Minggu, 25 Agustus 2019

Perempuan Penerima Buku Terjemahan Sapardi Djoko Damono; Anton Chekov



Buku yang pernah diberikan bukti bahwa ada sesuatu yang tak ingin ku ucapkan karena aku masih belum siap. Dirimu sekarang masih dalam keadaan paling super sibuk dengan dirinya dan menata hidup bersama teman-temannya. Sedangkan yang saya kwatirkan denganku kamu tidak akan bisa menerima apa yang aku rasakan.

Pertama kali ku pergi ke toko buku waktu itu aku diam melihatmu bukan karena nafsu melihat kecantikanmu, namun hanya ada keadaan paling beda yang bisa kuterima dalam jiwa. Waktu itu aku mengambil hp dalam waktu 5menit aku menulis puisi tentangmu.

di toko berserakan
hati masih berdamai rapi menepi diwajahmu
bukan nafsu dirasa perbedaan detak jantung menjadi pertanyaan yang tak berkesudahan
bagiku kau tak menarik tapi buku yang dipegang menimbulkan cahaya dalam jiwa
dan pada saat Itu aku menyimpan peristiwa masih sempurna belum ada makna darinya

Pada baris ketiga puisi lanjutan kala masih belum pernah aku ucapkan padanya. Dalam pikiran sempat percaya kalau dirimu sama dengan apa yang pernah aku rasa, namun realita hanya sekedar seperti hal semuanya sama. Keanehan itu membuat beberapa peristiwa belum pernah ada lagi dirimu namun dalam mimpi kau datang seperti halnya orang yang ingin dibuat senyum oleh caraku, namun cara itu tak ada dalam diriku ku rasa darimu. Mungkin itu sebuah kebalikan dari hidup. Dan rasa akan hanya menjadi peristiwa.

Beberapa hari lalu pernah ku mempikan dirinya. Tidak tahu kenapa harus ada dalam mimpi, aku tidak pernah berpikir itu terjadi. Dalam mimpi ia datang sebagai orang yang seperti minta diperhatikan. Kala itu aku menceritakan ke teman kamar kos namanya Rudi. "Saya bermimpi anak itu, aneh bukan satu kali soalnya, apa saya suka ke dia?" dengan sambil tersenyum. Lalu Rudi menjawab "Sudah tembak aja, kan dia juga tidak punya pacar sepertinya, alias jomblo". Sambil nyengir berkata. Aku hanya bilang "Tidak Mas, mungkin bilang suka kepadanya kasian kepadanya keadaanku masih amburadul dan tentunya tidak jelas, kasian padanya, pean tahu keadaanku ini, kuliah terkatung katung, keseok-keseok, mana nanti kalau saya diterima apa dia akan mampu melalui bersama dengan keadaan seperti ini, keadaan seperti ini ada rasa ragu dan kasian. Ragu tidak diterima kwatir dia sudah punya pacar atau kasian kalau diterima sedikit banyak saya akan membagi cerita kepadanya dalam keadaanku, tahu sendiri Mas, akademikku ini masih amburadul dan masih butuh jalan panjang, apalagi semester ini harus cuti kuliah sepertinya". Ujar aku kepadanya. Rudi menyambung lagi dia berkata " Kalau memang anak itu ada rasa pasti dia akan mau diajak menderita, ceritamu akan menjadi cerita menarik Kak, kamu ini penulis, walau belum diakui oleh banyak orang tapi bagiku kamu penulis Kak, cobalah karyanya dikirimkan ke media besar, Mediakita sepertinya butuh Penulis muda dan perlu naskah novel, coba karyanya kirim Kak". Ujar Rudi sambil mengejek dan serius. "Iya Mas doakan segara usai apa yang saya tulis dan bisa diterima oleh mediakita, dan kamu sebagai orang yang paling aku bahagiakan, entah dengan cara apa itu Mas". Ujarnya. " Saya cukup kita lulus bersama wes bisa bahagia apalagi sampe bisa punya penghasilan bersama, Malang seperti banyak cerita bagi kita".

Percapakan telah diusaikan. Semua seperti sudah tidak menemukan kemana hari itu, namun aku tetap dengan aktivitas, harus pergi mencari buku pesanan dari teman. Perjuanganku yang selalu sendiri sepertinya akan menemukan kebahagian sendiri kala malam di tengah malam aku mengukur semua yang ada di masa laluku. Begitu tersenyum Tuhan mungkin akhir-akhir ini, sebab ulahku masih seperti manusia pada umumnya yang normal, beda dengan 3tahun yang lalu. Gelap yang tak berkesudan seperti tiada terang, kecuali malah tambah muram. Kini masih beruntung gelapnya malam masih normal dan siang masih normal, walau kadang malam masih saja tercemar sempurna jadi malam layaknya dinikmati kala mata tertutup. Cara itu beda bagiku hari ini, waktu malam dihabiskan di jalan dan bekerja di salah satu Kedai di Kota Pendidikan, sebut saja kota itu bernama Malang.

***
Beberapa hari lalu pernah aku berpikir dengan buku yang pernah diberikan pada saat diskon buku Togamas 30℅, perempuan itu sudah bukan pertama kali ikut ke toko buku bersamaku. Namun kali ini sebenarnya bukan ada janji akan bertemu di toko buku ini, kenapa waktu saya pulang kerja tepat puku 7:30Wib, dan perempuan itu chat saya menanyakan "Togamas buka jam berapa?" tanya melalui pesan Watsap (WA), jawabku "Memangnya saya penjaga Toga atau saya kerja di sini hehe", jawabku padanya, karena itu saya berpikir mengapa seperti waktu menyetujui pertemuan dalam benak perempuan itu akan menjadi orang yang beberapa waktu lalu ke toko buku Wilis, toko buku bekas dan buku repro disitu tempatnya. Masih berpikir rasa kala pertama ku menulis puisi yang puisinya masih ada dalam ponselku di note. Mengapa dalam pikirku dia itu pas kalau aku di ke sini dan dia juga. Bukan baper hanya berpikir saja mengenai waktu yang menurutku itu mendukungku, atau dia yang didukungnya. Dia membalas pesan WA-ku " Bukan begitu Mas, hanya tanya dan aku mau ke sana sekaligus mau pulang". Saya menjawab "Buka pukul 8:00Wib Togamas. Hati-hati kalau ke Togamas, kalau nanti ketemu denganku, saya belikan kamu buku". Balasnya " Memang Mas di sana?" gak saya balas chatnya, karena aku harus masuk dan mencari buku pesanan dan buku yang aku butuhkan, buku itu yang sudaj ku incar itu buku Budi Darma. Setelah naik di lantai 2, aku menuju tempat buku yang ku sembunyikan buku, kwatir karena pada saat itu belum ada uang, dan kini aku tepat gajian dan ada buku diskon 30%. Seperti menemukan uang di dalam saku yang pada saat itu tak memegang uang. Buku pesanan dan buku Budi Darma sudah di tangan. Setelah itu aku menemukan buku yang menarik lagi, buku itu karya Eka Kurniawan berjudul Ketika Rindu Harus Dibayar Tuntas judul Itu dan warna membuat aku berpikir akan memiliki juga. Dan dengan banyaknya buku di tangan banyak aku harus hitung-hitung adanya uang yang aku punya masih cukup apa tidak. Di rak paling barat berada dideretan paling bawah dan stok buku yang sudah tersisa 1, membuatku berpikir keras buku ini bisa dimiliki, berpikir bagaimana bisa aku miliki, sedangkan sisa uang sudah seperti tidak nunut, diskon 50an, harga asli 70an, uangku sudah tidak cukup, kalau dipaksa setoran akan katut juga, setoran ke Pelangi Sastra ada buku yang belum dibayar. Setelah aku baca sinopsis buku tersebut aku harus meletakkan kembali ke raknya. Setelah duduk serasa bingung. Datang perempuan yang tadi menanyakan Togamas buka, dengan senyum menuju, dengan mengenakan baju dan switer andalannya, dengan seperti itu saya memiliki tanggungjawab lagi ditambah gengsi pula, masak janji alan belikan buku kalau ketemu, masak tidak bisa tepati sendiri. Nyapa dia "Ngapain duduk di situ?" dengan senyum manisnya. Aku hanya menjawab "menghitung uang cukup apa tidak hehe,  pean sudah dapat buku?" ia menjawab "Belum, ini masih mau cari". "Cari dulu sana, oh iya sudah pernah baca bukunya Eka yang ini?, aku tunjukkan kepadanya buju yang aku inginkan. Dia jawab " Pernah Mas, ceritanya agak absurd". Oh iya, pengen ini tapi ragu dengan isi kantong. Ayo ikut bentar ke rak buku fiksi sastra terjemahan. Sesuai dengan janjiku". Aku bawa ia ke arah buku terjemahan disitu ada buku George Orwill Animal Farm dan 1984 terlihat menggoda. Aku berpikir buku itu bagus tapi saya yakin dia gak suka, dari wajahnya ia suka Sapardi Djoko Damono,  karena sering baca puisi yang ditulis di status WA-nya bahasa dan gaya nyaris Sapardi. Aku hanya ambil buku terjemahannya Sapardi karya Sastrawan Rusia Anton Chekof berjudul Tiga Tahun, tiga bentuk tulis angka dalam cover bukunya. Lalu ku berikan dan ku bayarkann, tanpa menolak langsung menerimanya. Itulah perempuan tidak ada pura-pura kalau memang sudah disukai, maksudnya suka dengan bukunya. Dengan senyum dengan kata serius kepadaku. Dan dia sendiri langsung mengambil bukunya Hasan Aspahani di rak sebelah. Lalu turun ke bawah, menuju kasir, dan buku Anton Chekof itu langsung Saya berikan dan menuju ke parkiran, dia pulang dan aku dengan teman lanjutkan ke toko huku indi-an di Malang. Saya hanya berpesan hati-hati kepadanya, Kabari kalau sudah sampai rumahnya. Dia pulang. Aku keluar.

