Rabu, 29 April 2020

Kelas Sambung Fiksi I Bersama HMJ PBSI Unisma


 Cerita Orang-Orang Bumi

Gambar: HMJ-PBSI
Kontributor tulisan: Akhmad, Atya, Nely, Muhkti, Dani, Deri, Putri Amalia, Komariyah, Yoga, Lana, Guntur, Nuri KK, Sifak, Harry, Lia.
Editor: M. Tri Syafaan
Penanggungjawab: Deri dan Muhkti
Ketua HMJ-PBSI: Lana
Rilis tulisan: 29 April 2020

#Prolog 
Tulisan ini merupakan narasi kolektif yang sengaja diadakan oleh HMJ-PBSI Unisma. Tidak lain untuk memenuhi kesempurnaan tulisan tidak akan sesuai dengan realitasnya. Kerja koletif untuk menghasilkan teks (karya) hal ini sebenarnya sikap upaya bisa membuka kesadaran diri akan jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesi, tidak hanya mengajarkan teori tentang menulis akan tetapi membuktikan menulis pula, hanya dengan seperti itulah cara kerja manusia untuk menjadi ideal sebagai jurusan pendidikan bahasa dan sastra akan menjadi makna. Tulisan ini semoga bisa menjadi dorongan agar lebih giat belajar untuk persiapan di masa mendatang. Tulisan renyah ini, bisa dijadikan sebuah sajian kepada pembaca, sebab karangan fiksi paling sederhana dan baik bagi pemula.


kau orang langit: "mana tahu urusan orang-orang bumi"

Di meja yang terbuat dari kayu jati berwarna hitam kecokelatan, di atas meja tersebut ada kopi hangat dan rokok kretek. Aku me-nyebat satu batang rokok, lalu menyemburkan asap ke atas kepala dengan asap tebal menggulung-gulung ke udara. Setelah aku memutuskan pensiun menjadi seorang astronaut, aku kembali ke kampung halaman. Wajah-wajah seperti asing tidak kukenali. Lalu lalang warga menimbulkan banyak pertanyaan tentangku; mulai dari mereka membaca atas kematianku yang telah banyak beredar dari mulut ke mulut, serta kematian ayah yang ditemukan dalam kondisi mengenaskan di rumah yang kini aku tempati, dan perempuan cantik berkebaya yang saban bulan datang ke rumah. Semuanya tak ada hentinya menjadi perbincangan, padahal sepi tak bersuara ketika aku belum tiba.
Kau ke mana saja baru tiba? Warga telah menganggap kau tiada.
Iya, sudah tujuh tahun tidak pulang, kakek pernah bercerita pada saat rumah ini kosong!
Mereka berdua sepertinya akan mengorek-ngorek keberadaanku. H. Hamdani yang bermuka alim sepulang dari masjid, aku yakin suaranya yang parau karena sering berceramah atau menceramahi. Sedangkan satunya, mahasiswa berparas polos yang mulai bermetamorfosis menjadi seseorang yang idealis, simpati memandangku. Aku yakin dia diajarkan atau membaca buku di kota, dia menimba ilmu di perguruan tinggi. Aku juga yakin dia bukan ahli disiplin ilmu astronomi. Kalau pekerja sepertiku, tidak bisa menentukan waktu untuk pulang, ibarat matahari yang setiap hari terbit setiap pagi. Tanpa menentukan hari apa, pekerja intelektual berbeda dengan warga yang bekerja di sini. Mereka masih bisa menentukan waktu. Pemuda itu bernama Karyoko. Dari namanya, jelas bukan beragama islam. 
“Aku bekerja. Pekerjaanku berbeda dengan profesi warga sini. Mereka masih bisa bekerja tepat dengan rencananya, sedangkan keberangkatanku tidak bisa ditentukan kepulangannya. Tak ada seorang intelektual meninggalkan kampung halamannya dan tak ingin kembali! Aku menjawab dengan wajah lesu, tapi meyakinkan.
Dan keinginanku mengabdikan diri di kampung halaman telah terpatri sejak aku duduk di bangku kuliah. Lalu merantau menjadi seorang astronaut bukan berarti enggan untuk pulang, tapi karena ada misi eksperimen dan penelitian yang membuatku tertahan.
v  
Awan masih terang dan matahari juga masih bergelayut. Namun bunyi pantulan suara air tiba-tiba menggema di cuaca yang cukup panas. Aroma petrikor merebak seolah memberikanku relaksasi di situasi seperti ini, aku berdiri mempersilahkan mereka berteduh sejenak di beranda rumahku.
“Ya, ya. Sekalian saja kita bertamu,” ucap H. Hamdani menatapku. Ia melilitkan sorbannya ke leher yang semula hanya dibiarkan menggantung sembari tangan kirinya menarik kursi di sebelahku, sementara Karyoko nampak sungkan untuk duduk bersama H. Hamdani dan aku.
“Sementara berteduh dulu, Dik. Sambil ngobrol,” selorohku. Ia pun melangkah dan meletakkan topinya yang terkena noda tanah tepat di sisi meja.
“Terima kasih,” ucapnya kepadaku.
Aku mengambil rokok di bagian kiri saku bajuku dan menawarkan kepada mereka. H. Hamdani mengambil satu, Karyoko merogoh sakunya sendiri. Saat rokok itu berada di jarinya, tiba-tiba saja jatuh mengenai jempol kakinya yang diperban. Sejenak pandanganku terpaku pada kain perban yang berwarna tanah itu.
“Kena keong sawah, ya? tanya H. Hamdani yang ternyata ikut memandanginya juga.
