Minggu, 04 Juli 2021

BEDAH BUKU PUISI DI SEMARANG

 

 



HASRAT PERJALANAN PUITIK DAN TRANSENDEN DALAM ANTOLOGI PUISI MUHAMMAD SYAUQI HAKIKI

Akhmad Mustaqim

akhmadmus16@gmail.com

Esai kritik sastra

Disampaikan pada kegiatan bedah buku “Menerjemahkan Rindu”

Sabtu 12, Juni 2021

Pukul: 09:00-10-30 Wib

Semarang Jawa Tengah

 

Pejalan kaki yang baik senantiasa menghasilkan sesuatu hal yang menarik dalam pikiran, bahkan tindakan. Seorang pejalan kaki pemikirannya seperti; pertemuan kikir[1] dan  gergaji, semakin dibenturkan atau digosokkan lambat-laun akan menjadi tajam. Mungkin begitulah proses puisi tercipta, terletak pada ketajaman pola pikir, serta penguasaan bahasa, sebagai media, dan teknik menulis. Buku berjudul “Menerjemahkan Rindu” karya Muhammad Syauqi Hahiki (Kuncup. 2020). Setelah melakukan proses pembacaan panjang, ada kesan begitu memukau, dan kalau boleh memujinya, “ia punya semangat puitik”.

Membaca buku puisi Muhammad Syauqi Hakiki, saya tidak bisa melupakan salah dua penyair dari jawa tengah juga, yaitu; Usmaan Arrumy dan Gus Mus. Keduanya tidak saya kenali, pun bukan siapa-siapaku, tetapi melalui karyanya mengenalinya—bahkan guru sastra tanpa menggurui. Mula-mula saat baca buku “Menerjemahkan Rindu” pikiranku mengarah ke “nun jauh di sana, tapi dekat dengan diksinya.” Stelistika puisinya tergambar dari diksi-diksinya. Perlu digaris bawahi bukan tentang isi, melainkan mengenai otensitas mendekati orsinil. Namun ada semangat stelistika bahasa-nyaris sama dalam mencipta rima. Namun semangat imajinasi tentang rasa “rindu”, “ibu”, “guru”, “sunyi”, “perempuan” “santri”, seperti memberi citra jawa tengah dan sosok seorang santri.

Contohnya, dalam puisi Rindu adalah Ikhtiar[2]:

            Rinduku adalah ihktiar untuk membimbing langkahku

            untuk memimbing masa deapanmu

            (Muhammad Syauqi Hakiki, “Rindu Adalah Iktiar”, 2020: 7)

 

Ya, hidup memang tidak harus seperti seorang Narsisuss[3] banyak ilmu pengetahuan tapi tidak ingin membagikan kepada orang banyak, jangankan pengetahuan, cinta, sayang,  hanya untuk diri sendirinya. Bahkan, Ia jatuh cinta kepada dirinya sendiri. Pada saat kematian tiba, kematiannya dikarenakan terpeleset ke danau, lantaran ia setiap hari memandang dirinya dari dalam air. Singkat cerita. Kematian pemuda bernama Narsisuss membuat semua orang kaget, sangat tidak menyangka, semua orang yang kenal denganya menyesali karena semasa hidup kurang bermanfaat. Ia yang menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri. Danau yang ia tempati sambil berdiri, setiap hari berkaca ke air di danau yang bening,  dijadikan cermin. Sejak kematiannya, danau itu airnya berubah menjadi asin, lantaran banyaknya air mata tangisan orang-orang yang kenal Narsissus, menangisi. Air matanya terjatuh ke dalam danau itu. Seperti hidup yang tidak memiliki fungsi dalam hidup, kehidupan orang lain. Puisi di atas nampak sangat sosialis, romatis, dan agamis, jika dipandang dari satu ontologis teks.

Si aku lirik di sini hadir dengan diksi ‘ku’ yang bergabung dengan kata ‘rindu’ ber-pronominal persoan ‘aku’—tergabung menjadi ‘rinduku’, pronomina persona berarti tunggal, dan punya hasrat rindu kepada objek ‘mu’ pronominal persona—berarti satu orang tunggal tentang siapa?. Masih tanda tanya. Ini memiliki pemaknaan terentu yang menghadirkan penuh banyak tafsiran, ketika dibaca dari dua sisi: pertama bagaimana si aku lirik membawa masa depan. Interpretasi tersebut memberi gambaran niat baik dari kata /rindu/ bernilai berhasrat baik untuk ke depan. Inilah memberi gambaran manusia normal akan hal rasa cinta yang akan pasti melahirkan atau memilihara rindu dengan harapan ingin membawa kearah lebih baik untuk menatap masa depan (menikah).

Teknik menulis dengan menggunakan penulis, jenis puisi kwatrin. Sebagaimana kita tahu bahwa kwatrin sebenarnya ada mirip dengan pantun, namun  memiliki empat baris setiap sajaknya. Akan tetapi, kwatrin tidak terikat dengan pola a-b-a-b yang terdapat pada pantun. Acep Zamzam Noor, Adhimas Imanuel, Sapardi Djoko Damono, Subagio, Chairil, dan Gunawan Muhammad. Sering kali menggunakan jenis puisi kwatrin.

