Cerita Orang-Orang
Bumi
Gambar: HMJ-PBSI |
Kontributor tulisan: Akhmad, Atya, Nely, Muhkti, Dani, Deri, Putri Amalia, Komariyah, Yoga, Lana, Guntur, Nuri KK, Sifak, Harry, Lia.
Editor: M. Tri Syafaan
Penanggungjawab: Deri dan Muhkti
Ketua HMJ-PBSI: Lana
Rilis tulisan: 29 April 2020
#Prolog
Tulisan ini merupakan narasi kolektif yang sengaja diadakan oleh HMJ-PBSI Unisma. Tidak lain untuk memenuhi kesempurnaan tulisan tidak akan sesuai dengan realitasnya. Kerja koletif untuk menghasilkan teks (karya) hal ini sebenarnya sikap upaya bisa membuka kesadaran diri akan jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesi, tidak hanya mengajarkan teori tentang menulis akan tetapi membuktikan menulis pula, hanya dengan seperti itulah cara kerja manusia untuk menjadi ideal sebagai jurusan pendidikan bahasa dan sastra akan menjadi makna. Tulisan ini semoga bisa menjadi dorongan agar lebih giat belajar untuk persiapan di masa mendatang. Tulisan renyah ini, bisa dijadikan sebuah sajian kepada pembaca, sebab karangan fiksi paling sederhana dan baik bagi pemula.
Editor: M. Tri Syafaan
Penanggungjawab: Deri dan Muhkti
Ketua HMJ-PBSI: Lana
Rilis tulisan: 29 April 2020
#Prolog
Tulisan ini merupakan narasi kolektif yang sengaja diadakan oleh HMJ-PBSI Unisma. Tidak lain untuk memenuhi kesempurnaan tulisan tidak akan sesuai dengan realitasnya. Kerja koletif untuk menghasilkan teks (karya) hal ini sebenarnya sikap upaya bisa membuka kesadaran diri akan jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesi, tidak hanya mengajarkan teori tentang menulis akan tetapi membuktikan menulis pula, hanya dengan seperti itulah cara kerja manusia untuk menjadi ideal sebagai jurusan pendidikan bahasa dan sastra akan menjadi makna. Tulisan ini semoga bisa menjadi dorongan agar lebih giat belajar untuk persiapan di masa mendatang. Tulisan renyah ini, bisa dijadikan sebuah sajian kepada pembaca, sebab karangan fiksi paling sederhana dan baik bagi pemula.
kau orang langit: "mana tahu urusan orang-orang bumi"
Di meja yang terbuat dari kayu jati
berwarna hitam kecokelatan,
di atas meja tersebut ada kopi hangat dan rokok kretek. Aku me-nyebat satu batang rokok, lalu menyemburkan asap ke atas
kepala dengan asap tebal menggulung-gulung ke udara. Setelah aku memutuskan
pensiun menjadi seorang astronaut, aku kembali ke kampung halaman. Wajah-wajah
seperti asing tidak kukenali.
Lalu lalang warga menimbulkan banyak pertanyaan
tentangku; mulai dari mereka
membaca atas kematianku yang telah banyak beredar dari mulut ke mulut, serta
kematian ayah yang ditemukan dalam kondisi mengenaskan di rumah yang kini aku tempati, dan perempuan cantik
berkebaya yang saban bulan datang ke rumah. Semuanya
tak ada hentinya menjadi perbincangan, padahal sepi
tak bersuara ketika aku
belum tiba.
“Kau
ke mana saja baru tiba? Warga
telah menganggap kau tiada.”
“Iya,
sudah tujuh tahun tidak pulang, kakek pernah bercerita pada saat rumah ini kosong!”
Mereka berdua sepertinya akan
mengorek-ngorek keberadaanku. H. Hamdani yang bermuka alim sepulang dari
masjid, aku yakin suaranya yang parau karena
sering berceramah atau menceramahi. Sedangkan satunya, mahasiswa
berparas polos yang mulai bermetamorfosis
menjadi seseorang yang idealis, simpati memandangku. Aku
yakin dia diajarkan atau membaca buku di kota,
dia menimba ilmu di perguruan tinggi. Aku juga yakin dia bukan ahli disiplin ilmu
astronomi. Kalau
pekerja sepertiku,
tidak bisa menentukan waktu untuk pulang, ibarat matahari yang setiap hari
terbit setiap pagi. Tanpa menentukan hari apa, pekerja intelektual berbeda
dengan warga yang bekerja di
sini. Mereka masih bisa menentukan waktu. Pemuda itu bernama Karyoko. Dari
namanya, jelas bukan beragama islam.
“Aku
bekerja. Pekerjaanku berbeda dengan
profesi warga sini. Mereka
masih bisa bekerja tepat dengan rencananya, sedangkan keberangkatanku
tidak bisa ditentukan kepulangannya. Tak ada seorang intelektual
meninggalkan kampung halamannya dan tak ingin kembali!” Aku menjawab dengan wajah lesu, tapi
meyakinkan.
Dan keinginanku mengabdikan diri di kampung
halaman telah terpatri sejak aku duduk
di bangku kuliah. Lalu merantau
menjadi seorang astronaut
bukan berarti enggan untuk pulang, tapi karena ada
misi eksperimen dan penelitian yang membuatku tertahan.
v
Awan masih terang dan matahari juga
masih bergelayut. Namun
bunyi pantulan suara air tiba-tiba
menggema di cuaca yang cukup panas. Aroma
petrikor merebak seolah memberikanku
relaksasi di situasi seperti ini, aku berdiri mempersilahkan mereka berteduh
sejenak di beranda rumahku.
“Ya, ya. Sekalian saja kita bertamu,” ucap H. Hamdani menatapku. Ia melilitkan sorbannya ke leher yang
semula hanya dibiarkan menggantung sembari tangan kirinya menarik kursi di
sebelahku, sementara Karyoko nampak sungkan untuk duduk bersama H. Hamdani dan
aku.
