Minggu, 29 Desember 2019

Resensi Buku Rumah Jadah karya Royyan Julian



Menemukan Kematian Dalam Kehidupan




Judul: Rumah Jadah
Penulis: Royyan Julian
Penerbit: Basabasi
Edisi: Pertama, September 2019
Tebal: 131 Halaman
ISBN: 978-623-7290-22-3

Fenomenologi tradisi, budaya, dan agama. Suatu hal yang tidak bisa dilupakan atau ditinggalkan dikehidupan bersosial. Menghadapi permasalahan untuk diselesaikan dengan cara membuka pandangan baru merupakan kesadaran  Pada dewasa ini hal baru menjadi pilihan hingga terjerumus pada dinamika yang jauh dari realitas sosial yang berada di desa. Kontestasi kepala desa yang selalu menuai konflik vertikal, sering terjadi karena adanya gesekan dari bawah (para pendukung yang fanatik) membangun narasi negatif secara kolektif ke atas melahirkan konflik, hingga jatuh korban. Ketika segala kepentingan dikaitkan dengan kepentingan politik kotor, maka dengan mudah kita menemukan kematian dalam kehidupan.  
Fragmen pada novela berjudul Rumah Jadah (2019) berlatar hiruk pikuk kehidupan di Madura yang begitu kental, dengan tradisi jodoh-dijodohkan ketika masih berada dalam kandungan, konflik  kontestasi kepala desa, dan isu agama. Semua masih bisa dirasakan hingga sekarang, masih begitu kental bahkan seperti mendarah daging. Sebagai orang yang berdarah Madura masih merasakan kebiasaan tersebut, tidak menjadi Madura yang ideal melainkan membuka cara pandang baru pada narasi kontekstual yang melahirkan sintesis. 
Novela Rumah Jadah ini penulis Royan Julian membuka awal cerita dengan begitu memukau. Pembukaan cerita dengan tragedi kematian yang menghebohkan, kematian seorang perempuan yang tidak wajar. Di makam Syekh Jakfar Sidik ditemukan perempuan meninggal dalam keadaan telanjang yang bernama Marsia. Setelah hilang semalaman, Marsia ditemukan mati terkapar di makam Syekh Jakfar Sidik. “Jenazah yang telanjang tampak kabur dilengkapi kabut pagi. Seorang menyelimuti jasad itu dengan daun jati sebagaimana Tuhan menutupi kemaluan dua manusia pertama dengan selembar daun ara sehabis mencicipi buah surga”. (hal.5)
Kematian Marsia membuka cerita dengan beberapa rentetan konflik, yang segera terungkap secara bertahap. Mengapa kematian tidak wajar yang berada di atas bukit di tepi Ngarai Kalajengking terjadi. Mengapa  meninggal dengan keadaan memeluk makam Syekh Jakfar. Jika ditellisik ternyata ia semasa hidupnya menjadi seorang tokoh berpengaruh diislam Syiah. Warga dihebohkan dengan kematian itu, dan bertanya-tanya mengapa bisa terjadi hal yang tidak wajar dalam hidupnya, bagi yang masih bisa menjadi.
Di lereng bukit Maronggi menjadi saksi yang menuai kontroversi, bahwa di bukit tersebut mata masyarakat menyadari bukan hanya tempat angker melainkan tempat ritual pesugihan. Pada suatu ketika Linggo dan Marsia ditemukan oleh salah satu pemuda, kalau mereka berdua sering mendatangi tempat tersebut untuk melakukan ritual pesugihan. Dan sadar akan keterasingan hidup mereka berdua membuat warga sadar, sadar untuk menghormati antara takut. Warga masih bingung dengan tragedi Marsia.  Stress yang terjadi pada Linggo sebagai suaminya merasakan tekanan batin atas kematian istrinya yang seperti menjadi aib baginya. Bahkan Linggo dan Maeda akan merasakan kematian dalam hidup yang tidak berkesudahan.
***
Novela ini menggunakan alur mundur. Peristiwa kematian Marsia pengatar menuju pengungkapan.  Sedangkan kronologis serta kejadian pasca kematian latar belakang tokoh Marsia dan Linggo lambat laun dibeberkan secara detail. Pada bab dua bercerita tentang masa lalu perjodohan Marsia dengan Fandrik, lelaki yang dituduh penyebab kematiannya Fandrik sakit hati pada Marsia karena telah dijodohkan sejak berada dirahimnya, tapi Marisa tidak menerimanya dengan bahagia. Perjodohan semenjak di dalam rahim tidak menjamin kebagaiaan. Hal ini menjadi bukti dalam realitas tradisi di Madura, menjadi wajar sejak dalam kandungan telah ditentukan kebahagiaannya oleh manusia. Memiliki dampak tidak baik meningkatnya perceraian, salah satu penyebabnya karena pada saat pernikahan tidak memiliki rasa cinta pada pasanganya, melainkan memiliki rasa takut, takut karma dunia yang selalu menjadi narasi tunggal harus patuh kepada orang tua yang senantiasa memiliki kuasa akan hidup manusia yang masih berada dalam rahim. Hak dalam hidup tidak dapat ditentukan sejak dalam rahim oleh manusia. manusia hanya bisa melakukan bukan memutuskan, keputusan ada pada hak Tuhan yang tertulis di  laufil mahfud.
Susahnya Marsia dalam pada kondisi dihadapinya, ketika harus memilih seorang laki-laki pilihannya. Lelaki yang dipilih bernama Linggo. Namun cinta bukan patokan bahagia bersamanya. Hidup terlalu sempit dalam memikirkan bahagia ketika bersamanya, seharusnya menjadi koreksi ketika melakukan pilihan, pasca memilih bagaimana bisa mengatasi setiap masalah rumah tangga. Marsia tidak bisa memiliki anak keturunan, ketika diusut dan diptukan oleh dokter kalau Linggo mandul. Hati Marsia tidak bisa menerima itu dan memaksa ingin memiliki anak. pada akhirnya ada cekcok rumah tangga. Dominasi perempuan dalam kondisi seperti itu menjadi utama. Sedangkan Linggo sangat mencintai dan buta cinta (bucin) denganya. Hingga rasa itu membuat lupa akan norma-norma agama, karma, dan budaya, yang akan memberikan dampak dalam kehidupanya.
Dan secara signifikan mementingkan keinginan bahagia pasanganya. Dalam kontruksi sosial ketika dalam rumah tangga tidak memiliki anak, ‘perempuan menang’  dan laki-laki akan menerima cibiran dari banyak orang secara halus. Tidak dapat dipungkiri masyarakat suaminya  lemah. Karena diselimuti malu dan merasa menanggung malu besar. Serasa menemukan kematian dalam hidup Linggo. Marsia tidak peduli dengan derita Linggo. Linggo sebagai suami mencari solusi dan setelah menemukan solusi yang begitu membuat menutup mata hatinya. Linggo meminta Madong dengan terang-terang untuk bersetubuh dengan Marsia. “Inilah adalah air matamu yang terakhir,” ucap Linggo sambil menyeka pipi istrinya. “Jangan biarkan Tuhan merasa menang dengan melihat tangismu. Kita telah mengalahkan-Nya dengan jerih payah. Kita sudah berhasil membunuh takdir-Nya yang kejam.” (hal.76)
***
Perlawanan takdir Tuhan tidak berenti disitu. Sosok Marsia tidak hanya menjadi perempuan biasa pada umumnya. Setelah konflik rumah tangga selesai. Berhasil memiliki anak. Marsia bertemu Fandrik dendam lama menyala mengingat pada masa lalu. Awal mulanya konlik pribadi hingga ego dipertahankan, konflik perpolitikan dimulai. Mendengar kalau Fandrik akan mencalonkan diri menjadi kepala desa. Marsia yang tidak ingin dianggap orang sembarangan di desa tersebut, tidak ambisi kekuasaan tapi gengsi, maka ia segera bergegas pula untuk mencalonkan diri juga. Dan bukan hanya kemenangan menjadi tujuan utama tetapi juga harga diri keras ingin dipertahankan.