“Iya, kemarin,” ucap pemuda itu dengan tenang.
“Rupanya ayahmu petani? tanyaku.
“Bukan petani yang ikut turun ke sawah, tapi ayahnya pemilik sawah yang berhektar-hektar,” ucap H. Hamdani dengan sedikit tawa.
“Sepertinya gerimis hanya lewat saja, saya harus pulang,” sorot mata Karyoko mengisyaratkan kalau ia tidak nyaman. Ia meraih topinya dan memasukan kembali rokok tersebut ke dalam sakunya, lantas pergi dengan mengucapkan terima kasih.
H. Hamdani meniup kepulan asap rokok. “Jadi kau ke mana saja selama ini? tanyanya.
Ke sini Ham, kubisikkan sesuatu di telingamu.”
H. Hamdani menggeser kursinya lebih dekat denganku hingga tiada celah di antara kita.
Hmm, cukup telingamu saja tidak usah kursimu pula kau geser!
Ribet sekali kau ini, cepat katakan ke mana saja kau selama ini? H. Hamdani menodongku dengan tatapan penuh penasaran dan mata yang melotot tajam.
Aku hanya istirahat, menikmati hidup setelah pensiun. Ya, sedikit membuang-buang uang dengan waktu yang selama ini aku tak pernah nikmati.
“Kau pikir aku mudah dibohongi olehmu? Kita ini sudah kenal bertahun-tahun. Ayo ceritakan ke mana saja kau selama ini?” H. Hamdani bersikeras menanyaiku, seolah dia tahu aku sedang membohonginya.
Benar Ham, aku hanya menikmati hidupku setelah memutuskan pensiun!
Matanya terus memelototiku, rasanya ada pisau yang memenuhi tubuhnya hingga siap menghunusku jika aku ketahuan sedang menyembunyikan sesuatu.
Kau yakin? Tuhan sedang melihatmu mempermainkan lidah, kau tidak bisa berbohong sedikit pun di depanku. Jawab jujur agar aku bisa membantumu.
Aku menghela napas mendengar perkataannya. Kuhisap lagi rokok yang tinggal setengah jari telunjuk di tanganku, lalu kusemburkan pelan ke wajah H. Hamdani. Ia mengibaskan asap di depan wajahnya dengan kedua tangannya.
Sebenarnya aku sedang bersembunyi, mereka mengincarku karena aku berasal dari desa ini.
Apa yang mereka lakukan terhadapmu? H. Hamdani antusias mendengarkan ceritaku. Kujatuhkan rokok yang sudah hampir habis, lalu kuinjak dengan kaki kiriku.
Jadi begini, Ham. Sewaktu aku melakukan eksperimen dan penelitian dulu, aku melihat sesuatu di desa ini. Aku tulis semua di bukuku, tentang eksperimenku. Namun, buku itu diambil oleh sekawanan bedebah. Eksperimenku dijadikan bahan untuk kejahatan mereka. Otomatis mereka membutuhkanku untuk kepentingan mereka, tapi aku memilih untuk pergi karena aku pun tak yakin dengan eksperimenku. Mereka mencariku, membuat pengumuman tentangku, menjadikan aku orang paling tersorot di seluruh negeri, hingga suatu saat entah mengapa ada yang mengabarkan tentang kematianku.
Tapi Siergo, kamu harus cari tahu! Akan kubantu!”
“Tidak ah, aku ingin hidup damai!”
Aku dan Hamdani larut dalam percakapan siang itu. Percakapan yang sudah lama tidak kami lakukan, sebab bertahun-tahun kami tak pernah bertemu. Tak ada yang berubah dari dirinya, kecuali kumis dan jenggot yang semakin tebal. Terakhir aku bertemu dengannya sebelum aku pergi dari desa ini, wajahnya masih bersih tanpa kumis dan jenggot yang membuat aku sedikit geli, seperti ulat bulu yang merayap dalam tubuh. Ah, aku harap dia tidak mendengar suara hatiku yang sedang meledeknya, bisa-bisa petir akan menyambar di siang bolong ini, dan membuat desa menjadi gaduh. 
“Siergo, apa kamu tidak melihat ada yang berubah dari desa ini?” 
“Tentu aku melihat, Ham! Aku ini tidak buta!
“Lantas, perubahan apa yang kamu lihat dari desa ini?”
“Ah masak begitu saja kamu pertanyakan, Ham! Tentu perubahan Siti yang sangat menakjubkan itu. Kemarin waktu aku melihat dia di warung, senyumnya begitu manis dan tidak seperti waktu terakhir aku bertemu dia. Ah, kalau saja aku tahu dia akan semanis ini, tidak mungkin dulu aku menolak pernyataan cintanya. Hahaha.” 
“Dasar kamu ini Siergo! Saya ini sedang serius. Apa kamu tidak melihat banyak yang berubah dari desa ini?” 
Aku hanya memperhatikan wajahnya yang mulai kesal karena ulahku, asap rokok yang mengepul di depan wajahnya tidak lagi ia pedulikan. Aku sebenarnya sudah paham ke mana arah pembicaraan Hamdani. Aku mengerti ada yang aneh dengan desa ini, hanya saja aku ingin mendengar cerita Hamdani tentang desa ini. 
Okelah, Ham. Ayolah kamu ceritakan! Aku baru sampai di desa ini, aku belum tahu pasti apa yang berubah dari desa ini, kamu yang lebih tahu.” 
Coba kamu perhatikan sawah-sawah itu, Siergo!” 