“Sementara
berteduh dulu, Dik. Sambil ngobrol,” selorohku. Ia pun melangkah dan meletakkan
topinya yang terkena noda tanah tepat di sisi meja.
“Terima
kasih,” ucapnya kepadaku.
Aku
mengambil rokok di bagian kiri saku bajuku dan menawarkan kepada mereka. H.
Hamdani mengambil satu, Karyoko
merogoh sakunya sendiri. Saat
rokok itu berada di jarinya,
tiba-tiba saja jatuh mengenai jempol kakinya yang diperban. Sejenak pandanganku terpaku pada
kain perban yang berwarna tanah itu.
“Kena
keong sawah, ya?” tanya H. Hamdani yang ternyata ikut
memandanginya juga.
“Iya,
kemarin,” ucap pemuda itu dengan tenang.
“Rupanya
ayahmu petani?” tanyaku.
“Bukan
petani yang ikut turun ke sawah, tapi ayahnya pemilik sawah yang
berhektar-hektar,”
ucap H. Hamdani dengan sedikit tawa.
“Sepertinya
gerimis hanya lewat saja, saya harus pulang,”
sorot mata Karyoko mengisyaratkan kalau ia
tidak nyaman. Ia meraih topinya dan memasukan
kembali rokok tersebut ke dalam sakunya,
lantas pergi dengan mengucapkan terima
kasih.
H. Hamdani meniup kepulan asap
rokok. “Jadi kau ke mana saja selama ini?” tanyanya.
“Ke sini Ham, kubisikkan sesuatu di telingamu.”
H. Hamdani menggeser kursinya lebih
dekat denganku hingga tiada celah di antara
kita.
“Hmm,
cukup telingamu saja tidak usah kursimu pula kau geser!”
“Ribet
sekali kau ini, cepat katakan ke mana
saja kau selama ini?” H. Hamdani menodongku dengan
tatapan penuh penasaran dan
mata yang melotot tajam.
“Aku
hanya istirahat, menikmati hidup setelah pensiun. Ya, sedikit
membuang-buang uang dengan waktu yang selama ini aku tak pernah nikmati.”
“Kau
pikir aku mudah dibohongi olehmu? Kita ini sudah kenal bertahun-tahun.
Ayo ceritakan ke mana
saja kau selama ini?” H. Hamdani bersikeras menanyaiku,
seolah dia tahu aku sedang membohonginya.
“Benar
Ham, aku hanya menikmati hidupku setelah memutuskan pensiun!”
Matanya terus memelototiku, rasanya
ada pisau yang memenuhi tubuhnya hingga siap menghunusku jika aku ketahuan sedang
menyembunyikan sesuatu.
“Kau
yakin? Tuhan sedang melihatmu mempermainkan lidah, kau tidak bisa berbohong
sedikit pun
di depanku. Jawab jujur agar aku bisa membantumu.”
Aku menghela napas mendengar perkataannya. Kuhisap
lagi rokok yang tinggal setengah jari telunjuk di tanganku, lalu kusemburkan pelan ke wajah H.
Hamdani. Ia mengibaskan asap di depan wajahnya dengan kedua tangannya.
“Sebenarnya
aku sedang bersembunyi, mereka mengincarku karena aku berasal dari desa ini.”
“Apa
yang mereka lakukan terhadapmu?” H.
Hamdani antusias mendengarkan ceritaku. Kujatuhkan
rokok yang sudah hampir habis,
lalu kuinjak dengan kaki kiriku.
“Jadi
begini, Ham. Sewaktu aku melakukan eksperimen dan
penelitian dulu, aku melihat sesuatu di desa ini. Aku tulis semua di bukuku,
tentang eksperimenku. Namun, buku itu diambil oleh sekawanan bedebah.
Eksperimenku dijadikan bahan untuk kejahatan mereka. Otomatis mereka membutuhkanku
untuk kepentingan mereka, tapi aku memilih untuk pergi karena aku pun tak yakin
dengan eksperimenku. Mereka mencariku, membuat pengumuman
tentangku, menjadikan aku orang paling tersorot di seluruh negeri, hingga suatu
saat entah mengapa ada yang mengabarkan tentang kematianku.”
“Tapi
Siergo, kamu harus cari tahu! Akan
kubantu!”
“Tidak
ah, aku ingin hidup damai!”
Aku dan Hamdani larut dalam
percakapan siang itu. Percakapan yang sudah lama tidak
kami lakukan, sebab bertahun-tahun kami tak
pernah bertemu. Tak ada yang berubah dari dirinya,
kecuali kumis dan jenggot yang semakin tebal. Terakhir
aku bertemu dengannya sebelum aku pergi dari desa ini, wajahnya masih bersih tanpa kumis
dan jenggot yang membuat aku sedikit geli, seperti ulat bulu yang merayap dalam
tubuh. Ah, aku harap dia tidak mendengar
suara hatiku yang sedang meledeknya,
bisa-bisa petir akan menyambar di siang bolong ini, dan membuat desa menjadi
gaduh.
“Siergo, apa kamu tidak melihat ada yang
berubah dari desa ini?”
“Tentu aku melihat, Ham! Aku ini tidak buta!”
“Lantas, perubahan apa yang kamu lihat dari
desa ini?”
“Ah masak begitu saja kamu
pertanyakan, Ham! Tentu perubahan Siti yang sangat menakjubkan itu.
Kemarin waktu aku melihat dia di warung,
senyumnya begitu manis dan tidak seperti waktu terakhir aku bertemu dia. Ah,
kalau saja aku tahu dia akan semanis ini, tidak mungkin dulu aku menolak
pernyataan cintanya. Hahaha.”
“Dasar kamu ini Siergo! Saya
ini sedang serius. Apa kamu tidak melihat banyak yang berubah dari desa ini?”