Marsia membawa misi menghalangi Fandrik ketika ada isu mencalonkan diri. Dengan Ra Wazir yang digagalkan untuk mencalonkan diri, untuk diganti Marsia. Konflik besar terjadi di dalam kontestasi politik bukan hanya  bentuk material (berbaur nyata) namun non-materil (berbaur mistis) dilakukan untuk mensukseskan tujuannya. Dinimika kampanye untuk menggait suara lebih banyak dengan mempengaruhi masyarakat dengan membuka aib lawannya akan terjadi. Cara apapun untuk mensukseskan akan dilakukan, itulah politik.
Kedua tim sukses adu cepat membakar kayu kropos untuk menyulutkan api menjadi besar. Bahkan isu agama kampaye di plosok desa eksis. Terkhusus di Madura yang menjadi mayoritas muslim, islamya Nahadatul Ulama (NU). Marsia meminta para tim suksesnya meminta untuk membawa isu agama lawanya Fandrik, sudah tahu kalau ia masih beriman ke Islam Syiah, itu dijadikan alat menciderainya. Tujuan tidak lain dan tidak bukan untuk mempengaruhi warga Desa Tanjung Mayang . Isu itu meluas sehingga pada saat ayahnya meninggal. Rumah Fandrik didatangi untuk turut berduka-cita, kesempatan itu dijadaikan klarifikasi terhadap isu tersebut kebenaran keluarga tersebut iman pada Islam Syiah.
Ra Wazir selaku tokoh agama serta menjadi kiyai sekaligus tim sukses Marsia, memanfaatkan posisinya pada saat di rumah duka tersebut, menoleh ke kamar, ia melihat foto Syaidina Ali. Arah mata memandang Ra Wazir memandangnya secara bersamaan, dan warga pecah mendengar isu itu, tidak ada harapan, agama selain Islam NU, bakhkan sampai kambingya pun NU, yang lain jangan sampai ada perbedaan, itu narasi dibangun. Itu menjadi bahan menjatuhkan pada saat berkumpul dengan masyarakat, melakukan sentilan. “Orang-orang tidak bisa membedakan mana foto Syaidina Ali dengan Syeh Abdul Qodir Jailani”. (hal.90)
Pembalasan kepada tim sukses Fandrik. Isu yang krusial dengan membawa dengan konteks pribadi. Menggilingnya dengan menggiring isu kalau Marsia dan Linggo seorang warga yang memiliki pesugihan kekayaaanya bukan hasil dari jerih payah kerja keras. Maeda perempuan muda yang cantik menjadi kambing hitamnya dan korban, anak dari mereka yang cantik, berpendidikan, tapi tidak ada laki-laki mana pun, mau mendekatinya karena takut kepada keluarganya, kalau mendekati takut menjadi tumbal.(hal.91)
Pada kontestasi politik tidak ada yang bisa menerima lawan politiknya baik, semua terlihat jelek. Itulah kebobrokan politik yang secara tidak langsung dalam novella ini Royyan Julian menarasikan secara detail. Bahwa kontestasi politik di Madura dalam lingkup desa terdapat konflik vertikal bahkan ada korban jiwa; bukan hanya mengenai norma moral, dan bahkan norma ber-agama. Bahwa kritik terhadap masyarakat Madura harus memiliki rasionalitas dalam memilih pemimpin bukan melihat gender bahkan politik praktis. Kesadaran kolektif sangat perlu di dunia politik sehingga bisa membedakan agama dengan politik, selaras dengan apa yang dituliskan bapak republik “Pisahkan agama dengan politik, jangan dicampur adukkan” Tan Malaka (1926).
Di Madura masih sangat kental dengan budaya Patriarki. Secara signfikan terjadinya politik gender.  Yang sejujurnya sangat diantisipai terjadi, namun di faktanya; apa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin?, bahkan posisi perempuan  menjadi posisi yang ideal sebagai posisinya. Terlihat pada Marsia melakukan perlawanan ke Fandrik. Salah satu warga yang bertanya tentang pemimpin baik. Pertanyaan itu dijabawab oleh Kiyai Karrar bahwa syarat pemimpin itu adil, jika bisa berbuat adil jadikanlah pemimpin (hal. 106)
Novela ini sebenarnya sangat konpleks membahas permasalahan dalam pemilihan kepala desa. Menceritakan stuasi begitu universal dan kontekstual, tidak ada yang ditutup-tutupi dan menjadikan Madura bukan sebagai wilayah yang ideal. Bahwa dalam budaya yang tidak baik diceritakan, bukan tidak perlu diceritakan, apalagi dengan isu sensitif mengenai gender, agama, ketika isu itu dipoles menjadi sangat seksi, dan menyebutkan isu ilmu santet dengan ritualnya begitu kompleks. Konlfik dalam pemilihan kepala desa hingga ada korban jiwa, sangat realistis di wilayah Madura masa kini.
***
Dalam pembacaan ini ada hal cukup mengganggu dalam pembacaan dan bertanya-tanya mengenai konteks bahasa yang disampaikan penulis Royyan Julian. Dalam percapakan tersebut, karena memang tidak dijelaskan secara detail tahunnya kapan cerita tersebut terjadi. namun asumsi selaku pe-rehal (pengulas), potret cerita ini berlatar tahun 1980-an, namun ada percapakan yang keluar konteks atau tidak sesuai dengan zamanya, dalam bahasa Jerman zaitgaes dalam percakapan dalam dialognya berbunyi“Cakep dari Hongkong”. Di halaman 32-33. Percakapan tersebut kurang selaras dengan konteks zaman, jika dilihat dari bahasa tersebut latar yang pas pada tahun 2010-an.
 Karena penulis pe-rehal (pengulas buku) berdarah Madura satu darah dengan penulis Rumah Jedah. Memberikan saran mengenai detailnya ketika menceritakan kronologi, yang terjadi pada permintaan Linggo kepada Madong, ada kesan tiba-tiba bahkan terburu, atau cerita yang mungkin terlalu terburu-buru serta mendadak dalam adegan  yang seharusnya mempu membangun. Di halaman 75-76. Ketika adegan  pertemuan Madong dengan Marsia. Tiba-tiba cerita yang bernarasi “Linggo memejamkan mata. Berharap ketika ia membukanya kembali, waktu telah usai dan semua berjalan lancar. “Perbuatan Marsia dan Madong memang berhasil. Perempuan itu hamil dan menangis”. Dalam kalimat tersebut serasa terburu-buru.
Hal menarik pula dari Royyan Julian dalam Rumah Jedah adalah gaya menceritakan dengan gaya-gaya homor. Dengan menyebutkan hantu-hantu begitu detail. Bahwa hantu Wewe Gombel. Pada pargraf tersebut membuat senyum pembaca.”Wewe sadar, ia tak mampu memenuhi kebutuhan anak asuhnya. Ia harus melepaskan si anak ke anak pangkuan ibunya yang sejati. Karena kasih sayangnya begitu besar, Wewe merelakan buah hatinya pulang ke rumahnya sendiri. (hal.44-45)
Sebagai penulis muda Kak Royyan Julian tak boleh berhenti di sini. Kelak keberanian akan ditunggu-tunggu oleh banyak pemuda seperti pengulas ini dan para pegiat sastra. Kebenaranian dalam menceritakan fragmen ke-daerahan. Tentunya akan lebih banyak lagi hal-hal lain perlu diceritakan melalui penanya. Walaupun karya novela merupakan hasil projek namun tidak lepas dari esensi novel lokalitas, dan karya sastra hasli dari kerja-kerja naluri,sehingga akan membuat perubahan diri secara evolusi, dan kejataman membaca dinamika, merekam peristiwa. Sebagai pembaca hanya menangkap teks apa yang telah menjadi karya, sehingga interpretasi tugas pembaca, penulis sebagai penggaris narasi.






