Sabtu, 19 Februari 2022

GAMBAR, LAGU, DAN PESIMISTIS

 

Diambil dari facebook akun suhaimi 

Oprah Winfrey pernah menuliskan (127.2014) aku selalu menganggap diriku sebagai pencari. Dan itu berarti hatiku selalu terbuka untuk melihat--dalam segala bentuk--keteraturan ilahi dan kesempurnaan uang tak ada tandingannya dalam cara kerja semesta.


Masa pandemi memang tidak dapat kita prediksi baik-baik saja. Kalau melihat semua sempoyongan dalam menjalani pola hidup berbeda dan jauh dari kehidupan normal. Normal di sini selalu dikaitkan dengan pola hidup manusia yang dianggap ideal, tidak ada hal yang berat dalam hidup. Padahal kehidupan yang tidak ada masalah itu adalah kehidupan yang ada masalah. 


Pada suatu ketika, saat kita menjalani hidup begitu kompleks. Memang semua baik-baik saja belum tentu itu benar karena masih memiliki problematika sendiri dari segi sisi lainnya. Apakah pernah kita berpikir secara luas dan logis dalam hal ini. Masalah paling besar dalam hidup--yang tidak dapat dipecahkan dalam pikiran kita saja--tak kecuali masih memiliki kesempatan menemukan solusi. Paling sederhananya. Solusi dalam hidup kita memang tidak pernah berupa barang atau hal yang pasti, namun 'waktu' yang panjang salah satu solusi paling ideal dalam menentukan. 


Pandemi sebenarnya bukan masalah paling memuncak dalam hidup kita apalagi di masa sekarang ini. Kalau mau mengiris-iris problematik kehidupan begitu luas dan dalam, mungkin saja kita memerlukan satu atau dua lagi masalah hidup yang dibenturkan agar memahami apa yang lebih penting dihadapi lebih perlu diperjuangkan selain mempermasalahkan secara bersama merasakan. Masalahnya sebenarnya ada pada diri sendiri. Manusia yang senantiasa menyalahkan atau mudah membuat alasan. Sepertinya rumus ini selaras dengan adagium klasik kita "hanya seekor keledai saja yang jatuh di lubang yang sama..." adagium itu memberikan satu pandang yang amat luas. Kalau menyadari akan hal tersebut manusia sering melakukan kesalahan yang sama dari dulu dan sekarang. 


Perhatikan gambar ini. Jika kita memperhatikan kondisi manusia yang begitu sulit dan begitu rumit dihadapi banyak masalah. Manusia bergelantungan tersebut sedang merasakan apa dalam kondisi seperti itu, sedangkan yang dihadapi hanya beberapa hewan buas, yang secara mereka akan kalah secara pemikiran kalau kondisi normal. Kenapa manusia tidak memikirkan kalau hewan berada di kondisi manusia bergelantungan  tersebut, apakah bisa ia selamat. Kalau manusia, masih meyakini dalam kondisi tersebut masih bisa selamat asalkan belum mati. Kalau masih berikan kesempatan hidup perlu hadapi dan menunggu akan sebuah ketidakmungkinan terjadi yaitu "Selamat sari ancaman..." contohnya itu saat harus jatuh maka siap-siap lah ular dan semuanya kaget gagal fokus ke manusia, hanya seperti itu satu sampel, masih ada sampel lainnya.


Dalam kondisi seperti ini, sebagai manusia punya pikiran akan tetap bertahan dengan kondisi seperti itu dulu, lalu menunggu tumbangnya pohon, siapa tahu buaya di bawah akan kabur, ular, dan singa kaget dan tidak fokus dengan manusia yang bergelantungan. Hal ini ini seperti lagu yang spesimis yang saya pribadi kurang sepakat dengan lirik "aku takut dewasa, aku takut kecewa..." dan seterusnya... Dalam konteks seperti ini bukan lagi logika berpihak, tapi rasa yang bergerak. Kadang pasrah dan menunggu terjadi terdahulu akan muncul solusi yang pasti, bukan hanya gambaran yang tertera menjadi ancaman dan meninggalkan setiap cerminan (reflektif). Contoh di gambar hanya diagonalistik. Kenapa tidak pernah terpikir kalau seorang lain atau perempuan lewat singa dan ular salah fokus lalu lelah menunggu gelantungan manusia yang satu ini, yang semuanya sepertinya hanya menunggu, belum terjadi. Siapa tahu semut-semut yang ada di pohon menggerutu ular dan ular itu merasa terganggu lalu pindah tempat. 


Akhir-akhir ini banyak lagu Indonesia khususnya Band Indie mencipta lagu yang sedih atau kepedihan. Entah itu kepedihan lagu tentang cinta, tentang hidup, atau tentang cita-cita tak sampai. Mungkin bisa ambil satu contoh lagu yang dianggap pesimistis, hemat saya. Kurang lebih begini liriknya; /...aku tambah dewasa,,, takut aku kecewa/ takut tak seindah yang kukira ../ lagu dinyanyikan Idgaf judul "Takut" rilis 2021. Lagu ini menggambarkan sosok seorang yang pesimis akan pilihan hidup. Secara makna begitu... namun secara lirik dan nada begitu bagus. Nada rendah. Mungkin.


Jumat, 18 Februari 2022

BATAS DAN KATA

Batas sebuah cara manusia menemukan dirinya sendiri siapa, yang sebenarnya. Batas adalah cara manusia untuk menemukan makna akan sebuah perjalanan hidupnya. Begitulah kerja  ‘batas’ secara makna untuk menjalin serta bisa menemukan arti jika dikaitkan seorang disetiap pertemanan. Sedangkan memahami ‘batas’ makna secara, fungsi, dan nilai–akan membuat manusia untuk lebih bisa berpikir jernih. Sebab hanya kejernihan tersebut, mampu membukakan hati menjadi jalan baik hidup, dan berkembang.

Batas secara ilmu bahasa memiliki unsur paling berpengaruh di dalam sebuah frasa, kalimat, dan bahkan paragraf. Kita bisa menemukan makna secara signifikan karena ada batas. Contoh kata “rumah” dan “cinta” hanya menjadi makan leksikal secara strukturalis akan punya arti/makna berbeda saat terpisah, begitupun ketika sudah digabungkan akan menghadirkan makna baru. Secara tidak langsung batas memiliki pengaruh besar dalam bahasa. Jika kaitkan dengan unsursuprasegmental dan segmental, akan punya pengaruh besar dalam makna.

Jika suprasegmental berkaitan dengan intonasi nada, sedangkan segmental dengan tanda baca. Semua di atas memiliki makna serta fungsi berbeda-beda. Sedangkan dalam kerja bahasa batas dan kata akan memiliki unsur pembeda untuk mencipta makna baru. Pembeda dari keduanya akan dipengaruhi siapa yang berbicara serta siapa yang memfungsikan berbahasa. Hal tersebut selalu menjadi pilihan ideal manusia memanfaatkan bahasa. Dan itu menjadi hal baik dalam hidup manusia untuk bisa memakai bahasa—yang sesuai dengan  konteks dan koteks.

