Sabtu, 23 Juli 2022

INTERPRETASI TEKS, INTERTEKS, DAN SASTRA: NAWAL EL SAADAWI

Saya duduk sambil menikmati  kopi di malam hari, di tangan ada buku  karya Ayu Utami berjudul “Simple Miracles”[1]—yang sesekali membaca lalu di letakkannya. Saat membaca pesan di watshaap, diminta untuk membedah buku. Saat itu, pesan itu dijawab dengan Bahasa Indonesia ‘menolak untuk mau membedah buku ditawarkan pengirim pesan,’ alasannya sederhana, karena merasa belum memiliki kopetensi di novel bergenre seperti itu. Dan  melanjutkan lagi membaca—karena seharusnya  perempuan lebih pantas membicarakannya.—Karena, merasa kurang enak hati, sebab  narasi pesannya ‘memaksa harus membedahnya dari perspektif kaum adam’—baik atau buruk kuterima dengan terpaksa membaca ulang karya magnumopus[2] Nawal  El Saadawi.

Adalah karya sastra dari arab yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, oleh Amir Sutaarga. Terjemahan ke Indonesia diambil dari alih bahasa juga yaitu bahasa Inggris, "Women at Point Zero", terbit 1983, bukan diterjemahkan dari  bahasa ibu—yang pertama kali seorang penulis (Nawaal El Saadewi) menulis. Dengan menggunakan judul "emra'a enda noktas el sifr", berbahasa Arab terbit pertama 1975. Membaca secara singkat dan mencoba menangkap teks,  interteks, dan Nawal itu sendiri.

Nawal secara pribadi lahir dan tumbuh besar di keluarga yang cukup. Mengapa demikian, dapat dibaca secara latarbelakang pendidikan. Dia mengambil jurusan kedokteran. Sehingga cita-cita menjadi seorang dokter berjalan sesuai harapan, dapat dikatakan begitu sukses.

Membaca sastra tentu memposisikan diri sebagai pembaca yang mampu menerima segala apapun pada teks. Membaca sastra tentu ada dua hal perlu disadari; satu sebagai pembaca menangkap teks, dua, membaca di luar teks (interteks). Pada hal ini penulis berusaha menggunakan keduanya agar menemukan pandangan secara general menegnai gagasan universiltas karya dan penulis.

Konsep  ini tentu menjadi dasar yang dilakukan tokoh dari Prancis, dapat disebut sebagai semiologi, filsuf, dan dan krikus sastra, dikenal umum, Roland Barthes[3] (1956), mengatakan kurang lebih seorang penulis karya saat dibaca oleh pembacanya, maka sudah lepas penulis ‘bahkan disebut penulis sudah mati’ tidak ada lagi kaitannya makna di kepala atau  yang ditangkap oleh pembaca, dengan makna yang diingin disampaikan penulis.’ Walaupun berbeda otoritas makna terletak pada pembaca.

Pada pandangan di atas tentu pembaca punya hak untuk menangkap setiap makna ditangkapnya.  Selain itu juga menjadi sebuah tanggungjawab pembaca saat karya lepas dari penulis. Pertanyaan? Apakah kita akan mampu menangkap bahkan membaca dengan baik teks—yang telah dianggap sudah selesai oleh penulis.

Karya sastra berlatar sejarah, pengalaman; apreori atau aposteori, tetap masuk kategori fiksi. Sastra sebagai alternatif belajar sejarah, biografi, atau pengalaman prosonal dan ditulis dengan mengatas namakan sastra tetap dikatakan karya sastra—yang punya tolok ukur sesuai yang berlaku.

Perempuan Titik Nol karya Nawal El Sadewi, merupakan karya berlatar pengalaman sendiri. Tepat di wilayah kelahiran Mesir, kehidupan getir serta  pengalaman hidup  dijadikan kisah paling epik dalam sejarah dunia, bukan saja di Arab. Tapi di luar Arab punya napas panjang.

Narasi novel tersebut memiliki narasi kuat membicarakan hidup seorang perempuan. Namun tiidak memiliki otoritas tentang perempuan penuh getir dalam menghadapi budaya patriarki, sex, dan kultur di Mesir—yang detail menarasikan ketimpangan sekaligus kelebihan dalam narasi panjang zaman.