Akhmad Mustaqim 2019

Jumat, 20 Desember 2019

Cerita Pendek

Baju Hitam Tak Pernah Usai

Awalnya tidak sengaja memaksa untuk menatap mata yang tidak pernah asing dalam angan, yang bahkan terkadang membukakan rasa ingi. Ingin apa yang tak ingin bisa dijelaskan dalam bentuk tulisan, tentu dalam hal itu seperti baru dalam kalbu.

Seperti halnya aku mencoba dengan lari pagi niatnya berolahraga, lari-lari kecil di kamar mandi sebelum mengguyurkan air ke badan yang telah telanjang. Pikiran datang semua mengenai banyak hal yang terlitas atau yang tidak pernah terlintas. Trringat dengan proses kreativnya Budi Darma "ketika wahyu datang bersegera mengambil kertas lalu berbegas ke kamar mandir lalu nenulisnya". Itu hanya sekedar rasa yang tak ingin selali bedakan dengan halnya manusia normal.

Mungkin saja aku menganggap itu kejutan atau hal baru, bagi sewaktu berpikir secara rasional. Dengan pertama kali aku telah keluar dari kamar dengan niat ingin pergi ke Perpustkaan dengan menyesali waktu yang menjadi abu dengan kesia-siaan. Sebab sunrise tidak dapat dinikmati selayaknya kenikmatan menghirup udara pukul 3:00 Wib dinihari. Kala duduk melepaskan sepatu aku mencoba berpikir apa yang dapat aku lakukakan dengan keadaan seperti ini, pertanyaan itu seperti menjadi kegelisahanku tersendiri dari tawa seorang teman kamar kos sebelah begitu tanpa beban, dan kermaiaan di tetangga dengan bernyanyikan lagu Doremi berjudul Tolong, aku ingat dengan seorang yang tadi malam bertemu mengenakan baju hitam dan teringat pada saat sholat berjemaah dengannya di tengah hutan kala senja dan gelap bersamaan dirasa, mukenna yang digunakan sarasa serasi dengan anugerah senyum dan lupa akan siapa yang melahirkan lalu bagaimana merawatnya kala nanti bisa bersama.