Aku hanya memperhatikan wajahnya
yang mulai kesal karena ulahku, asap rokok yang mengepul di depan wajahnya
tidak lagi ia pedulikan. Aku
sebenarnya sudah paham ke mana
arah pembicaraan Hamdani. Aku mengerti ada yang aneh dengan
desa ini, hanya saja aku ingin mendengar cerita Hamdani tentang desa ini.
“Okelah, Ham. Ayolah kamu ceritakan! Aku
baru sampai di desa ini, aku belum tahu pasti apa
yang berubah dari desa ini, kamu yang lebih tahu.”
“Coba
kamu perhatikan sawah-sawah itu,
Siergo!”
Hamdani menunjuk sawah-sawah yang
ada di hadapan kami, tangannya mengepal dengan telunjuk mengarah ke sawah diikuti
pandangan mata yang meyakinkan.
“Lihatlah sawah-sawah itu, gersang
dan tandus. Jangankan padi, rumput saja tidak bisa tumbuh di sawah itu. Sudah
beberapa tahun ini penduduk desa tidak
bisa menanam padi dan menikmati hasil panen yang melimpah seperti dulu. Sebagian
petani ada yang memilih menjual sawahnya ke kepala desa dan sebagian membiarkan
sawahnya seperti itu, dengan harapan suatu hari nanti sawahnya kembali subur.”
Aku mendengarkan cerita Hamdani
dengan saksama, garis di keningnya
semakin terlihat, menggambarkan keresahan dan mungkin kesengsaraan yang ia
rasakan beberapa tahun belakangan ini. Aku
tidak tahu pasti apa yang terjadi pada desa ini, memang sawah sepanjang jalan
yang aku lewati terlihat tandus, kering, dan gersang. Padahal beberapa hari
waktu aku kembali ke desa ini, hujan mengguyur begitu derasnya, sampai-sampai
jalan yang aku lewati becek dan penuh genangan air.
Sepulang H.
Hamdani dari rumahku, aku memikirkan bagaimana semua
ini dapat terjadi. Desa yang dulu hijau terpandang,
wangi saat dihirup,
sekarang yang terlihat mataku adalah kering, panas, tidak ada sawah yang hijau, apalagi padi yang
menguning. Lantas aku berpikir bagaimana ini dapat terjadi, masalah pengairan
yang sudah berjalan sepuluh tahun lamanya di Bukit
Selok aku pikir masih baik-baik saja, toh di sana ada Sumber
Senggani yang tidak pernah asat air
sumbernya, hingga aku mati pun tetap percaya Sumber
Senggani tidak akan kering.
Hatiku mulai resah mengenai
keanehan yang sedang terjadi di desaku ini, apakah aku saja yang terlalu kota hingga lupa cara melihat persawahan
yang subur, melihat tanah yang gembur.
Apakah
aku telah melupakan
tulisan eksperimenku? tanyaku dalam hati.
Aku berpikir aku sangat mahir dalam
pengairan, mana mungkin aku asal-asalan
dalam menulis di buku eksperimenku. Jika saja buku eksperimenku tetap di
tanganku, mungkin aku tidak seresah ini melihat desaku yang seperti ini," rengekku sambil mengelus
dada.
Malam semakin larut, kini aku
menikmati lantunan suara jangkrik jantan dan betina yang sedang adu pantun, yang sedang menghiasi
malamku di kampung. Tidurku tak nyenyak. Aku besok ingin mengobrol dengan Pak Kades akan hal ini.
v
“Tolong, tolongggggggg!” ada yang ramai di luar sana, jelas sekali
ini suara warga yang
tengah menghadapi masalah.
Arrgggghhhh bahkan baru satu jam yang lalu
terlelap. Kuraih apapun benda yang bisa kugunakan untuk menolong nantinya.
Golok yang sudah berkarat, adanya itu.
Sampai di luar rumah berjarak
sekitar 2 km, ada beberapa orang yang tengah
sibuk di sebuah sawah. Apa yang
mereka lakukan, bukankah hari masih terlalu dini
untuk bertani. Haruskah para petani menjadi kelelawar hanya untuk sesuap nasi, sebab sawah yang kering kerontang
butuh tambahan asupan.
Eh,
kemana orang yang tadi meminta tolong?
apakah petani-petani itu yang sudah menolongnya?
“Pak
permisi, tadi ada yang....”
pertanyaan yang tidak bisa aku selesaikan setelah melihat keadaan sawah yang
telah berubah. Tanah yang sangat subur bahkan
beberapa sawah lainnya sudah penuh dengan padi yang mulai tinggi.
Sejak kapan tanah ini berubah
kondisi?
tanyaku pada diri sendiri. Apakah keajaiban Tuhan sudah datang?
“Pak
permisi, tadi saya mendengar suara minta tolong. Apakah bapak dan yang lain sudah
menolongnya?”
Lelaki tua itu tak langsung
menjawab. Ia hanya terus memandangiku dengan sorot mata bertanya, seakan berpikir keras untuk
memutuskan sesuatu.
“Kami
yang membuatnya berteriak minta tolong,”
ucapnya kemudian.
“Maksudnya?”
“Sudahlah
pergi kau sana!”
“Pak, tolong berbicaralah dengan jelas!”
“Lihat
saja dia di sana!”
sambil menunjuk sebuah sumur tak jauh dari sawah. “Dia telah menyimpan bibit padi yang
ingin kami tanam dalam mulutnya. Ketika
kau ke sana,
lihatlah nanti perutnya yang besar berisi air. Lihatlah kalau kau mau, dia ada
di balik sumur itu dengan bajunya yang berwarna hijau kekuningan. Aku tak membunuhnya, aku hanya menendang perutnya,
mencoba memaksa air yang
ada dalam tubuhnya keluar. Kalau hal itu tidak kami lakukan, sawah kami akan tetap kering
kerontang. Jadi...”