***

Beberapa bulan selanjutnya kurang lebih tiga bulanan. Ia, seperti hilang dari hidupku tapi dia memang beda kelas denganku, tapi ada di salah satu mata kuliah kita bersama. Aku tak ada apa-apa menganggap biasa seperti Mahasiswa pada biasanya. Setiap hari. Mengapa tiba-tiba dia datang lagi dan dia seperti memanjakan diri kepadaku, dengan senyum setelah turun menyamperin aku, dan dia seperti orang pucet sakit, saya pegang lengangnya di bawah bahunya, lalu dia memelukku dan dia lama memelukku, sepontanitas ketika dia sudah menatap mataku, dengan dengan posisi seperti memandang adekku sendiri dengan keadaan seperti itu, lalu spontas aku mencium kening dia. Dalam dunia nyata sepertinya aku tidak akan sengawur dan seberani itu. Karena dia datang ke aku yang terakhir hanya dalam mimpi kala aku tidur siang setelah selesai pulang kerja. Dan aku berpikir apakah dia lagi sakit, kebetulan aku dalam kondisi tidak enak badan juga.




Akhmad 2018
Cerpen ini ditulis di Togamas Malang


Selasa, 13 Agustus 2019

Pesan Kepada Calon Penulis yang Frustasi

Gambar: refrensiadunia.com


Kegagalan menulis ketika sudah berhenti menulis, kreatif yang satu Ini seperti halnya seorang pelukis, menulis menuangkan ide dalam bentuk teks, ketika sudah usai perlu pengembangan, mengembangkan ide itu perlu latihan yang memerlukan proses panjang. Pikiran kita bukan memikirkan pembaca dengan karya yang kita tulis, melainkan apa yang bisa sampaikan dalam teks. Pada suatu hari, ketika merasa tidak pantas menjadi penulis, hal wajar, karena kita masih sadar dengan 'kita memiliki pembaca apa tidak'. Tugas seoang penulis memang bukan untuk memberikan jalan, tapi lebih tepat memberikan sebuah pandangan cara-cara jalan menemukan jalan buntu.

Melalui teks penulis akan hidup di dalam diri setiap pembaca. Dari mana datangnya penyesalan, mungkin masih berpikir apa respon dari pembaca yang tidak terlalu banyak. Kita tahu kadang memberi apresiasi pada penulis, sebuah kebanggaan tersendiri. Menulis cara memaknai sunyi yang rumit ditemukan dalam keadaan paling ramai dituangkan pada keadaan sosial dan dijadikan sebuah rujukan. Bersyukurlah ketika ide yang terbentuk teks menjadi pengetahuan, hingga diakhir hidup dengan seperti itu akan  ada keabadian.

Akhir-akhir ini saya tidak terlalu intensif menulis. Bukan tidak ada waktu namun labih tepatnya serasa menulis sudah menjadi puncak kebosanan dan seperti diputuskan oleh akal kalau hati bicara kala sunyai berkata "Mungkin saja saya tidak ditakdirkan jadi Penulis". Hal itu menjadikan cara berpikir yang sesuai dengan harapan. Saya tidak tahu dari mana datang akal pikiran itu apa hukum sebab akibatnya dapat ditemukan.

Salah satu teman dekat namanya Dani. Ia memang ingin sekali menjadi penulis (ambisius). Pada suatu saat keluh kesahnya dengan kegagalan menjadi penulis dengan membawa cerpen yang belum jadi. Dan itu disuruh bacakan ke saya. Dalam hati hanya berkata mengapa masih berkata gagal menulis atau menjadi penulis, samapai mana parameter berhasil menulis. Hal itu akan berkaitan dengan apa yang dibaca dan kepada apa mentitahkan dirinya sebagai penulis. Ketika sudah menyodorkan karya bagiku itu sudah bentuk proses akan menjadi penulis. Apa yang paling susah dalam melawan keinginan besar, tidak lain dan tidak bukan yaitu malas dan bagaimana memulainya ide. Tentunya itu akan menjadi kegelisahan dalam proses mendalami dunia tulis menulis.

Menulis itu serasa capek atau kadang kehilangan inspirasi atau bahkan disebabkan karena membaca kurang banyak. Kalau bilang setuju mungkin bisa jadi subjektif dan hal itu untuk menjadi objektif perlu kedalaman isi dan keluasaan pandangan. Bagiku menulis bukan sekedar hobi tapi keharusan sebagaimana nanti apa yang kita tangkap atau yang pernah kesasar dalam dunia Sastra, opini, esay, berita dan bahkan hanya cerita di buki harian. Berharap akan membantu pembaca yang nanti akan menjadi langkah sederhana setidaknya langkah itu tidak membuat orang selaku pembaca tidak tersesat dalam ruang paling sempit. Minimal kesangsian orang lain diluruskan oleh apa yang ditulis sebelumnya, khususnya saya dan teman saya yang sudah merasa gagal menjadi penulis.

Pernah seketika di suatu malam di samping makam memikirkan hal itu bagaimana kita menjadi penulis. Di makam yang begitu gelap seperti menyeramkan karena tepat pukul 2:00 Wib tengah malam. Mengambil buku dan menuliskan kegelapan sebagai objek tulisanku. Pada saat itu saya sendiri namun pada saat berkumpul kita membahas tulisan itu, hasil apa yang didapatkan. Pertimbangan kurang faedah itu seperti tidak menjadikan kita lebih baik atau bahkan hanya sekedar ngobrol seperti tidak serius. Pembahasan itu biasa dilakukan di warung kopi, dan di manapun kita berada.

Tempat paling biasa kita membahas tentang banyak hal yaitu di tempat kerja saya. Di situ ada teman seperjuangan belajar menulis dan selalu membaca. Namanya Deri, biasa di tempat bekerja banyak hal di bahas kala semua orang tidak menganggap kita paling menarik namun bagi kita tetap apa yang berkaitan dengan ide perlu kita perbincangkan. Daripada membicarakan orang lain atau bahkan hanya bicara mengenai kecantikan perempuan. Boleh juga taoi tidak seharusnya menjadi kewajiban disetiap saat itu akan menjadi pembicaraan, tidak ada masalah kala mengaduk kopi dan meminum kopi tidak selalu bicara idealisme tapi selingan sebagai lelaki normal permpuan menjadi selingan kala semua pembicaraan sudah seraaa membosankan.

Memulai lagi ketika malam itu kita selalu berbicara ngawur seperti kemana-mana kita berkelana dalam Imajinasi, walau agak liar berpikir tapi tidak melampaui batas kekikiran diri untuk berbagi dan bisa menemukan sebuah solusi. Dari itu pembicaraan sering terjadi dan menjadi bukti keberadaan kita sebagai manusia. Ide yang ditulis kadang memiliki perbedaan jauh berbeda orientasinya, dan kita memiliki tata niat berbeda, tapi dalam praktik masih saja sama. Dari mana kita akan menemukan makna tentang itu semua. Menulis cara kita mencatat apa yang kita rangkap kita nanti bisa konsisten akan memiliki kebanggaan sendiri.

Dan hari ini bisa dikatakan hari lahirnya kita selama berproses mengumpulkan ide dan menjadikan jadi satu sebagaimana kita sama-sama memiliki misi sama, dunia literasi akan menjadi Menjadi wadah kita. Memberikan ruang dan kesempatan kita dalam berkreasi. Mungkin bisa dikatakan telat walau tidak kita anggap telat karena itu masih dalam proses belajar. Sekarang kami bertiga membuat akun IG yang dijadikan identitas keberadaannya gerakan literasi kita. Pada awalnya hanya diberi mana toreh maos, kini diberi nama 'Gerilya Literasi' semangat nama ini semoga menjadi langkah paling awal dan tidak ada akhir kecuali nanti bisa dijadikan sebuah bukti bahwa kita sudah tiada, dan berharap ruang itu tetap ada.

