“Tuhan, ampuni kekhilafanku untuk telah
terlambat menunaikan ibadah Ngopi, setelah ini aku berjanji untuk bertekad
tidak melakukan perbuatan tak senonoh itu lagi (Usman Arrumy).
Ngopi
aktivitas sangat pintar bagi yang arif, orang sawah sepertiku hanya berusaha membawa
aroma kopi waktu pagi menjadi berarti, sebagai bukti penikamat kopi memberikan
sari pahit atau manis mampu diterjemahkan, Dikatakan ngopi pintar, ketika bisa
membuktikan dengan mencangkul ladang membuahkan hasil,
hasil dari aroma ladang dari usaha menyelesaikan, setiap pekat penuh dengan
rasa gelap. Namun di sini bukan filosofi kopi yang saya tuliskan, karena sudah
dituliskan, oleh penulis terkenal Dee Lesatari dengan judul novel Filosofi Kopi.
Rasa-rasanya
sudah bukan waktunya membahas kopi lebih dalam, mengenai kopi dan ngopi di era
modernisasi. Sudah banyak paham sebelum dijelaskan, potret kehidupan
modernisasi yang telah terjadi. Sebab
sudah banyak di kampus-kampus, bahkan area kota pendidikan sangat biasa tempat
ngopi atau dikenal, dengan ngonkrong pintar sambil ngopi, ngopi menurut bahasa
dalam makna secara umum memiliki arti meminum kopi, walau tidak bagi dalam
bahasa namun itulah bahasa sifatnya arbiter. Orang yang menimun kopi, penikmat
kopi mungkin ngopi memiliki arti beda dari setiap pembentuk rasa.
Banyak
mahasiswa yang gemar meminum kopi, entah itu menikmati atau hanya mencari hiburan
diri dikarenakan terlalu sakit dirundung sepi. Sehingga ngopi menjadi tempat
paling digemari, penggemar kopi bukan saja dimiliki kaum tua yang biasanya
mencangkul, membajak dan memanjat di ladang, kopi yang biasanya disandingkan
dengan singkong, dinikmati saat pagi bersama matahari menyapa dengan cahaya
estetik yang tak terasa hampa walaupun keringat hangat, tetap saja semangat
bersama kopi hangat.
Penggemar kopi di era modernisasi tidak
dapat lagi tolak lagi. sebagai aktivitas ngobrol pintar sambil nyeruput kopi,
“katanya”. Aroma kopi seperti apa yang menjadi penggemar kopi di kalangan kaum
muda milenial hari ini. Sangat tidak tahu dalam menafsirkannya, kaum muda
penggemar kopi di era sekarang. Namun tempat mengopi sekarang sangat
beranekaragam, ada yang rumah kontrakan dijadikan tempat ngopi, seperti halnya
Omah Diksi, ada Kafe sebagai tempat favorit menimati kopi. Sangat banyak cara
dan tempat penikmat kopi di era modernisasi.
Hingga pada akhirnya mereka meminum
kopi dengan cara berbeda untuk menemukan kenikmatan dari kopi, ada pula tidak
merasakan meminum kopi tapi hanya eksistensi mengikuti apa yang telah dilakukan
teman-temannya, seperti halnya Didi rasakan. Setelah mendengar temannya “Rudi”,
berbahasa dengan bahasa dengan baik dan benar bahkan tersetruktur saat di dalam
kelas. Didi mengidentifikasi apa benar Rudi bisa karena suka ngopi. Bertanya
pada hatinya. Ia bisa seperti itu karena ia setiap malam suka ngopi sampe larut
malam “katanya”. Sehingga menganggap memiliki mashab kopi yang membuat bisa
hijrah dari sebelumnya tidak tahu apa-apa, hingga sangat signifikan sekarang
sudah bisa. Namun tidak mengetahui saat ngopi itu apa yang dilakukan,
dikerjakan dan dibicarakan Rudi, berpikir bahwa ia seperti teman pada umumnya
kalau ngopi, meragukan kalau hanya ngopi yang bisa membuat revolusi, jika ngopi
meningkatkan rasa sosialis menurutku itu nyata, serta tidak ada mashab ngopi
darinya yang diikuti olehnya.
Mashab ngopi apa yang dilakukan
seorang untuk bisa memaparkan penjelasan di depan itu?, di tempat minum kopi
banyak mashab kopi yang harus ditiru, era modernisasi ini harus pandai-pandai
menyaring mashab ngopi. Lah setelah mengetahui mashab, itulah kesadaran kita
sebagai orang penikmat kopi bisa menjadi seorang penikmat cerdas, penikmat
cerdas bukan penikmat rasa kopi saja, namun bisa menemukan pahit dalam isi kopi
dijadikan sebagai mashab diri yang mampu membuka siapa diri kita. “Bahwa kudrot
kopi pahit, kutdrot gula manis, dan kudrot diri kita bisa menemukan kodrot diri-Nya”.