Pembatas, merupakan pembatas untuk menentukan hasil bacaan dalam buku. Kalau batas berada di letak geografi akan berpengaruh garis masuknya negara ke satu negara lainnya. Sehingga sampai batas wilayah Malaysia dan Indonesia. Hal tersebut membutuhkan batas (pembatas wilayah). Karena tanpa pembatas manusia tidak akan memiliki makna yang secara general mampu diterima oleh kita.  Jika hal tersebut dikaitkan dengan bahasa. Batas secara umum dalam penyususunan kata, kalimat, dan bahkan paragfraf. Batas tersebut akan mempengaruhi hukum-hukum semantik, semantik, dan bahkan pragmatik.

Begitulah mungkin sebuah kerja manusia akan memberikan batas secar simbolis, maupun secara praktis. Jika seorang membatasi serta mengambil batas, sehinggabatas sangat penting dalam kerja bahasa. Batas dalam konsep lain akan melahirkan suatu nilai paling baik khusus dalam pertemanan. Memberi batas antara teman akrab perlu. Karena seorang kenal akrab haru, sekaligus perlu memiliki batas. Di antara seorang ketika menjalin pertemanan, tidak mungkin seorang akan selalu ada serta bisa saja sewaktu-waktu—menggantungkan kepada seorang teman dekat. Bukan tidak boleh, akan tetapi lebih condong sangat kecil untuk berkembang, sebab batas tidak berfungsi di antaranya—yang menjamin keindahan hidup.

Sederhanya, teman dekat sewaktu-waktu kita tinggalkan agar kita berkembang. Bukan meninggalkan lalu melepaskan selamanya. Namun perlu memiliki batas dan  mengenerti namanya preoritas umum dan khusus.

Fenomena Kata

Sedangkan “Kata” telah memiliki validitas individu secara kultur serta budaya. Sehingga dalam sejarah dalam aliran post-strukturalis. Jacques Derrida menuliskan dekonstruksi bahasa yang sangat baik untuk menemukan fenomena makna ditentukan secara individu. Boleh  atau sah saja menggunakan bahasa sesuai dengan apa yang diharapkan sendiri “sak karepe dewe…” secara makna akan memiliki cara sendiri menemukan. Sehingga tidak akan konvensi paling saklek untuk menentukan makna. Atau  dikenal dengan arbiter tidak berlaku di dalam konteks ini. Hal ini dapat dikatakan merupakan kegagalan Ferdinand D Saussure.

Namun, dalam interdisipliner linguistik, kita sering kali menemukan kajian ilmu pragmatik. Bahwa  setiap unsur bahasa yang disampaikan oleh manusia lain memiliki interpretasi serta makna berbeda jika secara kondisi serta semangat tentang apa yang terjadi. Maka sering kali bahasa merupakan sebuah fenomemena alam paling rumit jika dipandang secara logis.

Dalam pandangan para tokoh linguistik yang diakui pemikirannya, tidak akan kita pungkiri kalau hidup sangat dekat dengan namanya simbolik. Sehingga manusia sebagai makhluk simbolik akan dibenarkan dalam kehidupannya. Karena kehidupan  sehari-hari sangat kental ketika melakukan pembacaan serta pemahaman mengenai simbol.

Di jalan-jalan bahkan manusia sendiri dalam kehidupan  sehari-hari penuh dengan mempraktikkan simbol  ialah lambang berupa bunyi ataupun gambar. Manusia berbicara merupakan menggunkan lambang bunyi, manusia memandang sesuatu memperaktikkan hidup berlambang.

Sehingga seorang bisa saja menemukan makna lain  dari simbol yang secara general dipahami, tapi akan menjadi individualis menemukan. Yang menarik dalam fenomena bahasa yaitu kejadian manusia yang begitu dekat dengan bahasa. Secara manusia akan memiliki batas untuk menemukan makna secara khusus. Terkhusus dalam karya tulis secara kreatif memiliki pola serta cara tersendiri.

Kenapa  seseorang bisa menggunakan Bahasa Indonesia pada saat dihadapkan dengan dosen atau orang lebih tua. Bahasa yang tidak memiliki jenis kelamin biasa sering dirasakan oleh kaum perempuan tidak mendapatkan pengakuan. Sehingga merasa kalau pengakuan seorang perempuan muncul sebab hubungan paling baik antara laki-laki dan perempuan.

Jika kita cermati, bahasa tidak memiliki jenis kelamin. Akan tetapi, bahasa memiliki hubungan antara dua belah pihak antara pembicara dan antar pendengar. Sehingga bagaimana mungkin seorang menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar saat konteks memahami makna dan arti secara makna umum. Sehingga, bisa saja bahasa yang tidak memiliki batas akan menimbulkan chaose karena seorang masih berfokus pada prinsip; bahasa Indonesia perlu memiliki batas paling kenal di kehidupan sehari-hari; bahasa seorang ibu-ibu di pasar walaupun menggunakan bahasa Indonesia tertentu lebih menggunakan bahasa secara heterogen. Berbeda dengan bahasa Indonesia di ruang akademik, lebih formal sifatnya yaitu homogen: bahasa dan pembahasannya. Mungkin.


Kamis, 17 Februari 2022

SASTRA, PENDIDIKAN, DAN BAHASA

Foto: Teater Awan Al-Itihad 

Materi yang disampaikan oleh Akhmad Mustaqim
Pada Seminar Kesusastraan[1] MA-Al-Ittihad Poncokusumo Kabupaten Malang, Waktu: 08.00-09.00 Wib, lokasi MWC Puncokusumo Malang Jawa Timur. 

Persoalan sastra Indonesia ada  pada generasi, pendidik, dan media. Hari ini sangat penting dan perlu melakukan muhasabah. Sehingga dunia sastra akan menjadi menarik dan menyenangkan. Untuk mencapai semua tersebut agar maksimal yaitu meningkatkan tingkat baca (iqro), baca apapun  yang disukai, lalu meningkatkan literasi kita secara baik—untuk mencapai atau menyelesaikan beberapa masalah sendiri, dan sekeliling kita. Belajar itu, tidak lain dan tidak bukan ketika punya ilmu yaitu mampu menyelesaikan masalah-masalah sendiri, bekal ilmu itulah akan menemukan jalan.

Dunia sastra kita, sebenarnya tidak hanya bicara tentang teks yang memiliki nilai. Lepas dari itu semua harus bisa memenuhi apa yang memiliki dedikasi untuk memahami sastra secara luas. Karena sastra tidak hanya bicara mengenai teks melainkan juga pementasan dan bahasa. Damono (2021:55) mengatakan sastra memberi kekuasaan kita untuk berbuat “apa saja”: mulai dari sekedar bermain-main dengan kata-kata sampai dengan memberi nasehat. Ini telah kita lakukan sejak kita ada, jauh sejak sebelum kita mengenal aksara (2). 

Poster: Teater Awan Al-Itihad 


Kita hari ini perlu menyadari bahwa dalam memikirkan sastra tidak hanya bicara tentang cinta, akan  tetapi bagaimana masyarakat sadar akan sastra dan bahasa tidak dapat dipungkiri menguasai tuk dimiliki oleh masyarakat—siswa, mahasiswa, pegiat sastra, dan penikmat sastra—bahwa sastra dan bahasa punya peran. Mari sadari kalau memang masyarakat kita perlu melestarikan budaya. Budaya ini diciptakan dari kebiasaan yang dilakukan sehari-hari kita, sehingga menjadi budaya sehari-hari sehingga diciptakan oleh masyarakat. Budaya tersebut memiliki nilai baik diterima oleh masyarakat secara luas.

