Saya duduk sambil menikmati kopi di malam hari, di tangan ada buku karya Ayu Utami berjudul “Simple Miracles”[1]—yang sesekali membaca lalu di letakkannya. Saat membaca pesan di watshaap, diminta untuk membedah buku. Saat itu, pesan itu dijawab dengan Bahasa Indonesia ‘menolak untuk mau membedah buku ditawarkan pengirim pesan,’ alasannya sederhana, karena merasa belum memiliki kopetensi di novel bergenre seperti itu. Dan melanjutkan lagi membaca—karena seharusnya perempuan lebih pantas membicarakannya.—Karena, merasa kurang enak hati, sebab narasi pesannya ‘memaksa harus membedahnya dari perspektif kaum adam’—baik atau buruk kuterima dengan terpaksa membaca ulang karya magnumopus[2] Nawal El Saadawi.
Adalah karya sastra dari arab
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh Amir Sutaarga.
Terjemahan ke Indonesia diambil dari alih bahasa juga yaitu bahasa Inggris,
"Women at Point Zero", terbit 1983, bukan diterjemahkan dari bahasa ibu—yang pertama kali seorang penulis
(Nawaal El Saadewi) menulis. Dengan menggunakan judul "emra'a enda noktas
el sifr", berbahasa Arab terbit pertama 1975. Membaca secara singkat dan
mencoba menangkap teks, interteks, dan
Nawal itu sendiri.
Nawal secara pribadi lahir
dan tumbuh besar di keluarga yang cukup. Mengapa demikian, dapat dibaca secara
latarbelakang pendidikan. Dia mengambil jurusan kedokteran. Sehingga cita-cita
menjadi seorang dokter berjalan sesuai harapan, dapat dikatakan begitu sukses.
Membaca sastra tentu
memposisikan diri sebagai pembaca yang mampu menerima segala apapun pada teks.
Membaca sastra tentu ada dua hal perlu disadari; satu sebagai pembaca menangkap
teks, dua, membaca di luar teks (interteks). Pada hal ini penulis berusaha
menggunakan keduanya agar menemukan pandangan secara general menegnai gagasan
universiltas karya dan penulis.
Konsep ini tentu menjadi dasar yang dilakukan tokoh
dari Prancis, dapat disebut sebagai semiologi, filsuf, dan dan krikus sastra,
dikenal umum, Roland Barthes[3]
(1956), mengatakan kurang lebih seorang penulis karya saat dibaca oleh
pembacanya, maka sudah lepas penulis ‘bahkan disebut penulis sudah mati’ tidak
ada lagi kaitannya makna di kepala atau
yang ditangkap oleh pembaca, dengan makna yang diingin disampaikan
penulis.’ Walaupun berbeda otoritas makna terletak pada pembaca.
Pada pandangan di atas tentu
pembaca punya hak untuk menangkap setiap makna ditangkapnya. Selain itu juga menjadi sebuah tanggungjawab
pembaca saat karya lepas dari penulis. Pertanyaan? Apakah kita akan mampu
menangkap bahkan membaca dengan baik teks—yang telah dianggap sudah selesai
oleh penulis.
Karya sastra berlatar
sejarah, pengalaman; apreori atau aposteori, tetap masuk kategori fiksi. Sastra
sebagai alternatif belajar sejarah, biografi, atau pengalaman prosonal dan
ditulis dengan mengatas namakan sastra tetap dikatakan karya sastra—yang punya
tolok ukur sesuai yang berlaku.
Perempuan Titik Nol karya
Nawal El Sadewi, merupakan karya berlatar pengalaman sendiri. Tepat di wilayah
kelahiran Mesir, kehidupan getir serta
pengalaman hidup dijadikan kisah
paling epik dalam sejarah dunia, bukan saja di Arab. Tapi di luar Arab punya
napas panjang.
Narasi novel tersebut memiliki
narasi kuat membicarakan hidup seorang perempuan. Namun tiidak memiliki
otoritas tentang perempuan penuh getir dalam menghadapi budaya patriarki, sex,
dan kultur di Mesir—yang detail menarasikan ketimpangan sekaligus kelebihan
dalam narasi panjang zaman.
TOKOH DALAM KARYA SASTRA:
SKIZOFORNIA
“Firdaus yang menelan pil
hidup penuh dengan kegetiran, retak. dan di mana tuhan mencipta bahagia
di kepalanya dunia tak
dicipta dari tanah liat, melainkan dari batu
yang dipanggang tiga hari dan ia
hidup di dalamnya.”