Hamdani menunjuk sawah-sawah yang ada di hadapan kami, tangannya mengepal dengan telunjuk mengarah ke sawah diikuti pandangan mata yang meyakinkan. 
“Lihatlah sawah-sawah itu, gersang dan tandus. Jangankan padi, rumput saja tidak bisa tumbuh di sawah itu. Sudah beberapa tahun ini penduduk desa tidak bisa menanam padi dan menikmati hasil panen yang melimpah seperti dulu. Sebagian petani ada yang memilih menjual sawahnya ke kepala desa dan sebagian membiarkan sawahnya seperti itu, dengan harapan suatu hari nanti sawahnya kembali subur.” 
Aku mendengarkan cerita Hamdani dengan saksama, garis di keningnya semakin terlihat, menggambarkan keresahan dan mungkin kesengsaraan yang ia rasakan beberapa tahun belakangan ini. Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi pada desa ini, memang sawah sepanjang jalan yang aku lewati terlihat tandus, kering, dan gersang. Padahal beberapa hari waktu aku kembali ke desa ini, hujan mengguyur begitu derasnya, sampai-sampai jalan yang aku lewati becek dan penuh genangan air.
Sepulang H. Hamdani dari rumahku, aku memikirkan bagaimana semua ini dapat terjadi. Desa yang dulu hijau terpandang, wangi saat dihirup, sekarang yang terlihat mataku adalah kering, panas, tidak ada sawah yang hijau, apalagi padi yang menguning. Lantas aku berpikir bagaimana ini dapat terjadi, masalah pengairan yang sudah berjalan sepuluh tahun lamanya di Bukit Selok aku pikir masih baik-baik saja, toh di sana ada Sumber Senggani yang tidak pernah asat air sumbernya, hingga aku mati pun tetap percaya Sumber Senggani tidak akan kering. 
Hatiku mulai resah mengenai keanehan yang sedang terjadi di desaku ini, apakah aku saja yang terlalu kota hingga lupa cara melihat persawahan yang subur, melihat tanah yang gembur. 
Apakah aku telah melupakan tulisan eksperimenku? tanyaku dalam hati.
Aku berpikir aku sangat mahir dalam pengairan, mana mungkin aku asal-asalan dalam menulis di buku eksperimenku. Jika saja buku eksperimenku tetap di tanganku, mungkin aku tidak seresah ini melihat desaku yang seperti ini," rengekku sambil mengelus dada.
Malam semakin larut, kini aku menikmati lantunan suara jangkrik jantan dan betina yang sedang adu pantun, yang sedang menghiasi malamku di kampung. Tidurku tak nyenyak. Aku besok ingin mengobrol dengan Pak Kades akan hal ini.
v     
“Tolong, tolongggggggg!” ada yang ramai di luar sana, jelas sekali ini suara warga yang tengah menghadapi masalah.
Arrgggghhhh bahkan baru satu jam yang lalu terlelap. Kuraih apapun benda yang bisa kugunakan untuk menolong nantinya. Golok yang sudah berkarat, adanya itu.
Sampai di luar rumah berjarak sekitar 2 km, ada beberapa orang yang tengah sibuk di sebuah sawah. Apa yang mereka lakukan, bukankah hari masih terlalu dini untuk bertani. Haruskah para petani menjadi kelelawar hanya untuk sesuap nasi, sebab sawah yang kering kerontang butuh tambahan asupan. 
Eh, kemana orang yang tadi meminta tolong? apakah petani-petani itu yang sudah menolongnya?
“Pak permisi, tadi ada yang.... pertanyaan yang tidak bisa aku selesaikan setelah melihat keadaan sawah yang telah berubah. Tanah yang sangat subur bahkan beberapa sawah lainnya sudah penuh dengan padi yang mulai tinggi.
Sejak kapan tanah ini berubah kondisi? tanyaku pada diri sendiri. Apakah keajaiban Tuhan sudah datang?
Pak permisi, tadi saya mendengar suara minta tolong. Apakah bapak dan yang lain sudah menolongnya?
Lelaki tua itu tak langsung menjawab. Ia hanya terus memandangiku dengan sorot mata bertanya, seakan berpikir keras untuk memutuskan sesuatu. 
Kami yang membuatnya berteriak minta tolong,” ucapnya kemudian.
Maksudnya?
Sudahlah pergi kau sana!”
Pak, tolong berbicaralah dengan jelas!”
“Lihat saja dia di sana!” sambil menunjuk sebuah sumur tak jauh dari sawah. Dia telah menyimpan bibit padi yang ingin kami tanam dalam mulutnya. Ketika kau ke sana, lihatlah nanti perutnya yang besar berisi air. Lihatlah kalau kau mau, dia ada di balik sumur itu dengan bajunya yang berwarna hijau kekuningan. Aku tak membunuhnya, aku hanya menendang perutnya, mencoba memaksa air yang ada dalam tubuhnya keluar. Kalau hal itu tidak kami lakukan, sawah kami akan tetap kering kerontang. Jadi...
Belum selesai lelaki tua itu berbicara, sebuah batu melayang ke arahku, aku menghindar dan....
Bukkkk
Ah, aku terjatuh dari atas ranjang. Sebuah mimpi yang aneh. Mungkin ini karena semalam aku terlalu banyak berpikir. Tapi siapa laki-laki yang ada di balik sumur itu. Mimpi yang panjang, tak sadar terik sudah memenuhi ruangan. Aku segera mempersiapkan diri, kemudian bergegas pergi ke rumah Pak Kades.
v     
Setelah menutup pintu rumah, spontan aku melihat ke arah sawah yang sudah bisa dipastikan berbanding jauh dengan yang ada dalam mimpi. Aku mempercepat langkahku agar segera sampai. Setelah kakiku berhenti, langsung kuketuk pintu pemilik rumah. Butuh tiga kali melakukan hal yang sama sebelum akhirnya pintu dibuka. Kebetulan sekali Pak Kades sendiri yang membukanya. Aku beruntung. 
