Minggu, 30 September 2018

MASHAB NGOPI



“Tuhan, ampuni kekhilafanku untuk telah terlambat menunaikan ibadah Ngopi, setelah ini aku berjanji untuk bertekad tidak melakukan perbuatan tak senonoh itu lagi (Usman Arrumy).

Ngopi aktivitas sangat pintar bagi yang arif, orang sawah sepertiku hanya berusaha membawa aroma kopi waktu pagi menjadi berarti, sebagai bukti penikamat kopi memberikan sari pahit atau manis mampu diterjemahkan, Dikatakan ngopi pintar, ketika bisa membuktikan dengan mencangkul ladang membuahkan hasil, hasil dari aroma ladang dari usaha menyelesaikan, setiap pekat penuh dengan rasa gelap. Namun di sini bukan filosofi kopi yang saya tuliskan, karena sudah dituliskan, oleh penulis terkenal Dee Lesatari dengan judul novel Filosofi Kopi.
Rasa-rasanya sudah bukan waktunya membahas kopi lebih dalam, mengenai kopi dan ngopi di era modernisasi. Sudah banyak paham sebelum dijelaskan, potret kehidupan modernisasi yang telah terjadi.  Sebab sudah banyak di kampus-kampus, bahkan area kota pendidikan sangat biasa tempat ngopi atau dikenal, dengan ngonkrong pintar sambil ngopi, ngopi menurut bahasa dalam makna secara umum memiliki arti meminum kopi, walau tidak bagi dalam bahasa namun itulah bahasa sifatnya arbiter. Orang yang menimun kopi, penikmat kopi mungkin ngopi memiliki arti beda dari setiap pembentuk rasa.
Banyak mahasiswa yang gemar meminum kopi, entah itu menikmati atau hanya mencari hiburan diri dikarenakan terlalu sakit dirundung sepi. Sehingga ngopi menjadi tempat paling digemari, penggemar kopi bukan saja dimiliki kaum tua yang biasanya mencangkul, membajak dan memanjat di ladang, kopi yang biasanya disandingkan dengan singkong, dinikmati saat pagi bersama matahari menyapa dengan cahaya estetik yang tak terasa hampa walaupun keringat hangat, tetap saja semangat bersama kopi hangat.
            Penggemar kopi di era modernisasi tidak dapat lagi tolak lagi. sebagai aktivitas ngobrol pintar sambil nyeruput kopi, “katanya”. Aroma kopi seperti apa yang menjadi penggemar kopi di kalangan kaum muda milenial hari ini. Sangat tidak tahu dalam menafsirkannya, kaum muda penggemar kopi di era sekarang. Namun tempat mengopi sekarang sangat beranekaragam, ada yang rumah kontrakan dijadikan tempat ngopi, seperti halnya Omah Diksi, ada Kafe sebagai tempat favorit menimati kopi. Sangat banyak cara dan tempat penikmat kopi di era modernisasi.
            Hingga pada akhirnya mereka meminum kopi dengan cara berbeda untuk menemukan kenikmatan dari kopi, ada pula tidak merasakan meminum kopi tapi hanya eksistensi mengikuti apa yang telah dilakukan teman-temannya, seperti halnya Didi rasakan. Setelah mendengar temannya “Rudi”, berbahasa dengan bahasa dengan baik dan benar bahkan tersetruktur saat di dalam kelas. Didi mengidentifikasi apa benar Rudi bisa karena suka ngopi. Bertanya pada hatinya. Ia bisa seperti itu karena ia setiap malam suka ngopi sampe larut malam “katanya”. Sehingga menganggap memiliki mashab kopi yang membuat bisa hijrah dari sebelumnya tidak tahu apa-apa, hingga sangat signifikan sekarang sudah bisa. Namun tidak mengetahui saat ngopi itu apa yang dilakukan, dikerjakan dan dibicarakan Rudi, berpikir bahwa ia seperti teman pada umumnya kalau ngopi, meragukan kalau hanya ngopi yang bisa membuat revolusi, jika ngopi meningkatkan rasa sosialis menurutku itu nyata, serta tidak ada mashab ngopi darinya yang diikuti olehnya.
            Mashab ngopi apa yang dilakukan seorang untuk bisa memaparkan penjelasan di depan itu?, di tempat minum kopi banyak mashab kopi yang harus ditiru, era modernisasi ini harus pandai-pandai menyaring mashab ngopi. Lah setelah mengetahui mashab, itulah kesadaran kita sebagai orang penikmat kopi bisa menjadi seorang penikmat cerdas, penikmat cerdas bukan penikmat rasa kopi saja, namun bisa menemukan pahit dalam isi kopi dijadikan sebagai mashab diri yang mampu membuka siapa diri kita. “Bahwa kudrot kopi pahit, kutdrot gula manis, dan kudrot diri kita bisa menemukan kodrot diri-Nya”.