Tokoh dalam novel “Perempuan
Dititik Nol” karya Nawal El Sadewi, Obor (2004) Firdaus, seorang yang menjadi
narator dalam novel mungil ini. Tokoh yang memiliki karakter kuat dalam
menghadapi hidup. Selain itu tokoh menjadi manusia paling getir semasa hidup.
Sejak kecil telah mendapatkan
pelecehan seksual oleh kerabat sendiri yaitu pamannya. Seorang anak yang lahir
dari keluarga sederhana, selalu mendapatkan nasib getir. Dapat dikatakan
menelam asam garam, dan pahit kehidupan sejak kecil. Sosok paman diharapkan
menjadi sosok paling diharapkan menjadi orang paling utama menampung segala
kepedihannya, namun tidak dapat dirasakan oleh Firdaus—yang mungil malah
mendapat pelecehan seksual.
Traumatik tersebut memiliki
pengaruh terhadap kehidupan masa
depannya. Hal ini dapat dikatakan tokoh mengalami skizofronia, bahwa
tokoh tersebut pada dasarnya mendapat gangguan yang memengaruhi kemampuan
seorang untuk berpikir merasakan, dan berperilaku baik, ada perubahan sikap.
Hal ini terjadi pada saat menjadi seorang pelacur dan memegang uang sendiri,
seolah-oleh dirinya itu bukan dirinya sendiri, awal mulanya traumatik terhadap
hubungan seksual malah memanfaatkan itu untuk menghasilkan.
ARAB DAN INDONESIA: DEKONTRUKSI
Zeitgest[4]
yang berada di negara Indonesia dan Arab, nyaris tidak memiliki kesamaan,
kecuali dari segi kultur agama yang sedikit memiliki kesamaan dari segi.
tataran ini masyarakat Arab, memiliki kemiripan dalam taraf transisi, juga
dalam proses medernisasi. Masalah-masalah nilai-nilai tradisional masih
merupakan masalah yang belum
terselesaiakan, bahkan di berbagai
masyarakat pada taraf ini terasa seakan-akan amat sulit terselesaikan.
Masih banyak abu-abu di negeri ini menerima hal-hal
modern. Secara modernitas akhir-akhir ini akan menjadi narasi paling sulit
dalam menyelesaikan pandangan konservatis berlaku di Indonesia. Bagaiamaa hal
tersebut perlu secara bersama melaukan sebuah gaung bersama tentang kritik
besar terhadap modern.
Gagasan Nawwal secara tersirat ingin membuka kran
pola pandang masyarakat Mesir, mengenai gerakan feminism dengan menulis
menggaungkannya. “Menulis adalah senjata untuk melawan sistem—yang memperoleh
otoritasnya dari kekuasaan autokratis yang selama ini dipraktikkan oleh
penguasa negara negara, juga ayah atau suami dalam keluarga. Bagiku, kata-kata
tersurat serupa pemberontakan terhadadap ketidakadilan yang dilakukan atas nama
agama, atau moral, atau cinta.”[5]
Sejalan dengan apa yang
digaungkan oleh seorang filsuf dari Prancis, walaupun ‘narasi kecil’ kata Jeans
Francois Lyotard.[6]
Ditujukan kepada kritik modern, menurutnya “bahwa saat ini, kita sudah masuk ke
era postmodern. Ditandai oleh runtuhnya nilai-nilai yang terasosiasi dengan
modernitas seperti mitos-mitos (gran
narratives) yakni pembebasan manusia melalui ilmu pengetahuan, keyakinan
akan unversalitas dan telos akan ilmu, dan mitos-mitors lain (ekonomi,
demokrasi, dan seni).
FEMINISME DAN GENDER: GERAKAN
PEREMPUAN
Pada dasarnya feminisme yang
disuarakan oleh Nawal, merupakan femenisme generasi kedua yang menuntut
ketidakadilan perempuan dan laki-laki di mata hukum, peran dalam keluarga,
lingkungan kerja, hak-hak reproduksi, dan seksualitas. Adanya gelombang 2
karena disebabkan oleh ledakan ekonomi setelah perang dunia II (1939-145). Di
Amerika dimulai dari 1960-1980an. Secara aliran radikal kiri, kanan liberal.
Membicarakan feminism perlu
meluruskan tentang kesetaraan gender, yang berkaitan dengan jenis kelamin.
Dalam hal ini saya mengambil cotoh gender ini pada seorang Bissu[7]
yang ada di Bugis—yang begitu dihormati, secara raut wajah dan penampilan tidak
berbanding lurus, secara pandangan biologis pria namun secara penampilan
seorang perenpuan. Sehingga Indonesia memiliki keunikan dalam membicarakan
feminis.