Kesusastraan secara etimologi dalam bahasa Sansekerta yang sastra, berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”. Shastra berasal dari kata dasar sas-atau shaas-yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi dan tra yang berarti alat atau sarana.[3] Artinya, secara umum dan luas di sini, selain masyarakat memaknai bahwa  bercakap-cakap ini adalah kebiasaan masyarakat dilakukan secara luas akan menjadi budaya, maka apapun yang memiliki nilai atau pedoman keseharian-harian ini. Secara lisan maupun tulisan terkandung dalam dunia nyata dan dekat dengan realita.

Kehadiran budaya salah satunya merupakan kerja kesenian manusia yang dibentuk manusia dalam berkembang di sebuah sastra. Di masyarakat kita akan menghadirkan kebiasaan manusia untuk bisa melakukan secara terbiasa untuk bisa dilakukannya. Sehingga dunia pendidikan formal (dunia pendidikan) dan pendidikan non-formal (pesantren), melakukan praktik-praktik berkesenian. Salah satu contohnya wadah paling baik di dunia pendidikan wahad kebudayaan, bisa dilakukan oleh siswa dan mahasiswa.

Praktik-praktik ini bisa dilakukan oleh dunia pendidikan di kembangkan secara baik dan maksimal terus menerus oleh kita. Karena kita yang mampu membuka diri untuk bisa mempertahankan serta merawat. Sebab hanya dunia pendidikan punya kekuatan paling penting dalam kehidupan kita. Walaupun tidak dipungkiri selain itu ada para pegiat serta pembaca karya sastra akan menghidupi sekaligus melestarikan. Tidak mungkin kebudayaan berkembang secara baik dan bisa menjalankan kehidupan kalau pendidikan peran sentral di dalam kehidupan berkebudayaan. Mengapa sastra di masa lalu di zaman lalu kita sangat dikenal. Karena sastra ini akan hidup jika dunia pendidikan ini. Sehingga peran pendidikan di sini lebih kreativitas untuk mengembangkan kebudayaan secara kreatif.

Foto bersama panitia Teater Awan Al-Itihad 


Di lingkungan sekolah selain peran seorang guru, khususnya  guru Bahasa Indonesia—yang sangat memiliki peran paling ideal untuk bisa aktif berperan untuk mendorong melakukan apresiasi sastra dan bahasa sangat penting dengan membaca buku sastra dan ekstra sastra atau berkesenian lainnya. Pada tahun 1945, seorang budayawan dan tokoh nasional, Ki Mangunsarkoro, menyampaikan sebuah perasaan yang berjudul “Pendidikan Kebudayaan dalam Masyarakat Sekolah”[4]  …. Pendidikan di sekolah itu ditunjukkan kepada waktu yang akan datang, dan oleh karenanya pendidikan kebudayaan ditunjukkan pada keadaan dan kemungkinan-kemungkinan di waktu yang akan datang. Kalau tidak, maka pendidikan itu adalah pendidikan yang salah masa dan akhirnya menimbulkan kekuatan anakronisme[5] yang mau tidak mau merupakan kekuatan destruktif[6] reaksioner di waktu yang akan datang.   

Di pesantren sangat memiliki peran aktif pula dalam dunia sastra dan bahasa. Salah satu contoh ini dapat diambil yaitu, pengambangan yang ada di Pondok Annuqoah[7] kesusastraan di sana sangat berkembang sangat baik dan bagus, pemilihan seorang sastra untuk ekstrakulikuler: deklamasi puisi, penulis sastra,  jurnalistik, dan teater. Kalau kita menyadari akan hal tersebut merupakan sebuah jalan untuk bisa mengmbangkan kreativitas diri, atau skill akan kesusastraan yang ada di dalam dunia sastra. sehingga dapat kita cermati santri-sasntri yang alumni di sana banyak menyukai bahkan melakukan praktik-praktik di masyarakat luas di dunia kampus dan luar memiliki peran sangat baik di dunia kesusastraan.

Dalam hal sastra peran paling sentral yaitu bahasa, entah bahasa secara lisan maupun tulisan. Sehingga kalau kita perhatikan secara ilmiah. Peran bahasa dalam kehidupan sangat sentral, maka bahasa merupakan bentuk paling penting. Sehingga dunia pendidikan praktik-praktik mengarah ke dalam bahasa akan bisa melakukan kehidupan yang kental di kehidupan sehari-hari.

Selain itu, di dunia sastra juga berkaitan dengan dunia jurnalistik. Kalau kita ketahui bahwa ada yaitu jurnalisme sastrawi. Sastra yang memiliki daya tulisan peran bahasa tulisan dan lisan. Disana ada latihan sangat konkrit. Selain berperan secara fungsi media menjadi salah satu media paling sentral dalam dunia  bahasa dan sastra. karena tidak mungkin tulisan kita dapat dibaca oleh orang  kalau tidak  memiliki media (ruang ekspresi). Bahkan Charles Dicken (51: 2001), Dari  sudut pandang ini, surat kabar hanyalah ‘bentuk ekstrem’ dari buku, atau buku yang dijual dalam skala kolosal, tanpa disertai sifat awet-kekar, dan kepopuleran hanya sekejap mata. Mungkinkah bisa kita katakan: (surat kabar adalah) buku laris satu hari)[8]. Sehingga peran media di era sekarang sangat sentral, tanpa  media tidak akan memiliki ruang luas. Bahkan secara fungsi masyarakat memiliki peran di masyarakat luas dengan adanya media jurnalistik.

Peran Dunia pendidikan, kesusastraan, bahasa, media, dan pendidikan non-formal (pesantren), ini akan memiliki peran penting dalam peradaban serta kehidupan manusia. Terkhusus dalam dunia sastra—yang memang sangat berkesinambungan untuk tetap menjaga dan merawat nilai-nilai kebaikan kita—yang ada dalam dunia sastra atau kebudayaan. Karangan sastra akan memiliki ruang lebih luas karena kebenarannya dapat ditentukan oleh pembaca. Roland Barthes (1965), mengatakan pengarang dan karya sastranya harus terpisah, jika ada seseorang bisa melakukan pengamatan karya dan tidak sesuai dengan pembaca maka tidak masalah, karena makna ada pada pembaca, ini yang disebut dengan interteks[9]. Sehingga peran tersebut sangat menjamin akan kehidupan berbudaya kita ini.
 
 
Foto bersama panitia Teater Awan Al-Itihad 


kau 18+
 
mencintai peristiwa terbesar dalam hidup,
kukenali engkau di sepertiga malam
dan  merangkai puisi untuk Tuhanmu
tuk  merayunya, dan memohon
kau yang mengungsi di hati
berharap abadi
 
malang 2022


Catatan kaki: 

[1] Menumbuhkan Kembali Semangat Berbahasa dan Bersastra di Kalangan Remaja 17, Februari 2022
[2] Sapardi Djokko Damono,  2021. Pendidikan dan Sastra Pabrik Tulisan Jl. Dersono, Sleman, Yogyakarta
[3] Pandangan secara umum akan hal kesusastraan.
[4] Perasaan dalam rangka Kongres Keduayaan III yang diselenggarakan di Solo. Diambil dari esai Sapardi Djoko Damono, 2021. Berjudul “Pendidikan dan Sastra”.
[5] Hal yang tidak kecocokan dengan zaman tertentu.
[6] Merusak dalam arti kamus besar Bahasa Indonesia.
[7] Pondok pesantren di Sumenep pengasuh itu M. Faizi. Penulis buku “Merusak Bumi dari Meja Makan” 2020.  Basabasi. Yogyakarta.
[8] Dikutip dari buku Imagined Community 2001. Penerbit Insist. Yogyakarta.
[9] Esai Sapardi Djoko Damono 1965 Interteks dan Teks, kurang lebih narasi yang ingin disampaikan di atas demikian, kurang lebih—yang akan disampaikan oleh Roland Barthes, peneliti sastra asal Perancis.