Semangat yang kita bawa untuk membetuk, bukan hanya ada pada eksistensi namun esensi dari semua itu kita perlu diperhitungkan. Seperti apa yang dilakukan kita bukan beroentasi mengenai materil namun ingin lebih menawarkan nilai edukasi. Yang nanti bisa menunjang pada kehidupan kita dan semuanya yang kita cermati sebagai bukti keseriusan hati menata diri.

Jika menulis tugas keabadian maka hanya kesunyian yang harus ditempuh untuk menemukan, arti dari apa yang akan dituliskan. Sehingga perasaan kita akan bisa dirasa dimasa akan datang, ketika semua bisa ditempuh dengan baik kerisauan kegelisahan, disisipi mengenai pengetahuan, mungkin saja akan melahirkan sebuah cara baru di masa depan para pembaca kita.

Saya pernah teringat dengan surat yang ditulis oleh Mario Vargas Illosa, pesan kepada soorang novelis muda. Menulis itu tugas yang tidak mudah, apalgi menulis fiksi. Menulis fiksi Itu seperti meletakkan cacing pita di dalam tubuh kita, dan cacing pita itu akan menggerogoti tubuh kita. Karya itu seperti halnya cacing pita tidak akan terlihat oleh manusia namun akan ada di dalam diri manusia. Bahkan terkadang akan cacing itu akan membuat penyakit pada manusia.

Penulis akan memberikan ide dan cara yang akan lahir seperti halnya pengetahuan, Pengetahuan yang akan bisa dirasa oleh manusia akan datang, bagaimana nanti suatu saat ketaatan manusia memberi acuan pada apa yang ditulis, yang kita persembahkan pada pembaca. Apapun maknanya akandl diberikan pada pembaca, fiksi tercipta oleh akal budi manusia yang transenden. Sebagaimana nanti hasil dari renungan hanya tercipta sebuah puisi hal itu, dan bagiku itu bukan bentuk kegagalan untuk jadi penulis. Itulah seorang penulis yang selalu mampu mencoba mencipta hal baru. Yang nanti akan melahirkan ide pada pembaca.

Tulisan ini saya teruntukkan teman saya yang mengeluh untuk jadi penulis. Merasa gagal karena dirinya merasa masih belum apa-apa. Bagiku itu sikap seorang penulis yang seperti halnya seorang pelukis, ia tidak akan merasa bahwa lukisannya bagus dan indah. Bahkan akan selalu merasa gagal melukis. Teringat dengan Aan Mansur seorang penyair dan penulis, karyanya yang dikenal puisi yang Tiada New York Hari Ini dibacakan Nicolas Saputra dalam flim Ada Apa dengan Cinta 2 (AADC 2).  Ia pernah bercerita mengenai proses menulisnya disalah satu perbincangannya ia berkata "saya dalam menulis masih belajar". Dengan seperti saya meyakinkan sikapmu seperti itu sudah menunjjukan kalau kamu bakat jadi penulis. Saya pernah meyakini kau lebih bisa daripadaku sebab kegigihan belajar yang kuat itu membuat saya yakin. Ketika sering berbicara tentang tulisan mungkin saja kita sama-sama tidak akan pernah menunjukkan mana yang salah dan mana yang benar. Kita sering melakukan memberikan pujian dalam sastra dikenal (apresiasi sastra). Dari itu saya yakin sebagai pemula akan terus belajar. Saya pernah dikirimi tulisan olehmu melalui pesan WA dan saya sanjung tulisan itu, bahwa tulisanmu itu bagus tapi belum baik, karena baik itu subjektif. Dengan bijak kamu bilang "mengenai menulis kita pemula, yang sudah jadi penulis seperti Faisal Oddang itu" itu pernah kamu ucapkan ke saya.

Saya juga pernah berpikir, kalau saya menulis sebaik apapun siapa yang akan baca. Mungkin Dani teman seperkopianku yang ingin jadi penulis, bahkan dalam ceritanya kalau gagal jadi penulis, ia akan pulang ke Situbondo katanya mau jadi penjual tembakau. Saya waktu itu senyum saja. Kegelisahan yang sama bagaimana mungkin kita akan memiliki pembaca sedangkan kita masih jauh dari kata yang orang banyak tahu dan kita mah orang yang tidak memiliki power ketenaran. Pembaca kita kadang dipaksa, kalau yang punya teman dekat dan pasangan paling hanya itu yang kita beri tahukan tentang tulisan kita. Yang paling ingin memamerkan kita membuat status di WA agar sedikit ada yang tahu bahwa kita pernah menulis sesuatu. Rasa Itu hanya sementara kepuasaanya, sebaab tidak semua patut dibanggakan dan kedang membanggakan. Sebagian hanya mencemooh tulisan, itu bagian yang pasukan nyinyir. Yang hidupnya bisa dikatakan sudah baik dengan apa yang telah dijelani dengan baik dan jelas. Sedangkan kita sebagai orang yang hanya menggemari menulis dan baca, tidak memiliki apa-apa. Hasil tulisan belum bisa kita makan, tidak perlu dibanggakan tapi harus sadar menulis bukan seperti halnya menanam jagung, kacang, dan kopi. Menulis seperti halnya menanam pohon beringin, ketika besar kadang bisa angker kadang tidak berani untuk di potong, tapi pohon beringin, ya pohon beringin, ketika hujan bisa melindungi manusia berteduh.

Saya juga pernah bercita-cita dan bermimpi bahwa tulisanku bisa digemeri seperti halnya seorang penulis kalau di Indonesia Pramoedya At, Akhmad Tohari, Seno Gumira, Eka, Tirto, Hamsah Funsiri, Abdul Hadi WM, Afrizal Malna, Budi Darma, Danarto, GM, Tan Malaka, Bung Karno, dan Hatta. Kalau di luar negeri seperti Vigtor Hugo, Haruki Murakami, Ernes Himengway, Sastre, Gabriel Marques, Jorge Luis Borges, Albert Camus, Shakespeare, Pablo Neruda, Wislawa, dan Kafka. Semua Itu akan menjadi impian seorang penulis karya diimpikan oleh para penulis, setiap karya dari orang yang disebut itu karyanya akan selalu ditunggu oleh para pembaca, penulis tidak punya penggemar karena bukan dirinya yang persembahkan, tapi teks yang dipersembahkan. Pengemar dikhususkan ke artis saja.

Menulis itu seperti seorang pengemis mencari keberuntungan, dan kadang mencari dengan keras untuk menghasilkan. Dan untuk bisa menjadi pengemis baik mampu mengumpulkan uang receh itu tingkat keberhasilan pengemis. Sikapnya penulis bagiku samahalnya dengan penggaris, mengukur lurus dan jauhnya sampai mana ide, kreatifitas, dan pengetahuan.

Kualitas tulisan ketika kita sudah berani keras mengasingkan diri, diasingkan diri pemikiraan orang-orang lain. Jalan sunyi dalam menemukan makna yang diterima oleh setiap disiplin ilmu.



Akhmad 2019
Tulisan ini teruntuk para calon penulis atau yang belajar menulis seperti halnya saya ini yang masih belajar menulis. Kepada teman ngopi Dani Alfian yang frustasi ingin jadi penulis.

Senin, 12 Agustus 2019

Malam Lebaran di Bawah Lampu Merjosari

Gambar: pusjal

Ketika hambal sudah dibeber dan buku ditata pada saat itu pula sudah dimulai. Memulai melapak buku bersama dengan solidaritas. Namun bukan hal itu yang ingin ku tulis. Pada  saat takbir bergema setiap lebaran tiba ada hal yang ingin ditutupi yaitu kegelisahan berkelanjutan pada saat malam lebaran. Bahkan saking tidak bisa menahan air mata yang bergelimang laksana air mata ikut bertakbir.
Dari masa tidak pernah terhapuskan.

Orang yang selalu peduli di perantauan bahkan selalu menjadi teman hiburan. Namanya tidak saya sebut tapi itu selalu sabar menghadapi keadaan kacau balau seperti ini. Dan berharap masih terus sabar dan selalu tersenyum. Anehnya dia selalu tidak ingin tahu perjuangannya, kecuali selalu postif baginya.
Sepertinya yang dilakukan hari ini bukan tentang belajar filsafat atau sejarah yang rumit bahkan merumitkan. Tapi, mengenai hal paling dirundingkan setiap doa mengenai yang paling penting dalam hidup. Setiap lebaran nama Itu dapat menjelma seperti halnya matahari setiap pagi terbit.