            Banyak cara menemukan mashab ngopi yang baik. Kita bisa menafsirkan dengan baik sebelum tidur sepulang ngopi, bisa menemukan sebuah arti dari pahit dan manisnya kopi. Mungkin saja mashab ngopi hanya dimiliki oleh orang-orang pecinta kopi, walau mereka yang tidak suka ngopi merasakan, rasa kopi sesungguhnya. Apalagi mereka yang memiliki mashab kopi sawah/ladang. Kopi sawah bukan dibedakan dari bentuk kopinya atau komposisinya, namun letak dalam menemukan filosofinya membenturkan dengan realita, pada saat capek, lemas bahkan sudah tidak merasakan apa-apa dari apa yang ada dalam kehidupannya. Kecuali lesu dan keringat hangat menyengat membuat kopi pahit menjadi manis, yang manis menjadi pahit, sebagaimana menyandingkan kopi dengan singkong rebus, kacang rebus, bahkan pisang rebus. Mashab itu menjadi instalasi cakrawal ilmu tentang hidup akan tumbuh untuk penikmat kopi yang berada di sawah.
             Suasana ngopi di sawah akan berbeda dengan suasana ngopi di kafe, warung kopi paling signifikan ketika senang ngopi di pinggir jalan, mungkin mirip dengan ngopi di sawah sabab di pinggir jalan akan menemukan sebab, banyak investasi pengetahuan dalam menganalisis, menerjemahkan setiap perjalanan manusia hidup sebagaimana dijadikan refleksi untuk kembali. Sambil lalu menyeruput kopi “hereuupp”, kenikmatan kopi terasa ketika apa yang dirasa menyatu dengan suasana. Mashab ngopi di kafe akan merasakan ngopi yang beda dengan mashab ngopi di sawah.
            Ada pula suasana ngopi paling cerdas, cermat dan hemat. Ngopi di kos atau di kontrakan teman, paling beruntung ngopi di kos, jika yang main ke kos teman dan dibuatkan kopi, kopi pahit menjadi manis yang pahit menjadi manis. Mungkin saja itu rejeki atau memang itu dicari, ketawa Didi. Mungkin Itu ngopi paling dicari walaupun mashab dari keduanya tidak ada, sama halnya kita memahami hidup tidak hanya memahami siang dan malam, namun dalam hidup juga perlu memahami senja sore, serta senja pagi sebelum subuh nanti, memiliki nilai estetik yang antik, tapi belum pernah ditemukan cara memilikinya.
            Mashab ngopi di kafe atau ngopi di sawah, harus bisa mengetahui, memahami bedanya ngopi pada saat malam, bahwa ngopi pada saat pagi dan siang memiliki kerangka imajinasi beda jika menikmatinya. Jika ngopi malam hanya akan bisa menemukan rumus atau cara menyusun konsep hidup untuk esok. sebab hidup di masa akan datang penuh tanda tanya?, perlu konsep yang tercatat untuk bisa dirancang dengan baik, walau tetap tak bisa menjadi yang tepat apa yang telah tercatat.  Ngopi pada saat pagi hari. Sebagai manusia cerdas sudah bisa melakukan sebuah konsep yang telah dirangkai semalaman suntuk untuk bisa mengerjakan perancagannya.
Pada saat pagi dan siang itulah “ngopi” yang hakiki bisa dirasakan, dilakukan, dinikmati walau kadang racikan kopi tak sesuai dengan ukuran pahit dan manis yang ditemukan dalam secangkir kopi itu. Kopi sebagai teman dan ngopi satu kesatuan dari apa yang dibenci menjadi rindu dan rindu menjadi benci. Tugas manusia yang suka ngopi bisa memiliki mashab sendiri dari yang terjadi hari ini, menerima pahit dan mencari yang pahit untuk menjadi sahid.
Terpenting mashab ngopi di sawah jangan berhenti mencangkul, membajak dan menanam. Begitupun sebaliknya yang mashab ngopi di kafe tetap membaca, mendengarkan, dan menuliskan. Apapun bentuk kopinya yang penting nikmati, resapi jangan ditawar lagi. Itulah kudrot kopi yang awalnya hanya ada di hutan ditemukan diperuntukkan, kecuali hewan Landak yang memakannya menjadi hasil yang dikenal dengan luwak kopi yang bagus (luwak kopi), menjadi biji kopi yang dicari, padahal keluar bersama dengan kotorannya, mengapa masih menjadi kopi yang dicari?, renungkan saja sebelum tidur nanti.
            Bagi mashab ngopi yang cerdas akan memilih dan memilah apa yang ada, bukan menerima apa adanya, dari apa yang sudah ada namun tidak ingin menikmati kopi, sesuai dengan apa yang dirasa dan dibisa, luwak kopi berharga karena ia pandai menelan biji kopi. Sebab kopi tidak pernah menjadi subjek dari kehidupan kita untuk bahagia. Namun tetap pencipta mashab kita sebagai manusia menjadi subjek. Selamat berbahagia bagi penikmat kopi, selamat beribadah ngopi bagi yang dirundung sepi, mulailah bukan menjadi penikmat namun pencita nikmat.

