Sabtu, 14 Juli 2018

Buku Antologi Puisi Gerilya deraian sajak-sajak






Pengantar


            Bukan hanya tentara yang dapat bergerilya. Semua orang dapat bergilya, bahkan dengan cara sembunyi-sembunyi, tanpa membawa banyak senjata di tangan kanan dan kiri atau di pundak dan ransel. Namun senjata yang paling kuat adalah hati, meski luka, terhina, tercabik. Darah yang mengalir dari mata tak akan berarti apa-apa, sayatan pedang menghantam langkah kaki, hingga kepala terhimpit batu besar, tetapi selagi nyawa masih dalam raga gerilya tetap harus dilanjutkan.
            Gerilya ini tidak banyak melawan musuh namun hanya ada satu nama. Nama yang sekian lama memenuhi ruang di kepala, nama yang puluhan tahun selalu membuat hati bergetar ketika didengar, hingga nama itu menjadi tujuan utama dari perjuangan ini, yaitu ibu. Ia menemani sembilan bulan lamanya, hingga rasanya tak ada satu haripun terlewatkan dari lembut sapuan tangannya. Namun waktu mampu memisahkan balita dari pelukan seorang ibu.
           
V
Ibu bukan hanya sebuah kata yang dipuji-puji saja, ia adalah pelestari manusia-manusia di dunia. Jika disimbolkan, ibu seperti air yang menghidupi manusia, lalu seperti matahari yang membuat terang, atau mungkin seperti udara yang membuat manusia hidup. Tapi diantara kata-kata itu tidak satu katapun yang mampu mengibaratkan seorang ibu. Lalu bagaimana bila manusia hidup tanpa ada air, matahari dan udara? Apakah masih mampu bertahan hidup? Mungkin bisa namun tidak sekuat yang hidup dengan tiga benda tersebut.
Antalogi puisi ini hadir dikala jiwa sedang tergoncang, hati sedang gelisah dan dada terasa sesak. Kemudian ia menjadi penyejuk yang menyegarkan, hangat diantara senyum mentari, lalu sebagai sinar yang masuk diantara bilik-bilik rumah. Tak akan mati oleh banyaknya masa,karena ia bukan manusia. Saya terkejut ketika membaca judul-judul puisi yang indah dalam antalogi ini, dari mahasiswa yang sedang berjuang dengan badai yang sudah menunggu di depannya.
Antalogi puisi ini adalah kronologis peristiwa yang menarik untuk diapresiasi. Bagaimana penyair mampu bermain-main dengan kata. Kata-kata yang mampu menari-nari diantara bait puisi, seperti: perih, tertatih, Mandasari, Shopia, semediku, alif, Ibu dan Tuhan (azimat), siklus, putih, melati dan kamboja, dan puisi lainnya.
Hitam putih tanpa letih perih, bertatih, berlerai darah demi mimpi dirinya, bukan diimpikan mereka, dunia rasanya berat mengancamku tuk menyerah.
Perisai perangku....
Perisai rasa cinta pada mereka bagaikan berlapis-lapis baja
Senjataku....
Pedang cita-cita yang diselimuti rasa cinta, pada mereka
Nahkodaku....(Puisi Perisai Perangku)
Puisi diatas yang berjudul Perisai Perangku bagaimana ia merasakan perih, tertatih, dan berlerai darah demi mimpi dirinya adalah ungkapan ekspresi dari penyair yang menyiratkan kesakitan yang sedang ia rasakan ketika bergerilya. Puisi tercipta dari imajinasi yang berasal dari realita dan ia mampu membuat pembaca mengerti isi hati dari sang penyair. Puisi mampu menjadi wadah sebagai luapan perasaan seseorang. Tidak tercipta dari tangan orang-orang yang senang, melainkan dari mereka yang sedang perang. Kata-katanya mungkin berupa khayalan dari kenyataan, mungkin harapan, kekecewaan, kemarahan atau kebahagiaan. Ia memiliki berbagai penafsiran.
Antalogi puisi ini walaupun memiliki tema yang sama namun disetiap judul memiliki karakter sendiri-sendiri. Setelah saya membaca antalogi puisi ini, saya mampu menafsirkan betapa rindunya seorang penyair terhadap sosok ibu. Contohnya terdapat dalam puisi Perempuanku.
PerempuanKu…                                                                             
Aku merindukanmu, kau yang pernah mesra kau pernah benahi kancing kemejaku dan merapikan rambutku
PerempuanKu…
Menunggu di depan pintu saat aku tak meminta tunggu, dengan mesra kau tanyakan aku “Nak sudah makan?”
Dengan mesra kau suapi saat pisau mengirisi hati yang menyepi.
            Dari penggalan puisi diatas saya mampu mengambil simpulan bahwa perempuan yang dimaksud sang penyair adalah seorang ibu. Yang menandai adalah kalimat “Nak sudah makan?” siapa orang yang berkata demikian di rumah selain seorang ibu? Mungkin ada orang lain tapi itu jarang. Puisi diatas mampu melukiskan rasa kerinduan penyair terhadap seorang ibu.
           