Semangat puitik dibangun oleh hasrat—menulis baik. Itu Impian semua orang, menulis baik. Hal itu tentu menjadi tantangan kepada seorang penulis puisi dan bagi semua penulis. Saat seorang bisa menuaikan ide ke dalam bentuk kreatif dengan melakukan proses tulisan. Maka akan ada jaminan akan mencapai keabadiaan—ia akan merekam dirinya dengan tinta. Namun, itu proses tidak mudah, seperti halnya kita menuangkan air minum ke dalam gelas, lalu meminumnya. Setelah usai meminum, merasa lepas haus, dan lega. Begitupun karya yang telah dituliskan, tanpa mengetahui proses serius atau tidak. Tapi secara teks itulah yang dikaji, dan dibaca.

Gairah Perjalanan Puitik; Kerinduan Kampung Halaman

Semangat menjadi penyair Mas Muhammad Syauqi Hakiki rajin menulis puisi dengan menuliskan tempat dan tahun. Ia tergolong penulis yang rajin mencatat setiap fragmen-sebagai-lakon sendiri, setiap singgah. Tediri 50 titimangsa di Malang, 15 di Pati, 1, di Jepara. 26 sisanya tidak mencantumkan titimangsa. Perjalanan puitiknya dapat dilacak sebagaimana ketika ia melakukan perjalanan ke mana berlabu. Jiwa puitik secara tidak langsung akan menjadikan dirinya sebagai pencatat yang rajin, bahkan kemungkinan membuat puisi merupakan ritual paling nyaman dan tenang. Kemungkinan  bisa menjadi tempat paling baik mencurahkan isi hati melalui puisi, entah berupa luka atau bahagia. Namun ia mengembalikan kepada siapa mencipta kata—pencari pemilik diksi paling Suci—bahwa segala rindu, masih ada yang paling pantas dan layak dirindukannya: bukan hanya cinta pada objek manusia, melainkan pada pemilik manusia, bahkan yang paling transenden. Adapun puisinya yang berdiri sendiri tanpa siapa-siapa dan kepada siapa mengabdi kecuali kepada sastra itu sendiri, bersama nilai keindahaanya.

Gairah perjalanan puitik transenden Muhammad Syauqi Hakiki, dapat dibaca pada contoh puisi berjudul Syahdu;

            Senandung Indah dua kawan setia

            Menjarah habis panji-panji jiwa

            Termashyur dalam balutan rasa

            Menelisik tajam menjurus sukma

Panas dingin ombak asmara

Menyikat habis deretan nyawa

Sang kuasa

Mentakdirkan warna dunia dialunan lagu cinta

 

Pati, 2017

(Muhammad Syauqi Hakiki, 2020:12)

 

Si aku lirik di sini menghadirkan motif bukan kesunyian atau kerinduan, melainkan hal-hal transenden. Di dunia nyata yang akan sangat ada, bahkan dapat dirasakan. Mengenai sifat Tuhan yang jauh bahkan berjarak jika bisa memahami manusia. Bait /menyikat habis deretan nyawa/ memahami apa yang tidak manusia sadari bahwa ada hal begitu dekat dari dalam diri manusia, yaitu kematian. Yang sewaktu-waktu Tuhan membuat kematian begitu indah, jika disadari kalau sewaktu-waktu apa yang tidak diharapkan manusia terjadi, yaitu kematian. Salain itu ada pada bait berbentuk (klausa) /Sang kuasa/ adalah sifat dari pencipta, ini memberi pandangan sifat Tuhan hanya untuk dirinya atas kehendaknya. Ia akan senantiasa memberikan apa yang dibutuhkan manusia, bukan yang sekedar diinginkan. Si aku lirik merasakan nostalgia bersama seorang teman atau orang yang penting dalam hidupnya.

Semangat puitik yang tetap konsisten saat menulis puisi. Diksi yang digunakan dengan semangat liris sebagai ciri menjadi bukti pada puisi di atas. Menulis dengan kesadaran untuk mengejar rima pada puisi, sering kali dilakukan oleh banyak penulis Indonesia menggunakannya, khususnya dalam puisi, ada banyak—namun menjaga konsistensi pada pengkaryaan, akan menjadi nilai lebih bagi seorang  penulis, dan itu proses tidak mudah.

Adapun kalau dicermati dari puisi di atas, walaupun membicarakan tentang kebesaran Tuhan, penulis tidak menampilkan secara vulgar wujud-Nya—diksi yang digunakan—tidak ada, kecuali diwakili dengan kata ‘Sang kuasa’ yang merupakan sifat Tuhan. Cara tersebut mengingatkanku pada salah satu buku Creative Wrieting[4] karya As. Laksana, sastrawan Indonesia. Kurang lebih begini; “dalam prinsip menulis khusus pada teknik menyampaikan gagasan kepada karya sastra jangan disampaikan dengan gamblang, apa yang akan disampaikan, tetapi buatlah pembaca berpikir dan merasakan, bentuk dari apa yang akan disampaikannya. Teknik ini seperti seorang menggambar, bagaimana seorang bisa menjelaskan sesuatu tempat bukan dengan menjelaskan melainkan memberikan warna, menjelaskan indah dengan warna”.

Teknik menulis puisi yang digunakan syair tidak sempurna. Semestinya menggunakan empat baris disetiap sajaknya. Dengan  rima terakhir berakhiran a-a-a-a dan a-b-a-b secara popular perkembangannya syair. Namun pada puisi di atas tidak sempurna secara teknik penulisannya.  Bahkan syair yang murni terdiri dari delapan  hingga dua belas suku kata. Setiap empat baris membentuk satu bait syair, dan merupakan satu kesatuan arti.