Belum selesai lelaki tua itu
berbicara, sebuah batu melayang ke arahku, aku menghindar dan....
Bukkkk
Ah, aku terjatuh dari atas ranjang.
Sebuah mimpi yang aneh. Mungkin ini karena semalam aku terlalu banyak berpikir.
Tapi siapa laki-laki yang ada di balik sumur itu. Mimpi
yang panjang, tak sadar terik sudah memenuhi ruangan. Aku segera mempersiapkan
diri, kemudian bergegas pergi ke rumah Pak Kades.
v
Setelah menutup pintu rumah, spontan aku melihat ke arah sawah yang sudah
bisa dipastikan berbanding jauh dengan yang ada dalam mimpi. Aku
mempercepat langkahku agar segera sampai. Setelah
kakiku berhenti,
langsung kuketuk pintu pemilik rumah. Butuh tiga kali melakukan hal yang
sama sebelum akhirnya pintu dibuka. Kebetulan sekali Pak Kades
sendiri yang membukanya. Aku beruntung.
“Wah, kau Siergo yang katanya baru
datang itu ya?” tebaknya sambil mempersilakan aku
duduk.
“Iya, Pak!”
“Ada
apa kau sampai bertamu kemari?”
“Ada
yang ingin saya bicarakan, Pak...”
“Minumlah dulu!”
potongnya setelah melihat istrinya mendudukkan dua
cangkir berisi kopi di depan kami.
“Perihal
keresahan warga yang tidak bisa ditoleransi lagi, Pak. Hal-hal yang saya berharap bapak
bisa mengatasinya, juga ada hal
lain yang ingin saya tanyakan hari ini,”
entahlah aku selalu malas basa-basi jika berbicara dengan petinggi macam
ini.
Pak Kades
diam, seakan menerawang dan berpikir panjang. Aku menunggu, memperhatikan
geriknya, sesekali memberikan kesempatan agar ia bisa meneguk kopinya.
“Lain
waktu saja, sebab sebentar lagi ada pertemuan yang harus saya hadiri,” ucapnya seperti menyembunyikan
sesuatu.
“Tapi, Pak...”
Pak Kades
melihat jam tangannya, sebuah tanda yang katanya digunakan seseorang sebagai
bentuk pengusiran halus. Bahkan aku belum menanyakan apapun tapi ada yang
janggal.
Mataku terpaku pada tumpukan buku-buku Pak Kades. Di sana sepertinya ada sebuah
buku berlogo astronaut.
Sejenak mengingatkanku tentang perjalanan-perjalanan
menyenangkan di udara. Tak bertemu manusia, tak bertemu kemunafikan, dan tidak ada pengusiran dan
penggusuran satu sama lain. Hidup hanya berkalang kostum memandang kaca-kaca
berdecit dan tombol-tombol canggih. Lebih dekat dengan rembulan yang kabarnya
pernah terbelah. Sekarang rembulan sudah tak terbelah. Sudah bersatu.
Aku termenung sepersekian detiknya,
hingga di depanku sudah ada Pak Kades yang lengkap dengan
pakaiannya. Kurasa aku merenung cukup lama. Mungkin begitulah kerja ingatan, ia
lebih memotong durasi kenyataan. Aku gagal berbicara sesuatu. Dia sudah mengendarai
motor win plat merah.
v
Aku pulang melewati pematang sawah.
Melihat orang-orang mulai mencangkul. Entahlah
mereka mencangkul untuk apa juga. Atau berharap ada air. Tiba-tiba mataku
gelap. Tak terlihat apa-apa. Aku tiba-tiba duduk di hadapan
dua orang berpakaian hitam seperti ninja. Di
ruang yang pengap itu, dua
orang itu mendekat mendatangiku dari arah depan. Aku
berteriak.
“Hamdaaaann, Karyokooo, ada apa iniiii?”
“Aku
dan Haji Hamdani
ingin kau mengaku di mana
letak buku yang katamu tentang perairan,” ujar Karyoko.
“Buku
itu hilang!”
“Hilang
atau memang sebenarnya tidak ada?”
tambah Hamdani.
“Kita
semua memiliki tujuan yang sama,
kan? Untuk mengembalikan perairan desa ini,” Karyoko mendesakku.
“Memang
iya, lalu apa?”
“Dugaanku
gini, kau orang bergeliat di langit mana
bisa mengerti urusan orang di bumi, tidak mungkin juga kau bisa menulis tentang
perairan,” kata Hamdani
“Yaa,
kau juga orang langit,
Ham! Kau
mengurusi apa yang terjadi di langit. Tempat Tuhanmu bertakhta. Kau sudah menebak dan mengira
apa yang terjadi di atas langit yang sudah aku jelajahi. Kau juga menerka
urusan yang sebenarnya bukan urusanmu. Bahkan itu urusan Tuhanmu.”
“Jadi
gini, Pak...” Karyoko
memotongku
“Kau
juga, Le! Kau hanya manusia penyembah logika
paling paripurna. Bercuap-cuap saja tanpa ada bisa memberi apa-apa. Kau tau?
Kamus telah mati! Semenjak politisi sudah bebas menafsirkan dengan maunya
sendiri. Sekarang setelah kau pulang kampung atau katakanlah mudik. Kau di
rumah sudah memberi arti kata pulang apa? Haa tidak tahu? Mahasiswa hanya bisa
turun di jalan. Berteriak anti kapitalisme di sela-sela baju-baju branded
itu. Lihat para koalisi anti kapitalisme yang dipimpin
oleh bapakmu itu? Mereka bekerja
di tanah mereka sendiri. Memakai kaos pupuk atau partai. Tak berkalang siapapun, mereka itulah yang merdeka atas
kapitalisme.”
“Lalu
jika kita semua dirasa tidak mumpuni, lalu siapa yang sebenarnya bisa melawan
semua ini?” Hamdani
mengejarku dengan pertanyaan.