TOKOH DALAM KARYA SASTRA: SKIZOFORNIA  

“Firdaus yang menelan pil hidup penuh dengan kegetiran, retak. dan di mana tuhan mencipta bahagia

di kepalanya dunia tak dicipta dari tanah liat, melainkan dari batu  yang dipanggang tiga hari dan  ia hidup di dalamnya.”

Tokoh dalam novel “Perempuan Dititik Nol” karya Nawal El Sadewi, Obor (2004) Firdaus, seorang yang menjadi narator dalam novel mungil ini. Tokoh yang memiliki karakter kuat dalam menghadapi hidup. Selain itu tokoh menjadi manusia paling getir semasa hidup.

Sejak kecil telah mendapatkan pelecehan seksual oleh kerabat sendiri yaitu pamannya. Seorang anak yang lahir dari keluarga sederhana, selalu mendapatkan nasib getir. Dapat dikatakan menelam asam garam, dan pahit kehidupan sejak kecil. Sosok paman diharapkan menjadi sosok paling diharapkan menjadi orang paling utama menampung segala kepedihannya, namun tidak dapat dirasakan oleh Firdaus—yang mungil malah mendapat pelecehan seksual.

Traumatik tersebut memiliki pengaruh terhadap kehidupan masa  depannya. Hal ini dapat dikatakan tokoh mengalami skizofronia, bahwa tokoh tersebut pada dasarnya mendapat gangguan yang memengaruhi kemampuan seorang untuk berpikir merasakan, dan berperilaku baik, ada perubahan sikap. Hal ini terjadi pada saat menjadi seorang pelacur dan memegang uang sendiri, seolah-oleh dirinya itu bukan dirinya sendiri, awal mulanya traumatik terhadap hubungan seksual malah memanfaatkan itu untuk menghasilkan.

ARAB DAN INDONESIA: DEKONTRUKSI

Zeitgest[4] yang berada di negara Indonesia dan Arab, nyaris tidak memiliki kesamaan, kecuali dari segi kultur agama yang sedikit memiliki kesamaan dari segi. tataran ini masyarakat Arab, memiliki kemiripan dalam taraf transisi, juga dalam proses medernisasi. Masalah-masalah nilai-nilai tradisional masih merupakan masalah yang  belum terselesaiakan, bahkan di  berbagai masyarakat pada taraf ini terasa seakan-akan amat sulit terselesaikan.

Masih  banyak abu-abu di negeri ini menerima hal-hal modern. Secara modernitas akhir-akhir ini akan menjadi narasi paling sulit dalam menyelesaikan pandangan konservatis berlaku di Indonesia. Bagaiamaa hal tersebut perlu secara bersama melaukan sebuah gaung bersama tentang kritik besar terhadap modern.

Gagasan  Nawwal secara tersirat ingin membuka kran pola pandang masyarakat Mesir, mengenai gerakan feminism dengan menulis menggaungkannya. “Menulis adalah senjata untuk melawan sistem—yang memperoleh otoritasnya dari kekuasaan autokratis yang selama ini dipraktikkan oleh penguasa negara negara, juga ayah atau suami dalam keluarga. Bagiku, kata-kata tersurat serupa pemberontakan terhadadap ketidakadilan yang dilakukan atas nama agama, atau moral, atau cinta.”[5]

Sejalan dengan apa yang digaungkan oleh seorang filsuf dari Prancis, walaupun ‘narasi kecil’ kata Jeans Francois Lyotard.[6] Ditujukan kepada kritik modern, menurutnya “bahwa saat ini, kita sudah masuk ke era postmodern. Ditandai oleh runtuhnya nilai-nilai yang terasosiasi dengan modernitas seperti mitos-mitos (gran  narratives) yakni pembebasan manusia melalui ilmu pengetahuan, keyakinan akan unversalitas dan telos akan ilmu, dan mitos-mitors lain (ekonomi, demokrasi, dan seni).

FEMINISME DAN GENDER: GERAKAN PEREMPUAN

Pada dasarnya feminisme yang disuarakan oleh Nawal, merupakan femenisme generasi kedua yang menuntut ketidakadilan perempuan dan laki-laki di mata hukum, peran dalam keluarga, lingkungan kerja, hak-hak reproduksi, dan seksualitas. Adanya gelombang 2 karena disebabkan oleh ledakan ekonomi setelah perang dunia II (1939-145). Di Amerika dimulai dari 1960-1980an. Secara aliran radikal kiri, kanan liberal.