“Wah, kau Siergo yang katanya baru datang itu ya?” tebaknya sambil mempersilakan aku duduk.
“Iya, Pak!”
“Ada apa kau sampai bertamu kemari?
Ada yang ingin saya bicarakan, Pak...
Minumlah dulu!” potongnya setelah melihat istrinya mendudukkan dua cangkir berisi kopi di depan kami.
“Perihal keresahan warga yang tidak bisa ditoleransi lagi, Pak. Hal-hal yang saya berharap bapak bisa mengatasinya, juga ada hal lain yang ingin saya tanyakan hari ini,” entahlah aku selalu malas basa-basi jika berbicara dengan petinggi macam ini. 
Pak Kades diam, seakan menerawang dan berpikir panjang. Aku menunggu, memperhatikan geriknya, sesekali memberikan kesempatan agar ia bisa meneguk kopinya.
Lain waktu saja, sebab sebentar lagi ada pertemuan yang harus saya hadiri,” ucapnya seperti menyembunyikan sesuatu.
Tapi, Pak...
Pak Kades melihat jam tangannya, sebuah tanda yang katanya digunakan seseorang sebagai bentuk pengusiran halus. Bahkan aku belum menanyakan apapun tapi ada yang janggal.
Mataku terpaku pada tumpukan buku-buku Pak Kades. Di sana sepertinya ada sebuah buku berlogo astronaut. Sejenak mengingatkanku tentang perjalanan-perjalanan menyenangkan di udara. Tak bertemu manusia, tak bertemu kemunafikan, dan tidak ada pengusiran dan penggusuran satu sama lain. Hidup hanya berkalang kostum memandang kaca-kaca berdecit dan tombol-tombol canggih. Lebih dekat dengan rembulan yang kabarnya pernah terbelah. Sekarang rembulan sudah tak terbelah. Sudah bersatu.
Aku termenung sepersekian detiknya, hingga di depanku sudah ada Pak Kades yang lengkap dengan pakaiannya. Kurasa aku merenung cukup lama. Mungkin begitulah kerja ingatan, ia lebih memotong durasi kenyataan. Aku gagal berbicara sesuatu. Dia sudah mengendarai motor win plat merah.
v   
Aku pulang melewati pematang sawah. Melihat orang-orang mulai mencangkul. Entahlah mereka mencangkul untuk apa juga. Atau berharap ada air. Tiba-tiba mataku gelap. Tak terlihat apa-apa. Aku tiba-tiba duduk di hadapan dua orang berpakaian hitam seperti ninja. Di ruang yang pengap itu, dua orang itu mendekat mendatangiku dari arah depan. Aku berteriak.
Hamdaaaann, Karyokooo, ada apa iniiii?”
Aku dan Haji Hamdani ingin kau mengaku di mana letak buku yang katamu tentang perairan,” ujar Karyoko.
“Buku itu hilang!”
Hilang atau memang sebenarnya tidak ada? tambah Hamdani.
Kita semua memiliki tujuan yang sama, kan? Untuk mengembalikan perairan desa ini,” Karyoko mendesakku.
“Memang iya, lalu apa?
Dugaanku gini, kau orang bergeliat di langit mana bisa mengerti urusan orang di bumi, tidak mungkin juga kau bisa menulis tentang perairan,” kata Hamdani
“Yaa, kau juga orang langit, Ham! Kau mengurusi apa yang terjadi di langit. Tempat Tuhanmu bertakhta. Kau sudah menebak dan mengira apa yang terjadi di atas langit yang sudah aku jelajahi. Kau juga menerka urusan yang sebenarnya bukan urusanmu. Bahkan itu urusan Tuhanmu.
Jadi gini, Pak... Karyoko memotongku
“Kau juga, Le! Kau hanya manusia penyembah logika paling paripurna. Bercuap-cuap saja tanpa ada bisa memberi apa-apa. Kau tau? Kamus telah mati! Semenjak politisi sudah bebas menafsirkan dengan maunya sendiri. Sekarang setelah kau pulang kampung atau katakanlah mudik. Kau di rumah sudah memberi arti kata pulang apa? Haa tidak tahu? Mahasiswa hanya bisa turun di jalan. Berteriak anti kapitalisme di sela-sela baju-baju branded itu. Lihat para koalisi anti kapitalisme yang dipimpin oleh bapakmu itu? Mereka bekerja di tanah mereka sendiri. Memakai kaos pupuk atau partai. Tak berkalang siapapun, mereka itulah yang merdeka atas kapitalisme.
Lalu jika kita semua dirasa tidak mumpuni, lalu siapa yang sebenarnya bisa melawan semua ini?” Hamdani mengejarku dengan pertanyaan.
“Ya sudah jelas mereka adalah orang-orang Asli bumi. Hidup dari bumi, bahagia dengan apa yang tumbuh di bumi. Diinjak-injak bagai bumi. Kita hanya jembatan untuk mereka.
Aku meminta mereka untuk tenang. Kujelaskan pada mereka bahwa di sini sebenarnya ada pembelokan air sumber. Irigasi dibuat melintas ke desa sebelah. Dan di desa sebelah ada praktek perdagangan air tangki untuk warga kota. Mereka paham dan akhirnya melepaskanku. 