Gambar: Gerilya_literasi

Lapak buku bukan hobi istimewa yang akan menjadi kebanggaan setiap orang khususnya mahasiswa (i). Namun gerakan ini merupakan gerakan yang akan menjadikan kita lebih dewasa tentang yang ada pada manusia, kerja kemanusian yang akan menjadi bagian dari setiap orang menyukai bahkan separuh dari kesehariannya buku dan membaca menjadi bagian rutinitas. Bagiku mereka yang selalu berada di zona itu, sudah menemukan kerisauan ketidak pahaman tentang banyak hal khusus bagi pengetahuan. Rutinitas yang lahir dari kreatifitas akan menimbulkan estetika yang lahir dari etika.

Membaca bukan hobi yang paling disenangi atau bahkan digemari para pencari menantu idaman para ibu-ibu yang anaknya hidones. Tidak akan ada yang paling idaman ketika semua hanya menjadi keinginan pemahaman. Buku hanya objek pembaca sebagai subjek yang akan hidup dalam dinamika persoalan tentang hidup yang mampu membenturkan diri.

*

Saat duduk dan menjaga buku sambil membaca buku. Wartawan datang mendatangu saya, setelah dari Cak Pendek (nama sebutannya), ia sebagai penggerak wahana baca “Sabtu Membaca”. Wartawan yang datang meminta jawaban kepada saya tujuan dari Perpustakaan Jalanan-Malang (Pusjal Malang) yang serentak dilakukan di Malang, tepatnya di Merjosari. Ketika menanyakan tentang gerakan Pusjal,
"Apa tujuan dari Pusjal yang berkolaborasi bersama membuka wahana baca?" ujar Theo pewarta.
"Tujuan, merupakan gerakan jiwa, dan melakukan bentuk solidaritas atas kejadian 27/06/2019 saudara kita di Probolinggo yang melakukan gerakan literasi, namanya 'Vespa Literasi' yang dibubarkan dan disita bukunya, dan ini bentuk ketidak terimaan kita sebagai misi yang sama, satu tujuan untuk memberikan wadah baca kepada masyarakat, karena orang Indonesia bukan tidak suka baca, melainkan Indonesia kekurangan fasilitas baca. Dan hari ini Indonesia bukan lagi berada di ranah paling rendah melainkan Indonesia hanya kurang wadah membaca. Contoh kecilnya ketika ruang baca di setiap daerah diadakan pasti akan ada yang mengunjunginya.
"Apakah kegiatan baca di jalanan ini efektif?"
"Pertanyaan ini sudah pernah dilontarkan oleh salah satu teman yang sekaligus mencemooh dengan adanya ruang baca di umum ini. Terutama ia mengatakan tidak ada nilai guna pada apa yang saya lakukan, membuka wahana baca setiap Senin fungsi secara signifikan tidak ada. Bagiku kegiatan ini merupakan bentuk pengenalan literasi dan karena Indonesia ini kurang wadah di Kampus atau non-kampus, kita melakukan seperti bentuk pengenalan dan pentingnya membaca, bicara hasil tidak pernah menargetkan, ini bentuk perjuangan kami lakukan bukan untuk menemukan eksistensi yang dibangun melainkan bentuk esensi dari apa yang diresahkan oleh gerak jiwa. Bahwa efektifitas ada ketika kesadaran sudah kebangun oleh individu yang akan membuka ruang pada masyarakat akan pentingnya membaca. Saya hanya ingin memberi wadah yang sesuai dengan kebutuhan ketika sudah tidak mau nempati Atau memakannya apa yang kami siapkan. Siapa tahu suatu saat ada saja yang akan memanfaatkannya.

Langit sudah makin gelap lampu Kota Malang sudah begitu suram. Banyak di samping taman Merjosari semakin sepi. Saya dan teman-teman pada bergegas membereskan buku. Sambil berbicara tentang takbiran yang bergema. Salah satu teman nyeletuk "Kita ini bertakbir baca, bukan takbir seperti biasa". Dengan senyum sinis sebab ada rindu yang belum terbayar tuntas, setiap lebaran ketika menulis puisi hanya berisi tentang bagaimana menerjemahkan wajah yang hilang dan setiap bulan lebaran dirindukan.

Perkataan " Kau anak mama dan kini sudah dewasa, dan masih ingat dulu mama meletakkan kancing kemejamu agar rapi, dan memasangkan kopiahnya, kau anakku". Suara itu kini hanya bisa dikarang olehku dan bisa saya rasakan melalui cerita dalam setiap tulisanku. Tulisanku begini tapi maksudnya begitu hal itu representasi dari apa yang bisa dirasa dan tidak hanya secara terang diterima.
Selamat lebaran di taman Merjosari dengan desir angin dan kota dingin yang akan dikenalkan oleh cuaca pada mahasiswa baru di Kota Malang.

Ketika buku ada lagi yang disita karena trauma tropisme yang terlebihan hingga menciptakan kediktatoran penguasa modal, kekuatan ada kita yang senantiasa membaca dan mencoba membuka diri agar terbentuk keluasan, ketajaman, dan kehalusan perasaan. 'Membaca adalah melawan" terpapang di baner. Asumsi saya bahwa melawan multi tafsir,. Melawan kemalasan, melawan ideologi, melawan ego mengenai apa yang ada dalam Al-Quran dengan realitas kita, buku atau kitab. Semua akan terangkum dalam proses menemukan dan mengemplemintasikan apa yang dibaca dalam kehidupan.

Perjuanganku bukan melawan kolonialis atau imperialis melainkan ego individualis. Sikap gotong royong sudah terkikis. Sebagai mahasiswa kini hanya membaca apa yang telah diterima oleh dinamika. Selamat datang mahasiswa baru 2019. Besok pembukaan, pembukaan Penerimaan Mahasiswa Baru di Universitas Brawijaya Malang. Bersiaplah di Kota dingin Malang. Mahasiswa berpikir, berporoses, dan membangun akses. Serta membaca apa yang disuka.

gambar: solidaritas Perpustakaan jalanan Malang


Akhmad 2019
Ditulis Taman Merjosari ketika solidaritas ngelapak buku baca Gratis bersama dengan aliansi Perpustakaan Jalanan Malang.

Rabu, 07 Agustus 2019

Apakah Indonesia Sudah Tidak Berdikari?


grafiti.com

Akhir-akhir ini ramai dengan keputusan Menristekdikti mengenai percobaan Rektor. Lebih mengejutkan lagi rektor tersebut diambil dari luar negeri. Apakah tidak akan menurunkan mentalitas generasi bahwa secara tidak langsung tidak ada kepercayaan atas kemampuan orang Indonesia yang tentunya sudah memeliki gelar Profesor. Hal itu mengejutkan kala nanti benar-benar terjadi.

Dalam memberikan keputusan tentunya semua manusia akan memiliki pertimbangan. Pertimbangan tentunya memiliki parameter secara subjektif, sikap tersebut memiliki nilai baik dan kurang baik Dalam kebijakan suatu keputusan tidak ujuk-ujuk memutuskan, melakukan kajian dan musyawarah perlu dilakukan. Hal itu jika sudah dilakukan sudah baik.
Dalam keputusan keminristekditi perlu dengan serius agar tidak terjadi penyelasan. Dalam hal ini pula melakukan observasi dari negara-negara lain. Seperti Finlandia, Inggris, USA, Jerman, Prancis dan Negara di Amerika latin seperti Argentina, Brazil, dan Chile dsb. Karena berkaitan dengan mentalitas sebuah negara perlu melakukan observasi tersebut. Sebagaimana semua Rektor dari luar negeri belum tentu terbukti kredibilitas, kualitas, dan speritualitas.

Maka perlu pertimbangan kampus negeri kiranya akan diisi oleh para pendatang baru dari luar negeri.
Pertanyaannya apakah akan mudah beradaptasi dengan kultur budaya di Indonesia. Dan apakah orang Indonesia menerima?, hal itu bisa jadi menjadi orang Indonesia tidak percaya diri, karena secara tidak langsung kemampuannya tidak diakui dalam apresiasnya. Jadi perlu dipikirkan dulu dalam melakukan keputusan karena berkaitan dengan kepentingan orang banyak dan berpikir jauh, bukan berpikir kualitas dalam sebuah kampus, namun bagaimana orang asing bisa diterima dengan baik apa tidak oleh staf, dosen, dan tentunya mahasiswa. Dipimpin oleh latar dan budaya yang berbeda, jika memang itu kita menggali darinya tidak masalah tapi ia datang untuk memimpin di Universitas.