Gairah Puitik Sublim[5]; Seorang Penyair

Seperti biasa kalau kita jauh dengan kampung halaman ada hal yang menyiksa; bingung ketika semua teman tidak ada, kampung halaman memang lebih membuat tenang. Namun bukan hanya rindu, tapi kompleks, dengan certa-derita memahami hidup dengan sendirinya terbangun. Seperti seorang Ahasveros[6] (seorang raja yang mengembara karena mendapat kutukan tidak memiliki kampung halaman). Hal ini memberikan gambaran perantau jauh dengan kampung halaman. Bahkan keluarganya ditinggal, dan yang melupakan, hingga enggan pulang. Seperti seorang pengembara mencari sesuatu berharga.

Gairah puitik sublim; kampung halaman, direpresentasikan ke puisi M. Syauqi Hakiki berjudul Kau Salah:

            Kata samudera, rindu adalah dermaga

            Tempat penyair melihat senja

            Menenggelamkan wajahnya

 

            Kau salah

            Kata bumi, rindu adalah gumpalan tanah

            Tempat penyair menguburkan masa kelam payah

            Janji-janji sumpah serapah

 

            Kau salah

            Kata langit, rindu adalah hamparan awan luas

            Tempat penyair mengimajinasikan sajak bebas

            Yang tak terkekang wajar batas

           

            Kau salah

            Kata angin, rindu adalah hembusan hawa sepi

            Tempat penyair pulang menyendiri

            Menepaki jalannya yang sunyi

 

            Kau salah

            Kaat pena, rindu adalah puisi

            Tempat penyair berimajinasi

            Meluapkan kata-kata hati

 

            Kalian semua salah,

            Kata penyair, rinduku pada kekasihku

            Hanya aku yang bisa rasakan

 

            Malang , 2020

            (Muhammad Syauqi Hakiki, 2020)

 

Si aku lirik merepresentasikan puisi di atas. Bukan ia hidup di tempat paling nyaman yang jarang menemukan sesuatu berharga dalam hidup. Di perantauan memberikan sebuah pelajaran paling berharga semasa hidup “bagi ia yang senantiasa meniti relung-relung hidup,” penulis untuk itu mencoba menghadirkan metafora dengan objek membaca kondisi alam. Serta bagaimana si aku lirik memberikan pandangan bahwa kerja penyair melakukan pandangan begitu tajam mengenai hidup. Bukan hanya bermodal ide, rasa, dan hasrat. Akan tetapi, memiliki kecakapan tentang menyampaikan apa yang tidak pernah orang lain rasakan, dengan penguasaan prinsip puitik.

            Adapun puisi Muhammad Syauqi Hahiki di atas menghadirkan sebuah fenomenologi ontologis menafsirkan hal yang tampak. Menurut Heidegger[7] pandangan tentang hermeneutik masuk kategori fenomenelogi disain, bahwa hermeneutik dalam memakai kata yang orsinil yang mengungkapkan persoalan interpretasi (2005:157). Melaui pandangan tersebut, pada  saat diperantauan tidak akan pernah merasakan sesuatu nikmat yang paripurna tentang langkah hidup secara tidak disadari akan tiba suatu masa seorang merasakan apa yang akan dirasakan setiap orang disaat perjalanan hidup, bersifat otomatis. Merasakan kerinduan kampung halaman karena banyak orang-orang yang dicintai. Bahkan saat seorang hidup di perantauan tidak hanya mencari apa yang diharapkan; mencari ilmu, rejeki, dan bahkan jodoh. Tentu, seorang itu akan mencoba mencari teman yang mampu menemani hidupnya semasa di perantauan. Menjadi teman cerita, ia memposisikan teman paling baik yaitu buku. Pada puisinya ia tulis “hanya seorang aku yang menuliskan sesuatu dan paham perihal rindu.”

Adapun pada penggunaan diksi “samudera”, “bumi”, ‘angin”, “langit”, “pena”, “penyair”, masa-masa sulit seorang diksi tersebut seringkali hadir dengan berdiri sendiri tentang hidup manusia yang sedang mengalami goncangan batin. Motif kesepian.  Sering kali seorang penulis yang merelungi relung-relung transenden, Albert Camus menulis buku esai berjudul The Sea Close By[8] Buku tersebut memberikan kisah-kisah bahwa laut begitu dekat dengan diri kita.

Puisi di atas menggunakan teknik menulis puisinya menggunakan jenis puisi kwatrin, tapi belum sempurna. Dalam kwatrin memperhatikan empat baris setiap sajaknya. Akan tetapi bedanya kwatrin tidak terikat akan pola a-b-a-b. Puisi ini sempurna dalam rima kwatrin, diakhiri dengan rima ‘a’ huruf vocal. Sehingga irama sangat nyaman didengarkannya.

Simpulan sederhana bahwa menulis merupakan perjalan serta menjadi obat bagi seorang penulis untuk mengobati kegelisahan tentang dirinya. Semakin terbentur, terbentur, dan terbentuk, dalam kepenyairannya, dengan latihan menulis. Beruntunglah, ia yang menulis, selain mengabadikan sebuah moment, sekaligus menjadi terapi. Menulis karya sastra memasuki relung-relung paling dalam memahami esensi puisi.



