Pengantar
Bukan hanya tentara yang dapat
bergerilya. Semua orang dapat bergilya, bahkan dengan cara sembunyi-sembunyi,
tanpa membawa banyak senjata di tangan kanan dan kiri atau di pundak dan
ransel. Namun senjata yang paling kuat adalah hati, meski luka, terhina,
tercabik. Darah yang mengalir dari mata tak akan berarti apa-apa, sayatan pedang
menghantam langkah kaki, hingga kepala terhimpit batu besar, tetapi selagi
nyawa masih dalam raga gerilya tetap harus dilanjutkan.
Gerilya ini tidak banyak melawan
musuh namun hanya ada satu nama. Nama yang sekian lama memenuhi ruang di
kepala, nama yang puluhan tahun selalu membuat hati bergetar ketika didengar,
hingga nama itu menjadi tujuan utama dari perjuangan ini, yaitu ibu. Ia
menemani sembilan bulan lamanya, hingga rasanya tak ada satu haripun
terlewatkan dari lembut sapuan tangannya. Namun waktu mampu memisahkan balita
dari pelukan seorang ibu.
V
Ibu bukan hanya sebuah
kata yang dipuji-puji saja, ia adalah pelestari manusia-manusia di dunia. Jika
disimbolkan, ibu seperti air yang menghidupi manusia, lalu seperti matahari
yang membuat terang, atau mungkin seperti udara yang membuat manusia hidup.
Tapi diantara kata-kata itu tidak satu katapun yang mampu mengibaratkan seorang
ibu. Lalu bagaimana bila manusia hidup tanpa ada air, matahari dan udara?
Apakah masih mampu bertahan hidup? Mungkin bisa namun tidak sekuat yang hidup
dengan tiga benda tersebut.
Antalogi
puisi ini hadir dikala jiwa sedang tergoncang, hati sedang gelisah dan dada
terasa sesak. Kemudian ia menjadi penyejuk yang menyegarkan, hangat diantara
senyum mentari, lalu sebagai sinar yang masuk diantara bilik-bilik rumah. Tak
akan mati oleh banyaknya masa,karena ia bukan manusia. Saya terkejut ketika
membaca judul-judul puisi yang indah dalam antalogi ini, dari mahasiswa yang
sedang berjuang dengan badai yang sudah menunggu di depannya.
Antalogi
puisi ini adalah kronologis peristiwa yang menarik untuk diapresiasi. Bagaimana
penyair mampu bermain-main dengan kata. Kata-kata yang mampu menari-nari
diantara bait puisi, seperti: perih, tertatih, Mandasari, Shopia, semediku,
alif, Ibu dan Tuhan (azimat), siklus, putih,
melati dan kamboja, dan puisi lainnya.
Hitam
putih tanpa letih perih, bertatih, berlerai darah demi mimpi dirinya, bukan
diimpikan mereka, dunia rasanya berat mengancamku tuk menyerah.
Perisai perangku....
Perisai rasa cinta pada
mereka bagaikan berlapis-lapis baja
Senjataku....
Pedang cita-cita yang
diselimuti rasa cinta, pada mereka
Nahkodaku....(Puisi Perisai Perangku)
Puisi
diatas yang berjudul
Perisai Perangku
bagaimana
ia merasakan perih, tertatih, dan berlerai darah demi mimpi dirinya adalah
ungkapan ekspresi dari penyair yang menyiratkan kesakitan yang sedang ia
rasakan ketika bergerilya. Puisi tercipta dari imajinasi yang berasal dari
realita dan ia mampu membuat pembaca mengerti isi hati dari sang penyair. Puisi
mampu menjadi wadah sebagai luapan perasaan seseorang. Tidak tercipta dari
tangan orang-orang yang senang, melainkan dari mereka yang sedang perang.
Kata-katanya mungkin berupa khayalan dari kenyataan, mungkin harapan,
kekecewaan, kemarahan atau kebahagiaan. Ia memiliki berbagai penafsiran.