Teringat dengan wawancara Kompas (22/07/2019), kepada Kepala Staf Kepresidenan Bapak Moeldoko menambahkan, Presiden juga menginginkan adanya peningkatan indeks kualitas perguruan tinggi di Indonesia dengan pelibatan rektor asing.
"Kalau nanti ada rektor dicoba rektor dari luar, mungkin juga salah satu BUMN direkrutnya dari luar. Kita ingin melihat. Presiden ingin melihat bagaimana bangsa ini berkompetisi. Kita memasuki dunia yang sangat kompetitif, ini perlu ada sebuah tantangan baru," ujar Moeldoko, pada Kompas.

Ketika dalam sebuah instansi seperti Kampus sudah diisi oleh orang-orang bukan Indonesia sendiri maka perlu kita sadari apa yang akan terjadi. Bukan berpikir negatif terhadap apa yang akan dilakukan oleh orang luar negara kita, ketika sudah diberikan kesempatan secara mudah, dan kita sebagai orang Indonesia apakah hanya menjadi babu di bawahnya, bagiku para pemangku posisi negera atas keputusan Ini perlu adanya perhititungkan yang sangat mateng, karena tidak menutup kemungkinan akan ada pergeseran sistem dilahirkan dari struktural, sebab tidak akan ada rombakan baru, dari segi internalnya. Posisi orang yang berkuasa ada di kepala. Akan lebih leluasa. Saya hanya berpikir jika sturuktur suatu lembaga sudah diciderai dengan sebuah latar belakang berbeda yang ada di negera kita ancaman paling berart kultur dan budaya di dalamnya. Struktur yang baik tentunya tidak akan lepas dari kultur yang solid dan linier dengan budaya kita Indonesia, dan ketika kultur tidak baik kemungkiman besar tidak akan tercipta. Dan kepercayaan diri tentunya akan ada, bukan hanya di bawah orang-orang yang berbeda dengan kultur Indonesia.

Acuan Refleksi terhadap suatu kampus kita mungkin beracuan pada kampus Oxford yang memiliki cita-cita ada korelasi yang signifikan.

Mengingat dengan cita-cita di salah Universitas terkemuka di Dunia, di Universitas Oxford Bratania, di Inggris. Cita-cita tersebut City of Higher Education. Menyikapi cita-cita tersbut kita harus tahu, bahwa hal tersebut tidak lain tidak bukan menunjukkan bahwa harus orang-orang negera sendiri yang ada di dalamnya. Karena orang Indonesia sendiri yang akan memahami dan tahu tentang wilayah tersebut, kita berpikir secara logika apakah Rektor yang kita datangkan dari luar akan mampu membuat cita-cita yang menjadi impian kampus terbaik dunia nomor dua tersebut, setelah Harvad. Sebagai keputusan yang lebih arif kita harus memikirkan secara bersama, karena kita memiliki tujuan yang sama namun letak geografi, kultur, dan budaya. yang berbeda harus menjadi pertimbangan.

Memang cita-cita mulia sebuah manusia ada, namun perlu perluasan pandangan sebagaimana manusia memperhatikan cara kita, apakah akan memiliki dampak di masa depan terhadap nasib anak bangsa dan masa depan negara kita. Mungkin saja simtem tidak berubah bahkan postif terhadap orang negeri terhadap negara bukan sudah bicara kolonialistik, kapitalistik, dan imperealistik. Namun sebagai manusia yang dikudrotkan sebagai manusia yang memiliki sifat skiptis terhadap sesuatu perlu memahami apa yang menjadikan kita tahu. Dan trauma akan menjadikan dasar atas kepercayaan atas diri kita perlu, bukan menurunkan semangat membangun negara yang berdikari dalam pengembangan. Kepentingan Nasional juga menjadi perhatian rakyat kecil karena dampaknya akan dirasakan ketika kita tetap tidak waspada atas kesempatan dan membuang kesempatan kaum intelektual orang Indonesia sendiri.
Jangan mengulang kembali apa yang terjadi pada Bapak Habibi dan Ibu Srimulyani. Mereka orang yang besar memiliki jasa dan orang paling berpengaruh di luar negeri. Sedangkan di negeri sendiri menjadi asing. Hal itu jadi sejarah bahwa Indonesia sendiri tidak memakai tenaga anak negeri sendiri.

Lagi-lagi ketika hal serius ini menjadi sebuah percobaan. Tidak pernah membayangkan ketika sebuah keputusan menjadi sebuah percobaan. Dan itu di florkan di forum. Seharusnya percobaan bukan harus dilakukan secara putusan namun lebih pada satu titik, dengan melakukan percobaan lalu ketika sudah menemukan nilai positif atas percobaa itu baru percobaan tersebut bisa diangkat ke publik atau dibicarakan lalu putuskan, dengan hasil dari apa yang dilakukan, apapun itu, itu yang lebih arif.

Ketika belum terbukti adanya nilai positif dari sebuah percobaan, maka perlu perluasan cara pandang. Jangan sampai keputusan Itu menurunkan mentalitas generasi negeri. Kita merasa kalau di negeri sendiri masih memiliki sintemintil atas negeri luar, ketika tidak percaya dengan kemampuan negeri sendiri, dan tidak meberi kesempatan menjajal kemapuan anak negeri tentunya akan mendalami degradasi berpikir.

Keputusan itu seperti tidak mempercayai atas produk negeri sendiri. Kemampuan bukan tolok ukur memimpin, di luar sana Rektor dikirim ke Indonesia belum tentu bisa membolisasi apa yang ada di negeri ini. Karena orang-orang negeri kita kepalanya bukan lahir di rahim yang sama Indonesia. Berbapak Pancasila beribu Undang-undang dasar 1945.
Sebenarnya bukan manusia satu yang diperhatikan dalam memimpin. Rektor hanya menjadi kepala dan di bawah masih ada jajarannya. Dan semua itu saling sinergi ketika sinergitas terbentuk dibangun dengan harmonis maka akan tercipta sebuah lembaga Kampus yang baik. Bagiku keputusan itu memiliki orientasi yang terletak pada kridibelitas tujuan akhir, esensi dari pendidikan lahirnya bukan pendidikan tapi hasil pendidikan orientasinya ke produk hal yang materil yaitu bekerja setelah kuliah.
Seharusnya ada penanam sebuah karakter kridibelitas manusia yang humanis yang tidak mencipta generasi yang individualis. Kualitas tidak hanya bisa dibentuk oleh satu organ tapi perlu organ lain, perlu sinergi dan harmoni dalam sebuah lembaga.

Dalam sebuah kampus yang diperhatikan sistem dan fasilitas. Pada Mahasiswa bentukan karakter yang harus dibangun. Bukan terletak pada Rektor. Apalagi bukan anak negeri sendiri. Lebih arif ketika harus menggantikan dan memberi porsi posisi Rektor yang direkrut dari luar Indonesia.

Stok potensi orang Indonesia tentunya sudah banyak. Mengapa masih akan ada inisiasi Rektor yang diambil dari luar negeri?. Saya berasumsi kalau itu memiliki orientasi mengenai perubahan yang dicita-cita para pemangku kebijakan, ketika berbicara perubahan tentunya ingat pula pada kata 'revolusi', menurut Ir. Soekarno revolusi itu harus membongkar dan membangun. Dari arti itu menjelaskan bahwa merombak dan membangembangkan agar tercipta sebuah instansi kridibelitas serta optimal. Maka perlu namanya sistem yang baik dan himbauan yang ketat. Bukan melakukan pergantian Rektor yang itu akan mengambil tenaga dari luar Indonesia.


Akhmad 2019

Jumat, 02 Agustus 2019

Salahkah Aku Membaca Buku?

gambar: wahyu aksi.kamisan


“Jangan bungkam aku dengan hanya buku berbau kiri sebab yang kiri kandang lebih manusiwi, buku mengajarkan wejangan hidup, ada sejarah, pengetahuan, dan bahkan cara berpikir. Tanpa buku apakah Tuhan masih ada dalam diri kita, hanya dengan buku Tuhan akan selalu hidup dalam diri manusia karena mansusia akan senantiasa menemukan makna dalam realita dengan membaca”


Pada saat duduk di depan dan diminta untuk bicara, saya sendiri tidak tahu akan bicara apa, berbicara tentang buku. Waktu itu diberi kepercayaan oleh teman-teman aktivis, tepatnya para komunitas Aksi Kamisan. Membicarakan buku tentunya tidak lepas dari dunia lietarasi. Beberapa hari lalu pernah menuliskan tentan kaitannya "Korelasi Revolusi dengan Literasi" hal itu menjadi pertanyaan dan mencoba mencari literatur penguat yang didapat dari beberapa tokoh Islam dan non-Islam mengenai praktik baca membaca.