Aku pergi dan berpesan. “Besok mulailah bekerja sesuai fungsi kalian, segera bukalah semua ini.
Dan keesokan harinya, mereka tidak menggubris apa yang aku ungkapkan kemarin. Dua orang yang berpakaian seolah ninja yang ternyata Karyoko dan Hamdani lebih memercayai konsep literat menurut buku yang didapat Karyoko selama kuliah. 
Petani terus menggali tanah, berharap pada simpul kedalamannya mereka menemukan air yang memancar. Sebab menurut Karyoko dalam ilmu pertanahan, tanah itu terbagi atas beberapa lapisan dan pada salah satu lapisannya tersimpan air. 
Aku lalu teringat bukuku yang kukatakan hilang telah dicuri oleh orang-orang di kota. Padahal sebenarnya aku menyimpan buku itu, pada salah satu dek di pesawat antariksaku. Aku sengaja menyimpannya karena orang-orang di desa terlalu tamak urusan air. Aku ingin mengabdi pada desa dengan caraku sendiri, tidak terlalu banyak mengambil konsep dalam buku yang aku karang. Karena bagaimanapun buku itu sempurna, pemikiranku harus turut terlibat guna menyelaraskannya pada kenyataan. 
Aku tidak mau memberikan buku itu pada siapapun, termasuk pada Hamdani, Karyoko, atau Pak Kades. Sekalipun timbal baliknya aku akan diberi kesenangan duniawi apapun, aku tetap tidak akan memberikan buku itu pada siapapun.
Aku adalah orang yang cukup skeptis dengan kebaikan H. Hamdani, ia berniat membantuku menemukan buku yang sebenarnya tak hilang itu. Akan tetapi ia begitu memaksa, seolah ia ingin menguasai dunia perairan.
Jika dulu aku pernah bercerita tulisan di buku hanya sebatas eksperimen desa ini, dan saat ini telah dimiliki oleh para bedebah guna melakukan kejahatan. Heh, dasar Siergo ini, aku yang dianggap mereka terlalu polos. Padahal, dalam buku itu aku menulis dengan kompleks soal konsep menguasai dunia. Aku tak mau buku itu sembarang jatuh di tangan orang. 
Ya jelas bisa menguasai dunia, sebab dunia ini terdiri dari 70% air. Barang siapa mampu menguasai air, ia akan menjadi penguasa dunia. Namun sebenarnya pembahasan mengenai air hanyalah secuil dari pemikiran-pemikiran yang pernah aku renungkan. Buku itu sangat kompleks, bahkan lebih kompleks dari Das Capital milik Marx. bahkan guna menyempurnakan pemikiranku tentang pertanian, aku harus pergi ke desa-desa lain. Dan Archimedes, oh ya aku hampir lupa. Sebagian besar teori soal air banyak berkaca pada Archimedes, ya tokoh dari Yunani yang namanya sangat tersohor seantero dunia. Aku sudah khatam Archimedes sejak sebelum masa SMP. Jadi aku paham betul semua konsepnya. Buku itu kompleks tak bisa jatuh pada sembarang orang, termasuk keserakahan H. Hamdani atau kesoktahuan Karyoko, Apalagi hanya Pak Kades yang tak menggubris rakyatnya itu. 
            Selama ini memang aku melihat pemandangan yang amat kontras telah terjadi di desa ini. Sawah yang kaya melimpah dengan sedikit konsep perairan yang kuberikan telah dibelotkan oleh orang desa sebelah. Sementara orang desa ini, belum juga sadar dan terus mencari cara baru untuk mencari air. Mereka bukannya melakukan diplomasi atau penuntutan pada warga desa sebelah, mereka lebih sibuk mengupayakan agar jadi orang berpengaruh di desa. Pak Kades telah tak peduli pada rakyatnya, H. Hamdani sibuk cari penghormatan, Karyoko sibuk membuktikan ilmu yang diperolehnya.
            Aku kembali berjalan menuju arah persawahan, ternyata benar petani tak ubahnya kerja romusha pada zaman Jepang. Mereka terpaksa terus menggali guna memercayai omongan Karyoko yang jelas belum sekalipun melakukan eksperimen pembuktian. Dari arah kejauhan, aku melihat H. Hamdani tengah bercakap dengan Pak Kades dan Karyoko.
“Sier, Siergo, ke sini kau!” nada keras datang dari suara Pak Kades. Aku berjalan santai menghampiri obrolan yang nampak serius itu.
            “Ada apa Pak Kades?tanyaku dengan nada yang dikenal orang kampung sedemikian polos.
“Buku itu, kamu orang langit, bukan aku tak tahu kau pandai berkelit…” ucap Karyoko.
“Buku itu memang tidak ada kan?” tandas H. Hamdani dengan cepat
“Sudah, sudah. Kalian belum sadar juga melihat pemandangan romusha ini. Kemarin sudah jelas awal mula air di desa kita mengalami kekeringan. Sementara kalian masih sibuk berdebat dengan buku, padahal manusia telah dianugerahi otak guna berpikir.
            Bruakkkkk
            Dari kejauhan seorang perempuan renta terjatuh, nampak ia kelelahan kekurangan air. Sementara pekerjaan untuk mencari sumber baru harus terus dilakukan. Ironi, mereka terus berusaha mencari yang abstrak, bukan menemukan solusi kepastian. Dengan berat hati, aku harus mengungkapkan pada mereka semua bagaimana menemui semua jalan keluar dari permasalahan ini.