             

“Gerilya” sebuah judul untuk pengantar antologi puisi ini. Judul tersebut sebagai penekanan bahwa penyair sangat merindukan sosok ibu. Betapa seorang ibu tidak dapat digantikan keberadaanya dengan siapapun. Dalam kerinduannya mencari sosok ibu, penyair tidak hanya berdiam diri. Tetapi ia tetap bergerilya menjejaki bumi untuk menemukan sosok itu tak peduli badai apa yang akan menerjang.


Inggit Esa Pawestri
Penulis Novel Bintang di Langit





Catatan Penulis
Buku ini edisi revisi sudah cetakan kedua, dengan banyaknya masukan membuat saya berpikir tentang originalitas sebuah karya, Cita-cita dari seorang anak muda yang sangat senderhana untuk menerbitkan antologi puisi dengan judul buku Geriliya dituliskan dalam waktu yang panjang dengan penyusunan yang penuh perjuangan, dari tempat-ke tempat. Senantiasa mengembara dalam kata-kata, sehingga dengan izin Alloh Swt, dengan kejenuhan dan kemalasan saat menuliskan segala jalan hidup dan alam yang senantiasa selalu memberikan inspirasi.
Menulis rasanya sangat membosankan dan menjenuhkan sehingga dalam jalannya sangat tidak mungkin Tuhan tak berperan atas segala terciptanya kumpulan dari sajak-sajak ini, dalam setiap perjalanan panjang ini selalu saya jadikan rangkaian kata dan bahasa yang bermakna ini sedikit berxerita untuk memberikan makna pada pembaca. Sehingga tercipta cita-cita anak muda untuk memberikan suatu harapan menjadikan segala impian anak muda membanggakan yang berada di belakang kertas-kertas kosong,

XX
dan saya jadikan semua deraian tinta hitam ini menjadikan senyum indah yang membanggakan bagiku, serta bagi manusia pegiat leterasi membaca sastra ini, terutama pada manusia kecil yang tak mampu berpikir.
Antologi puisi ini. beberapa lama saat saya berada dan mengetahui dunia lepas dan dunia terikat, yaitu pendidikan formal (saat belajar diperkuliahan). Berusaha mengumpulkan kata-kata. Sehingga saya harus berhenti belajar di kelas di bangku kuliah, saya harus istirahat dengan cuti kuliah, sehingga belajar di dunia lepas dan bebas dengan bahasa, serta kata-kata dan keindahan bukan hanya ada dalam kelas dan buku. Di luar kelas pun tercipta beberapa pengetahuan yang dapat dipahami, tentang pengetahuan serta rasa cinta yang membentuk keindahan.
Antologi puisi pertama ini akan saya persembahkan kepada seorang yang saya rindukan, selama saya mengenalkan dunia dengan arti cita-cita serta manusia mengenal cinta, kepada semua dan arti siapa diri ini. Dan kehidupan ini duntuk apa. Syukur Alhamdulilah Tuhan izinkan saya terbitkan antologi puisi dengan judul Kumpulan Puisi Geriliya, sehingga cita-cita ini sebelumnya nanti lulus kuliah. Bisa bertemu Mama dan saya dipersembahkan karya sederhana ini kepada Mama, Bapak dan sahabat-sahabat dan serta Guru SMA Negeri 01, Blega Pak Faisal AS, Lutfianto, Lora Marzuki, Indri Dwi Jayanti, Siti. Aisyah, Rudi H.K, Samsul, Moh. Khusnul Yaqin, Moh. Taufik, Ismail, Ach Sahrul, Moh. Fadlon, Jafar Sodik, Aprilia Nur Wulandari,Wa’anamariana Arbak, yang selalu memberikan dukungan serta masukan dan membantu memotivasi sehingga dengan lancar buku ini tersusun dan bisa diterbitkan.
Sosok seorang Nenek yang selalu mengadirkan diksi-diksi gelap yang berkeringat sehingga semangat menjalani hidup dalam kesepian yang sunyi. Memberikan dorongan untuk menulis. Walaupun menulis rasanya sangat membosankan bahkah kehilangan inspirasi, akan tetapi saya merasa sangat senang, saat saya dapat bisa mengkisahkan segala keadaan kekayanku, dalam kata-kata yang berkeringat, tersusun dalam kalimat dengan harapan sedikit memberikan manfaat. Pada setiap sair yang dibacakan. Setiap insani, sehingga kesetiaan dan komitmen menulis ini walau tak semanis pada pemuda yang lainnya. Ketika hanya melangkah dengan jalan yang manis dan lurus. Dengan goresan pena yang deraian kata-kata pahit menjahit jeritan arti perjuangan.
Tidak mudah dalam melangkah menggaris lurus segala apa yang harus dilakukan, jika antologi ini dapat memberikan kata-kata manis serta bermakna beberapa lama, beberapa tahun telah merencanakan segala mimpi, sehingga saya sekarang dapat menuliskan beberapa sajak sejak estetik, sejak saya mengenal cinta dan keindaahan hidup. Kini sudah sampai pada saatnya buku ini tercipta, dan menuliskan beberapa kata-kata dari tahun lama dalam kertas-kertas kosong. Kini telah sampai saya di pendidikan dan sekarang telah semester V seharusnya. Tapi terhalang oleh keadaan yang tidak diharapkan sehingga harus (cuti kuliah). Sehingga kini masih semester IV, serta menjadi mahasiswa tidak aktif di Universitas Islam Malang (Unisma).
 Sehingga saya berharap puisi-puisi ini dapat memberikan sedikit manfaat. Dan persembahan kepada manusia dan anak bangsa yang hidup berutung, serta membuka pikiran tentang sastra dan estetik dunia dengan kata-kata yang bermakna, dengan rangkaian yang bercerita. Sehingga bahasa sebagai cara kita berkarya, sastra sebagai mencapaikan cita-cita tinggi manusia.