[1] Alat yang buat untuk mempertajam gergaji terbuat dari besi

[2] Menerjemahkan Rindu, 2020. Hlm.6. Kuncup Kota Malang 

[3] Paulo Coelho, berjudul The Alkemis, terbi di Brasil pada tahun 1988. Pada pengantar buku.

[4]Laksana. As.  Creative Wrieting 2006. Buku pedoman menulis prosa yang diberikan kepada peserta kelas menulisnya.

[5] Dalam estetika, yang agung adalah kualitas kebesaran, baik fisik, moral, intelektual, metafisik, estetika, spiritual, atau artistik.

[6] Ahasveros, seorang raja Persia yang hidup 400 tahun sebelum Masehi, dikutuk oleh jin tidak memiliki kampung halaman, hidupnya di jalanan.

[7] Haidegger, Martin. 2005, Being and Time konsep fenemenologi yang disuarakan olehnya, adapun  banyak para tokoh membahas tentang hermeneutik: pertama Dilthey pendapatnya secara historis untuk menemukan interpretasi atau menafsirkan, sedangkan Haidegger lebih menekankan pada konsep ontologis untuk pencarian lebih luas.

[8] Camus, Albert. 2019. The Sea Close By (Laut Begitu Dekat). Penerbit Pelangi Sastra Malang.

Jumat, 02 Juli 2021

MEMAHAMI KOTORAN PROSA

 



PROSA[1]

--Bahas Kotoran Prosa

bukan materi, tapi hanya narasi stimulus diskusi

Teruntuk Disbud Hmj-Pbsi Unisma[2]

Malang, Jumaat 02, juli 2021

 

Adalah bulan juni dan hujan. Tak akan selesai saat berdikusi mengenai musim, kecuali menggap inilah fenomena alam. Namun, tidak untuk kenangan yang belum ikhlas, akan hilang. Tidak akan selesai dalam ingatan. Sebagai penikmat sastra sekaligus berusaha mengukir, berusaha mempertajam asa, walaupun masih di atas kepala. Ia sambil menikmati rokok saat hujan berlangsung, bahkan lebat, Ia sambil duduk, ingat dengan memoar ‘Hujan di Bulan Juni’ yang ditulis oleh maestro Indonesia sastrawan—yang berpulang belum genap satu tahun.

Mula-mula saat duduk di warung kopi –pesan watshap masuk di laptop—dengan bahasa sederhana, menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Dia berkenalan dengan bahasa formal. Sebelum dibuka, Ia melihat, siapa yang mengirim pesan. Sambil diam dan melajutkan sebbatan yang sisa beberapa hisapan. Petang menyatu dengan dingin menukik tembus ke pori-pori sepi—memaksaku memasang jaket pemberian perempuan yang telah dimakan malam minggu sebelum—ku sendiri menikmatinya. Waktu itu sudah bersamanya.

Sebagai Ia biasa-biasa saja. Kadang saja ada yang menganggap luar biasa. Ia melanjutkan baca pesan dari seseorang itu. Padahal dari setiap pesan yang diharapkan bukan tawaran, melainkan jawaban. Jawaban dari seorang  yang ditunggu, di malam sebelum minggu Ia tidak sendirian. Sambil merunduk Ia membaca pesannya, kurang lebih begini isinya “Assalamualaikum, Mas Mohon maaf mengganggu waktunya. Saya Syahrizal Fanani Achmad dari HMJ PBSI UNISMA ingin meminta Mas untuk menjadi pemateri di acara diskusi budayadengan bahasa sederhana, Ia menolaknya, menawarkan hal yang lebih pantas dan layak—saat tahu kalau berbicara tentang prosa.

Sebagai seorang pendidik, ia  berharap ada hal yang dapat dipelajari dari tawaran seorang yang mempercayai. Memaksa dengan menolak akan melahirkan luka. Apakah keberanian akan menjadi kekonyolan? Pada suatu tindakan—Ia sepertinya percaya pada satu tokoh eksistensialis dari Prancis Jeans Paul Sartre bahwa manusia bebas itu kurang lebih dalam kajian yang penah Ia ikuti, ia dengar dan ingat “kebebasan manusia itu perlu mempertanggungjawabkan” kebebasan manusia perlu, tapi mempertanggungjawabkan. Hal itulah Ia jadikan pedoman tuk memberanikan diri menjadi berbicara, meski berharap akan tersesat nantinya, entah Ia atau semua.