“Ya
sudah jelas mereka adalah orang-orang Asli
bumi. Hidup dari bumi, bahagia dengan apa yang tumbuh di bumi. Diinjak-injak
bagai bumi. Kita hanya jembatan untuk mereka.”
Aku meminta mereka untuk tenang. Kujelaskan pada mereka bahwa di sini sebenarnya ada pembelokan air
sumber. Irigasi dibuat melintas ke desa sebelah. Dan di desa sebelah ada
praktek perdagangan air tangki untuk warga kota. Mereka paham dan akhirnya
melepaskanku.
Aku pergi dan berpesan. “Besok mulailah bekerja sesuai
fungsi kalian, segera bukalah semua ini.”
Dan keesokan harinya, mereka tidak
menggubris apa yang aku ungkapkan kemarin. Dua orang yang berpakaian seolah
ninja yang ternyata Karyoko dan Hamdani lebih memercayai konsep literat menurut
buku yang didapat Karyoko selama kuliah.
Petani terus menggali tanah,
berharap pada simpul kedalamannya mereka menemukan
air yang memancar. Sebab menurut Karyoko dalam ilmu pertanahan, tanah itu
terbagi atas beberapa lapisan dan pada salah satu lapisannya tersimpan
air.
Aku lalu teringat bukuku yang
kukatakan hilang telah dicuri oleh orang-orang
di kota. Padahal sebenarnya aku menyimpan buku itu, pada salah satu dek di pesawat antariksaku. Aku
sengaja menyimpannya karena orang-orang
di desa terlalu tamak urusan air. Aku ingin mengabdi pada desa dengan caraku
sendiri, tidak terlalu banyak mengambil konsep dalam buku yang aku karang. Karena bagaimanapun buku
itu sempurna, pemikiranku harus turut terlibat guna menyelaraskannya pada
kenyataan.
Aku tidak mau memberikan buku itu
pada siapapun, termasuk pada Hamdani,
Karyoko, atau Pak Kades. Sekalipun timbal baliknya aku akan diberi kesenangan
duniawi apapun, aku tetap tidak akan memberikan buku itu pada
siapapun.
Aku adalah orang yang cukup skeptis
dengan kebaikan H.
Hamdani, ia berniat membantuku menemukan buku yang sebenarnya tak hilang itu. Akan tetapi ia begitu memaksa, seolah ia
ingin menguasai dunia perairan.
Jika dulu aku pernah bercerita
tulisan di buku hanya sebatas eksperimen desa ini, dan saat ini telah dimiliki
oleh para bedebah guna melakukan kejahatan. Heh, dasar Siergo ini, aku yang
dianggap mereka terlalu polos. Padahal, dalam buku itu aku menulis dengan
kompleks soal konsep menguasai dunia. Aku
tak mau buku itu sembarang jatuh di tangan orang.
Ya jelas bisa menguasai dunia,
sebab dunia ini terdiri dari 70% air. Barang siapa mampu menguasai air, ia akan
menjadi penguasa dunia. Namun
sebenarnya pembahasan mengenai air hanyalah secuil dari pemikiran-pemikiran
yang pernah aku renungkan. Buku itu sangat kompleks, bahkan
lebih kompleks dari Das Capital milik
Marx. bahkan guna menyempurnakan pemikiranku
tentang pertanian, aku harus pergi
ke desa-desa lain. Dan Archimedes, oh ya aku hampir lupa.
Sebagian besar teori soal air banyak berkaca pada Archimedes, ya tokoh dari
Yunani yang namanya sangat tersohor seantero dunia. Aku sudah khatam Archimedes
sejak sebelum masa SMP.
Jadi aku paham betul semua konsepnya. Buku itu kompleks tak bisa jatuh pada
sembarang orang, termasuk keserakahan H.
Hamdani atau kesoktahuan Karyoko, Apalagi hanya Pak
Kades yang tak menggubris rakyatnya itu.
Selama
ini memang aku melihat pemandangan
yang amat kontras telah terjadi di desa ini. Sawah yang kaya melimpah dengan
sedikit konsep perairan yang kuberikan telah dibelotkan oleh orang desa
sebelah. Sementara orang desa ini, belum juga sadar dan terus mencari cara baru
untuk mencari air. Mereka bukannya melakukan diplomasi atau penuntutan pada
warga desa sebelah, mereka lebih sibuk mengupayakan agar jadi orang berpengaruh
di desa. Pak Kades telah tak peduli pada rakyatnya, H. Hamdani sibuk cari penghormatan,
Karyoko sibuk membuktikan ilmu yang diperolehnya.
Aku
kembali berjalan menuju arah
persawahan, ternyata benar petani tak ubahnya
kerja romusha pada zaman Jepang. Mereka
terpaksa terus menggali guna memercayai omongan Karyoko yang jelas belum
sekalipun melakukan eksperimen pembuktian. Dari arah kejauhan, aku melihat H. Hamdani tengah bercakap dengan Pak Kades dan Karyoko.
“Sier, Siergo, ke
sini kau!” nada keras datang dari suara Pak Kades. Aku berjalan santai
menghampiri obrolan yang nampak serius itu.
“Ada
apa Pak Kades?” tanyaku
dengan nada yang dikenal orang kampung sedemikian polos.
“Buku itu, kamu orang langit, bukan
aku tak tahu kau pandai berkelit…”
ucap Karyoko.
“Buku itu memang tidak ada kan?” tandas H. Hamdani dengan cepat
“Sudah, sudah. Kalian
belum sadar juga melihat pemandangan romusha ini. Kemarin sudah jelas awal mula
air di desa kita mengalami kekeringan. Sementara kalian masih sibuk berdebat
dengan buku, padahal manusia telah dianugerahi otak guna berpikir.”
Bruakkkkk
Dari
kejauhan seorang perempuan renta terjatuh, nampak ia kelelahan kekurangan air.