Banyak cara menemukan mashab ngopi
yang baik. Kita bisa menafsirkan dengan baik sebelum tidur sepulang ngopi, bisa
menemukan sebuah arti dari pahit dan manisnya kopi. Mungkin saja mashab ngopi
hanya dimiliki oleh orang-orang pecinta kopi, walau mereka yang tidak suka
ngopi merasakan, rasa kopi sesungguhnya. Apalagi mereka yang memiliki mashab
kopi sawah/ladang. Kopi sawah bukan dibedakan dari bentuk kopinya atau
komposisinya, namun letak dalam menemukan filosofinya membenturkan dengan
realita, pada saat capek, lemas bahkan sudah tidak merasakan apa-apa dari apa
yang ada dalam kehidupannya. Kecuali lesu dan keringat hangat menyengat membuat
kopi pahit menjadi manis, yang manis menjadi pahit, sebagaimana menyandingkan
kopi dengan singkong rebus, kacang rebus, bahkan pisang rebus. Mashab itu
menjadi instalasi cakrawal ilmu tentang hidup akan tumbuh untuk penikmat kopi
yang berada di sawah.
Suasana ngopi di sawah akan berbeda dengan
suasana ngopi di kafe, warung kopi paling signifikan ketika senang ngopi di
pinggir jalan, mungkin mirip dengan ngopi di sawah sabab di pinggir jalan akan
menemukan sebab, banyak investasi pengetahuan dalam menganalisis, menerjemahkan
setiap perjalanan manusia hidup sebagaimana dijadikan refleksi untuk kembali. Sambil
lalu menyeruput kopi “hereuupp”, kenikmatan kopi terasa ketika apa yang dirasa
menyatu dengan suasana. Mashab ngopi di kafe akan merasakan ngopi yang beda
dengan mashab ngopi di sawah.
Ada pula suasana ngopi paling
cerdas, cermat dan hemat. Ngopi di kos atau di kontrakan teman, paling
beruntung ngopi di kos, jika yang main ke kos teman dan dibuatkan kopi, kopi
pahit menjadi manis yang pahit menjadi manis. Mungkin saja itu rejeki atau
memang itu dicari, ketawa Didi. Mungkin Itu ngopi paling dicari walaupun mashab
dari keduanya tidak ada, sama halnya kita memahami hidup tidak hanya memahami
siang dan malam, namun dalam hidup juga perlu memahami senja sore, serta senja pagi
sebelum subuh nanti, memiliki nilai estetik yang antik, tapi belum pernah
ditemukan cara memilikinya.
Mashab ngopi di kafe atau ngopi di
sawah, harus bisa mengetahui, memahami bedanya ngopi pada saat malam, bahwa ngopi
pada saat pagi dan siang memiliki kerangka imajinasi beda jika menikmatinya.
Jika ngopi malam hanya akan bisa menemukan rumus atau cara menyusun konsep
hidup untuk esok. sebab hidup di masa akan datang penuh tanda tanya?, perlu
konsep yang tercatat untuk bisa dirancang dengan baik, walau tetap tak bisa
menjadi yang tepat apa yang telah tercatat. Ngopi pada saat pagi hari. Sebagai manusia cerdas
sudah bisa melakukan sebuah konsep yang telah dirangkai semalaman suntuk untuk
bisa mengerjakan perancagannya.
Pada
saat pagi dan siang itulah “ngopi” yang hakiki bisa dirasakan, dilakukan,
dinikmati walau kadang racikan kopi tak sesuai dengan ukuran pahit dan manis
yang ditemukan dalam secangkir kopi itu. Kopi sebagai teman dan ngopi satu
kesatuan dari apa yang dibenci menjadi rindu dan rindu menjadi benci. Tugas
manusia yang suka ngopi bisa memiliki mashab sendiri dari yang terjadi hari ini,
menerima pahit dan mencari yang pahit untuk menjadi sahid.
Terpenting
mashab ngopi di sawah jangan berhenti mencangkul, membajak dan menanam.
Begitupun sebaliknya yang mashab ngopi di kafe tetap membaca, mendengarkan, dan
menuliskan. Apapun bentuk kopinya yang penting nikmati, resapi jangan ditawar
lagi. Itulah kudrot kopi yang awalnya hanya ada di hutan ditemukan
diperuntukkan, kecuali hewan Landak yang memakannya menjadi hasil yang dikenal
dengan luwak kopi yang bagus (luwak kopi), menjadi biji kopi yang dicari,
padahal keluar bersama dengan kotorannya, mengapa masih menjadi kopi yang
dicari?, renungkan saja sebelum tidur nanti.
Bagi mashab ngopi yang cerdas akan
memilih dan memilah apa yang ada, bukan menerima apa adanya, dari apa yang
sudah ada namun tidak ingin menikmati kopi, sesuai dengan apa yang dirasa dan dibisa,
luwak kopi berharga karena ia pandai menelan biji kopi. Sebab kopi tidak pernah
menjadi subjek dari kehidupan kita untuk bahagia. Namun tetap pencipta mashab
kita sebagai manusia menjadi subjek. Selamat berbahagia bagi penikmat kopi,
selamat beribadah ngopi bagi yang dirundung sepi, mulailah bukan menjadi
penikmat namun pencita nikmat.