***

Mula-mula Ia duduk di warung kopi. Sambil menyeruput kopi. Waktu  itu, Ia berpikir ulang, dan berpikir ulang. Sambil berpikir menyalahkan rokok Chief. Rokok yang diberi oleh perempuan berkerudung, yang beberapa hari lalu bertemu di jalan saat itu si perempuan mendorong motor meticnya—yang kehabisan bensin. Senja yang telah menjalarkan ke bumi begitu samar-samar dari ufuk barat, elok elegan berwarna kuning keemasan. Akan tetapi, tlah tak seindah yang telah dibungkus Sukab dan diberikan kepada Alena[3] seperti Ia itu kondisinya. Saat Alena menolak pemberian senja. Begitulah kondisi hatinya. Dan berpikir sambil bergumam dalam hatinya “apakah ada yang lebih tidak tahu apa-apa, dari seorang  yang sangat telat baca Pramoedya Ananta Toer yang triloginya, bahkan belum menyelesaikannya. Lantaran saat Ia harus pergi ke kamar mandi menyelesaikan cucian baju—yang sudah dua minggu di ember warna hitam. Sambil terseok-seok dengan bahasa hiperbola, Ia belajar maksimal sembari menyelesaikan urusan kamar mandi pribadi yang belum selesai. Ia terus berpikir sambil lalu mencari cara. Bagaimana bisa menyampaikan dengan baik “tentang prosa.” Membaca dengan baik secara teratur serta benar masih belum rapi dan fokus. Sesekali Ia membaca buku terbaik dunia, agar Ia bisa seperti penulis terbaik dunia itu, bahkan bisa mengalahkan. Kata temanya, Ia berkata dan  bermimpi seperti penulis yang telah terkenal itu. Apakah benar? Ia hanya tersenyum dan selalu berusaha—bagaimana bisa menyampaikan ketidak teraturan berpikirnya di depan umum. Setelah itu, Ia pergi ke tempat yang katanya buat bahagia. Toko buku diskonan. Ia pergi niat mencari buku Martin Surya Jaya judulnya “Kiat Sukses Hancur Lebur” mula-mula tertarik karena sempat nguping pembicaraan seorang professor di salah satu kampus negeri. Pembicaraan itu di Kafe Pustaka yang dekat dengan perpuskataan. Kalau buku itu buku sukses jadi penulis. Pergi bergegas untuk segera mencarinya. Berharap setelah dapat buku itu dapat mempelajari dan bisa memahami sehingga punya bahan pembicaraan, untuk bahan dikusi. Bukunya tidak ketemu, malah bertemu dengan perempuan yang disukai bergandengan tangan di toko buku, persis di rak buku sastra dan budaya. Bukunya dapat bahagia, seketika sirna ada bunga dibalut darah merah, seperti bunga. Ia seorang pembaca dan pernah membaca buku  karangan  Schopenhoer filosof dari Jerman—misoginis karena sakit hati pada perempuan, tapi Ia sadar bukan itu yang dipelajari, melaikan mengkontruksi itu. Menjadikan kebencian jadi semua orang dicintai, tapi tidak semua harus dimiliki. Setelah itu, Ia membuka bukunya, lalu membaca. Setelah membaca Ia menemukan kekecewaan dengan buku yang dibacanya—isinya dikira tips menulis pada umumnya, melainkan isinya seperti tips buku sukses ternak lele—sebagai pembaca, Ia tidak terlalu lama kecewa. Ia langsung membaca buku  karangan Rintik Sedu, walaupun bukunya tidak punya tapi dengarin Youtube, sambil berselencar di geogle mencari buku karangannya. Baca resensinya, berharap bukunya diresensi oleh Subagio, HB. Jassin, atau Nirwan Dewanto Shunli Alekxander. Ohh iya, bukan zamannya almarhum berdua, tapi walaupun Nirwan Dewanto masih tahu karya tersebut, kok juga tidak ada yang meresensi. Tidak kecewa tapi Ia hanya berpikir. Ia sudah menemukan sedikit pandangan mengenai apa yang akan disampaikan. memperdalam hal yang masih tidak tenggelam, masih dangkal tentang pemahaman, memperaktikkan saja masih memegang buku seorang sastrawan lama—dibaca belum selesai. Nama penulis Indonesia yang sangat diakui karyanya Aswendo Atmowiloto judulnya, “Mengarang itu Gampang” baru itu, sedikit percaya. Walaupun itu akan mampu menjadi rujukan dan bukan tolok ukur berhasilnya menyampaikan materi. Ternyata sebagai seorang penikmat dan ingin mengangkat segala keresahan kecingnya yang sederhana bisa jadi luar biasa, tak cukup hanya satu buku. Prosa itu bagi Ia, hanya cerita narasi. Di bangku Sekolah Dasar sudah diajarkan, Ia menyadari puisi lebih sulit dari prosa. Itu bukan kesimpulan dari pemahaman atau pengalaman menulis. Itu hanya sedikit keberanian—lahir dari ketakutannya saat membaca—menulis tanpa berpikir seperti seorang menanam jagung, kacang, singkong, tela, dan tananam di bawah tanah lainnya. Bukan seperti itu, juga bukan sejenis lainnya, untuk menikmati. Ia hanya terus berusaha berlatih, mengingat menulis merupakan jenis salah dua dari keterampilan, yaitu; menulis dan membaca. Masuk keterampilan produktif. Latihan dan latihan adalah cara menikmati. Seorang atlit selalu berlatih, nikmatnya bukan prestasi saja, melainkan juga sehatnya.