“Cepat tolong perempuan itu!” teriak Pak Kades
Tanpa basa-basi H. Hamdani, Karyoko, dan Aku menolong perempuan tak berdaya itu. Pak Kades datang dengan muka slengean tiba-tiba berteriak.
“Kalian lihat perempuan ini! Ia kelelahan karena kekurangan air. Wajahnya pucat, bibirnya kering. Apa kalian tidak merasa kasihan melihatnya?”
“Ya kasihan, Pak Kades,” jawab mereka serentak.
“Lha maka dari itu kita gotong royong mencari sumber air yang bisa dialirkan ke kampung, jangan malah berdebat masalah buku. Rendahkan ego kalian, kita bekerja sama!”
“Cepat bawa perempuan itu ke gubuk, aku membawa air mineral di motorku.
Mereka berbondong-bondong membawa perempuan itu pergi ke gubuk. Pak Kades memberinya air agar badannya terasa enakan. Pak Kades mempunyai sebuah ide mencari sumber mata air di sebuah ladang yang ada di lereng gunung, jauh dari kampungnya. Aku, H. Hamdani, dan Karyoko tak bisa mengelaknya karena ini demi kampung agar bisa dialiri air. Kami mengikutinya di belakang Pak Kades. Sepanjang jalan, kami terus saja berbicara. Tak lama kita berjalan, aku mencium bau yang tak sedap yang menghampiri batang hidungku.
“Eh, kalian mencium bau belerang gak?“ ujarku bisik-bisik ke H. Hamdani dan Karyoko.
“Eh iya, bau sekali. Aargghhh... ndak kuat aku,” jawab H. Hamdani sembari menutup hidungnya.
“Mungkin ini bau belerang gunung kali,” jawab Karyoko.
“Noh, lihat gunungnya masih jauh. Mana mungkin bisa bau sekali, deket lagi baunya,” ujarku.
“Kayaknya bau mulutnya Pak Kades dari tadi ngoceh terus gak berhenti, coba kamu dekati Pak Kades, Sier,” jawab H. Hamdani.
“Emmphh, benar katamu Ham, itu bau mulutnya Pak Kades,” jawabku.
“Hmm pantesan dari tadi bau belerang,” jawab H. Hamdani.
“Ssstttt, sudah-sudah kita lanjutkan perjalanannya, tutup hidung kalian dengan baju,” ujar Karyoko.
Kami pun melanjutkan perjalanan kami. Dari jalan, kami bisa melihat para petani sedang mengurusi tanamannya. Para peternak sedang menggembala kambingnya, dan banyak orang-orang kampung yang sedang mencari rumput untuk sapi-sapi mereka.
Untuk sampai ke ladang, kami harus melewati jalan naik dan sedikit terjal. Semakin naik, pemandangan yang terlihat semakin indah. Kami terus berjalan. Selang beberapa jam, kami sudah sampai di ladang dekat lereng gunung. Dari kejauhan, tampak pohon-pohon yang hampir kering karena terkena teriknya sinar matahari. Aku dan H. Hamdani pun mendekati pohon itu.
Tak salah dugaan kami, di bawah pohon itu, terdapat banyak ranting-ranting kering. Lalu kami memungutinya sambil memilih bentuk yang menurut kami bagus. Lumayan, bisa digunakan untuk tongkat pegangan agar tidak terlalu capek ketika perjalanan terus menanjak. Namun tiba-tiba sebuah lempeng di dataran yang tidak terlalu tinggi longsor dan menutup jalan kami. Seolah suatu pertanda, tidak ada suatu jawaban di gunung. Karyoko yang lebih dekat dengan lempengan longsor, seolah sakit dada karena begitu kagetnya ia dalam situasi itu. Sementara Pak Kades mencoba menenangkannya yang mulai kehilangan irama normal jantung yang berdetak.
Bawa ke sini Karyoko. Di situ lebih berpotensi mengalami longsor lagi!” suruhku kepada Pak Kades yang hanya melihat dan mengelus punggung Karyoko.
Mungkin kali ini tidak usah dilanjutkan terlebih dahulu. Melihat kondisi Karyoko juga belum membaik,ucap Pak Kades.
Mungkin benar apa yang dikatakan Pak Kades. Tapi aku yakin masalah ini akan segera terungkap. Malam hari setelah perjalanan itu, aku pergi ke rumah Pak Kades. Aku yakin, sebagai pemimpin ia lebih tahu seluk-beluk dan hubungan apa saja mengenai desa ini.
v     
Malam, Pak! Saya hanya ingin tahu mengenai keadaan desa yang semakin buruk ini. Karena saya yakin Bapak selaku kepala desa paham betul apa yang tengah terjadi di desa kita, Pak!” 
Tidak sopan sekali kamu datang malam-malam. Bukankah kamu pernah diajarkan ibumu bertata krama? Dan lagian hari ini saya sangat sibuk!”
Firasatku memburuk. Entah kenapa setiap kita bertatap muka dua orang saja, Pak Kades menjadi orang yang tertutup dan mencurigakan. Seakan menutupi sesuatu yang tengah terjadi, apalagi membicarakan masalah desa ini. Lama kelamaan masalah ini seperti drama sinetron televisi yang begitu tak terhenti walaupun terlihat membosankan. 
Ketika aku beranjak pergi dari kediaman Pak Kades, aku mencium bau belerang yang sangat menyengat. Aku yakin kalau Pak Kades sudah menyikat giginya. Dan dia pun sudah mencuci badannya. Dengan alat penciuman dari tuhan, aku mengikuti asal-muasal bau itu. Dan benar, bau itu bersangkut pautan dengan apa yang terjadi di lereng tadi. Tidak tanpa cara aku begitu saja bisa mengetahui hal ini, akan kupecahkan masalah ini dengan masalah juga.