Ketika memulai pertanyaan di dalam forum yang kebetulan bukan saya sendiri pembicaranya, tapi ada pula pegiat literasi di Indonesia lainnya yang menjadi pembicara pada forum itu. Tepatnya Ughik Endarto salah satu pegiat Literasi di Pasuruan. Ia menyampaikan beberapa proses mula dan motivasi dengan berdirinya gerakan itu. Bahwa berdiri mulai dari 2016 hingga sekarang beroprasi di Alun-alun Pasuruan bersama dengan temannya.

Dalam setiap perjuangannya tentu ada hal yang akan menghambatnya. Karena gerakan literasi bukan hanya gerakan yang seksi dikalangan aparatur negara (polisi), ada saja mereka memantau gerakan kita dikawatirkan gerakan literasi salah satu gerakan yang akan menganggu ketentertiban umum. Tentunya ketika sudah dibeberkan buku masih saja traumatis terhadap buku berbau kiri. Pada satu ketika memang aparatur negara datang dan memeriksa buku-buku yang ada. Yang diperiksa tentunya berbau buku kiri Peka'i. Sebab dari masa ke masa stigma sudah tidak baik mengenai hal tersebut. 

Hingga dalam bukunya juga akan menjadi antisipasi bagi masyarakat dan warga Indonesia. Sehingga kebajikan tertutup oleh kekejian sepihak di masa lalu.
"Ada buku apa saja di sini?. Ujar Polisi yang mendatangi.
"Kami hanya membuka ruang baca sekiranya dibaca oleh warga Pak, tidak ada niat lain, niatnya membantu mencerdaskan anak bangsa, dengan hal sederhana ". Ujar Ughik
" Tapi hati-hati dengan buku-buku Peka'i, itu ajaran yang menentang negara "
"Iya Pak".

Dengan menyembunyikan buku-buku dan meletakkan di posisi lain dari yang dibeberkan, untuk mengamankan diri sebagaimana bisa lebih leluasa, karena dalam kacamata kita sebagai Mahasiswa kaum sosialis Itu perlu diajarkan, karena memiliki nilai-nilai kemanusian yang tinggi, dalam bahasa NU-an itu habbluminall alam (hubungan sesama manusia itu perlu dalam kehidupan manusia). Sebab manusia memang spesies yang tidak lepas dari interaksi sosial yang simbiosismutualisme.
Dari apa yang diujarkan Ughik selaku pegiat literasi di Wahana Baca Pasuruan. Sangat berhati-hati ketika membawa buku. Ketika buku sudah jadi sebuah sasaran seksi polisi maka perlu strategi menjaga menghindari penyitaan buku.

Berbeda dengan ceritaku yang berada di letak geografi belum masif memahami literasi atau paling sederhana paham pentingnya baca dan manfaat baca. Daerah kecil di mana masyarakat masih berada di lingkup kehidupan yang begitu jauh dari akses atribut kota. Interaksi masyarakat yang masih berada dalam kegiatan paling kental duduk bersamaan se-nasib, sejalan profesinya, dan bahkan searah pemikirannya. Sulit untuk menerima cara pandang orang lain. Kecuali memang pernah senasib lalu berada di ruang yang sama dan kini sudah menemukan stuasi aman berada di tatanan masyarakat material ada uangnya. Parameter kesuksesan ada pada yang ditumpangi dan dimiliki.

Masyarakat akan merasakan dampak positif ketika diberikan uang. Bukan buku yang tidak akan ketemu ujungnya manfaat dan hasilnya. Hal itu yang menjadi pondasi kuat. Orang-orang di sana akan merasakan hal beda bukan dari segi pengalaman dan pengetahuan. Perbandingannya ada pada santri yang berada di pondok mengaji kitab kuning, rajin baca al-Qur'an, dan mendalami kajian kitab-kitab lainnya. Ketika pulang sarungnya bertambah bagus, dan wajahnya merona, dan kadang akan lebih banyak perempuan di kampung mengaguminya. Itu nilai plus berada di lingkungan paling srategis.

Masyarakat merasa pesantren merupakan tempat orang berjihat dan memperdalam ilmu agama, sedangkan ketika berbicara tentang anak kuliahan atau sekolah umum sering kali meremehkan, menganggap bahwa setiap interaksi aktivitas hanya berkepentingan pada umum (urusan dunia saja), sangat sempit memandang semua hal itu.

Di lingkungan yang ingin diperjuangkan tentang gerakan literasi atau memasigkan literasi sangat perlu kerja keras. Karena masih dikotomi ilmu di masyarakat saya perlu namanya sebuah dobrakan baru mengenai cara pandang yang dimiliki masyarakat. Menyadarkan serta memberikan pandangan bukan tidak mungkin mengalami keseriusan berpikir dengan melakukan strategi untuk bisa masuk pada ruang masyarakat yang masih konservatif. Hanya dengan cara mempersembahkan cara pandang dan Etika pada masyarakat, serta cara modernisasi yang paling sederhana bisa dilakukan ketika melakukan sebuah mediasi suatu permasalahan. Tentunya, memerlukan sebuah strategi yang kiranya bisa membawa diri kita dengan cara sebagai subjek kita bergerak tidak kosong tapi juga harus membaca agar apa yang kita tahu bisa diterima.

Dengan membaca akan bisa merebut hati pada masyarakat. Mencari buku strategi revolusi paling sederhana dan implemintasikan pasti secara signifikan kita akan merasakan. Harus sadar bahwa kemampuan kita hanya sekedar apa yang kita temukan terkadang jauh dari apa yang kita rasakan, mengandalkan kedua Itu kadang tidak relevan dengan keadaan dan zaman. Perlu bacaan buku yang sekiranya berisi tentang banyak hal dan bisa di kolaborasikan strategi itu untuk bisa sadar akan pentingnya literasi dan dunia Pendidikan umum.

Pendidikan umum dan agama dibedakan orientasinya. Walau sebenarnya tidak perlu melakukan itu tapi seperti inilah masyarakat, mengambil sebuah intisari sebuah mindset dari keadaan yang paling sempit. Karena parameter membangun cara pandang sudah mengalami degradasi berpikir, masih memahami sebuah materil menjadi pokok hidup manusia. Tidak merasa bahwa ada hal lebih penting pengetahuan yang metafisik hidup dalam diri manusia dan ketika pengetahuan belum terealisasikan mungkin saja Tuhan belum memberikan jalan. Apakah keadaan manusia hanya bisa dicipta oleh sesama. Dengan yang paling nyata tanpa tidak melihat yang tidak nyata.
Ketika gerakan literasi bukan salah satu gerakan istimewa, kadang harus paham meletakkan posisi sebagai sudah memberikan sebuah kebaikan kepada rakyat. Dengan tetap gerakan mecerdaskan anak bangsa dilakukan, namun dengan desain yang sekiranya bisa menunjang kehidupan mereka ketika melakukan observasi maka niat membangun literasi diletakkan di tempat yang akses akan sering bertemu dengan pembaca yaitu sekolah yang belum memiliki perpus. Dengan kawan seperjuangan menggunakan cara pandang Mahasiswa kita melakukan gerakan kecil untuk bisa mendapatkan buku lebih dulu beru tentukan objek sekolah yang kita tuju. Ketika sudah dapat kita perlu menembusi kesekolah swasta yang pemerintahan belum bisa membantu secara materi atau moral.

Setelah membangun kita perlu relasi kepada guru untuk mensosialisasikan tentang literasi. Bahwa siswa dianjurkan mengunjungi Perpus kecil tersebut. Peran guru juga penting dalam menebarkan Literasi di ruang akademik.
Toreh Maos hanya nama dari kegiatan kecil yang tidak terlalu penting dalamnya. Namun itu hanya hastag bahwa dalam Baca Gratis yang dilakukan, #Toreh maos tidak ada kaitannya dengan komunitas toremaos yang ada di Sumenep.
Gerakan Ini bentuk kesadaran dari diri kita terhadap apa yang terjadi di lingkungan sendiri. Hingga kebawa ke kota perantauan yang suram kelabu membawa sesuatu yang istimewa. Kekerasan perjuangan seperti menjadi hal biasa dalam setiap langkah.
Apa yang patut kita banggakan dari membaca buku, memahami pengetahuan yang kadang hanya membuat sekat pada diri kita menghakimi bahwa yang hebat ada yang tidak, terbukalah jumawa. Kini hanya perlu langkah konkret melakukan perubahan paling sederhana dilakukan Mahasiswa, paling tidak perubahan atas diri sendiri baru memikirkan hal yang lebih besar. Berbicara tentang makna dan arti tidak penting tapi berbicara tentang keindahan lebih penting.

Ketika Para Mahasiswa menganggap bahwa setiap yang dikerjakan itu pilihan. Pilihan tentang bagaimana harus bisa percaya diri hal yang paling penting dari itu semua mengenai percaya diri dari apa yang dicari dapat dinikmati. Gerakan literasi yang dilakukan bentuk lain dari hobi, ketika hobi sangat tidak patut dibanggakan perlu kita sadari bahwa dari setiap perjalanan harus diperjuangakn. Apakah itu rumusnya, saya pun tidak tahu. Melakukan hanya menjadi bagian dari mencari bukan karena tahu dan berhenti disitu, tapi hobi itu berbentuk abdi.