***

Ia selalu mencari materi yang pas—untuk kegiatan temannya. Tidak pernah berpikir kalau bisa dikuasai apa tidak, tapi bisa menyampaikan dan mengamalkannya. Seketika saat malam menyetuji kesendirian adalah prestasi kala menulis puisi baginya. Sambil mencari penulis Indonesia yang Ia tahu kalau pernah menulis buku kreatif menulis. Ia sudah bosan berpikir keras, hasilnya tak hasil, tak mengahilkan uang maksudnya. Makanya Ia bermalas-malasaan di kursi depan kost, bahkan untuk menghilangkan penat pergi ke kopian. Katanya sih, mencari inspirasi. Tapi ternyata tidak ada inspirasi, adanya hanya hal-hal dibenci terjadi, teman biasanya main judi pinjam uang. Bukan meminjamkannya yang dibenci, tapi mencari inspirasi—dapatnya hal dibenci uangnya habis. Lagi-lagi mencari tips mendatangkan inspirasi di Youtube. Ia mencari di Youtube, ternyata muncul di berandanya, ada Dee Lestari beri tips menangkap ide, berkata “inspirasi jangan ditunggu, melainkan ditangkap di sekeliling kita dan dikelola, itulah proses kreatif gue”, dengan bahasa anak urban, ke barat-barataan jawa—jakarte. Sambil mengangguk-ngangguk seperti Albert Camus menemukan ide mengenai karya Mesthe Sisifusnya. Tidak berpikir lagi, apa yang dapat Ia sampaikan saat diminta menjelaskan prosa. Selain, Ia harus mencerita kegagalan dalam proses menulis. Ia tambah yakin, sambil berpikir. Ia lebih baik bicara pengalaman kecil gagal dicoba. Banyak comooah, hinaan, dan pembantaiaan karyanya; Ia bahagia. Hanya itu mungkin Ia bisa menyampaikan sesuatu berharga kepada orang yang percaya kepadanya—walaupun dirinya masih belum apa-apa—masih saja sibuk mencari menyelesaikan urusakan ekonominya, dengan menjual beberapa yang berharga. Hingga pada akhirnya hanya beberapa yang tahu dan ingin Ia mengenalnya, lantaran hanya derita saat bersamanya. Katanya. Ia selalu bahagia, karena belum tahu apa-apa, temannya sudah bisa hanya Ia yang masih saja, begitu saja. Menikmati senja yang yang tak pernah bermakna bagi orang lain. Bahkan Ia pernah dikutuk oleh ibunya, untung tidak dikutuk jadi batu, tapi dikutuk aja, katanya “jadi manusia saja.” Ia sambil tertawa sesaat dikutuk itu. Lalu Ia memandang ke arah utara gunung dekat rumahnya, bagaimana bisa nanti Ia bisa mengubah gunung tak berfungsi bagi kehidupan secara materil. Ia malah membuat cerita dengan menamakan nama Gunung itu dalam karangannya “La Barka”. Dengan bahagia mengubah segala dalam ceritanya. Setelah selesai, Ia ingat kembali. Bahwa sebenatar lagi apa yang bisa dipaparkan kepada orang-orang yang percaya dirinya bisa. Bisa menulis prosa dan menjelaskannya. Baru itulah Ia bergetar dadanya—dirinya berlatih bicara tidak gugup saja dulu, materinya tidak tahu. Sambil lalu, setiap pagi memainkan kentrung dan gitar di kopian, bermain sesuka hati, terpenting bernada, tanpa berpikir baik buruknya nada dan suaranya saat bernyanyi. Untungya Ia punya guru di luar kelas di kampusnya. Tempat di mana, Ia belajar bersama empat orang. Guru bertanta “katanya kamu akan ngisi prosa di kegiatan organisasi, kamu tahu yang akan kamu sampaikan, itu?” dengan nada sura mengejek dan mimik mukanya menjengkelkan. Ia menjawab “hehe Ia Pak, bingung sudah kadung iya-in, bingung ada refrensi yang bisa saya baca, Pak?”  guru yang baik, selalu memberikan jalan. “Baca bukunya Kang Sulak, yang itu yang pernah ku kirim pdf-nya, sudah selesaikan!” langsung menjawab. “Iya sudah, tapi lupa karena sudah lama bacanya hehe, aku lemot belajar menulis.”  Lalu Ia langsung bergegas dan mencari di filenya, ternyata masih ada. Di bawah inilah, yang akan disampaikan nanti, oleh Ia yang berharap ada pengalaman dari hal yang pernah diambil—baik maupun buruk tetap—dilakukan dan tetap dilakukan. Berikut ini Ia melampirkan kiat-kiat menulis fiksi dari Si Sulak[4].

 


 

Anda Hanya Perlu Action. Itu Saja![5]

Hasrat semata tanpa tindakan akan membiakkan penyakit.

William Blake (1757–1827),

penyair Inggris

Jadi anda ingin menulis? Menulislah, apa pun bakat anda, apa pun kesukaan anda.

Mulailah sekarang juga.