Sabtu, 29 September 2018

Tiba dengan Kisah Sejarah

Matahari telah tiba dengan setiaEmbun pagi telah tiada tanpa disengajaBurung-burung pagi telah pergi mencari asi anaknyaNuansa malam telah tenggelam dalam leburan kalam-kalam doa tentang-NyaGambaran cerita dari seorang sahabat menghambat pola pikir yang kikir atasnyaAku tak pernah menyangka kalau ia akan merasaAtau aku yang terbawa suasana yang tidak direncanaKeadaan yang hari kemarin menjadikan aku rindu atas namamu yang membekasMembekas dalam benak dan pikirankuMembekas dalam naluri dan jiwaMembekas dalam karma manusiaBahwa cinta itu yang suci dan murni atas segalanyaKetika pertama kita berjumpaKekosongan dalam diri terisi ketika hati telah menataMemaksa dengan keadaan yang sangat keterbatasan atas ketidak selarasan dengan adanyamuBahwa denganmu pagi itu akan lengkap dengan adanya secangkir kopi hangatBerkeringat asmara kita dalam cita-cita manusia yang paling sederhana;Yaitu atas nama Cinta yang masih berhak atas segalanya yang tidak sesuai dengan adanya.


30, Sepetember 2018

Romusa di Kafe Elele



Robusta yang ku takar tak dapat kukira saat dirasa
Hitamnya masih saja setia
Kudrot pahitnya saja diganti
Yang pahit ku sulam dengan manis
Lantai yang masih saja bermakna ketika kaki menjelma di atasnya menjadi perkenalan beberapa kali
Mengenal manis dan pahit robustra bukan terpaksa bukan menerima namun mencerna robustra cita rasa dunia
Dengan apalagi aku mengenal rasa kalau tak mencicipi disini
Secangkir kopi robusta tercipta dari namamu
Nama yang aku dambakan yang kuanggap penawar
Dari pahit dan manisnya robustra  yang sesuai cita-cita bisa dirasa bahwa itu cinta
***
Setelah robustra dingin rasa itu berbeda, tidak tau kenapa
Memaksa bahwa senja disulam dengan robustra akan tetap terasa sama; kecuali hati telah memaksa
Sebab membenci samahalnya menderita
Senyum samahalnya bahagia yang menunda derita.

Malang 29, September 2018

Selasa, 25 September 2018

Kopi yang Mengabdi




Ku ketuk pintu saat pagiAku dengar lagu Melly Goslaw Ratusan PurnamaAku dengar itu dengan nyanyian dalam rasa bukan sekedar maknaAquarium bergoyang dengan estetika menggodaku tuk pendiriankuSerulingnya berdebu seperti abu memasuki ke dalam kelopak mata mengajakku pada cakrawala baruSorot mata itu masih saja terpancar jelas seperti matahari pagi yang laluAku tak tahu kalau seseorang yang aku bayangkan itu hanya sekedar dalam jiwa menyalakan api setelah membiarkan api membakar kayu “kau tak tau jika nanti api akan hanya sekedar membakar”Selamat pagi kau yang disana dengan rasa kopi pagi yang tetap ku berdiri disini bersama naluri mengabdikan aku padamu yang tanpa tau akan menjadikan aku dan kau Satu.


Malang 25 September 2018