Membicarakan feminism perlu meluruskan tentang kesetaraan gender, yang berkaitan dengan jenis kelamin. Dalam hal ini saya mengambil cotoh gender ini pada seorang Bissu[7] yang ada di Bugis—yang begitu dihormati, secara raut wajah dan penampilan tidak berbanding lurus, secara pandangan biologis pria namun secara penampilan seorang perenpuan. Sehingga Indonesia memiliki keunikan dalam membicarakan feminis.

Gerakan perempuan di Indonesia dalam penelitian Cora Vreede de Stuers berjudul “ Sejarah Perempuan Indonesia”[8] menguangak permulaan kebangkitan gerakan perempuan di Indonesia terutama pada abad ke-20. Studi tersebut sebuah refleksi berbagai masalah pergerakan perampyan; ideologi politik sejaman, dan masalah-masalah penting untuk memahami Indonesia. Cora meneliti pergerakan perempuan sebelum modern, mucul.

FIRDAUS DAN KIRANI[9] TOKOH DALAM SASTRA YANG HAMPA

Dua tokoh tersebut sama-sama melaupuan kegetiran hidup dengan tarap berbeda-beda. Firdaus dengan latar Mesir yang menghadapi kehidupan penuh dengan patriarki. Secara konteks dan latar belakang berbeda memiliki narasi posisi perempuan yang berbeda. sedangkan Kiran, perempuan  Indonesia yang berada di kultur hidup budaya berbeda jauh dengan namun mendapatkan kehidupan yang gelap lantaran agama konservatif.

Firdaus memperjuangkan hak-hak sebagai perempuan yang membela dirinya sendiri. Tapi tidak dapat perlakuan kurang pantas. Hal ini dapat dikatakan berkaitan dengan seorang laki-laki memposisikan seorang perempuan  nomor dua daripada pria.

Sedangkan Kiran, mendapat perlakukan di Indonesia digunjing karena tetap menyalahkan seorang perempuan salah. Karena dianggap mau diganggu oleh seorang dosen dan berhubungan. Kontruksi sosial kalau seorang melakukan hubungan laki-laki dan perempuan, dan aib itu terletak pada perempuan (buruk di mata orang, sedangkan laki-laki dianggap biasa, bahkan hanya cukup bertanggungjawab dianggap sudah aman).

Dari kedua tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa narasi akan patriarki di manapun di Indonesia dan Arab akan sama. Sebab narasi di bangun sangat kuat dan bersifat patriarki. Untuk melakukan perlawan paling ideal yaitu memerangi dengan kekuatan narasi, sebab hanya narasi tersebut mampu menyadarkan setiap; laki-laki dan perempuan, agar memuliakan dan sadar peran lak-laki dan perempuan terletak pada nilai.

Persamaan pada konteks apa? yang ideal, dalam tatanan hidup; konsep, tindakan, atau sekedar  pikiran. Namun ‘emasipasi’ yang disuarakan Kartini, hematku paling ideal terletak pada pembebasan dan perbudakan dari segi pendidikan ‘pendidikan itu perempuan harus tinggi’…” sekurang-kurangnya pandangan seperti itulah paling diperjuangkan.

 

 

*Esai resesnsi ini ditulis hanya satu kali, merupakan draf awal dengan tujuan menjadi bahan diskusi dibincang buku “Perempuan Di Titik Nol” anggitan Nawal El Saadawi, Rabu 20 Juli 2022. Jika ada hal perlu dikritik silahkan, sangat senang mari berdialektika!

 

 



[1] Novel karya Ayu Utami membahas mengenai spiritual kritis. Buku yang diasumsikan sebagai buku realisme magis dalam beberapa penelitian.

[2] Magnum Opus: merupakan karya seorang dianggap paling terbaik selama pengkaryaannya.

[3] Esai Sapadardi Djoko Damono berjudul “Teks, Interteks, mengutip dari pandangan Roland Barthes peneliti selagus filusuf dari Prancis

[4] G.W. Hegel dalam teori ‘roh zaman’ bahwa dalam suatu negara yang memiliki pengaruh terhadap zaman memiliki pengaruh. Mengapa negara Indonesia memiliki kesamaan, zamannya yaitu modernitas negara yang transisi.