Seorang remaja sering tiba-tiba menjadi penyair yang produktif ketika sedag jatuh cinta. Ia memompa kekuatan imajinasi, mengerahkan seluruh kepiawaian berbahasa, membuat pengandaian dan metafora, dan melahirkan setumpuk puisi. Seorang mahasiswa yang jatuh cinta juga tiba-tiba bisa menjadi penulis makalah yang produktif dan selalu siap menuliskan makalah atau tugas-tugas kuliah untuk orang yang sedang dia incar. Keduanya mungkin akan menjadi pemabok ketika cinta mereka ditolak. Jika anda ingin menulis karena mencintai dunia penciptaan, menulislah dalam suasana hati apa pun: ketika sedang jatuh cinta, ketika sedang patah hati, ketika sedang puyeng, ketika sedang bahagia, ketika sedang gelisah, atau bahkan ketika sedang tidak punya ide.O, tunggu dulu! Bisakah menulis tanpa ide? Bisa saja, yang tidak bisa ada menulis tanpa kemauan. Nanti kita akan sampai juga pada bagian tentang menulis ketika tak punya ide. Tentu saja setiap tulisan, seremeh apa pun, pasti mengandung ide. Dan, anda tahu, ide tidak datang sendiri. Setiap penulis, sehebat apa pun ia, tidak pernah hanya ongkangongkang kaki di teras rumahnya, menunggu didatangi ide yang luar biasa. Ia tetap harus memancing datangnya gagasan itu, menangkap, dan mengembangkannya. Menulis apa saja ketika sedang tidak punya ide sebenarnya adalah salah satu cara untuk memancing datangnya ide. Prinsip menulis tak pernah berbeda dari hal-hal lain dalam hidup kita. Ia harus tetap berjalan dalam kondisi apa pun. Seorang tukang kayu harus tetap menjadi tukang kayu yang baik kendatipun pikirannya sedang kalut. Ia tetap harus menyelesaikan pekerjaannya. Seorang bankir tetap bekerja sebagai bankir sekalipun sedang dihajar berbagai persoalan di rumahnya. Seorang polisi lalu lintas harus tetap berdiri di perempatan jalan mengatur lalu lalang kendaraan, entah hatinya sedang sedih, entah sedang bahagia, atau ketika sedang tidak punya ide. Begitu juga dengan pemain bulutangkis, pelayan restoran, atau tukang pos. Kenapa harus berhenti menulis hanya karena sedang puyeng atau sedang tertekan oleh suatu masalah? Kenapa harus berhenti menulis karena tidak punya ide? Apa jadinya jika tukang pos suatu saat menolak mengantarkan surat atau polisi lalu lintas tidak mau berdiri di perempatan jalan karena "tidak punya ide"?

Karena itu, yang diperlukan sesungguhnya hanya action. Jangan biarkan pena anda menganggur, mesin ketik anda karatan, layar komputer anda kosong melompong, dan kertas anda menguning tanpa isi.

Oke, satu... dua... tiga... menulislah sekarang juga. Dan jika anda setuju terhadap seruan ini, saya ingin menambahkan lagi: menulislah yang buruk.

 

Menulis Buruk

Orang yang tidak pernah melakukan kesalahan biasanya tidak menghasilkan apaapa.

Edward John Phelps (1822–1900),

diplomat dan ahli hukum Amerika.

Saya tidak sedang berolok-olok ketika menyarankan kepada anda agar menulis buruk. Terus terang, saya sendiri selalu menulis buruk untuk menghasilkan draft pertama tulisan saya. Artinya, draft pertama saya pasti melompat-lompat, alurnya kacau, kalimatkalimatnya mungkin tidak indah sama sekali, dan sebagainya. Tapi, menurut saya, sesuatu yang kacau pun tetap lebih baik ketimbang tidak ada sama sekali. Saya berpikir bahwa lebih baik menghasilkan draft tulisan yang buruk ketimbang hanya merenungi kertas kosong selama berjam-jam. Biasanya saya membuatdraft pertama dengan tulisan tangan, baru kemudian saya salin di komputer. Ini memudahkan bagi saya karena saya bisa bekerja di mana saja asal ada kertas dan pena.

Dengan draft yang buruk, anda memiliki kesempatan berikutnya untuk membuatnya menjadi lebih baik. Akan tetapi jika kertas anda tetap kosong, anda hanya memiliki kesempatan berikutnya untuk bengong lagi. Saya tahu bahwa anda, seperti banyak orang lain yang berminat menulis, pasti ingin menghasilkan tulisan yang baik. Oke, itu keinginan yang baik. Paling tidak, anda ingin menulis sebagus karya-karya para penulis yang anda sukai. Itu jika anda memiliki penulis idola, sebab ada juga satu dua yang ingin melahirkan karya yang orisinil, sehingga mereka tidak mau membaca. Orang-orang jenis terakhir ini takut bahwa membaca akan mempengaruhi karya mereka dan itu artinya tidak lagi orisinil menurut mereka. Ini pandangan yang aneh sekali dan menyalahi prinsip pergaulan secara umum. Tentang kaitan antara membaca dan prinsip pergaulan ini, anda bisa membacanya di bagian lain buku ini yang membicarakan tentang membaca. Sekarang kita kembali dulu ke topik pembicaraan tentang menulis secara buruk. Saya tentu saja ingin sekali melihat anda menghasilkan karya terbaik anda. Dan anda pun ingin menulis sebaik-baiknya. Karena itu saya menganjurkan kepada anda agar tidak takut menulis buruk. Saran ini memang berubah seratus delapan puluh derajat dari saran saya sebelumnya.


 

 

[6]GEMAN SANGKOLAN MBAH KASIYA

 

Mereka mendapat pesan tersirat, mengenai Geman1 Mbah Kasiya. Bunyi pesanya; “Jangan pernah meletakkan geman tersebut  ke tumbuhan”. Sekarang Geman Sangkolan2 dari Mbah Kasiya dipegang bernama Nilam. Ia, sering kali ingat dengan pesannya. Datangnya bingung itu karena hanya tahu dari cerita orang-orang. Dan hingga sekarang masih penuh dengan tanda tanya. Ia sambil memandangi geman yang digantungkan seperti hiasan dan pazzel-pazzel indah. Hal itu dilakukan disetiap bulan suro, tanggal satu. Geman itu diambil lalu dimandikan dengan bunga tujuh warna serta minyan. Sudah dua puluh lima tahun belum merasa ada tanda-tanda kesaktian nyata.