Sabtu, 12 Februari 2022

LITERASI


Foto: Upi/Taman Slamet 

"Apa yang membedakan orang suka baca dan yang tidak?" Pertanyaan di atas sepertinya tidak akan dapat dijawab secara benar dan juga tidak dapat disalahkan. Jika menjawab pertanyaan tersebut membuat lebih lega dari penanya, bahkan kadang karena orang yang dituakan selalu dianggap benar dan jawabannya tanpa dikritisi tetap dibenarkan. Mungkin itu yang dapat sedikit banyak orang lain katakan secara umum. Jawab subjektif lebih baik daripada objektif. Karena jelas mereka penjawab akan punya dasar berbeda-beda, beda referensi akan beda versi. 


Dalam pandangan umum, literasi selalu diartikan  dengan keterampilan membaca dan menulis. Di mana keterampilan tersebut butuh latihan untuk mencapai semaksimal mungkin menguasai. Tentu, setiap hari lebih banyak melakukan praktik serta mengambil beberapa faktor mendukung dari keterampilan tersebut untuk bisa: membaca dengan baik dan melakukan menulis setiap hari. 


Adapun pandangan lain secara persoalan yaitu, perihal literasi lebih berfokus dengan psikologis manusia saat membuka diri bahkan ingin menjalin hubungan secara terbuka. Lantaran, di dunia literasi membutuhkan ruang lebih luas--yang untuk memberikan tanggapan atau teman diskusi tentang karya tulisannya atau proses latihan  mengenai logika bahasa, struktur, dan serta kalimat--yang baik dan benar. Jadi tidak hanya bicara substansi isi karya namun struktur diri mempengaruhi. Itu berkaitan dengan dunia tulisan, tak berlaku budaya lisan. 


Eksistensi literasi perlu konsep bottom up kalau dicermati secara dangkal. Ekstensi literasi beda dengan organisasi yang lainnya--yang menonjolkan kegiatan yang jelas bentuk efuria, berbeda dunia literasi eksistensinya menulis secara individual--yang tidak berlaku bagi mereka namun perlu mengasah diri untuk bisa lebih menemukan kreativitas terbangun dari dalam diri. Eksistensi ini bentuk kerja sukarela dan kerja kemanusiaan jika memang esensi berlaku secara benar. 


Secara pribadi, mengingat dan menjalankan apa yang menjadi hobi perlu adanya support system secara eksternal dan internal. Jika eksternal yaitu kultur yang perlu dibangun secara maksimal oleh kita saat memiliki keinginan untuk berkembang akan dirinya... Jika secara internal perlu mengiris-iris kebenaran yang menjadi mimpi sebagai kebutuhan akan diri ketika bergerak keluar (output) dari apa yang dilakukan akan menjadi penilaian untuk keluar. Sehingga esensi akan menjadi cermin ekstensi. Keduanya pada dasarnya memiliki kepentingan secara luas dan jelas kita melakukan tindakan paling ideal serta baik. Dan sama mengandung nilai-nilai yang melekat pada dirinya. 


Akan tetapi, tugas seorang yang hidup di bumi semakin direnungkan untuk memahami, bahwa ada seorang makin menemukan semakin sulit menjalani kalau hanya dipikirkan. Padahal sudah jelas bahwa setiap persoalan merupakan bumbu dari hidup, hanya bagaimana saja literasi diri kita lebih tajam untuk masuk ke dalam semua dedikasinya. Setiap hasil bacaan yang didapatkan secara tekstual bisa disesuaikan dengan kondisi diri; membentur-benturkan. Dan merasa kalau itu salah satu kebutuhan diri. Saat itu pula literasi berkembang dan berpihak. Kalau dapat dikatakan menuntun ke arah lebih jelas serta signifikan ke depan. 


Literasi di kota dan desa sudah pasti punya perbedaan. Tidak dipungkiri perbedaan itu jadi masalah serta jadi hal krusial, karena letak kultur serta wilayah akan menentukan arah gerak. Jika desa edukasi literasi tidak bisa dibuktikan dengan kepandaian retorika atau bermain bahasa yang baik, tapi mereka lebih mau hasil konkrit dari gerakan tersebut. Kalau di kota akan lebih mudah, karena segmentasi jelas pembaca dan kebutuhan mereka untuk waktu senggang yaitu membaca. Sudah jelas mereka mencari sesuai kebutuhan senang dapat ditemukan di dalam buku-buku atau dengan membaca bisa tahu banyak hal, jika di desa dengan menonton televisi di TV bagian dari mempraktikkan baca suasana kehidupan sekitar kita. 


Bicara dunia kreatif di bidang literasi, Aan Mansyur dalam esainya menulis akan dinamika kehidupan dirinya yang sudah lama dan bisa dikatakan mampu survive hingga sekarang, yaitu literasi. Esai tersebut representasi atas dirinya, kurang lebih berbunyi begini; "tidak akan ada yang meminati mertua untuk orang yang bergelut di dunia literasi, karena tidak akan menjadi ideal, tetap idealnya yaitu: polisi, tentara, dan PNS...." perkembangan tersebut seperti sudah dilakukan secara praktik selama berkecimpung di dunia kata dan Kata Kerja yang dibangunnya. 


"Apakah anggapan sebagian orang untuk dunia kreatif berupa kata ini, terlalu absurd. Sehingga tak dapat dinikmati secara bersama kecuali yang sefrekuensi?"


Foto: Cak Pendek/Sabtu Membaca/Taman Slemet 


Rabu, 09 Februari 2022

CATATAN BACAAN KETAT: SEJARAH PEREMPUAN INDONESIA "PENGANTAR

Poster: Ika 


Pertemuan Pertama 4/02/2022

Di Kedai Kopi Bintang Kecil dan Toko Buku 

Pembaca: Cak Pendek, Andika (Ika), Endan, Mukti, Aldi, dan Akhmad. 

Foto: Endan 
Sedang menyimak pendapat satu sama lain perihal buku "Sejarah Perempuan Indonesia"



Mula-mula kita berbicara banyak hal tentang asal usul perempuan. Namun perempuan yang seperti apa yang memang ingin kita bicarakan--butuh spesifikasi menentukan topik besarnya. Karena tidak semua orang memahami perempuan secara sikap maupun secara memperlakukan. Mungkin bisa saja memuliakan secara pandangan Islam maupun budaya sudah menjadi kewajiban, atau ada lagi mengenai perspektif miring akan hal perempuan mengenai konstruksi sosial masyarakat memberikan  justifikasi "perempuan memiliki segudang banyak aib daripada laki-laki"--mungkin itu memang tidak seimbang, tapi fenomenologi bekerja seperti itu. 