Sementara pekerjaan untuk mencari sumber baru harus terus dilakukan. Ironi,
mereka terus berusaha mencari yang abstrak, bukan menemukan solusi
kepastian. Dengan berat hati, aku harus mengungkapkan pada mereka semua
bagaimana menemui semua jalan keluar dari permasalahan ini.
“Cepat tolong perempuan itu!” teriak Pak Kades
Tanpa basa-basi H. Hamdani, Karyoko, dan Aku menolong
perempuan tak berdaya itu. Pak Kades datang dengan muka slengean tiba-tiba
berteriak.
“Kalian lihat perempuan ini! Ia kelelahan karena kekurangan air.
Wajahnya pucat, bibirnya kering. Apa
kalian tidak merasa kasihan melihatnya?”
“Ya kasihan, Pak Kades,” jawab mereka serentak.
“Lha maka dari itu kita gotong
royong mencari sumber air yang bisa dialirkan ke kampung, jangan malah berdebat masalah buku.
Rendahkan ego kalian, kita
bekerja sama!”
“Cepat bawa perempuan itu ke gubuk,
aku membawa air mineral di motorku.”
Mereka berbondong-bondong membawa
perempuan itu pergi ke gubuk. Pak Kades memberinya
air agar badannya terasa enakan.
Pak Kades mempunyai sebuah ide mencari sumber mata air di sebuah ladang yang
ada di lereng gunung,
jauh dari kampungnya. Aku, H. Hamdani,
dan Karyoko tak bisa mengelaknya karena
ini demi kampung agar bisa
dialiri air. Kami mengikutinya di belakang Pak Kades. Sepanjang jalan, kami
terus saja berbicara. Tak lama kita berjalan, aku
mencium bau yang tak sedap yang menghampiri batang hidungku.
“Eh, kalian mencium bau belerang
gak?“ ujarku bisik-bisik ke H. Hamdani dan Karyoko.
“Eh iya, bau sekali. Aargghhh...
ndak kuat aku,” jawab H. Hamdani sembari menutup
hidungnya.
“Mungkin ini bau belerang gunung
kali,” jawab Karyoko.
“Noh, lihat
gunungnya masih jauh. Mana mungkin bisa bau sekali, deket
lagi baunya,” ujarku.
“Kayaknya bau mulutnya Pak Kades
dari tadi ngoceh terus gak berhenti, coba kamu dekati Pak Kades, Sier,”
jawab H. Hamdani.
“Emmphh, benar katamu Ham, itu bau mulutnya
Pak Kades,” jawabku.
“Hmm…
pantesan dari tadi bau belerang,”
jawab H. Hamdani.
“Ssstttt, sudah-sudah kita lanjutkan
perjalanannya, tutup hidung kalian dengan baju,”
ujar Karyoko.
Kami pun melanjutkan perjalanan
kami. Dari jalan, kami bisa melihat para petani sedang mengurusi tanamannya.
Para peternak sedang menggembala kambingnya, dan banyak orang-orang kampung
yang sedang mencari rumput untuk sapi-sapi mereka.
Untuk sampai ke ladang, kami
harus melewati jalan naik dan sedikit terjal. Semakin naik, pemandangan yang
terlihat semakin indah. Kami terus berjalan. Selang beberapa jam, kami sudah
sampai di ladang dekat lereng gunung. Dari kejauhan, tampak pohon-pohon yang
hampir kering karena terkena teriknya sinar matahari. Aku dan H. Hamdani pun mendekati pohon itu.
Tak salah dugaan kami, di bawah
pohon itu, terdapat banyak ranting-ranting kering. Lalu kami memungutinya
sambil memilih bentuk yang menurut kami bagus. Lumayan,
bisa digunakan untuk tongkat pegangan agar tidak terlalu capek ketika
perjalanan terus menanjak. Namun tiba-tiba sebuah lempeng di dataran
yang tidak terlalu tinggi longsor dan menutup jalan kami. Seolah suatu
pertanda, tidak ada suatu jawaban di gunung. Karyoko yang lebih dekat dengan
lempengan longsor, seolah sakit dada karena begitu kagetnya ia dalam situasi
itu. Sementara Pak Kades mencoba menenangkannya yang
mulai kehilangan irama normal jantung yang berdetak.
“Bawa
ke sini Karyoko. Di situ lebih berpotensi mengalami
longsor lagi!” suruhku kepada Pak Kades
yang hanya melihat dan mengelus punggung Karyoko.
“ Mungkin
kali ini tidak usah dilanjutkan terlebih dahulu. Melihat kondisi Karyoko juga
belum membaik,” ucap
Pak Kades.
Mungkin benar apa yang dikatakan Pak Kades.
Tapi aku yakin masalah ini akan segera terungkap. Malam hari setelah perjalanan
itu, aku pergi ke rumah Pak Kades.
Aku yakin, sebagai pemimpin ia lebih tahu seluk-beluk
dan hubungan apa saja mengenai desa ini.
v
“Malam, Pak!
Saya hanya ingin tahu mengenai
keadaan desa yang semakin buruk ini. Karena saya yakin Bapak selaku kepala desa paham betul
apa yang tengah terjadi di desa kita, Pak!”
“Tidak
sopan sekali kamu datang malam-malam. Bukankah kamu pernah diajarkan ibumu
bertata krama? Dan lagian hari ini saya sangat sibuk!”
Firasatku memburuk. Entah kenapa
setiap kita bertatap muka dua orang saja, Pak Kades menjadi orang yang tertutup
dan mencurigakan. Seakan menutupi sesuatu yang tengah terjadi, apalagi membicarakan masalah desa
ini. Lama kelamaan masalah ini seperti drama sinetron televisi yang begitu tak
terhenti walaupun terlihat membosankan.
