramaian manusia. Sering kali bersumber dari kerumunan serta pandangan dari masyarakat luas, masyarakat yang memiliki sumber dari satu sisi. Terkhusus, banyak di antara kita dari sumber berita, entah bentuk lisan maupun tulisan disampaikan. Hal itu yang membuat masyarakat berpikir serampangan kadang langsung menerima berita, tanpa skeptis langsung "bagikan!" Dan semua akan menerima, tanpa berpikir apa-apa. 

September 2020 dan 2021 menjadi September yang hanya indah ataupun buruk. Tapi, bagi masyarakat kecil yang punya pemasukan ekonomi tidak stabil akan merasakan masa sulit, sebab kondisi kota dan logika masyarakat hanya dipermainkan dengan bahasa, terutama dengan permainan simbol. Kalau dicermati, simbol yang berlaku yaitu permainan bahasa. Jika tahun 2020 lalu masyarakat diberi istilah lockdown wilayah atau karantina mandiri atau wilayah. Kalau sekarang 2021 diubah dengan PPKM yang berlevel, narasinya nyaris mirip, kecuali beberapa yang berbeda. Padahal tujuannya sama. Cara tersebut membuat dampak terhadap kehidupan sosial, serta pemasukan para penjual. 

Nasib kesepian jualan berbeda dengan kesepian menemukan satu pandangan luas, atau mempunyai cara-cara terbaik untuk akan datang. Bahkan salam tradisi yang berlaku di Jepang, membuat budaya meditasi mengatasi masyarakat mengalami stres tentang menjalani hidup. Hal tersebut tidak lepas dengan apa yang terjadi kini, pada masyarakat Indonesia. Kesepian bukan karena jiwa, melainkan yang menentramkan jiwa yaitu jualan--yang membuat dirinya bisa bertahan hidup untuk makan, dan kebutuhan tak terduka. Lagi-lagi tentang hidup, kalau dicermati masalah tersebut dari jaman nabi pertama diciptakan hingga sekarang, masih relevan. 

Adapun cara serta bisa mengubah dari pola tersebut hanya dengan ketenangan serta dapat berpikir positif akan hal yang terjadi. Kejadian di masa depan maupun masa lalu, tentu jadi cara paling sederhana. Dan idealnya ada pada diri sendiri untuk bisa bertahan, berkembang, dan bahkan bisa berbuah. Berbuah yang bisa menghasilkan manfaat kepada orang lain, dan itu subjektif. 

Soekarno, seperti punya kata-kata bijak dan motivasi diri berseliweran di sosial media, kalau direnungkan selalu relevan, yang kurang lebih begini kata-katanya; "ada kalanya kita duduk sendiri saat sepi dan sunyi sambil menanyakan tentang diri sendiri lalu menangis" kalau dicermati dari kalimat tersebut, jelas ketenangan bahkan kemajuan manusia hidup kembali kepada dirinya sendiri. Itu cara yang banyak manusia lakukan untuk menemukannya, ketenangan yang senang. 

Saat menunduk, sambil berusaha menemukan apa yang menjadi masalah diri serta bisa menemukan solusi, tentu akan jadi cara kita punya cara-cara hidup ideal versinya. Hal ini yang terjadi akhir-akhir ini, saat keramaian dunia sangat begitu ramai. Hanya pikiran yang bebas dapat mengontrolnya. Dan perlu menyepi; menenangkan pikiran, jiwa, dan bahkan raga.  

Kata 'kesepian' dalam kamus bahasa Indonesia dapat imbuhan 'ke-an' yang memiliki arti keadaan sepi, perasaan sunyi (tidak berteman dan sebagainya). Jadi seorang yang kesepian selalu cenderung tidak ingin ramai dan sebagainya. Dalam konteks ini tidak semua orang bisa membuat keputusan, bahwa kesepian merupakan sebuah cara menemukan dan lebih merasakan hidup tenang dan nyaman, suatu ketika. Bukan sepi tanpa cinta. Saat penulis Indonesia menulis "cintai semua jangan ada yang dibenci!" Ini bukti, keberadaan manusia yang punya hasrat tidak ingin kesepian selamanya, tapi sewaktu-waktu perlu. Mungkin. 

Sabtu, 18 September 2021

TUBUH DAN BENTUK



"Diamlah sebentar dan pahami apa yang terjadi pada diri dan pada sekeliling kita." Begitulah mungkin bisa lebih arif memandang hidup dan memahami tentang hidup diri kita sendiri, bukan orang lain. Inilah yang pantas untuk dijadikan cara merefleksikan diri." Begitulah hidup indah, tapi tidak hanya hidup di atas menara gading tanpa merasa realitas manusia normal umum: makan, minum, berak, dan bahkan tak ingin susah yang berat. 