Masalah dengan masalah akan menemukan titik, titik masalah, itu yang ada dalam benakku setelah pulang dari rumah Pak Kades.
v     
Di malam yang tak terasa ada bulan dan bintang di atas sana, aku masih tak habis pikir jika desa ini menjadi lumbung masalah. Dulunya desa ini terkenal dengan hasil tanam warga yang melimpah, kini hanya menjadi lumbung masalah yang banyak dan tidak sedikit yang menyadarinya. Inginku seperti dulu dengan apa adanya dengan kesederhanaannya, aku berpikir tidak ada hari esok yang indah jika dibalut dengan banyaknya masalah. Asap rokok kupandang dengan jelas, dia menari ke sana ke mari seakan tidak ada beban. Seperti asap rokokku, aku ingin hidup berdamai dengan semua, bahkan Yang Maha Kuasa.
Tok... tok... tokkk...
Selamat malam, Sier. Aku sudah tau keberadaanmu mulai pertama kali kau injakkan lagi kakimu di desa ini,” ucap Siti dengan nada lembut dan sedikit berpaling dariku.
Aku tau sudah banyak hal yang terjadi disini, tapi aku…
Sudah jangan kau teruskan lagi, aku hanya ingin mengingatmu dengan cukup sekejap melihatmu,” saut Siti setelah ingin kuungkapkan segalanya.
Dia pergi dengan meninggalkan sepucuk senyuman kecil untukku, aku ingat dulu kenangan banyak yang  kukumpulan sebelum aku sibuk dengan segala urusanku, urusannya, dan urusan yang sekarang tidak menghasilkan apapun untukku, untuknya, dan untuk semua yang ada sekarang. Akan kuteruskan memecahkan masalah ini, aku yakin semua akan selesai tanpa ada yang terluka. 
Terima kasih malam, kau telah mendengarkan aku bersenandung, meski tak bersamanya, mungkin lebih lengkap jika bersamanya. Hehhh... aku terus membayangkan dan mengungkapkan isi hatiku sekarang kepada siapapun, jika tidak seperti mungkin aku akan gila dengan keadaan yang seperti ini. Selepas itu aku tidur dengan berharap mimpi yang indah dan harapanku mimpi itu menjadi nyata.
Esok hari setelah matahari mulai meninggi dan burung-burung mulai beterbangan ke sana kemari. Aku terbangun dari ranjang. Suara ketukan pintu terdengar. Aku berharap kali ini Siti yang datang kemari membawakan sarapan pagi.
Setelah aku buka pintu tua itu. Memang benar, Siti yang datang. Siti datang dengan wajah yang terlihat ketakutan setelah mendengar percakapan antara Haji Hamdani, Pak Kades, dan pihak perdagangan air tangki dari desa sebelah. Kusodorkan gelas air putih kepadanya, paling tidak ketika aku selama ini tidak bisa membuatnya senang, untuk kali ini saja aku bisa membuatnya tenang.
Setelah air putih ia minum. Ia mulai menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pagi tadi. Ketika ia hendak pergi berbelanja untuk bahan masakan, ia melewati rumah Pak Kades dan secara tidak sengaja mendengar percapakannya. Ia menceritakan bahwa Haji Hamdani dan Pak Kades telah bersekongkol dengan pihak perdagangan air tangki. Mereka berencana membeli sawah-sawah petani dengan harga yang sangat miring ketika para petani mulai terhimpit ekonominya dengan menyebarkan isu bahwa sawah-sawah itu sudah tidak bisa tumbuh lagi.
Esok hari ia mulai membeli sawah-sawah mereka. Jika sudah terbeli, mereka juga berencana untuk membangun pabrik besar-besaran di sekitar sana, dan mulai menjalankan sistem kapitalis.
Tapi tenang,” ucap Siti. Aku sudah merekam dan memotret pembicaraan dan transaksi mereka untuk dijadikan bukti.” Lanjutnya dengan raut wajah yang semakin menarik perhatian.
Baiklah, langkah yang bagus!”
Sebaik-baiknya manusia ialah yang melawan ketika melihat ketidakadilan, Siergo! ucapnya semakin yakin.
Esok hari setelah transaksi mereka mulai dilakukan, banyak petani yang hanya bisa pasrah. Hanya ini satu-satunya jalan untuk bertahan hidup menurut mereka. Sawah-sawah mulai dijual dengan harga yang sangat murah.
Di samping itu, setelah satu jam proses transaksi mulai dilakukan. Mereka tidak sadar bahwa banyak polisi yang menyamar di sekitar. Kemudian dengan sigap polisi mulai menangkap mereka bertiga.
Pihak dari perdagangan air sedikit melawan, sebelum akhirnya mereka dimasukkan ke mobil. Disusul dengan Haji Hamdani dan Pak Kades dengan wajah sedikit dendam ketika melihat wajahku.
Setelah proses terjadinya penangkapan selesai. Para polisi berterima kasih kepada kami berdua yang telah melaporkan kejadian kejahatan ini. Aku berharap agar kasus ini diproses dengan seadil-adilnya, mengingat hukum di negeri ini yang sedikit karet ketika para petinggi mulai dibenturkan dengan uang. Kemudian aku mengucapkan berterima kasih kepada petugas yang berwenang sebelum meninggalkan lokasi.
Sore hari di gubuk tua yang terletak di tengah sawah. Senyumannya terlihat indah dengan ditemani sinar senja. Siti, salah satu alasan yang membawaku untuk pulang, sekarang berada di sampingku.