Secara subjektif hemat saya ini, jika bicara feminisme. Apa yang ideal dari pandangan Barat ataupun Indonesia sendiri?. Hal tersebut membuatku skeptis sekaligus pesimis akan hal gerakan, tapi sangat mendukung akan hal pengetahuan yang direduksi menjadi menjadi praktik keseharian pandangan luas akan ilmu feminis, bukan hanya pandai mempertahankan argumentasi dengan dalil-dalil--yang akan dipatahkan oleh budaya kita--yang seperti kita rasakan. Dan kultur budaya jawa bergandengan dengan agama Islam setelah abad ke-7 sudah masuk ke Nusantara walaupun penyebarannya meluas di abad ke-12. Semua tatanan campur aduk dan pengaruh Islam sangat signifikan. Walaupun peradaban budaya Nusantara tetap mempengaruhi Agama Islam. Hal ini jelas akan mempengaruhi pula akan perkembangan feminisme di Indonesia. 


Dalam buku "Sejarah Perempuan di Indonesia gerak dan pencapaian" karya Cora Vreede De Stuers. Buku tersebut diberi pengantar oleh Ruth Indiah Rahayu. Dalam pengantar buku tersebut memberi judul "Emansipasi Menuju Unilinier: Gerakan Feminis "Indonesia" Paruh Abad Ke-20"--tentu pengatar ini menjadi disclaimer penting menuju lebih dalam dan memahami secara kompleks isi buku. Secara sangat memberi gambaran secara luas sebagai pembaca pemula mengenai sejarah pergerakan perempuan--yang juga tidak lepas dengan  dinamika tokoh-tokoh besar pengaruh di Indonesia seperti: Kartini dan Dewi Sartika. Secara, pengantar buku tersebut juga memberi sebuah gambaran atas kontaminasi perspektif feminis yang dimulai oleh para pemikir Indonesia, dan ternyata sedikit bergeser lantaran ada campur aduk perspektif feminis di Indonesia, sehingga otentitasnya tidak ditemukan benang merahnya. Buku ini seperti memberi sebuah pandangan dan pengetahuan baru akan hal perspektif peran penting perempuan asli nusantara, yang mendekati ideal. 


Pandangan di atas sedikit subjektif, tapi tidak keluar dari konteks apa yang ada dalam pengantar. Bahwa teori unilinier yang secara pengertian di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengikuti garis besar arah : pertumbuhan ekonomi. Bahkan dalam pengantar tersebut menyambut seorang ahli teori atau pencetus G.A Wilken, yang memisahkan etnologi Indonesia dari induknya. Wilken memiliki jasa terhadap pengembangan teori evolusi unilinier yang mendorong Josselin De Jong melakukan studi dan merekonstruksi struktur sosial dan kebudayaan-kebudayaan di Nusantara. Pendekatan tersebut memengaruhi Cora Vreede De Stuers dengan mengkonstruksi hubungan antara persoalan perkawinan dan pendidikan dengan bangkitnya perlawanan kaum perempuan Hindia Belanda pada awal hingga paruh abad ke 20. Studi Cora ini, akan memberi penjelasan sistem kekerabatan dan pengetahun mengangkat argumen kebangkitan gerakan perempuan Indonesia yang ragu-ragu gerakan feminisme gerakan pertama. 


Begitulah pemaparan paragraf awal pengatar, yang secara lebih luas ingin memaparkan sebuah subtansi serta asumsi keragu-raguan gerakan feminisme gerakan pertama. Walaupun studi dilakukan Cora merupakan studi secara luas nanti berkaitan dengan politik Indonesia. Bahkan secara akan memberi gambaran bahwa awal mula gerakan awal di abad 1912 atau abad 20. Di Indonesia ternyata hanya berfokus pada perkawinan dan pendidikan. Selain itu, gerakan tersebut akan berlanjut jangka panjang dalam sejarah Indonesia akan masuk masa kelam nantinya, pada 1965--yang nanti akan menyinggung soal Gerwani sebagai anak kandung dari PKI yang akan mengemban orsinilitas perspektif feminis Indonesia, katanya dalam diskusi paragraf pertama. 


Selain itu, ternyata ada hal yang lebih menarik pergeseran perspektif karena ada kaitannya pembantaian pada 1965, tragedi tersebut berdampak pada pandangan feminisme di Indonesia. Selain membasmi gerakan politik, ideologi, dan pengetahuan. Ternyata memiliki dampak terhadap hal-hal lain yang begitu krusial juga mengancam hangusnya perspektif asli feminisme di Indonesia. 


Ternyata pada mulanya ini hanya berfokus pada sistem berakar murni di Indonesia berupa: Sistem yang berlaku di Indonesia sebenarnya ada tiga: Patrilineal, Matrilineal, dan Bilineal. Tiga hal tersebut masih sangat kental di kehidupan sehari-hari kita di Indonesia, khususnya di jawa yang secara garis besar sulit melepaskan budaya lama. 1) Patrilineal merupakan hubungan kerabat dari pria saja, bapak. 2) Matrilineal merupakan hubungan kerabat dari wanita, ibu. 3) Bilineal mengenai hubungan keturunan dan kekerabatan hubungan pria untuk hak dan kewajiban tertentu. 


Halaman (XIV) Pengantar Buku


Foto: Cak Pendek 
Sedang menyimak satu sama lain yang membaca. 

Senin, 07 Februari 2022

PRAM DAN INDONESIA


Pramodya Ananta Toer 

Belum tahu bagaimana cara merayakan sosok Pram di ulang tahunnya ini, selain hanya membaca karya-karyanya. Dia memang bukan siapa-siapa yang menjadikan saya sampai sekarang jadi dewasa, tapi karyanya membuat lebih tambah dewasa. Dewasa di sini yaitu berpikir secara luas serta memandang Pram adalah Indoensia. Andai saja Pram dinamakan Indoensia mungkin saja bisa, karena dia adalah seorang yang telah memberikan banyak karakter orang-orang Indoensia, secara tidak langsung ada pada karya sastra yang dibuatnya. Begitulah hal sederhana dapat diasumsikan secara sederhana perihal Pram.

Sebagai seorang pendidik--yang bergelut di dunia sastra dan Bahasa Indonesia, masih perlu banyak mengetahui karya-karya sastra Indoensia mulai dari hulu hingga ke hilir sekarang, kalau kata orang jawa. Karena seorang pendidik di bidang sastra dan bahas perlu banyak eksplorasi hal-hal luas mengenai bacaan atau buku sastra. Karena seorang pendidik memerlukan bahas refrensi luas untuk bisa menjelaskan secara kompleks dan baik. Di Indonesia sepertinya perlu mengenalkan nama-nama seperti Pramodya Ananta Toer, walaupun tidak hanya itu yang perlu diketahui. Akan tetapi, perlu kenal lebih dalam yaitu karyanya, serta tidak memberi batasan mengenal sastrawan lain di Indonesia yang berpengaruh maupun tidak, tetap dikenal.

Bung Pram, sebutan yang kerap melekat di eranya. Jika sekarang cukup mengenal penulis tetralogi novel; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Diterbitkan pada 1985 oleh Hasta Mitra. Novel tersebut memang dianggap kontroversi, karena kejaksaan agung tidak memperbolehkan beredar.