Sehingga mengenal sastra sebagai ekspresi, bercerita dengan refleksi, meditasi, imajinasi, serta berpikir elektis dalam memandang manusia bercita-cita tinggi, sastra masih berkuasa, dalam kehidupan nyata, akan lebih signifikasi cita-cita penulis ketika buku ini memberikan manfaat, makna positif dan jelas kepada pembaca.

Akhmad



Sabtu, 07 Juli 2018

Dingin Itu Pesan Tuhan

sahabatinisia.com


Kota Malang yang dingin kini menjadi bukti, bahwa manusia tak mungkin tahu sebab kecuali itu rasa.
Ada yang berkata bahwa hari ini sangat dingin, bahkan suhu sudah memberi bukti menunjukkan 14celsius.
Ada yang berkata dengan bahasa Kota Malang tak seperti biasanya, hanya rasa yang ada selalu sama ketika rasa cinta berbicara kepada apa yang ada dalam lubuk hatinya.
Dingin kudrot dari angin ketika kita masih ada rasa sebagai manusia. Rasa dingin kota ini menyelimuti naluri, dan berkata rindu.
Di mana, keduanya tak berbentuk, lantaran rindu dan dingin metafisik yang mengusik kadang mengerikan, kadang menjadikan. Bahwa aku masih saja tak bermakna dari apa yang ada pada manusia.
Angin mengutuk, bahwa dingin menitip salam dari pencipta agar dirasa ciptaannya
Salam itu aku terjemahkan sepatah kata bahasa kita Indonesia “rindu”. Mengapa rindu?, rasa itu aku nukil dari rasa bahwa setiap pencipta mampu mambaca dan memahami bahwa setiap hembusan nafas bukan saja sekedar malam dan siang, ada gelap dan terang dipahami, namun ada dingin yang memiliki makna jika diterjemahkan melalui naluri.
Dingin pun bagian dari-Nya yang dirindu saat ku rindu dan benci, dingin pun masih saja berada pada dada penciptaNya berbahagia jika tak dirasa, akan bangga ketika ada manusia mampu membahasakan dingin berkeliaran.
Mungkin saja itu bahasa Tuhan, bahwa dingin 14celsius, kita merasa bahwa itu bukan apa-apa dari pencipta.
Muskil Tuhan mencipta tan sebab.
Rindu mungkin saja bahasa bahasa, yang lahir dari kata menjadi frasa, bahkan kalimat. Dan bertkata. Bahwa..
Rindu hanya cerita dari diri sendiri, yang dimengerti oleh hati bahwa..
Rindu, rasa yang pernah tahu namun lama tak bertemu, mungkin saja, itulah kata rindu.
Apakah Tuhan salah menciptakan rindu itu sendiri agar rasa manusia yang tak pernah bertemu menemukan substansi dari rindu yang lagi pilu.
Menerjemahkan bahwa kata dingin itu bagian dari rasa ingin yang dicipta dari angan, bahwa manusia menjadi terlahir dari apa yang menjadikan.
Sungguh aku sangat dusta merindukan apa yang tak pernah kau pahami dari sebuah salam itu.
Dingin 14 celsius, aku patenkan bahwa aku masih saja tidak tahu bahasa itu, hanya aku hakimkan itu adalah salam rindu bukan hanya untuk aku, namun mereka yang ada di bangunan tinggi, dalam roda dua dan empat, sampai mereka yang berada di kolong jembatan, atau mereka yang tidur pulas di atas becak di pinggir jalan dekat basar besar kota Malang.
Rasa dan kata lebih dulu rasa
Sebab dan akibat lebih dulu akibat
Dingin dan angin lebih dulu dingin.

Malang, 07, Juli 2018