Setelah kejadian di desa ini telah selesai dan para warga terlihat bahagia setelah sawah-sawahnya kembali subur. Terlihat para warga mulai semangat untuk menyiapkan acara selamatan desa sebagai kegiatan bersyukur kepada Tuhan yang masih mengizinkan untuk bertani lagi.
Ketika ingat senyum itu, senyum yang tak lagi kulihat, yaaah beberapa tahun yang lalu. Pada saat di mana aku akan beranjak pergi dari kampung untuk mewujudkan sepucuk cita. Ia begitu tidak terang-terangan menampakkan senyumnya, namun aku selalu bisa menemukannya. Senyum yang berbeda dari gadis-gadis desa pada umumnya. Aaahhh, ingin sekali kulihat senyumnya itu sekali lagi. Tapi angan tetaplah angan, yang tetap jadi bayangan ketika memikirkan beberapa kenangan. 
Oke, balik lagi ke permasalahan yang sudah tak lagi jadi masalah. Melihat warga semangat untuk mengadakan acara selamatan desa, aku merasa sangat bahagia. Mereka adalah segelintir korban dari penguasa yang gila akan kekuasaan dan harta kekayaan tanpa memikirkan nasib orang yang hidup karena persawahan. Aku bahagia, karena sudah tak ada lagi yang mematikan sandang pangan papan mereka lagi. Acara selamatan dimulai, warga datang beramai-ramai ke sebuah balai yang ada di desa.
Keesokan harinya, sawah mereka berangsur-angsur mulai tergenangi oleh air. Warga kembali bekerja seperti sediakala, tak ada lagi mencangkul untuk mencari air. Kulihat beberapa petugas keamanan datang lagi ke desa untuk menjemput tiga manusia yang telah menipu banyak manusia yang ada di desanya. Mereka yang tempo hari sempat dibawa, ternyata katanya hanya dimintai keterangan dan kemudian dikembalikan pulang. Dan entah firasat buruk apalagi yang sedang terngiang-ngiang. Petugas-petugas itu sekarang hanya membawa H. Hamdani dan pihak dari perdagangan air. Setelah mereka dibawa, suuzanku muncul lagi, “Kenapa Pak Kades tidak ikut bersama mereka?” Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa gelisah. Kucoba untuk sedikit tenang dan berpikir bahwa ini hanya perasaan saja,  tidak akan terjadi apa-apa. Aku berjalan mengelilingi kampung untuk meredam rasa gelisahku ini. Ketika lewat di depan rumah Siti, rumahnya terlihat sepi. Kakiku tiba-tiba saja melangkah menuju rumah Siti. 
Tok tok tok
“Permisi, Siti ?”
Sampai beberapa kali aku mengetuk pintunya dan tidak ada jawaban. Setelah kulakukan sekali lagi, akhirnya terdengar suara wanita yang familiar dan membuat rasa gelisahku tadi hilang. Dibukanya pintu itu, kulihat paras manisnya, rambut hitam yang masih sedikit basah. Mungkin ia baru selesai bersih-bersih. Kemudian ia mempersilahkanku duduk, tak lama kami berbincang, kemudian aku pamit untuk pulang. Rembulan sudah menampakkan keelokannya, rasa damai yang kembali datang ke Desa.
Hari demi hari berjalan, tapi aku merasa ada yang aneh. Dua hari belakangan ini aku tidak melihat Siti sama sekali. Kucoba menengoknya, siapa tahu ia sedang sakit atau kenapa. Sama seperti keadaan ketika rasa gelisahku melonjak, rumahnya sepi seperti tiada tanda-tanda kehidupan. Kuketuk pintunya sampai entah berapa kali aku mengetuknya, tapi tetap saja tak ada jawaban. Ketika aku mencoba untuk mendobrak pintunya, ternyata pintunya tidak terkunci. “Bau tak sedap ini berasal dari mana?” ucapku sambil menutup hidung. Setelah kutelusuri, baunya berasal dari arah dapur. Bau yang berasal dari mayat wanita yang tergeletak di lantai, yang ciri-cirinya amat aku kenal. Siti telah meninggal, ada beberapa bekas luka tusukan, dan luka lebam yang mungkin disebabkan oleh benturan ataupun berasal dari benda tumpul. Benar sekali, itu adalah senyuman terakhir yang ia berikan kepadaku. Aku meminta tolong kepada warga sekitar agar jenazahnya segera disucikan kemudian dikuburkan. Tapi, masalah perairan di desa sudah tidak pernah muncul lagi.



#Epilog 

Kepada semua yang telah membaca jangan terkejut ketika membaca mengalami hal yang tidak wajar dengan karangan tulisan pada umumnya, sebab tulisan ini disambung secara spontanitas melanjutkan paragraf satu ke selanjutnya. Terima kasih kepada semua yang telah berkontribusi, kegiatan ini upaya kita untuk mengingat lupa, dan pada masa 2020 ini kita mengalami goncangan besar dunia ini dengan datangnya pandemi covid 19 ini mengalami sebuah ketidak wajaran berpikir serta semua hal-hal khususnya dalam program kerja organisasi akan terhambat. Jika kita tahu sebuah fragmen akan menjadi kronik dalam sejarah nanti. Ketika masih ada orang merelakan dirinya mengambil pena untuk menulskannya, dan pradapan akan datang selalu memiliki pandangan dengan apa yang telah terjadi hari ini. kelas sambung fiksi kini telah menjadi teks utuh yang lepas dari penulis dan makna ditentukan oleh pembaca.