"Jika ingin menjadi manusia abadi dekati literasi dan amalkan" 

Akhmad 2019
Pada saat menjadi Pemantik di Aksi Kamisan Malang
Di Omah Diksi, Moment Swping Buku PKI mengenai Vespa Literasi Probolinggo.

Kamis, 01 Agustus 2019

Merayakan Kemerdekaan Indonesia


Merayakan Kemerdekaan Indonesia

Diujung bulan Juli ini. Sebagian masyarakat sudah mempersiapkan atribut 17 Agustus 2019, biasa dikenal dengan (17 agustusan). Persiapan tersebut seperti baleho, bendera, dan lampu hias sudah bergemerlapan di setiap gang bahkan ada yang sudah mempersipakan akan ikut perlombaan. Hal tersebut harus kita ketahui bahwa itu juga bentuk dari sikap nasionalis, apakah itu juga masuk kategori mengamalkan nasionalisme dalam bernegara.

Merayakan sebuah hal yang telah gugur dan berkaitan dengan negara, itu, juga masuk pada suatu antusias terhadap masa lalu yang dulu telah menggoreskan peristiwa besar kini diperingati sebagaimana bisa mengambil hikamah dari apa yang masa lalu terjadi. Bentuk pengabdian hari ini termasuk bentuk menghormati para pendiri bangsa yang telah tiada. Dan yang melukiskan sejara, hari ini generasi perlu kita mengenang sejarah, belajar sejarah bertujuan agar hidup lebih terarah. Antusias tersebut bentuk perayaan atas menganang sejarah.

Ketika melihat antusias warga hal itu menunjukkan kalau itu bentuk peryaan. Arti perayaan jika diperhalus kembali itu bentuk rasa syukur sebagai warga Indonesia harus mengamani. Peryaan tersebut merayakan suatu peristiwa dalam arti Kamus Bahasa Indonesia (KBBI).

Perayaan bukan tiba-tiba datang.

Perayaan perlu persiapan, persiapan tentang bagaimana rasa kita mencapai sebuah ketulusan. Apakah kita akan sekedar menyalakan lampu menghidupkan di malam hari ketika bulan Agustus tiba. Semua Itu bentuk eksistensi yang terlahir dari Esensi.
Esensi perayaan bukan terletak pada sebuah kesuksesan. Karena sebuah kegagalan perlu perayaan pula. Pada Tanggal 17 bulan Agustus tahun 1945 memiliki sejarah yang patut kita kenang dan rayakan. Dalam sejarah yang kita tahu kemerdekaan negeri tercinta ini merupakan salah satu peristiwa besar dalam sejarah.

Pencapaian yang tidak hanya didapatkan dengan senyum dingin, melainkan juga derita panas. Para pendiri bangsa bukan hanya bisa menyalakan rokok terus menghisap dan terus disemburkan asapnya. Hal itu merupakan perayaan yang salah dalam mengingat dan mengamalkan esensi sejarah.

Mungkin banyak generasi kita dari masa kemasa mengetahui lalu melakakukan perayaan tentang bulan Agustus. Bulan Agustus bukan hanya bisa memberi bentuk eksistensi yang hanya bisa memberi peristiwa besar dalam perayaannya. Agustus sebagai bulan sejarah di Negara Indonesia, meyakinkan diri bahwa kita pada bulan Agustus sudah lepas dari kolonialisme. Namun harus menjadi pekerjaan kita bentuk imperialisme yang ada apa masih terasa dan bagaimana penjajahan tanpa disadari ada pada diri kita, seperti  bentuk penjajahan eletronik yang tidak bisa dibendung masuk ke negara kita hingga pada akhirnya tidak menjadi hal yang sebagaimana mestinya. Elektronik sebagai acuan utama sarana penyangga bukan final mencari solusi dan mencapai prestasi.

17 Agustus 1945 hanya sebagai simbol, simbol yang memiliki bahwa pada masa Itu penentu sementara. Menyalakan lampu dan mengibarkan bendera di depan rumah kita bentuk eksistensi masyarakat bentuk antusias menghormatinya. Tapi yang tidak pernah kita pahami perayaan tersebut bukan ada pada hal-hal seperti tindakan seperti itu saja. Hal itu hanya bagian dari paling sederhana menemukan jiwa kita bahwa kita memiliki jiwa nasionalis.

Nasinonalis cinta terhadap tanah air bukan hanya terletak pada peryaan yang ada pada bulan. Memakai baju budaya Indonesia bagian bentuk cinta pada negera. Habbullwaton minal iman, memang bagian dari iman, mengimani itu wajib. Sedangkan bentuk dari iman bukan hanya terletak pada posisi, keberadaan, dan ke-akuannya sehingga tidak mengenai fungsinya.

Refleksi pada Negara hari ini tidak mungkin kita membawa sebuah nama, nama negara kita hanya label saja. Minimal citra pada sebuah nama terletak pada atribut kita. Rasa-rasanya memahami peristiwa yang sekiranya membuat kita lebih dewasa dengan adanya peristiwa itu dan membawa sedikit perbedaan. Sebab tidak pernah kita melihat Indonesia dari luar negeri. Peristiwa pada masa itu mungkin kalau dipahami akan meninggalkan sebuah polemik atas pandangan orang-orang Belanda, merdeka bukan karena perjuangan sendiri karena ada campur tangan Jepang. Namun hal itu bentuk dari proses hidup yang awal untuk bisa melangkah jauh mengenal dan membentuk peradapan dihari ini dan nanti.

Kesadaran paling utama itu perlu. Ketika tidak menemukan kesadaran tidak akan tercipta sebuah kemerdekaan. Kesadaran manusia tidak hanya bisa mengandalkan melalui menunggu wahyu. Melainkan ada cara lain menumbuhkah hal tersebut yaitu dengan mengenang sejarah. Berbicara tentang sejarah tentunya tidak lain dan tidak bukan bahwa sejarah ditemukan melalui banyak hal; pertama paling penting dengan membaca literatur yang ada seperti buku sejarah. Kedua menemukan dalam film-film berbasis sejarah dibentuk dengan latar dan tempat yang menggugah keadaan diri kita.
Kedisiplinan adalah kunci. Soekarno Presiden pertama kita sering mengingatkan pada ketika bahwa jangan sekali-kali kita melupakan sejarah karena sejarah adalah bentuk lain dari fenomenologi yang ada di masa lalu akan ada dalam versi berbeda dalam setiap masa. Dengan membaca akan ada jiwa terbakar yang yang terbuka atas terjadinya peristiwa besar pada diri mengenai memahami bulan Agustus bukan hanya ada pada perayaan namun keabadian yang terletak pada sejarah kita.
Peristiwa hari ini yang kita tahu bahwa urbanisasi bukan terletak pada tatanan kota dan desa, namun ada pada Negara, Negara yang kita huni hari ini bukan tidak mungkin akan mengalami sebuah perubahan, entah perubahan yang revolusi atau perubahan yang evolusi. Namun tidak menutup kemungkinan harus paham dan memiliki cara paling pasti menjadikan diri sebagai subjek dari hidup itu sendiri bekerja sebagai lakon, lakon yang tidak rakus terhadap posisi namun lebih memahami sebuah fungsi dirinya sebagai manusia.
Manusia harus memiliki fungsi. Namun fungsi manusia bukan mengatas namakan Agama sebagaimana bisa membawa dirinya ketidak perayaan atas Tuhan. Charles Darwin dalam teorinya sebelum mengatakan manusia lahir pada awalnya berevokusi dari 'kera lalu jadi manusia' yang dikenal teori Darwin teori evolusi. Yang menanrik Darwin mengatakan bahwa sebelum itu terjadi ada getaran alam besar dengan hembusan angin begitu besar yang mempengaruhi kita hidup, yaitu Tuhan. Hal itu menunjukkan bahwa segala sesuatu ada pada ranah di mana kita memposisikan diri sebagai manusia dan kehidupan manusia bagian dari hidup kita membawa akan kemana kita melangkah.
Fungsi bernegara dalam kehidupan bukan sekedar ada pada merayakan tapi mengamalkan sebagaimana fungsi manusia. Bukan posisi manusia. Sebab fungsi lebih manusiawi dari pada posisi.