Untuk memahami diri sebenarnya sangat mudah, cukup dengan mengambil posisi paling nyaman untuk fokus. Setelah fokus baru memulai memikirkan diri sedalam mungkin. Pada akhirnya menemukan diri sejatinya, dan paham akan hal yang sakit, tidak ingin dirasakan sama dengan yang terjadi pada orang dan jiwa orang lain. Sehingga semakin dalam memikirkan diri, semakin dalam pula kearifan kita. Dan pada akhirnya diri ini sama dengan orang lain; punya hasrat yang tidak ingin terluka, semua seperti selalu bahagia. 

Bukannya manusia perlu memiliki pengetahuan. Dari pengetahuan itu, manusia punya cara bersikap, berbicara, dan berlaku. Ketiga hal itu bisa kah adil pada diri sendiri atau adil terhadap orang lain. Pada akhirnya keadilan tak seperti halnya yang dilakukan oleh Sukab seorang tokoh dalam cerpen karangan Seno Gumira Ajidarma berjudul "Sepotong Senja untuk Pacarku" Penerbit Gramedia (2010). Asumsiku akan hal cerpen tersebut kalau dipandang secara semiotika bahwa "senja" yang dibungkus oleh Sukab seperti halnya "keadilan" yang semestinya dirasakan oleh banyak orang, bukan malah hanya untuk Alena, orang yang disukai bahkan disayangi. Mengapa demikian, kalau kita cermati apa yang dilakukan Sukab yaitu suatu yang baik, tapi kalau kebaikan hanya berfungsi hanya berlaku pada satu orang, kearifan itu bukan 'baik universal' tapi, kabur dari kata "baik" melainkan "egois". Begitulah sedikit asumsi ngawur-ngawur yang beraturan. 

Tubuh dan Bentuk 

Tubuh sebagai jasad yang tampak akan kehidupan riil manusia, yang akan menjadi tolok ukur ideal manusia dalam bentuk material. Sehingga manusia punya tolok ukur akan kehidupan mengenai standar mengukur material. Hal ini tentu tidak lepas dengan sebuah cara manusia memandang dan kemampuan subjektif punya pangkal ujung. Maka jika ingin memberi sebuah pandangan sederhana mengenai hidup tuk menampilkan akan hal material, tubuh jadi ideal dari kehidupan seorang. 

Saat-saat pertama kali bertemu tentu manusia punya cara dan punya kecenderungan kekuatan memandang hal material lebih konkret. Mengapa demikian karena manusia pada dasarnya suka dengan kejelasan rasional. Walaupun  pada dasar kesadaran manusia tidak hanya pada rasional, namun juga naluri. Letak rasional ada pada otak dan letak naluri ada di hati, jika nanti atau secepatnya kita punya hidup ideal memandang manusia dimulai material, tingkat hidup tersebut pada dasarnya sangat sederhana dan bahkan rendah. Karena hal paling harga bukan hanya yang tampak dipandang panca indera saja, tapi juga jiwa di dalamnya. 

Bentuk merupakan suatu representasi apa yang ada di dalam tubuh. Jika tubuh kekar tentu itu diasumsikan manusia tersebut punya kebiasaan olahraga serta rasa ingin merawat tubuhnya, keinginannya tinggi. Kalau kurus tentu dianggap tidak suka olahraga, olah rasa, dan olah otak--dan cenderung malas-malasan makan tak teratur dan berimbang. Hal itu, mengeluarkan pola pandang Sebab bentuk yang keluar dari diri bentuk laku, bicara, dan adab. Menjadi jalan sekaligus cara hidup manusia. Kalau nanti atau sekarang manusia membuka diri dan bentuknya ketemu, itulah puncak hidup, dia yang terus bahagia. 

Jumat, 17 September 2021

INTELEKTUAL DAN PENGABDIAN


Di dalam akademik diajarkan pelayan setelah selesai di ruang akademik tak kaget menjadi pelayan, pelayan bagi setiap orang, dan itu yang terjadi, walaupun perlu menolak, lantaran hatinya merasa tak punya kelebihan--yang dirasa hanya begini-begini saja dari dulu hingga sekarang-kelebihan dan kekurang dalam diri mengenai kemampuannya- saban setiap orang meminta berbicara di depan tanpa memikirkan, benar atau salah, tak peduli. 


Saat diam dan mencoba meneliti diri sendiri semalam, seduamalam, dan bahkan setigamalam. Jawaban benar dalam diri selalu ditanyakan atau sekedar mengambil perhatian diri. Namun dengan  seperti ini, malu semenjak tahu akan hal kemampuan, dan tahu kelemahannya--yang berulang kali masih sama koreksi diri, meneliti dengan serius. Saat sendiri. 