Aku masih memperhitungkan itu semua dan aku masih mempertanyakan itu semua tentang apakah akan ada hal yang sama dari logika dan rasa itu. Sedangkan cemburu menyelimuti kala angin dan hari tak dapat mendektenya. Tapi itu terlalu lebay bukan rasa tidak perlu berlebihan nanti kalau berlebihan, kalau gula di dalam tubuh kita berlebihan akan menjadi deabetes. Santailah berdoalalah seperti doa yang pernah dipanjatkan suatu ketika ia bestatment disela menjadi satu panggung dalam satu acara. Bukan itu yang ku ingat tapi spontanitas pegangan tangan tak pernah ku lakukan pada perempuan kala itu mengubur semua nafsu birahi kecuali naluri memiliki untuk melengkapi.

Baju hitam yang tak pernah ada ujung dalam angan yang dewasa akan semua peradaban. Buku-buku yang ku tulis dan ku baca mengisi setiap rasa ingin prioritasku kepada-Nya dan kepadanya. Namun dalam naluri sadar semua hanya tertuju pada satu membenahi diri lebih dulu karena aku belum tahu ia akan sensara ketika bersama atau bahagia kala bersama, sebab kondisi saat ini masih dalam keadaan tidak bisa dipahami arahnya. Biarkan saja angin menjadi desir dengan kudrotnya dan suatu saat berhenti dengan haknya. Begitupun aku dan-nya.




Akhmad Mustaqim 2019

Kamis, 19 Desember 2019

Perjalanan Tak Ada Ujung

Catatan Kecil Seorang Penulis

Aku datang ke kota ini, tidak memiliki kekosongan namun tidak pernah dikonsepkan begitu rapi semua serasa hanya berjalan. Tidak perlu menyusun keinginan. Dalam perjalanan aku hanya melihat jalan dan kaki melangkah walau kadang disetiap krikil ditemukan di jalan dipinggirkan, bukan hanya menemukan lebih tragis pula ada yang terkenak ke kaki dan darah kental merenggang.

Ketika berada di jalan kaki terus melangkah mata menatap kepala manusia ternyata tidak ada mata dan kepalanya tiada. Suara-suara merdu hanya ada dalam katanya yang disampaikan oleh banyak orang bahkan teman. Telingaku hanya terdengar dengung yang meradang. Suara hanya terdengar dari belakang tembok dan mencoba menelisik lebih dalam untuk menemukan apa maksudnya dari suara itu, semakin dekat ternyata semakin tidak terdengar. Karena hati telah hilang bentuk tentang dunia seperti batu yang menyelam ada di dalam dasar laut desir angin menggoyangkan angin tak terdengar.

Seadainya bisa dipahami dengan jelas ku akan merekamnya dengan baik, dengan menuliskan serta disebarkakan dalam bentuk panflet dan ditempelkan di mading kampus. Agar semua orang tahu suara terdengar dari mahasiswa atau mahasiswi tadi itu. Berhubung tidak ada yang bisa ditangkap oleh telinga hanya menuliskan rasa yang kurasakan. Pernah aku bermimpi ingin jadi seorang penulis, jadi semua apa yang bisa disuarakan orang terdekat bisa diberikan kepada orang terutama kepada penunggu berita yang cinta pengetahuan, peradaban, dan menemukan pemecah persoalan.



Sabtu, 14 Desember 2019

Mengulas Buku The Outsider Karya Albert Camus


Seorang Pekerja atau Intelektual; Le Mythe de Sisyphe




Mengulas Buku  
Judul: The Outsider
Penulis: Albert Camus
Penerjemah: Natalia Trijaji
Terbit pertama: 1955
Cetakan di Indonesia: Ecosystem 2017
Halaman: 164
Isbn: 978-602-1527-53-5


Albert Camus lahir di Aljazair pada 1913. Masa lalu yang gelap kan menjadikanlebih bisa menata hidup dengan baik dengan cara berbeda, walau absurdis. Keadaanya Albert Camus, sangat memiriskan masa kecilnya. Sehingga pergi ke Paris untuk berkerja disurat kabar Paris Soir sebelum kembali ke Aljazair. Karya pertamanya yang penting, L’Etranger (The Outsider) dan esai panjang Le Mythe de Sisyphe (The Myth of Sisyphus), diterbitkan ketika kembali ke Paris. Tahun 1941 masuk menjadi anggota perlawanan ketika pendudukan Prancis oleh Jerman. Ia menyumbangkan tulisan di untuk surat kabar bawah tanah Combat yang didirikannya. Setelah perang ia mengabadikan diri untuk menulis dan memperleh reputasi Internasional berkat buku-buku karyanya seperti La Peste (The Plague) pada 1947, Les Justes (The Just) pada 1949 dan La Chute (The Fall) pada 1956. Di tahun 1950-an memperbarui minatnya pada teater, menulis dan menyutradarai adaptasi karya William Faulkner yaitu requiem for a Nun dan the possessed karya Dostoyevsky, mendapat hadiah Nobel untuk bintang sastra pada 1957. Novel terakhirnya Le Premier Homme (The First Man) belum selesai ketika ia meninggal akibat kecelakaan di jalan pada 1960. Karyanya telah diterjemahkan lebih dari 30 negara. Filsuf dan penulis Sartre memberikan penghormatan pada Camus dalam obituarinya, “Albert Camus tak akan pernah bisa berhenti menjadi salah satu kekuatan penting dalam domain budaya kita, juga dalam mewakili, dengan caranya, sejarah Perancis dan abad ini. 