Akhmad Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM Fenomena), Jurusan FKIP-UNISMA

Korelasi Literasi dengan Revolusi



“Tujuan literasi mempertajam cara pandang, memperluas pengetahuan, dan memperhalus perasaan”

Literasi pada umumnya sebuah keterampilan bahasa yang meliputi sebuah proses kreatifitas mendalami bahasa. Keterampilan tersebut perlu yang namanya perjalanan, sebuah langkah yang akan menjadikan tambah bisa melakukannya. Secara etimologi literasi bentuk dari kemampuan membaca dan menulis, kedua kemampuan tidak akan pernah didapatkan ketika memisahkan dari kegiatan baca dan menulis. Kedua tersebut sebuah keterampilan yang tidak lain tidak bukan harus bisa dijalankan  untuk bisa mencapai.

Menekuni dunia literer sebenarnya bukan temasuk hobi, walau pada sebagian orang menganggapnya sebuah Hobi. Beberapa hari lalu Times Indonesia memuat artikel berjudul “Ayo Membaca” pada 20 Juli 2019  yang ditulis oleh salah satu Dosen Bahasa Inggris Muhammad Yunus. Ia memaparkan bahwa membaca sebuah kewajiban dan menjadi kebutuhan.  Tulisannya memberikan indikasi mengajak kepada generasi  khususnya kepada saya pribadi sebagai pemula untuk bisa memahami esensi dari literasi tersebut. Kegitan baca dan tulis yang masih belum dikatakan masih jauh dari memiliki kemampuan.

Menggemari literasi sebenarnya sebuah pekerjaan yang paling humanis. Dengan kegiatan tersebut akan membuka pandangan kita sehingga lahirlah pola pikir yang rovolusi.

Membuka pandangan dengan membaca dan menyadarkan dengan menulis, karya tulis menjadi alat transformasi yang akan hidup dalam kepala-kepala manusia yang gemar membangun peradapan, membangun cara pandang mengenai masa depan yang lebih cerah, sebab proses kreatif terjadi karena adanya hubungan antara sublimasi jiwa bercorak pada sekelilingnya.

Ketika melihat proses dari sejarah, khususnya sejarah Indonesia, revolusi terjadi bukan hanya lahir dari manusia yang biasa-biasa. Revolusi jihat kita kenal lahir dari kaum Muslim KH.Hasyim Ashari menyuarakan hal tersebut menunjukkan gerakan tersebut menjadi tolok ukur bahwa para pendiri bangsa kita tidak menjahui budaya membaca dan menulis disingkat menjadi literasi. Setelah itu kita juga kenal denga yang namanya Tirto Adi Suryo, Hos Cokroaminoto serta murid-muridnya yang tiga Soekarno, Samaoen, dan Kurtosuwiryo. Pada Tahun 1928 kita kenal dengan nama sumpah pemuda lagi-lagi pelopor seperti M. Yamin dan M. Hatta menjadi salah dua dari mewujudkan nama Hindia menjadi Indonesia.  Sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Nama-nama tersebut sebagai tokoh-tokoh pendiri bangsa tidak keluar dari sebuah cita-cita yang rovolusi, namun yang menjadi perhatian kita hari ini dan disadari bahwa tidak akan tercipta revolusi jika pendiri bangsa tidak mengenal, mengamal, dan memperaktikkan literasi. Dengan membaca mereka akan membuka kesadaran hingga kesadaran akan terbuka. Mengapa dalam sejarah Tirto Adi Suryo ingin sekali membangun media di Nusantara bertujuan agar masyarakat sadar dengan sendirinya dengan hasil bacaan. Bahwa ini negeri kita sendiri mengapa penjajah seenaknya menguasai bahkan terjadi imperialis.

Para pendiri bangsa tentunya cinta terhadap literasi, bukan hanya merayakan revolusi yang menjadi dasar awal. Membaca dan menulis membuka kesadaran diri. Hingga proses itu bisa menemukan caranya. Dalam sejarah seorang ulama besar Kh. Hasyim Asari. Dan M. Hatta, Tan Malaka, dan Habibie, bahkan ketika ingat sejarah itu. Lebih intensif ketika menelisik riwayat M. Hatta mendalami literasi sangat kental. Bahkan dalam riyatnya nyaris separuh hidup tidak lepas dari yang namanya buku dalam kesetiap hariannya. Hingga kata-kata yang ada di dalam bukunya, menunjukkan bahwa bahwa ia cinta literasi. “Aku tidak apa-apa di penjara, di asingkan asalkan jangan dijauhkan dengan buku”. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemikir besar dengan tindakannya tidak hanya lahir secara tiba-tiba melainkan ada peristiwa ditemukan di luar dirinya yaitu dengan membaca.

Literasi yang akan membuat revolusi, bisa berkembang yang lebih lembut. Contoh sederhana dalam sebuah perubahan tanpa paksaan hanya dengan membaca dan menulis bahwa tanpa disadari secara tidak langsung rangsangan otak akan lebih memiliki keluasan berpikir dan kehalusan cara melakukan. Sebab kerja otak dikoyak oleh kata-kata dalam sebuah teks atau buku yang dibaca.

Literasi di era sekarang beranekaregam. Ada literasi Skunder bahkan ada yang primer. Membaca sekunder dengan melihat flim, mendengar cerita bacaan di youtube hal itu masuk pada baca sekunder. Hal itu menunjukkan bahwa dalam  membaca era sekarang ini tidak hanya membaca dalam bentuk buku, sedangkn baca primer membaca buku sesuai dengan kebutuhan. Menonton flim masuk proses membaca pula. Namun hal tersebut kita harus bisa membedakan membaca yang ada dalam ajaran agama kita. Bahwa kita semua tidak pernah mendapatkan himbauan untuk menulis, tapi menjadi kewajiban sebagai manusia yaitu membaca.

Literasi Perspektif Islam
Menelisik arti literasi dalam kewajiban Islam. Sebenarnya dalam agama sudah diberikan pandangan bagaimana peradapan bisa dikerjakan diciptakan, bahwa dengan membaca bisa mencipta, dengan menulis akan memengilhami tradisi. Ketika ada hal yang tidak dipahami, dengan membaca akan bisa memahami, dan hal itu bisa, asal dapat dipertanggungjwabkan dengan sebuah bukti yang berbentuk tulisan.

Dalam Agama Islam mewajibkan umatnya untuk menulis. Meski yang diperintahkan secara eksplisit dalam QS. Al-Baqarah [2]: 282, adalah menuliskan hubungan muamalah dalam utang-piutang tapi itu secara implisit mendorong umat Islam untuk melakukan menulis sebagai bagian hidup sehari-hari.
Salah seorang Ulama kenamaan yang sering menyuntikkan energi atau semangat menulis yaitu Imam Al-Ghazali. Perhatikan dan renungkanlah penuturan Sang Hujjaratul Islam: " Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis." Barangkali, yang dimaksudkan Imam al-Ghazali dengan pernyataan ini bahwa seorang Muslim dapat beramal sholeh dengan menulis buku. Sebab, dengan menulis buku, ia secara otomatis harus belajar ilmu terlebih dahulu, lalu diamalkan dengan ikhlas. Berbeda dengan anak raja yang dengan segala fasilitas dan kekuasaannya ia dapat beramal sholeh. Demikian halnya dengan anak seorang ulama besar, yang dengan ilmunya ia langsuang dapat berdakwah di tengah-tengah masyarakat.

Hal itu menunjukkan tonggak perubahan bukan hanya ada pada kekuatan otot malainkan kekuatan otak yang tertuang dalam tulisan hingga terciptalah kerja kemanusian yang melahirkan sebuah revolusi. Revolusi yang akan ada dalam jiwa muslim tentunya berbeda dengan yang ada di dalam jiwa orang-orang non-mus. Walau pada dasarnya tingkat baca orang Indonesia rendah belum tentu secara kualitas pandangan spiritualitas memiliki cara sendiri mengamalkan literasi menjadi tradisi dalam diri untuk mengubah diri secara evolusi.
Rendahnya tingkat baca orang Indonesia PISA mungkin kurang luas menelitinya. Ketika PISA meneliti di ruang lingkungan Pesantren Negeri kita diyakini kalau berada diperingkat terakhir nomor  dari bawah. Orientasi penelitian PISA terletak pada jurnal dan perkembangan sains saja. Sehingga secara kesat mata tidak ada yang tanpak nilainya, kecuali kaum sarungan dalam membaca Al-Quran, Kitab kuning, dan Kitab yang ada di Pesantren pasti penelitian PISA tidak semiris kita dengarkan. Karena berbagai cara memaknai membaca ia harus memaksa dari rasa yang paling tidak asing bagi kita, yaitu "Malas". Ketika hal itu menjadi satu dalam hati malas dibiarkan maka kualitas akan diragukan. Membaca mengenal peradapan, memperluas pengetahuan, memperluas perasaan, dan  mempertajam kemauan.


Nama: Akhmad, Mahasiswa Semester VI Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), bergabung Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena FKIP-UNISMA