[5] Disampaikan oleh Nawal El Saadawi dalam memoir A Daughter of Isis (1999). Sumber diambil dari artikel Tirto.id

[6] Seorang filusuf dari Prancis Postmodernsme

[7] Bissu adalah kaum pendeta yang gendernya dipandang sebagai campuran laki-laki dan perempuan masyarakat Bugis dan Sulawesi Selatan Indonesia

[8] Penulis: Cora Vreede de Strurs, ‘Gerakan Perempuan Indonesia’ penerbit Komunitas Bambu, 2016.

[9] Novel  ‘Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur” karya Muhidin M. Dahlan 2003

Jumat, 01 Juli 2022

MELIHAT PENULIS MUDA KOTA MALANG

 Pergilah ke dalam dirimu sendiri. Temukan alasan yang mendorongmu untuk menulis; lihatlah apakah alasanmu itu telah mengembangkan akar-akarnya ke dalam dirimu sendiri.

Kutipan di atas merupakan surat yang ditulis Rainer Maria Rilke, lokasi di Paris, pada 17 Februari 1903. Surat tersebut berisi kritikan terhadap puisi berjudul “My Soul” dan “To Leopardi”—yang dianggap karya tersebut tidak memiliki bentuk terhadap diri penulis. Selain itu, memberi komentar terhadap proses menjadi penulis.

“Pengarang sebagai sosok agung.” Rainer  Maria Rilke menuliskan. Agung disini  memiliki orientasi kehidupan kompleks memandang dunia, sehingga penulis punya rasa tanggung jawab atas dirinya sendiri. Kritikan terhadap kota merupakan pertanggungjawaban atas dirinya.

Tulisan ini tentu ingin merespon tulisan yang berjudul “Melihat Malang yang Tidak Ramah Sastrawan” ditulis Dani Alfian, di omongomong dimuat 25 June 2022. Bahwa ‘tidak ramah’ di sini merupakan pandangan subjektif. Sangat banyak penulis muda di Malang, entah pendatang atau memang asli Malang tak mempermasalahkan, itulah identitas sebuah kota. Dari itu semua bisa terus belajar dengan giat dengan getir menjadi penulis.

Tulisan ini sebenarnya tidak ingin membeda-bedakan antar kota. Di mana kita perlu bersyukur karena masih diberi kesempatan belajar. Akan tetapi, lebih ingin merespon pandangan lain bagi seorang yang berproses di Malang. bahwa iklim belajar di sini berbeda dengan lain pada ranah kesenian khususnya.

Saya rasa ada perbedaan sangat signifikan secara kultur dan sturuktur iklim kota dengan sistem yang berlaku. Ada yang memang memiliki kultur kreativitas yang didukung oleh lingkungan, sehingga ruang diskusi dapat menemukan dengan mudah (kota tersebut berinisial J).

Padangan Dea Anugrah terhadap Kota J, pada saat diwawancarai oleh “Main Mata” diawal menulis, saat tiba di Kota J, iklim di sana sangat punya support terhadap keinginan menulis terhadap dunia menulis. Sangat diuntungkan saat senior di kota tersebut membimbing, mau membaca karya anak yang mau belajar, bahkan tidak segan-segan ingin memberi komentar serta rekomendasi buku bacaan.

Dani Alifian, pada tulisannya menarasikan kalau Kota Malang ada senioritas dalam berkarya. Tapi, pada konteks apa memunculkan senioritas; berproses, kritik, atau mengatur-ngatur atau menjegal untuk tidak masuk ke komunitas lain selain miliknya. Pada kondisi seperti ini pasti membingungkan tuk menyikapi, tapi perlu disyukuri karena berada di ruang lingkup sehat, yaitu tradisi saling kritis.

Pada tulisan Dani Alfian, menarasikan esainya kurang lebih ‘kalau kota Malang gagal menciptakan iklim orang-orang berproses di Malang seperti Felix K Nezi, Dwi Ratih, dan Royyan Julian, dikenal ketika masih di Malang’. Pada konteks ini kerangka berpikir seperti apa pijakan bahwa Malang gagal membangun iklim sehat. Padahal pada sisi lain Malang hanya menjadi tempat penggodokan.

Berproses bukan ditentukan dari dikenalnya karya-karyanya. Malang seperti tempat penggodokan atau tempat berproses. Entah itu pada proses menulis atau proses yang lainnya.