Bicara Pram di Indonesia memang selalu dikait-kaitkan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau dikenal oleh masyarakat tahun 1952-an (Lekra). Secara kacamata masyarakat umum lembaga tersebut berafiliasi dengan partai terlarang di Indonesia pada zaman Orba. Lah sastra dan kebudayaan di Indonesia masa itu juga ikut serta atas politik pada masanya. Dalam pandangan masyarakat masayarakat dikenal dengan politik kebudayaan. Pram dikenal partisipan aktif menulis, walaupun secara struktur Pram tidak masuk ke dalam struktur Lekra. 

Pram di Indonesia, khusus dalam pelajaran sastra dan Bahasa Indonesia menjadi asing. Sebagai seorang yang belajar di disiplin Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, nama Pram di ruang akademik tidak selalu eksis, kurang dikenalkan, bahkan kadang jarang untuk diapresiasi menjadi anjuran dosen. Kecuali mengangkat sastra pinggiran. Nama Pram dalam ingatan selalu dibahas panjang lebar oleh dosen. Benar atau salah pengkotak-kotakan karya sastra seperti itu,  walluuhalam.

Hemat saya mengenai dunia Sastra Indonesia ini, yang dianggap sastra pinggiran karya-karya Pram itu, oleh karena itu orang akademik menganggapnya. Secara Pram dalam karya roman tersebut mengaitkan dengan dinamika perkembangan bangsa Indonesia dan karakter orang Indonesia pada zamannya. Kurang lebih di latar belakang novel Bumi Manusia, berlatar tahun 1902, era Minke membangun pergerakan dan membangun media pertama di Nusantara (Indonesia)--yang dianggap media pertama sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Tepatnya media tersebut sebagai wadah menyadarkan masyakat untuk berpengetahuan, pengalaman, dan sadar akan kemerdekaan. Dalam "Bumi Manusia" tokoh yang muncul telah memberikan gambaran orang-orang Indoensia yang memiliki karakter dan berperilaku. Begitulah tergambar jelas dalam karya-karya Pram.

Menanggapi secara personal anggapan karya Pram sebagai sosok penulis yang memiliki dasar pandangan sastra realisme sosialis. Karya-karya Pram semua yang ada tersebut tetap karya sastra yang dikatakan fiksi. Walaupun secara autentik Pram detail membahas tahun sebagai fakta sejarah zeetgest (jiwa zaman) kondisi tergambar jelas dalam buku sejarah. Namun karya sastra tersebut sebagai alternatif sejarah bukan dijadikan rujukan sejarah. Karya sastra tetap sebagai karya fiksi, walaupun hasil penelitian data yang ada fakta.

Pram dengan kelihaian dan kepandaian menulis sangat baik dalam membuat karakter tokoh dalam kaeya-karyanya. Dalam ingatan tokoh melekat di dalam roman "Bumi Manusia" yaitu; Nyai Onthosoro, Darsam, Annalis, dan Minke. Karakter yang muncul sebagai berikut. Karakter secara konsisten tetap:

1. Nyai Onthosoro: sosok perempuan jawa yang punya daya tarik luar biasa, maskulinitas secara bersikap. Karena faktor tekanan dari para kolonialisme. Karakter jawa yang muncul ketika ditekan menjadi orang jawa yang lemah lembut menjadi orang tegas secara tindakan dan bahasa.

2. Darsam: orang yang memiliki karakter paling setia terhadap orang yang menjamin hidupnya, serta orang diberi kepercayaan kepadanya. Ia memang sosok yang sesuai striotep memandang masyarakat madura keras, bernada tinggi kalau bicara, dan selalu menyelesaian masalah dengan bertengkar jika runding berjalan alot.

3. Annelis: sosok perempuan berdarah Jawa dan Belanda. Secara bahasa telah jelas menggunakan bahasa Belanda dan berpenampilan Belanda. Hal tersebut muncul sebagai karakter tokoh patuh terhadap orang tua dan penampilan berpenampilan ala perempuan Belanda, di masanya. Itu sangat kuat dan kental dapat tergambarkan dalam narasinya.

4. Minke: ia adalah sosok pemuda jawa yang punya pemikiran maju. Karena ia terkontaminasi dengan pendidikan umum Belanda dan secara spiritual ia terdidik oleh trandisi masyarakat kerajaan jawa. Sehingga pola pikir dan karakter yang muncul dalam dirinya. Secara pemikiran eropa dan secara adap dan tindakan yaitu jawa. Dan itu sangat kuat Pram menggambarkannya.

Pram dan Indoensia pada dasarnya tidak dapat dipisahakn. Khusus dalam mengenal Indonesian dengan karya Pram itu salah dua alternatif dari beberapa karya sastra penulis Indonesia, seperti Umar Kayam, Budi Darma, Putu Wijaya, Ahmad Tohari, Utuy Tatang Sontani, Mochtar Lubis, Gunawan Muhammad, Sapardi Djoko Damono, Seno Gumira Adji Darma, Ayu Utami, Ratna Endaswari Ibrahim, Oka Rusmini, dll. Hal tersebut menjadi cakrawala sederhana melalui karya sastra mengenal budaya Indoensia.

Di ulang tahun Pram ini, hemat saya sederhana bahwa ia sebagai sosok simbol Indonesia. Orang yang pandai membuat karakter orang Indonesia yang beragam dengan banyak faktor terkontaminasinya. Jika Pram mengatakan bahwa keberanian butuh latihan, maka untuk menyatakan Pram anti Indonesia karena ada buku berjudul "Kata Indonesia Tak Hadir di Bumi Manusia" dalam tukisan Max Lane. Buku tersebut belum saya baca, tapi bagiku sebagai gambaran provokatif saat memandang Pram tidak nasionalis atau tidak mengakui dirinya orang Indoensia karena ada perlakuan dari seberapa rezim kepadanya tidam adil. Dan saya sempat berasumsi buruk, karena mula-mula mengenal karya-karya, Pram. Baru tahu penulis Indonesia yang menjadi legenda tersebut, saat awal mengampu apresias sastra di bangku kuliah. Selamat ulang tahun Pram. 

Sabtu, 05 Februari 2022

SASTRA, PENDIDIKAN, DAN TUGAS PENDIDIK

 

Foto:amd


Mula-mula pendidikan sastra Indonesia yang selalu diasumsikan begini-begini saja, mengapa ambil jurusan Bahasa Indonesia, kan orang Indonesia. Padahal tidak semudah bilang "begini lho bahasa itu cukup dibicarakan…" kerap kali mendengar pembicaraan yang begitu meremehkan ingin sekali mau saya tanyakan "apa bahasa itu butuh kesepakatan…" namun itu tidak perlu karena jawabannya khawatir juga tidak benar dan menyesatkan. Akan tetapi, alangkah baiknya berkomentar atau bertanya "kalau bahasa Indonesia belajar apa sih?" Itu masih bagus, daripada belum tahu langsung klaim ini itu… Tapi saya bangga dengan disiplin linguistik ini. 


Adagium yang saya pernah renungkan atas ucapanku di semester empat, "dengan bahasa saya bisa bercerita dengan baik dan benar, dengan sastra saya bisa berkarya, sebagai wadah paling netral karena suratnya heterogen dari segi cakupan isi." Begitulah. Disclaimer tulisan ini. 


Membaca buku "Sastra dan Pendidikan" yang ditulis alm. Sapardi Djoko Damono membuat logika berpikir kita semakin luas dan merasa tanggung jawab seorang guru Bahasa Indonesia mengembang banyak yang perlu direalisasikan di dunia pendidikan kita. Hemat ini secara subjektif karena secara pribadi saya sebagai guru Bahasa Indonesia. 