Dalam buku The Outsider sang pemberontak 2017. Karya Albet Camus akan menjadi bukti jelas dengan karya-karyanya, terkhusus pada The Outsider memberikan anggapan jelas bahwa hasil pemikiran merupakan representasi yang dituangkan dalam karyanya. Dan semua orang akan memiliki pandangan pada Albert Camus dengan membaca karya-karyanya, sebagai orang absurdisme. Pada roman yang ditulisnya ini memberikan dasar pemikiran netral dan putih, menjadi bagian dari masa lampau. Bahawa Sartre mengatakan bahwa ia “memberikan kesan tersendiri di setiap kalimat. Gaya penulisannya menambahkan kesan kesendirian sang karakter dalam mengahdapi keseharian (dunia) dan dirinya sendiri.” Dan akan memberikan pandangan secara liberal, rasional, dan kejutan. Dalam kehidupan sehari-hari dalam menjalani hidup. Bahwa manusia tidak hanya menjaga moral, tapi Albert Camus bisa memberikan sebuah pandangan moral, dengan cara hidup dan kehidupan sederhan begitu rill.

Albert Camus dalam memaparkan kehidupan begitu rumit dengan ke-absurdan sangat sederhana dan bisa dengan mudah dicerna. Bagaimana seorang anak kehilangan seorang ibu begitu disayangi, bahkan belum pernah membalas budinya, karena sakit dititipkan ke panti asuhan. Bagaimana tidak merasa terpukul dan merasakan kehilangan serta depresi mendengarkan ibunya meninggal pada saat ia bekerja. Ia bekerja karena merasa masa tua seorang ibu harus dirwat dengan baik, dengan begitu susahnya dalam hidup hingga harus dititipkan ke pantiasuhaun Wreda, kepalangan hidup dirasakan merawat ibunya tidak bisa, lantaran tolok ukur membahagiakan dengan adanya harta bukan hanya keinginan;“Aku merasa seolah-olah ia menyalahkan diriku atas sesuatu, maka mulai kujelaskan. Tapi ia menyala. “Anda tak perlu membenarkan diri, anakku. Sudah saya baca berkas ibu anda. Anda tak mampu mengurusnya dengan layak. Ia butuh perawat. Penghasilan Anda tak mencukupi. Dengan pertimbangan banyak hal, ia lebih bahagia di sini.” Ku jawab, (hal.3)

Hidupnya merasa sudah mengalami tekanan. Pada saat mendapat tekanan batin, semua pemikiran normal manusia terkadang tidak dapat dipungkuri tidak bisa optimal. Dalam pemikiran jernih manusia bisa memikirkan hal baik dan buruk, jelek dan buruk, tua dan muda. Sangat rapi dalam berpikir. Namun tidak akan bisa menjadi normal ketika manusia mendapatkan sebuah kejolak bersebarangan dengan harapan diri manusia. Ketika kondisi melelahkan bisa saja manusia seperti Gregor Samsa seorang manusia yang berubah menjadi seekor kecoa, dengan cara tiba-tiba berubah, hal itu telah ditulis dalam Metamorfosis karya Franz Kafka.  Ketika kondisi paling rumit dan sulit manusia sebagai makhluk pekerja keras akan senantiasa merasakan lelah dalam kondisi seperti itu manusia akan merasakan hidup tidak normal, seharusnya baik menjadi tidak baik, seharusnya berkualitas menjadi tidak berkualitas, hal itu dapat dirasakan manusia paling normal, maka absurdutas menjadi kualitas manusia hidup, ketika dalam kondisi apapun menjadi manusia semestinya memahami fungsi“Aku ingin merokok di depan jenazah ibu sebagai hari terakhir melihatnya.” (hal.25)

Penulisan roman ini sangat menarik menceritakan sebuah dinamika hidup dari manusia dari 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10, dan kembali pada 0 (nol). Bukan sekedar batin dari tokoh melainkan menceritakan abusurditas mengenai kematian. Kematian manusia seharusnya dipahami dengan begitu menyenangkan dan penuh dengan kenikmatan hidup, bagi manusia, perlu dirayakan, mengapa? karena setiap manusia meninggal tidak akan kembali  ke dunia lagi, walaupun ada yang kembali tentu itu kebetulan. Manusia ketika sudah tiada akan merasakan kemerdekaan hak, kebebasan manusia telah berakhir. Dunia baru akan tiba masuk pada tahap hidup ke-tiga alam berzah. Namun,  setiap apa yang hilang menyisakan kenangan bagi yang mersakan akan merasakan kehilangan; fimily yang tua, muda, merasakan. Kehilangan merupakan kewajiban untuk di dunia namun semua kenangan akan menjadi harapan manusia untuk selalu tetap hidup dan suaranya akan lebih nyaring dari dalam kubur.

Albert Camus menawarkan pandangan sederhana dalam perspektif mengenai manusia yang meninggal. Meninggal menjadi hal paling wajar apalagi dengan umur yang telah tua, menjadi sesuatu kehilangan paling normal, bahkan  dengan begitu saking tua renta sakit-sakitan, terkadang manusia menunggu dan berdoa segera saja berakhir hidupnya si tua renta daripada merepotkan yang masih hidup” terkadang akan ditemui di masyarakat kini dan dulu.