Antalogi
puisi ini walaupun memiliki tema yang sama namun disetiap judul memiliki
karakter sendiri-sendiri. Setelah saya membaca antalogi puisi ini, saya mampu
menafsirkan betapa rindunya seorang penyair terhadap sosok ibu. Contohnya
terdapat dalam puisi Perempuanku.
PerempuanKu…
Aku
merindukanmu, kau yang pernah mesra kau pernah benahi kancing kemejaku dan
merapikan rambutku
PerempuanKu…
Menunggu di
depan pintu saat aku tak meminta tunggu, dengan mesra kau tanyakan aku “Nak
sudah makan?”
Dengan mesra
kau suapi saat pisau mengirisi hati yang menyepi.
Dari penggalan puisi
diatas saya mampu mengambil simpulan bahwa perempuan yang dimaksud sang penyair
adalah seorang ibu. Yang menandai adalah kalimat “Nak sudah makan?” siapa orang
yang berkata demikian di rumah selain seorang ibu? Mungkin ada orang lain tapi
itu jarang. Puisi diatas mampu melukiskan rasa kerinduan penyair terhadap
seorang ibu.
“Gerilya” sebuah judul untuk pengantar antologi puisi
ini. Judul tersebut sebagai penekanan bahwa penyair sangat merindukan sosok
ibu. Betapa seorang ibu tidak dapat digantikan keberadaanya dengan siapapun.
Dalam kerinduannya mencari sosok ibu, penyair tidak hanya berdiam diri. Tetapi
ia tetap bergerilya menjejaki bumi untuk menemukan sosok itu tak peduli badai
apa yang akan menerjang.
Inggit Esa Pawestri
Penulis Novel Bintang di Langit
Catatan
Penulis
Buku ini edisi revisi sudah cetakan kedua, dengan banyaknya masukan membuat
saya berpikir tentang originalitas sebuah karya, Cita-cita dari seorang anak muda
yang sangat senderhana untuk menerbitkan antologi puisi dengan judul buku Geriliya dituliskan dalam
waktu yang panjang dengan penyusunan yang penuh perjuangan, dari tempat-ke tempat. Senantiasa
mengembara dalam kata-kata, sehingga dengan izin Alloh Swt, dengan kejenuhan
dan kemalasan saat menuliskan segala jalan hidup dan alam yang senantiasa
selalu memberikan inspirasi.
Menulis
rasanya sangat membosankan dan menjenuhkan sehingga dalam jalannya sangat tidak
mungkin Tuhan tak berperan atas segala terciptanya kumpulan dari sajak-sajak ini, dalam setiap perjalanan
panjang ini selalu saya
jadikan rangkaian kata dan bahasa yang bermakna ini sedikit berxerita untuk
memberikan makna pada pembaca.
Sehingga tercipta cita-cita anak muda untuk memberikan suatu
harapan menjadikan segala impian anak muda membanggakan yang berada di belakang
kertas-kertas kosong,
XX
dan saya jadikan
semua deraian tinta hitam ini menjadikan senyum indah yang membanggakan bagiku,
serta
bagi manusia pegiat leterasi membaca sastra ini, terutama pada
manusia kecil yang tak mampu berpikir.
Antologi puisi
ini. beberapa
lama saat saya berada dan mengetahui dunia lepas dan dunia terikat, yaitu pendidikan
formal (saat belajar diperkuliahan).
Berusaha mengumpulkan kata-kata. Sehingga saya
harus berhenti belajar di kelas
di bangku kuliah,
saya
harus istirahat dengan cuti kuliah, sehingga belajar di dunia
lepas dan bebas dengan bahasa,
serta kata-kata dan keindahan bukan
hanya ada dalam kelas dan buku.
Di luar kelas pun tercipta beberapa pengetahuan yang dapat dipahami, tentang pengetahuan serta rasa cinta yang
membentuk
keindahan.