Ketika aku beranjak pergi dari
kediaman Pak Kades,
aku mencium bau belerang yang sangat menyengat. Aku yakin kalau Pak Kades
sudah menyikat giginya. Dan dia pun
sudah mencuci badannya. Dengan alat penciuman dari tuhan, aku mengikuti
asal-muasal bau itu. Dan benar,
bau itu bersangkut pautan dengan apa yang terjadi di lereng tadi. Tidak tanpa
cara aku begitu saja bisa mengetahui hal ini, akan kupecahkan masalah ini
dengan masalah juga.
Masalah dengan masalah akan
menemukan titik, titik masalah, itu yang ada dalam benakku setelah
pulang dari rumah Pak Kades.
v
Di malam yang tak terasa ada bulan
dan bintang di atas sana, aku masih tak habis pikir jika desa ini menjadi
lumbung masalah. Dulunya
desa ini terkenal dengan hasil tanam warga yang melimpah, kini hanya menjadi lumbung masalah
yang banyak dan tidak sedikit yang menyadarinya. Inginku seperti dulu dengan
apa adanya dengan kesederhanaannya, aku berpikir
tidak ada hari esok yang indah jika dibalut dengan banyaknya masalah. Asap
rokok kupandang dengan jelas, dia menari ke sana ke mari seakan tidak ada beban. Seperti asap rokokku, aku ingin hidup berdamai dengan
semua, bahkan Yang Maha
Kuasa.
“Tok...
tok... tokkk...”
“Selamat
malam, Sier. Aku sudah tau keberadaanmu mulai
pertama kali kau injakkan
lagi kakimu di desa ini,” ucap Siti
dengan nada lembut dan sedikit berpaling dariku.
“Aku
tau sudah banyak hal yang terjadi disini, tapi aku…”
“Sudah
jangan kau teruskan lagi, aku hanya ingin mengingatmu dengan cukup sekejap
melihatmu,” saut
Siti setelah ingin kuungkapkan segalanya.
Dia pergi dengan meninggalkan
sepucuk senyuman kecil untukku, aku ingat dulu kenangan banyak yang kukumpulan sebelum aku sibuk dengan
segala urusanku, urusannya, dan urusan yang sekarang tidak menghasilkan apapun untukku, untuknya, dan untuk
semua yang ada sekarang. Akan
kuteruskan memecahkan masalah ini, aku
yakin semua akan selesai tanpa ada yang terluka.
“Terima kasih malam, kau telah mendengarkan
aku bersenandung, meski tak bersamanya, mungkin lebih lengkap jika bersamanya.
Hehhh...” aku terus membayangkan dan
mengungkapkan isi hatiku sekarang kepada siapapun, jika tidak seperti mungkin
aku akan gila dengan keadaan yang seperti ini. Selepas itu aku tidur dengan
berharap mimpi yang indah dan harapanku mimpi itu menjadi nyata.
Esok hari setelah matahari mulai
meninggi dan burung-burung mulai beterbangan ke sana kemari. Aku terbangun dari ranjang.
Suara ketukan pintu terdengar. Aku
berharap kali ini Siti yang datang kemari membawakan sarapan pagi.
Setelah aku buka pintu tua itu.
Memang benar, Siti yang datang. Siti datang
dengan wajah yang
terlihat ketakutan setelah mendengar percakapan antara Haji Hamdani, Pak Kades, dan pihak perdagangan air
tangki dari desa sebelah. Kusodorkan
gelas air putih kepadanya, paling
tidak ketika aku selama ini tidak bisa membuatnya senang, untuk kali ini saja aku bisa
membuatnya tenang.
Setelah air putih ia minum. Ia
mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pagi tadi. Ketika ia hendak pergi berbelanja untuk bahan masakan, ia melewati rumah
Pak Kades dan secara tidak sengaja mendengar percapakannya. Ia
menceritakan bahwa Haji
Hamdani dan Pak Kades
telah bersekongkol dengan pihak perdagangan air tangki. Mereka berencana
membeli sawah-sawah petani dengan harga yang sangat miring ketika para petani
mulai terhimpit ekonominya dengan menyebarkan isu bahwa sawah-sawah itu sudah
tidak bisa tumbuh lagi.
Esok hari ia mulai membeli
sawah-sawah mereka. Jika sudah terbeli, mereka juga berencana untuk membangun
pabrik besar-besaran di sekitar sana, dan mulai menjalankan sistem kapitalis.
“Tapi
tenang,” ucap Siti. “Aku
sudah merekam dan memotret pembicaraan dan transaksi mereka untuk dijadikan
bukti.” Lanjutnya dengan raut wajah yang
semakin menarik perhatian.
“Baiklah, langkah yang bagus!”
“Sebaik-baiknya
manusia ialah yang melawan ketika melihat ketidakadilan, Siergo!” ucapnya
semakin yakin.
Esok hari setelah transaksi mereka
mulai dilakukan, banyak petani yang hanya bisa pasrah. Hanya ini satu-satunya jalan untuk
bertahan hidup menurut mereka. Sawah-sawah mulai dijual dengan harga yang
sangat murah.
Di samping itu, setelah satu jam
proses transaksi mulai dilakukan. Mereka tidak sadar bahwa banyak polisi yang
menyamar di sekitar. Kemudian dengan sigap polisi mulai menangkap mereka
bertiga.
Pihak dari perdagangan air sedikit
melawan, sebelum akhirnya mereka dimasukkan
ke mobil. Disusul
dengan Haji Hamdani
dan Pak Kades
dengan wajah sedikit dendam ketika melihat wajahku.
Setelah proses terjadinya
penangkapan selesai. Para polisi berterima kasih kepada kami berdua yang telah
melaporkan kejadian kejahatan ini. Aku berharap agar kasus ini diproses dengan seadil-adilnya,
mengingat hukum di negeri ini yang sedikit karet ketika para petinggi mulai
dibenturkan dengan uang. Kemudian aku mengucapkan berterima kasih kepada
petugas yang berwenang sebelum meninggalkan lokasi.