Hal tersebutdisebabkan sering kali, tua renta sudah terserang penyakit dikarenakan daya tubuh tidak sehat lagi. Banyak masalah tubuh lainnya,  Meninggal di tempat biasa ketika menjalani hidup tenang, nyaman, tempat tersebut Panti Asuhan. Masyarakat seharusnya mengambil hikmah dari cerita Albert Camus yang absurd, sadar akan semua kejadian tidak memiliki nilai negativ seharusnya positiv dengan kematian. Ketiadaan tidak perlu dinilai oleh manusia yang masih hidup, mau kremasi, kubur, atau letakkan di pohon. Manusia tidak ada hak menilainya baik dan buruknya kematian. “Ibu yang meninggal berada di Panti Asuhan dengan umur 64 tahun, dan meninggalnya seseorang bukan diamati dari ideologi, agama, dan tempat tinggal”.(hal 21)

***

The Outsider sang pemberontak roman bukan hanya menceritakan kehidupan begitu tragis, melainkan kisah hidup seseorang setelahnya menemukan kesunyian selalu merasakan keramaian. Sebab dalam dirinya akan tetap seperti halnya manusia pada umumnya tanpa ada masalah. Absurditas menyatu pada tokoh-tokoh yang tidak ditutupi akan semua dunia begitu rapi dalam menjalani hidup, keteraturan dan ketergantungan yang seharusnya dituntut padanya tidak menjadi masalah besar akan semua itu, asal bisa tetap berjalan hidup tanpa berpikir rapi. Eksistensialis dan esensialis tidak akan menjadi absolut dalam dunia, kebenaran hanya ada dalam diri dan kekacauan, kesangsian  hanya di dalam asumsi.  

Dalam buku ini juga menceritakan seorang penerima nobel sastra pemenang penghargaan Albert Camus. Pada 10 Desember 1957. Dalam pidato kebudayaan menyampaikan beberapa perjalanan yang selalu pertanyaannya. Pada saat pidato kebudayaan setelah dikabarkan bahwa menerima penghargaan. Dalam pidatoyang begitu bijak dengan membuka bahwa kesadaran seseorag seniman perlu adanya pengakuan dan diakui oleh manusia lainya. Jiwa merendah untuk menunjukkan bahwa penghargaan itu pantas akan dirinya, dengan pertimbangan bahwa semua kelebihan setiap kerja manusia disesuaikan penghargaannya, dengan kerja-kerja kebudayaanya dalam berseni.“Seniman menyatu dirinya dengan yang lain, di tengah keindahan yang tidak bisa dia lakuakan dan lingkungn yang tidak dapat dilepaskan darinya. Itulah sebabnya seniman sejati tidak mencemooh apa-apa: mereka berkewajiban untuk mengerti daripada menilai. Dan jika mereka harus berpihak di dunia ini, mereka mungkin hanya berpihak pada masyarakat, di mana menurut kata-kata hebat Nietsche, ‘ bukan hakim tapi pencipta akan memerintah, apakah dia seorang pekerja atau intelektual” (hal 155)

The Outsider dalam tokoh Merusault sebagai seorang pria tanpa pretansi heroik, rela mati demi kebenaran. Dan tokoh tersebut merepresentasikan Kristus yang sepantasnya kita terima. Akan dipahami setelah penjelasan ini bahwa saya katakan ini tanpa maksud menghujat melainkan semata-mata dengan cinta yang mungkin ironis, yang berhak dirasakan seorang seniman terhadap tokoh ciptaanya. Albert Camus 8, Januari 1955.



Akhmad Mustaqim  2019


Kamis, 05 Desember 2019

Resensi Buku Manurung 13 Pertanyaan untuk 3 Nama Karya Faisal Oddang



Kematian Sakti, Melahirkan Keramaian Panjang




Judul: Manurung 13 pertanyaan untuk 3 nama
Penulis: Faisal Oddang
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 2017
Halaman: 125
Isbn: 9786020376813


Manurung menyisakan pertanyaan di masa kini dan masa depan. Lalu apa yang lebih arif dari masa lalu, jika bukan waktu yang menjadikan abu dan menyisakan debu. Dan setiap peristiwa masa lalu, yang terjadi dalam kehidupan, akan menimbulkan pertanyaan besar. Kala merasa selalu ingin tahu, yang menggebu rasa itu. Begitulah manusia, namun tidak semua sama. Dalam tradisi pengetahuan ilmiah, pertanyaan yang bagus memiliki nilai sangat tinggi. Pertanyaan akan memberikan langkah tuk menemukan sebuah emas di dasar lautan, lalu ada cara-cara untuk masuk ke dasar itu mampu dilaluinya, sebab akan menggugah rasa tidur atau sekedar istirahat panjang menikmati rebahan.

Epos Mahabarata begitu fenomenal ada pada perang beratayuda. Semua orang ketika mendengar perang tersebut, selalu ingat pada para Pandawa dan Kurawa, walau yang tak kalah penting ada Krisna dan Sengkuni. Namun modernisasi hari ini semua cerita itu bisa ditemukan dengan beberapa versi, bahkan tidak hanya bentuk teks (buku), namun juga ada visual (tradisi lisan, dan flim), yang tokoh serta semuanya direprentasikan oleh para pegiat karya serta bisa berkarya. 

Dalam buku Manurung 13 Pertanyaan Untuk 3 Nama (2017) karya Faisal Oddang buku karya sastra berupa puisi, namun bukan sekedar puisi yang lebih dikenal dengan memberi nilai esetetik, melainkan puisi memiliki kekuatan narasi begitu memukau sebab serasa asing ketika dibaca, puisi tersebut berisi mengenai pertanyaan-pertanyaan terhadap 3 nama, yang tidak akan lekang oleh waktu, akan selalu dikenal oleh masyarakat Bugis, sebab La Galego bukan suatu yang baru. Pada pengantar Manurung ditulis Faisal Oddang mengatakan. Bahwa Jhon Leyden menempatkan sebagai representasi dari sastra Bugis yang mengandalkan irama dalam bukunya on the Languages and Literature of the Indone Chinese Nations (1808, setelah Leyden , selanjutnya ada Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (1817), di tahun 1820. Jhon Crawfurd meski tidak secara langsung menyebut La Galigo. Faisal Oddang memposisikan dirinya sebagai orang yang cinta akan budaya sendiri, namun tidak memahaminya asal usul akan kepastian mengenai La Galigo.