Gerakan perempuan di
Indonesia dalam penelitian Cora Vreede de Stuers berjudul “ Sejarah Perempuan
Indonesia”[8]
menguangak permulaan kebangkitan gerakan perempuan di Indonesia terutama pada
abad ke-20. Studi tersebut sebuah refleksi berbagai masalah pergerakan
perampyan; ideologi politik sejaman, dan masalah-masalah penting untuk memahami
Indonesia. Cora meneliti pergerakan perempuan sebelum modern, mucul.
FIRDAUS DAN KIRANI[9]
TOKOH DALAM SASTRA YANG HAMPA
Dua tokoh tersebut sama-sama
melaupuan kegetiran hidup dengan tarap berbeda-beda. Firdaus dengan latar Mesir
yang menghadapi kehidupan penuh dengan patriarki. Secara konteks dan latar
belakang berbeda memiliki narasi posisi perempuan yang berbeda. sedangkan
Kiran, perempuan Indonesia yang berada
di kultur hidup budaya berbeda jauh dengan namun mendapatkan kehidupan yang
gelap lantaran agama konservatif.
Firdaus memperjuangkan
hak-hak sebagai perempuan yang membela dirinya sendiri. Tapi tidak dapat
perlakuan kurang pantas. Hal ini dapat dikatakan berkaitan dengan seorang
laki-laki memposisikan seorang perempuan
nomor dua daripada pria.
Sedangkan Kiran, mendapat
perlakukan di Indonesia digunjing karena tetap menyalahkan seorang perempuan
salah. Karena dianggap mau diganggu oleh seorang dosen dan berhubungan.
Kontruksi sosial kalau seorang melakukan hubungan laki-laki dan perempuan, dan
aib itu terletak pada perempuan (buruk di mata orang, sedangkan laki-laki
dianggap biasa, bahkan hanya cukup bertanggungjawab dianggap sudah aman).
Dari kedua tokoh tersebut
dapat disimpulkan bahwa narasi akan patriarki di manapun di Indonesia dan Arab
akan sama. Sebab narasi di bangun sangat kuat dan bersifat patriarki. Untuk
melakukan perlawan paling ideal yaitu memerangi dengan kekuatan narasi, sebab
hanya narasi tersebut mampu menyadarkan setiap; laki-laki dan perempuan, agar
memuliakan dan sadar peran lak-laki dan perempuan terletak pada nilai.
“Persamaan pada konteks
apa? yang ideal, dalam tatanan hidup; konsep, tindakan, atau sekedar pikiran. Namun ‘emasipasi’ yang disuarakan
Kartini, hematku paling ideal terletak pada pembebasan dan perbudakan dari segi
pendidikan ‘pendidikan itu perempuan harus tinggi’…” sekurang-kurangnya
pandangan seperti itulah paling diperjuangkan.
*Esai
resesnsi ini ditulis hanya satu kali, merupakan draf awal dengan tujuan menjadi
bahan diskusi dibincang buku “Perempuan Di Titik Nol” anggitan Nawal El
Saadawi, Rabu 20 Juli 2022. Jika ada hal perlu dikritik silahkan, sangat senang
mari berdialektika!
[1]
Novel karya Ayu Utami membahas mengenai spiritual kritis. Buku yang diasumsikan
sebagai buku realisme magis dalam beberapa penelitian.
[2]
Magnum Opus: merupakan karya seorang dianggap paling terbaik selama
pengkaryaannya.
[3]
Esai Sapadardi Djoko Damono berjudul “Teks, Interteks, mengutip dari pandangan
Roland Barthes peneliti selagus filusuf dari Prancis
[4] G.W.
Hegel dalam teori ‘roh zaman’ bahwa dalam suatu negara yang memiliki pengaruh
terhadap zaman memiliki pengaruh. Mengapa negara Indonesia memiliki kesamaan,
zamannya yaitu modernitas negara yang transisi.
[5]
Disampaikan oleh Nawal El Saadawi dalam memoir A Daughter of Isis (1999). Sumber
diambil dari artikel Tirto.id
[6]
Seorang filusuf dari Prancis Postmodernsme
[7]
Bissu adalah kaum pendeta yang gendernya dipandang sebagai campuran laki-laki
dan perempuan masyarakat Bugis dan Sulawesi Selatan Indonesia
[8]
Penulis: Cora Vreede de Strurs, ‘Gerakan Perempuan Indonesia’ penerbit
Komunitas Bambu, 2016.
[9]
Novel ‘Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur”
karya Muhidin M. Dahlan 2003