Sore hari di gubuk tua yang
terletak di tengah sawah. Senyumannya terlihat indah dengan ditemani sinar senja. Siti, salah satu alasan yang membawaku
untuk pulang, sekarang berada di sampingku.
Setelah kejadian di desa ini telah
selesai dan para warga terlihat bahagia setelah sawah-sawahnya kembali subur. Terlihat para warga
mulai semangat untuk menyiapkan acara selamatan desa sebagai kegiatan bersyukur
kepada Tuhan yang masih mengizinkan untuk bertani lagi.
Ketika ingat senyum itu, senyum
yang tak lagi kulihat, yaaah beberapa tahun yang lalu. Pada saat di mana aku akan beranjak pergi dari kampung
untuk mewujudkan sepucuk cita. Ia begitu tidak terang-terangan menampakkan
senyumnya, namun aku selalu bisa menemukannya. Senyum yang berbeda dari
gadis-gadis desa pada umumnya. Aaahhh, ingin sekali kulihat senyumnya itu
sekali lagi. Tapi angan tetaplah angan, yang
tetap jadi bayangan ketika memikirkan beberapa kenangan.
Oke, balik lagi ke permasalahan
yang sudah tak lagi jadi masalah. Melihat warga semangat untuk mengadakan acara
selamatan desa, aku merasa sangat bahagia. Mereka adalah segelintir korban dari
penguasa yang gila akan kekuasaan dan harta kekayaan tanpa memikirkan nasib
orang yang hidup karena persawahan. Aku bahagia, karena sudah tak ada lagi yang
mematikan sandang pangan papan mereka lagi. Acara selamatan dimulai, warga
datang beramai-ramai ke sebuah balai yang ada di
desa.
Keesokan harinya, sawah mereka
berangsur-angsur mulai tergenangi oleh air.
Warga kembali bekerja seperti sediakala, tak ada lagi mencangkul untuk mencari
air. Kulihat beberapa petugas keamanan datang lagi ke desa untuk menjemput tiga manusia yang telah menipu banyak
manusia yang ada di desanya. Mereka yang
tempo hari sempat dibawa, ternyata katanya hanya dimintai keterangan dan
kemudian dikembalikan pulang. Dan entah firasat buruk apalagi yang
sedang terngiang-ngiang. Petugas-petugas
itu sekarang hanya membawa H. Hamdani dan pihak dari perdagangan air.
Setelah mereka dibawa, suuzanku
muncul lagi, “Kenapa Pak Kades tidak ikut bersama mereka?”
Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa gelisah. Kucoba untuk sedikit tenang dan
berpikir bahwa ini hanya perasaan saja,
tidak akan terjadi apa-apa. Aku berjalan mengelilingi kampung untuk
meredam rasa gelisahku ini. Ketika lewat di depan rumah Siti, rumahnya terlihat
sepi. Kakiku tiba-tiba saja melangkah menuju rumah Siti.
Tok tok
tok…
“Permisi, Siti ?”
Sampai beberapa kali aku mengetuk
pintunya dan tidak ada jawaban. Setelah kulakukan sekali lagi, akhirnya terdengar
suara wanita yang familiar dan membuat rasa gelisahku tadi hilang. Dibukanya
pintu itu, kulihat paras manisnya, rambut hitam yang masih sedikit basah.
Mungkin ia baru selesai bersih-bersih. Kemudian ia mempersilahkanku duduk, tak
lama kami berbincang, kemudian aku pamit untuk pulang. Rembulan sudah
menampakkan keelokannya, rasa damai yang kembali datang ke Desa.
Hari demi hari berjalan, tapi aku
merasa ada yang aneh. Dua
hari belakangan ini aku tidak melihat
Siti sama sekali. Kucoba menengoknya, siapa tahu ia sedang sakit atau
kenapa. Sama seperti keadaan ketika rasa gelisahku melonjak, rumahnya sepi
seperti tiada tanda-tanda
kehidupan. Kuketuk pintunya sampai entah berapa kali aku mengetuknya, tapi
tetap saja tak ada jawaban. Ketika aku mencoba untuk mendobrak pintunya,
ternyata pintunya tidak terkunci. “Bau tak sedap ini berasal dari mana?” ucapku
sambil menutup hidung. Setelah kutelusuri, baunya berasal dari arah dapur. Bau
yang berasal dari mayat wanita yang tergeletak di lantai, yang ciri-cirinya amat aku
kenal. Siti telah meninggal, ada beberapa bekas luka tusukan, dan luka lebam
yang mungkin disebabkan oleh benturan ataupun berasal dari benda tumpul. Benar
sekali, itu adalah senyuman terakhir yang ia berikan kepadaku. Aku meminta
tolong kepada warga sekitar agar jenazahnya segera disucikan kemudian
dikuburkan. Tapi, masalah perairan di desa sudah tidak pernah muncul lagi.
#Epilog
Kepada semua yang telah membaca jangan terkejut ketika membaca mengalami hal yang tidak wajar dengan karangan tulisan pada umumnya, sebab tulisan ini disambung secara spontanitas melanjutkan paragraf satu ke selanjutnya. Terima kasih kepada semua yang telah berkontribusi, kegiatan ini upaya kita untuk mengingat lupa, dan pada masa 2020 ini kita mengalami goncangan besar dunia ini dengan datangnya pandemi covid 19 ini mengalami sebuah ketidak wajaran berpikir serta semua hal-hal khususnya dalam program kerja organisasi akan terhambat. Jika kita tahu sebuah fragmen akan menjadi kronik dalam sejarah nanti. Ketika masih ada orang merelakan dirinya mengambil pena untuk menulskannya, dan pradapan akan datang selalu memiliki pandangan dengan apa yang telah terjadi hari ini. kelas sambung fiksi kini telah menjadi teks utuh yang lepas dari penulis dan makna ditentukan oleh pembaca.