13 pertanyaan dengan 3 nama Faisal ingin nyampaikan dalam bentuk puisi, dalam 3 tersebut terdiri dari Datu Palinge, Sawerigading, dan La Galigo. 13 pertanyaan dibagi ke setiap nama yang telah disebut. Lima pertanyaan ke Datu Palange, Sawerigading lima pertanyaan, dan La Galigo tiga pertanyaan. Dari semua dirayakan dalam puisi berjudul Manurung. Yang berkisah bahwa dari 3 nama tersebut akan selalu hidup dalam kehidupan. “Cerita-cerita tentang kalian terus disampaikan dari waktu ke waktu semua sibuk membicarakan istana, pesta, perang, sabung ayam-tak ada kami di sana, kami hanya muncul ketika kalian butuh seorang sebagai tumbal untuk kesenangan yang kalian inginkan. Kalian butuh budak entah di dia kate entah albino, orosada atau orekelling (bait 12. Hal.21).

***

Pada pengantarnya Faisal Oddang memberi gambaran mengenai tokoh-tokoh yang dilontarkan pertanyaan dimulai dari Datu Palinge, ia istri dari Datu Patotoe. Sang Penguasa Dunia Atas (Botting Langi) yang mengirim Batara Guru, anaknya, untuk mengisi Dunia Tengah (Ale Kawa) yang kemudian berpasangan dengan perempuan dari Dunia Bawah (Buri Liu). Selanjutnya ada Sawaragading keturunan ketiga dari Dunia Tengah yang perannya cukup penting dalam La Galigo. Dan yang ketiga, La Galigo, putra Sawerigading. Ketiga tokoh yang diberi pertanyaan dalam buku ini memiliki darah manurung. R. A. Kern menjelaskan bahwa manuung secara harfiah berarti “turun ke bawah” lebih luasnya lagi, bahwa manurung berarti orang-orang atau benda-benda yang turun dari langit. Pada akhirnya Manurung kini tiba dalam bentuknya yang lain-ia bentuk pertanyaan dibentuk dalam puisi.

Pertanyaan kepada Datu Palinge dalam puisi Manurung; 1, di bumi, ketika anakamu sebagai hamba setelah suami benar-benar menjadi Tuhan. Kesedihan macam yang telah kausembunyikan di dadamu?,2. Sudahkah kauajarkan kepadanya tentang wajah Kesedian yang kelak datang kepadanya setelah da seesai menciptakan Bumi dan isisnya?, 3. Ada yang kaupahami tentang Keseian dan seseorang yang terasing karena kekuasaan?, 4. Seseorang perempuan datang dari bawah laut, cukupkah itu bagimu untuk mengganti segala yang hilang dari dari Batara Guru?, 5. Ketiak cucumu mati lalu memakannya dan kau tak menegur mereka?. 

Sesuatu yang dipertanyakan akan memberikan pertanyaan besar, mengungkap-ungkap beberaa mesteri. Apalagi berkaitan dengan peninggalan manusia dianggap sakral, dengan beberapa bukti pada literature yang telah berserakan membicarakan La Galigo dalam teks sejarah telah ada. Faisal menyajikan dalam bentuk teks puisi memiliki kekauatan narasi sebagai bukti dalam menyajikan segela manusia berhubungan dengan dirinya dan tuhannya, serta teks puisi mempetajam dengan sebuah sifat dan kondisi yang menjadi pertanyaannya. 
Teks dan konteks dalam puisi mengenai pertanyaan kepada Datu Palinge dalam puisi berjudul “ Di Bumi, ketika anakmu terasing sebagai hamba setelah suamimu benar-benar menjadi Tuhan, kesedihan macam apa yang telah kamusembunyikan di dadamu?, “apalah arti Tuhan bila tak ada manusia yang menyembah?” langit sungguh riuh tetapi suamimu bersedih atas nama sepi-sesorang yang ia percaya telah melubangi hatinya dengan pertanyaan yang susah payah ia jawab. (bait. 1. Hal.27)

Sebuah keharusan manusia memahami tentang kematian dalam hidup. Minimal mengetahui nama dari kematian itu sendiri, jika perlu mengenal kematian lalu menjadikan bagian dari hidupnya selayaknya pacar jangan sampai jomblo dengan kematian.  Ketika bisa menjadikan bagiannya akan senantiasa mempersembahkan pada dunia untuk bisa memberi nilai guna. Selayaknya Datu Palinge selama hidup. Pada bait puisi Faisal menusliskan”Menusia harus mengenalnya meski tidak pernah Kematian mengulurkan tangan untuk dijabat atau mengucapkan nama untuk dikenang. Sama sekali tak pernah.(bait.26.hal.64)

***

Adakah penyesalah dalam hidup Sawerigading, ketika dilontarkan lima pertanyaan bentuk puisi. Bahwa ketika semasa hidup hanya bisa tersenyum bersama dengan keindahan alam semesta? , memakan, makananan enak di bumi, mencintai dengan begitu agresif,  ketika dalam sadarnya setiap langkah hidupnya masih belum bisa mengenali dirinya sendiri. Kenal memahami serta mencari ketidak lengkapan untuk melengkapinya. 1. Apakah kau menatap sepasang matanya sebelum cinta membuatu budat dan bahan tak mampu melihat dirimu sendiri?, 2. Apa yang kaukenang dari tubuh-tubuh tak bersalah yang kausiksa dan kaubunuh demi berahi dan selangkanganmu yang basa?, 3. Masihkah kaukenanli amis lumuran darah budak di batang pohon Welenreng itu?, 4. Bagaiamana ungkin kau berbahagia dengan We Cubai jika cinta telah kaucurangi, telah kaurebut dengan dusta-dengan menciptakan suangai darah dari leher orang-orang tak bersalah yang kautebas?, 5. Masih bisakah kau tersenyum jika kelak mengenang sejumlah perang yang telah kaulalui?.
Apa yang akan disesali dalam peristiwa besar semasa hidup? Pertanyaan akan dibalas dengan pertanyaan. Bahwa penyesalan ketika hidup, pasca-kehidupan. ketika hanya bisa memandangi bumi dan isinya, merasakan bahwa memiliki dan sebagai manusia hanya bisa memakan serta membuat tumbuhan tambah subur, dan itu hanya untuk dinikamati sendiri. Apa harus segera tiada meninggalkan dunia? Dan pertanyaan itu masih bisa menjadi sumber pengetahuan baru dan besar dalam kehidupan di modernisasi ini. Jika dibenturkan. Bahwa apa yang hilang tentunya akan menjadi keinginan besar untuk menemukan sebuah kebahagiaan. Hanya bahasa lisan dan tulis menjadi pertaruhan hari ini, kedua ini masih menjadi permasalahan tersendiri dalam menghadapi enaknya rebahan yang tak ada bumbunya terasa nikmat. Ketika itu masih dinikmati tidak akan menemukan diri sendiri.