Buku ini berupa esai reflektif untuk mengenali peran sastra di kehidupan sehari-hari, secara pribadi maupun secara universal. Hal ini tentu tidak melepaskan diri dari peran yang semestinya dan perlu diemban secara reflektif memunculkan rasa simpati dan empati untuk memberi dedikasi secara kepada siswa (i) di ranah dunia pendidikan. Sehingga seorang guru Bahasa Indonesia tidak hanya semerta-merta mengajarkan bahasa, namun juga bisa mengenalkan dunia sastra. Karena sastra bagian dari sastra serta bahasa sebagai mediumnya. 


Jika kita membuka diri lebih luas dan menerima segala apa yang perlu diambil dari apa yang disampaikan dalam esai, tentu tugas baik dan bijak pendidik akan punya ruang paling efektif mengenalkan bahkan mendedikasikan diri sebagai penjaga bahasa. Sedangkan penjaga bahasa juga perlu merawat dengan mengenalkan sastra bahkan memupuk siswa mengenalkan  dunia sastra yang kaya bahasa. Dengan sastra akan lebih mudah menjadi budaya berbahasa yang baik dan benar dipahami. Selain itu, tidak lepas dengan apa punya nilai lebih selain bahasa dan sastra. 


Jika diperhatikan secara baik dan bijak, sastra akan memberi wawan lebih luas. Selain belajar bahasa secara terhibur ada dedikasi berupa nilai moral dan sosial terselip di dalam karya sastra. 


Tulisan yang berkumpul dalam buku berjudul "Sastra dan Pendidikan" ini, tidak hanya mengajak bertamasya ke ranah luas pengalaman karya-karya luar negeri, akan tetapi lebih dari itu juga mengajarkan sastra masa lalu yang begitu memberi pandangan luas bukan hanya tentang cinta satu lawan jenis, melainkan ada sastra sebagai wadah cinta terhadap kemanusiaan yang telah dilakukan oleh para sastrawan dahulu, dalam karyanya. 


Selain itu, seorang pendidik yang berada di ruang sastra memiliki pandangan serta perlu penguasaan akan bacaan lebih banyak daripada siswa. Seorang pendidik tentu perlu peluasaan pandangan. Sehingga pendidik akan lebih memberi banyak dedikasi secara jelas serta konkrit untuk membuat kualitas dunia pendidikan serta di bidang kesusastraan eksis serta menjadi asik belajar bahasa. 


Jika seorang anak sudah memiliki dasar sejak dini mempelajari sastra merasa asik dan nyaman. Kegemaran tersebut akan jadi jalan panjang untuk generasi selanjutnya. Jika seorang anak yang lembut disentuh dengan banyak dedikasi-dedikasi akan menjadi generasi leterat sejak dini. Karena ia sudah ditanamkan banyak nilai-nilai kekayaan dalam sastra, khususnya dalam novel. Seseorang akan mampu membuka segala keluasaan pandangan dengan bacaan. Apalagi sejak dini dilenturkan untuk bisa serta membuka diri dengan cakrawala dunia dan mengetahui banyak karakter tokoh di dalamnya. 


Tugas pendidik di Indonesia memang sangat berat. Bukan hanya berat menyelesaikan administrasi tapi juga harus serta perlu menyelesaikan tugas personal atas dirinya. Namun ini fokus pada pendidikan bahasa dan Sastra Indonesia, tidak hanya penguasaan knowledge, tapi juga perlu penguasaan diri berimprovisasi menjadi juri puisi, sebagai kamus berjalan, serta menjadi moderator secara dadakan atau pembawa acara. Tidak dipungkiri kalau itu bakal terjadi untuk Pendidik Bahasa Indonesia. Mungkin.





Rabu, 02 Februari 2022

KULTUR, STEREOTIP, FALSAFAH MADURA DAN DEKONTRUKSI

Foto: pemotongan tumpeng 

…“jujur, pasabber, pabennyak kancah, paloman. Reng madureh paste eperhitungagin teros ben esenggani, mon ghellem ebebenah orang, benni rende abe; tape’ rende  ateh…” Adagium berbahasa madura memiliki nilai dedikasi kehidupan berkarakter atas hidup masyarakat madura—yang dikenal sebagai orang perantau, dan perlu mempraktikkan, yang di atas—yang penuh dengan nilai filosofis.


Sebagai seorang perantau yang menimba ilmu di luar daerah sendiri, kita akan punya semangat tinggi untuk melakukan cara bertahan hidup semangat paling dasar, serta cara menjalani hidup, yang berbeda. Semangat etos kerja yang sangat dibutuhkan sangat ekstra akan membukakan pola pikir dan bertindak berbeda. narasi di atas menunjukkan pola hidup kita semua sebagai masyarakat—yang berposisi sebagai mahasiswa mencari ilmu sebagai tujuan utama. Selain itu juga perlu membangun relasi atau  nyareh’ kancah sebanyak, ghebey kebutuhan odik. Kalau filsuf Yunani Aristoteles pernah menuliskan, kita sebagai zoon politicon (makhluk sosial). Jauh sebelum itu masyarakat Madura sudah mengenal bahkan menjunjung tinggi kekerabatan sebagai tujuan utama “settong dhere” representasi dari makhluk yang butuh sosial.


Dalam hemat saya secara subjektif dan sifatnya adalah asumsi. Kata Madura secara etimologi, merupakan terdiri dari kata ‘madu’ dan ‘ara-ara’, kalau dipadukan dua kata tersebut jadi ‘Madura’. Kata ‘Madura’ tidak hanya berfungsi sebagai nama saja. Akan tetapi, lebih dari sekedar nama—Madura punya makna secara filosofis—yang sangat menggambarkan pola hidup serta bagaimana masyarakat Madura hidup di perantauan. Jika direduksi secara fenomenologi sangat jelas secara praktik-praktik dilakukan masyarakat kita.[2]


Pada konteks di atas, akan diambil dulu makna sacara semantik bahasa. Kata “madu” memiliki interpretasi sebuah benda yang manis atau bahan alami yang memiliki rasa manis. Secara fungsi akan banyak manfaat serta punya unsur menjadi obat. Jika kita reduksi kata ini dalam pandangan filosofis untuk cara hidup kita sehari-hari tentu akan sangat bisa kalau kita orang Madura ini akan menjadi orang yang bermanfaat dan menjadi obat. Sesuai dengan interpretasi kata ‘madu’. Sedangkan kalau kata ‘ara-ara’ dalam bahasa sederhana ditemukan dalam pemahaman sederhana ada dua interpretasi; 1) berupa tempat yang gersang, 2) ara pohon jenis fikus yang banyak getahnya, banyak macamnya, ada yang berupa pohon, tumbuhan perdu, tumbuhan memanjat, seperti; akar, batu, dan burung. Memandang makna secara semantik tersebut, sesuai kita dalam praktik-praktik dalam kehidupan. Kalau memilih untuk hidup seperti ‘ara-ara’ dengan definisi di atas sudah jelas kita akan menganut dari dua pengertian di atas: menjadi orang kasar sebagai representasi dari tanah gersang, dan menjadi orang yang keras kepala mendahului ego.