Suatu hari tentu, saat diam. Malam-malam selalu menyelimuti, benda-benda mati saat itu diam sangat rapi, kecuali perasaan dan rasa masih berfungsi. Di sekelilingku yang paling aktif menandingi sepanjang gerak perjalanan panjang, ia tak pernah pudar dan hindari dalam hidupku. Merasa kalau mengikuti, padahal tidak. Karena . Ia angin yang selalu aktif, daun-daun bergoyang, terus bergoyang hingga ada yang lepas dari tangkai, bukan gegara daun yang sudah lepas uratnya telah mati, daun itu kering. 


Saat merasa ada bayang-bayang mengikuti. Bukan karena terluka. Tapi, semua yang terjadi seperti jalan menemukan tentang hasil dari penelitian diri, semakin dalam ternyata tak sedikit ada pandai. Apalagi hanya sekedar paham tentang cerita alam, sains, atau tentang ilmu humaniora. Masih sangat materialis. Bukan itu, yang paling bahagia dalam ingatan bahkan kebanggaan; melainkan pemahaman yang dangkal tentang bacaan kitab, buku, serta pengalaman yang hanya sepetak. 


Adapun penawaran yang perlu dihadapkan dengan keramaian, membicarakan hal-hal luas atau sempit. Masanya hanya tiga, empat, dan hingga lebih. Tapi, bagiku perlu ke dalaman memahami logika dari beberapa pandangan. Jika nanti dewasa bertemu dengan rasa yang dapat serta mampu menyederhanakan hal tidak sederhana--yang kadang tidak manusia pikir, bahkan dipikir tapi kadang terlupakan. Bahkan itu sangat penting. Begitulah kesederhanaan. Seperti seoeang membuat puisi. 


Joko Pinurbo dalam konteks pembuatan puisi yang jadi masterpiece Alm. Sapardi Djoko Damono mengenai judul puisi "Hujan di Bulan Juni" jika pembuat puisinya membuat puisi tersebut mudah, hanya memainkan kata indah-permainan kata- itu puisi, itu sederhana. Namun, berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Joko Pinurbo "sederhana pembuat puisi bilang sederhana, sebenarnya bukan sederhana prosesnya." Kurang lebih demikian apa yang disampaikannya. Saat berbincang di salah satu media televisi. Diwawancarai oleh Najwa Shihab. Ini menjadi bukti, bahwa sesuatu yang akan disampaikan di depan orang banyak, tak sederhana apa yang dikatakan. Masih perlu adanya persiapan yang baik, dan matang, agar tidak tersesat sendiri atau orang lain. 


Kematangan tersebut punya cara sendiri kita. Ada dengan membuat dirinya tenang dulu, ada ritual spiritual, ketegapan memandang, dan kepercayaan diri, itu modal. Maka setiap kita punya cara menyederhanakan sesuatu paling luar biasa di depan orang maupun belakang. Saat itu dikuasai ada hal yang paling tidak pernah diharapkan, terjadi. Tentang yang orang bingungkan atau inginkan dari pembicara. 

***

Kalau ditarik dari definisi umum. Bahwa setiap orang punya cara paling lucu dan dewasa. Mengambil sebuah sikap tuk mengenal dan merasakan pantas atau tidak. Paling sederhana yaitu untuk menghindari keramaian untuk menemukan sebuah kesucian. Paling tidak orkestra dirayakan saat kondisi tenang, bukan kondisi tegang. 


Saat sendiri, dan mencari-cari teman diskusi atau seorang teman yang dapat menerima segala keluh kesah, tuk jadi tangguh. Seorang yang mampu membuka atau mau memberikan solusi saat hati tak mampu menyiasati yang terjadi atau apa yang telah menjadi luka di hati. Bahkan hanya gundah saat rasa tangguh melemah. 


Cara di atas merupakan cara paling sederhana bagi yang logika dan psikologisnya aman-aman saja. Dan juga tidak masalah dengan hati, diri, dan kebutuhan dari keduanya. Seperti seorang perlu membagi waktu mengisi hati yang tepat atau cepat. Hal ini tak semua orang bisa atasi sendiri. Kecuali punya kendali atas dirinya. 


Saat keputusan awal tahun 2021 memutuskan untuk bisa lebih bisa fokus mengembangkan diri, tanpa keluar dari regu diri. Perlu belajar banyak lagi dan membaca banyak buku, bahkan perlu baca Kitab Bibel, atau beragam bacaan yang belum tersentuh terpenting belajar. Delima terbuka kembali oleh perkataan salah seorang ulama besar kini sedang dikenal di tahun ini, beliau berkata kurang lebih salam kenal benak tafsirku "untuk menjadi orang baik tak perlu kita baik dan suci, kalau sudah diberi amanah berarti dipercayai bisa, hargai apa yang di bisa lakukan, kalau nunggu diri sempurna manusia tidak dapat sempurna. Mulailah lakukan sebisanya." Ujarnya. Hingga dapat membuka diri. Bahwa dengan seperti ini, anggap saja cara belajarnya dengan begini. Mungkin.