Kawah candradimuka. Pantasnya Malang meminang sebutan seperti itu. Karena, selaras dengan para pendatang ke kota ini bertujuan untuk belajar. Tidak lain belajar dengan tujuan menimba ilmu sekaligus bisa hidup, serta menghidupi atau bisa saja dengan berkarya bisa hidup.

Senada dengan perspektif di atas, Malang seperti kawah candradimuka. Tempat penggodokan memenangkan sesuatu keahlian diri atau ada harapan besar diinginkan yang dicari. Sehingga pada saat di Malang. Kata ‘Malang’ dengan menggunakan awalan huruf kapital, tidak harus disedihkan menjadi diri sendiri, sedangkan malang dengan menggunakan awalan huruf kecil.

“Malang tetap menjadi tempat belajar yang sehat,  jika mau mencarinya!”

Tulisan ini berpijak pada surat-surat Rainer Maria Rilke yang berjudul “Surat-Surat Kepada Penyair Muda dan Sejumlah Sajak”, diterjemahkan Tia Setiadi (2020), terbitkan, penerbit JBS. Buku tersebut tidak membicarakan letak geografis yang strategis. Sedangkan ada sisi lain dari melainkan memberikan pesan dalam dunia kreatif khusus dalam menulis. Mengarah pada pesan-pesan secara personal dengan tawaran persoalan-persoalan di dalam diri seorang penulis, pengarang, dan penyair.

“Penulis muda perlu berpikir pesimistis. Pesimistis tersebut memiliki kesadaran akan dirinya merasa kalau hidup menjadi penulis itu hidupnya tidak baik-baik saja, maka perlu melakukan pekerjaan yang lain untuk menjadi penulis bagus. Di Indonesia penulis yang bagus karya-karyanya reratanya mereka bekerja di profesi lain, seperti; seorang guru, peneliti, dosen, dan penerbit….! Ujar Mahfud Ikhwan dengan Bahasa Indonesia yang baik, saat membincangkan bukunya “Melihat Pengarang Tidak Bekerja”.

PESAN CARLOS FUENTES PADA PENULIS MUDA

Sepuluh “Perintah Kepada Penulis Muda” ditulis oleh Carlos Fuentes (2000). Tulisan tersebut merupakan presentasi di El Colegio Nasional, dalam seminar "Literatura: Creaciòn y tradiciòn?". Presentasi tersebut menjadi jalan baik dan refrensi bagi setiap penulis, untuk memotivasi diri sebagai seorang penulis. Tak pernah berpikir penulis itu baik atau buruk, bahkan ada kegetiran saat menjalani proses belajar.

Tulisan ini ingin merespon tulisan Dani Alifian dengan judul "Melihat Malang yang Tak Ramah Sastrawan". Mungkin respon ini agak sedikit bersikap intelektual, bukan hanya menghujat atau ramai-ramai bergumam tanpa dasar. Sebab ada kegelisahan tersendiri akan tulisan berjudul tersebut.

Narasi tulisan Dani, memposisikan diri sebagai orang diaspora di Kota Malang. Dia sebagai mahasiswa memiliki proses belajar gigih selain di kampus. Tapi semangat untuk menjadi penulis, sastrawan, dan sebutan lainnya lagi tak tahu. Intinya berkecimpung bersilat tangan mencipta sesuatu gagasan melalui tulisan.

Sebagai orang yang senantiasa berproses. Tidak menutup kemungkinan membutuhkan seorang mentor atau teman belajar—yang sekiranya menjadi pembaca sekaligus pengkritik terhadap karyanya. Alih-alih agar mengetahui letak salah serta baiknya karya tersebut bisa dibaca serta diterima oleh pembaca, sebelum dilemparkan kepada dunia bebas, pembaca.

“Seperti orang belajar pada umumnya, butuh seorang guru agar ada mentor terhadap prosesnya.”

Adapun hal tersebut telah menjadi pilihannya. Sudah semestinya Dani dalam proses melakukan pencarian kepada siapapun. Menemui atau ditemui untuk bisa diajak teman belajar atau sekaligus mentor dalam proses belajar.

Tulisan Dani, secara garis besar mencoba ingin menyampaikan kalau para kaum muda perlu diperhatikan oleh para kaum tua. Bukan sekedar diperhatikan, melainkan butuh dibimbing agar terdapat  iklim kota yang sehat. Ketidakramahan terhadap dunia sastrawan perlu dihapuskan. Sekurang-kurangnya begitu.