Antologi
puisi pertama ini akan saya persembahkan
kepada seorang yang saya rindukan,
selama saya mengenalkan dunia dengan arti cita-cita serta manusia mengenal cinta, kepada semua dan arti
siapa diri ini.
Dan kehidupan ini duntuk apa. Syukur Alhamdulilah Tuhan
izinkan saya terbitkan antologi puisi dengan judul “Kumpulan Puisi Geriliya”, sehingga cita-cita ini sebelumnya nanti
lulus kuliah.
Bisa
bertemu Mama dan saya dipersembahkan karya sederhana ini kepada Mama, Bapak dan
sahabat-sahabat dan serta Guru SMA Negeri 01, Blega Pak Faisal AS, Lutfianto, Lora
Marzuki, Indri Dwi Jayanti, Siti. Aisyah, Rudi H.K, Samsul, Moh. Khusnul
Yaqin, Moh. Taufik, Ismail, Ach Sahrul, Moh. Fadlon, Jafar Sodik, Aprilia Nur Wulandari,Wa’anamariana
Arbak,
yang selalu memberikan dukungan serta masukan dan membantu memotivasi sehingga dengan
lancar buku ini tersusun dan bisa diterbitkan.
Sosok
seorang Nenek yang selalu mengadirkan diksi-diksi gelap yang berkeringat
sehingga semangat menjalani hidup dalam kesepian yang sunyi. Memberikan
dorongan untuk menulis. Walaupun
menulis
rasanya sangat membosankan bahkah kehilangan inspirasi, akan tetapi saya merasa sangat senang, saat saya dapat bisa mengkisahkan segala
keadaan kekayanku,
dalam
kata-kata yang berkeringat, tersusun dalam kalimat dengan
harapan sedikit memberikan manfaat. Pada setiap
sair yang dibacakan.
Setiap insani, sehingga
kesetiaan dan komitmen menulis ini walau tak semanis pada pemuda yang lainnya. Ketika hanya melangkah dengan
jalan yang manis dan lurus. Dengan goresan pena yang deraian kata-kata
pahit menjahit jeritan arti perjuangan.
Tidak
mudah dalam melangkah menggaris lurus segala apa yang harus dilakukan, jika
antologi ini dapat memberikan kata-kata manis serta bermakna beberapa lama, beberapa tahun telah merencanakan segala mimpi,
sehingga saya sekarang dapat menuliskan beberapa sajak sejak estetik,
sejak
saya mengenal cinta dan keindaahan hidup. Kini
sudah sampai pada saatnya buku ini tercipta, dan menuliskan beberapa kata-kata
dari tahun
lama dalam kertas-kertas kosong.
Kini telah
sampai saya di pendidikan dan sekarang telah semester V seharusnya. Tapi terhalang
oleh keadaan yang tidak diharapkan sehingga harus (cuti kuliah).
Sehingga kini
masih semester IV,
serta
menjadi mahasiswa tidak aktif di Universitas Islam Malang (Unisma).
Sehingga saya berharap puisi-puisi ini dapat
memberikan sedikit manfaat.
Dan persembahan
kepada manusia dan anak bangsa yang hidup berutung, serta membuka pikiran tentang sastra
dan estetik dunia dengan kata-kata yang bermakna, dengan rangkaian yang bercerita. Sehingga
bahasa sebagai cara kita berkarya, sastra sebagai mencapaikan cita-cita tinggi
manusia.
Sehingga
mengenal sastra sebagai ekspresi, bercerita
dengan refleksi, meditasi, imajinasi, serta berpikir elektis dalam memandang
manusia bercita-cita tinggi, sastra masih berkuasa, dalam kehidupan nyata, akan
lebih signifikasi cita-cita penulis ketika buku ini memberikan manfaat, makna
positif dan jelas kepada pembaca.
Akhmad