“Apakah kau menatap sepasang matanya sebelum cinta membuatmu buta dan bahkan tak mampu melihat dirimu sendiri?,
Waktumu telah tiba, matahari yang terbit dan matahari terbenam bukan hanya memindahkan peristiwa, diam-diam malam mencapkakan satu demi satu perkara yang kaumiliki, termasuk sisa hidupmu.
“siapa yang telah menyembunyikannya dariku?”
Pitotoe menciptakan cermin untukm di tubuh seorang perempuan, kau tak ingin menkahi dirmu sendiri, kau percaya bahwa surga tak pernah jauh darimu, bukan di Langit atau di Bawah laut. (hal.73)

***

Tokoh ketiga termasuk yang terpenting dalam karya sastra puisi berjudul Manurung ini. La Galigo hanya terbagi tiga pertanyaan. Namun tidak kalah mesterinya; 1. Untuk kematian-kematian yang menjemput hidupmu yang baru, perkabungan macam apa yang telah kaulakukan, 2. Siapa yang telah mengajarimu bertahan hidup tanpa cinta dari seorang ibu, ibu yang justru ingin menjadikanmu umpan ikan-ikan yang kelaparan?, 3. Kenapa kau, dan dua orang sebelum dirimu tidak juga menjawab pertanyaanku? Apakah menuntut kebenaran melaui sejumlah pertanyaan hanya akan berakhir dengan pertanyaan itu sendiri?.

Sebuah pertanyaan sebelum-sebelumnya itu hanya menjadi pertanyaan pula, namun tetaplah sebuah 
pertanyaan dalam intelektual sebuah kegegelisahan pribadi atau semua orang yang belum bisa memahami hal-hal tertentu, peninggalan hanya menjadi kenangan dan peritiwa besar ketika bahasa hanya menjadi alat dan lisan sebagai penyampai. Dan puisi sebuah pertanyaan ulang untuk menemukan pencerahan, namun teks sebagai alat atau pisau analisis menemukan jawaban. Kebenaran dan kebingungan diciptakan agar semua orang merasakan keduanya. Kebenaran menjawab setiap perkara, dan kebingunan akan menjawab sebuah skeptis. Keduanya aka nada pada semua prasasti yang ada; La Galigo dilontarkan pertanyaan dalambentuk puisi;

“Untuk kematian-kematian yang menjemput hidupmu yang baru, perkabungan macam apa yang telah kaulakukan?” (hal.109)
Semua terlahir ke dunia di langit Tuhan hanya memberikan sebuah fasilitas. Kebutuhan manusia telah diberikan. Dan manusia ketika melahirkan tidak campur  tangan-Nya. Sampai kematian hanya menentukkannya, bagaimana hidup bisa menentukan pada pencipta padadal manusia itu sendiri akan mengurusi semua kelahiran, kehidupan, dan kematian. Apa akan menyalahkan Pencipta yang rata-rata ada, belum tentu benar dan belum tentu salah. Namun apakah akan memberikan penderitaan kepada orang lan, terkhusus pada orang tua sendiri, sanak keluarga, dan apakah akan memberikan sebuah kerugian kepada orang-orang disekelilingnya.
“Tak ada kettuban yang pecah, bahkan setelah ibumu bosan mendengar talu lesung yang datang dari arah Mario.
Yang pecah hanya langit, pecah seperti rekah bunga anggrek berwarna abu-abu, sebelum kelopaknya tanggal satu demi satu.
Kau menyiksa ibumu dengan rasa sakit yang tak mampu ia tanggung,
Langit tidak terlalu campur tangan  untuk rasa sakit meski sejumlah hadiah dikirim untuk menawarnya.
Meski telah mereka kirim paying untuk tadungmu.
Budak-budak kate dan albino disembelih sebagai tumbal agar gumpal darah di selangkangan ibumu mencair dan mengalir. (hal. 109)

Faisal Oddang  muda dengan karya-karya lokalitas sangat memukau, dan semoga terus membuat khasanah sastra lebih berwarna bagi orang-orang yang non-sastra yang beranggapan bawah sastra bukan hanya sekedar fikif, imajinatif, dan bahkan berbaur milankolis. Kehadiran sastra memberikan kategori sastra serius sebab bersentuhan dengan fakta, cerita epos, dan sejarah. Detail dalam penyampaian, membuat deskripsi serta narasi yang dibangun begitu serius. Karya Manurung ini butuh ketekunan membaca, teliti, dan mencari makna diksi tidak familiyar, serta memaknai bait setiap-bait untuk menemukan intiasari dari karya sastra puisi berisis 13 pertanyaan untuk 3 nama. Puisi ini bukan sekedar membicarakan ideal yang berada di daerah penulis, yaitu Bugis dan sekitarnya, akan tetapi memberikan sebuah tawaran pengetahuan kontekstual.

  


Akhmad Mustqim 2019