Asumsi di atas bukan kita amini, ini bentuk fenomenologi saja secara reflektif dan kajian secara analisis sosial secara sederhana. Kalau dikaji bentuk kajian analitik secara sekunder, karena buku yang mendukung masih belum ditemukan secara spesifik. Namun penting kita renungkan akan kebenaran serta apa hanya mendekati kebenaran serta bersifat cocok-cocoklogi. Walaupun nanti secara trivial dibuktikan akan siap dikoreksi serta dicari lagi  kebenarannya.


MADURA, MASYARAKAT, DAN STEREOTIP  


Madura bukan hanya bicara tentang letak geografis, namun juga bicara secara masyarakat yang sangat penuh hirarkis. Masyarakat Madura penuh dengan nilai-nilai sangat signifikan seperti: agamis, etos semangat kerja, dan pantang menyerah semangat menggapai tujuan. Dalam penelitian Rahmana (47: 2012)[3] mengatakan  hubungan sosial orang Madura, tindak ekotipe tegalan sebagai basis ekonomi orang Madura melahirkan masyarakat yang unik. Keunikan yang perlu dicatat sistem hubungan sosial masyarakat Madura dapat diukur dengan taniyan lanjeng.[4]


Pandangan di atas akan menjadi cerminan kepada kita semua sebagai generasi muda. Hal paling sederhana untuk dilakukan yaitu tetap menjaga silaturahmi antar wilayah sesama dari Madura khususnya Masyarakat Bangkalan. Hal itulah yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan  kita sehari-hari dalam sebagai seorang perantau dan pemuda dari Bangkalan. Guyup rukun di perantauan perlu dilakukan secara maksimal, serta membuktikan kepada masyarakat di luar Madura terhadap stereotip buruk: arogan, semena-mena dan suka berkelahi. Striptipe ini kita buktikan dengan hal postif seperti penjalinan persaudaraan yang sangat solid serta sangat agamis dan ramah menjadi ramah selalu diperhitungkan.


LETAK GEOGRAFI DAN KARAKTER PERANTAU


Menurut Geertz (12: 1983)[5] Pulau Madura sebagai ‘Indonesia Luar’ , yang dibedakan dengan Jawa dikatakan sebagai ‘Indonesia Dalam’. keduanya dibedakan dari sudut ekologi , di mana Madura sebagai masyarakat yang berbasis tegalan, sedangkan Jawa berbasis ekologi sawah. Ciri dari tegalan akan bergantung pada curah hujan, varietas tanaman lebih banyak meskipun produktivitasnya rendah, dan resiko gagal panen lebih besar karena  faktor musim tidak menentu.


Jika di atas merupakan sumber penghasilan yang akan berpotensi dan telah dipaparkan oleh penelitian. Hal tersebut dapat ditarik kesimpulan mengapa orang-orang kita sering merantau dan besar di luar? Pertanyaan tersebut, akan dijawab dengan faktor letak geografi—yang sangat memiliki potensi kecil untuk mengembangkan sumber daya alam di Madura. Walaupun tidak semua masyarakat Madura gagal dalam sektor pertanian, namun tolok ukur karakter masyarakat kita disebabkan karena faktor lingkungan. Sehingga potensi untuk merantau dan besar serta berkembang di luar Madura sangat banyak. Ditandai dengan serangan Sultan Agung di Abad ke-17 kalah dari kerajaan Mataram  Islam sehingga Raden Prasena(pewaris kerajaan tengah) dengan pengikut diboyong ke kerajaan Mataram yang ada di Plered ( Jorge, 1989).[6] Sejak itulah tanda bahwa masyarakat Madura senantiasa menjadi perantau ulung.


FILSAFAT ORANG MADURA


Filsafat orang Madura sangat religius, yang berunyi “Abental syahadat, apajung Allah, asapho’ shalawat.” Yang memiliki arti secara  semantik,”sejak bayi orang Madura telah berbantalkan syahadat, berpayungkan pelindung Allah, dan berselimutkan shalawat. Falsafat ini secara asumsi masuk ke ranah religius.


Tidak dipungkiri memang, kalau masyarakat Madura sangat kental dengan beragama. Bahkan sangat dominasi masyarakat menganut Agama Islam. Secara, nenek moyang sangat kental dengan masyarakat yang beragama, tidak mungkin tidak beragama kalau masyarakat Madura. Sehingga nilai-nilai filosofis mengarah ke nilai spiritualisme Agama Islam, dapat diasumsikan sejak nenek moyang kita orang  beragama Islam. Sehingga dapat dinilai, bahwa sudah sewajarnya masyarakat Madura kental dengan Agama Islam.


Pergeseran pola pikir masyarakat yang sekarang sudah sangat kecil sekali masyarakat Madura melakukan carok. Hal tersebut banyak faktor yang menjadi kendala salah satunya yaitu faktor kemajuan pendidikan di Madura, dikit demi sedikit berkembang pesat dan masyarakat sadar akan pola pikir yang tidak hanya memiliki pengetahuan melainkan berdampak ke pola pikir dan tindakan. Pola pikir yang sumbu pendek dan konservatif.


Sekarang dapat dilihat mengenai lingkungan kita, bahwa secara tidak langsung ada pergeseran signifikan. Hal tersebut disebabkan karena kesadaran masyarakat akan hal budaya—yang mewarisi hidup kurang mendidik merugikan. Kalau kita melihat menggunakan kacamata kecil. Sudah begitu banyak anak-anak para bajing, blater, dan kepala desa disekolahkan dan dipondokkan. Faktor itu mendukung perkembangan budaya yang lebih baik.


Ketika kita menyadari bahwa kita semua menjadi seorang terdidik.  Maka tidak dapat dipungkiri kalau pola pikir konservatif bahkan kurang baik akan direkonstruksi disesuaikan dengan zaman. Sesuai dengan perkataannya Sayyidina Ali “Didiklah anakmu sesuai dengan zamanmu…” itu bukti kalau masyarakat Madura perlu menyadari zaman sekarang butuh skill otak menjadi orang bermartabat, bukan mental otot lagi yang jadi kebutuhan era sekarang. Banyak faktor kriminalitas terjadi, salah satunya karena rendahnya pola pikir, kemiskinan, dan lemah menjadikan agama sebagai dasar ilmu pengetahuan.


 


 


Selamat membaca!


*Esai di atas merupakan bentuk reflektif saja, jika ada yang tidak sesuai penulis akan siap merevisi kembali. Mator sakalangkong.




[1]  Kegiatan Pelantikan Ikatan Mahasiswa Bangkalan Malang Raya (IMABA) Distrik Universitas Islam Malang (Unisma) tempat di KNPI Malang, 2, Februari 2022


[2]  Pandangan ini sangat personal dan ini memang menjadi  kajian paling sederhana dalam lingistik dan sosiolinguistik secara universal.


 


[3] Rochana, Totok. 2012.  Orang Madura: Suatu Tinjauan Antropologis. Universitas Negeri Semarang, Jawa Tengah


[4] Taniyan lanjeng: Halaman /emper, halaman rumah yang luas dan panjang representasi dari masyarakat Madura punya kultur serta menjalin kekerabatan sangat erat.


[5] Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi Indonesia. Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara.


[6] De Jorge. 1989. Dalam artikel Zulaihah Sitti. 2020. Orang Madura Di Yogyakarta (study tentang migrasi penjual sate Madura di Yogyakarta). Universitas Jember.