 


Semua berharap ketika perang usai bisa membawa pulang bunga. Namun, jikalau bisa tidak perlu perang tuk mendapat bunga. Ketika ada pilihan semua tidak pernah berharap ada musibah. Walaupun setiap musibah itu akan memberikan dampak baik atau buruk, tentu akan dirasa oleh manusia. Sekecil apapun peristiwa yang namanya musibah. Namun, tetap ada dua cara pandang; satu ujian, dua penderitaan dampak dari diri sendiri. Mengapa itu bisa terjadi pertanyaan itu jawabannya dihati. Karena samahlanya dari mana datangnya pikiran apakah dari langit atau bumi.

Nilam sadar apa yang harus dilakukan selama beberapa tahun. Ketika sadar pada awalnya berpikir tentang makna dan manfaat. Dan berpikir dari mana bisa mendapatkan manfaat dari apa yang dijaga, bisa dirasa dikehidupan nyata. Pada saat itu jenuh memuncak. Tak ada hal nyata dirasa selama menjaga sangkolan. Menjaga sesuatu hanya menemukan kebosanan ketika  berharap banyak yang berbentuk materil.

**

Nilam, kala itu mengambil jeruk ke rumah Mosleh. Ia salah satu pemilik jeruk keris. Setiap tahun selama dua puluh lima tahun pertahun, dilakukan secara rutin. Ketika akan tiba malam satu suro. Aroma kemenyan bertebaran di rumahnya tetangga tidak akan kaget.  Walau terkadang hingga mengebul asap kental dan tajam. Asap kental itu sehingga menutupi atap rumahnya ketika dilihat dari jarak seratus meter.

Ketika jeruk sudah siap. Ritual memandikan geman, seperti ritual setiap tahun bersifat  wajib. Kalau tidak dilaksanakan akan mengingkari apa yang telah diamanahkan.  Tentu, mengecewakan pemilik geman. Geman yang dibuat dengan proses bertirakat. Perlu, bahkan, harus, dirawat kala pembuat sudah tiada. Karena di dalam besi bukan hanya besi biasa tapi ada hoddam3, memandikan membuat tambah ampuh khasiatnya karena ada sesuatu didalamnya yang perlu diperhatikan.

 

***

Nilam pada suatu ketika dalam mimpi didatangi  oleh orang berambut  putih. Sosok tersebut Mbah Kesiyaa. Pembuat geman itu. Dalam mimpi tersebut berpesan lagi, untuk tetap dijaga gemannya. “jaga dengan baik geman itu”, hanya kata seperti itu yang datang.

Kala itu, dalam dirinya Nilan sebenarnya sudah mengalami keraguan, mulai tidak yakin, akan adanya benda mati yang memberi fungsi. Apalagi pada kehidupan yang masih begini-begini. Kehidupannya dari dulu dari awal di sangkoli geman.  Tidak ada perubahan. Masih saja cukup rejeki Tuhan untuk bertahan hidup dan mengembangkan hidup. Dan walau harus perlu menjemput dengan keras, bekerja keras untuk mendapatkan.

**

Setelah usai memandikan geman. Diletakan kembali disertai dengan bau kemenyan bertebaran baunya. Keraguan pada geman itu datang lagi. Dalam hatinya terbesit hasrat ingin mencobanya.  Bergegaslah ke belakang rumahnya, yang dekat dengan bukit, pepohonan rindang bergoyang kencang ketika siang dan angin membuka dirinya dengan menggoyangkan. Dalam hatinya ingin mencobanya ke tumbuhan yang ada, karena ingat dengan pesannya, jangan diletakkan pada pohon, dan sebab akibat dari dampak jika meletakkan ke pohon itu tidak tahu. Bergegaslah akan disandarkannya, tapi rencana gagal, Nilam bertemu dengan mbah Kair, gagal percobaan tersebut. Lalu mencari cara lain dengan membawa pulang geman tanpa slotong3

“Jangan kamu coba-coba dengan geman peninggalan itu Lam”,  Ujar Mbah Kair kepadanya.

“Enggeh Mbah…”, tersipu malu, karena ia mertua dari saudara almarhum. Nilam seperti ingin segera beranjak.  

Seperti bangun kesiangan di rumah mertua. Bertemulah dengan Mosleh setelah bertemu dengan Mbah Kair. Dengan Geman yang digenggam. Dengan tanda tanya besar yang ada didalam dirinya, mengenai keampuhan geman tersebut. Pada saat bersamaan, tepat bertemu, dan bertanya.

Teh4 Geman ini tidak buktinya,” ungkap, kepadanya begitu serius ke Ghutteh Mosleh mengenai kekecewaanya.

            “ Apa yang dibingungkan Lam?” dengan santai meresponnya.

“Geman ini,,!!, Mbah Kasiya, kemarin datang dalam mimpi berpesan jaga sangkolan ini, aku tak dapat apa-apa jaga ini teh.

“Geman ini, geman keselamatan Lam” dengan sigkat menjawabnya, lalu bergegas tidak menghiaraukan Nilam.

“Keselamatan dunia akhirat?” Ohh iya, apa benar Teh Mosleh, punya gengsean semantan5,  yang katanya sepasang dari geman ini?”

“Bukan, tapi gengsean itu, mempertajam dari geman buatan dari Desa Kajjan, menajamkan buatan para pendahulu yang ada di wilayah Blega, khususnya daerah Desa  Kajjen, yang konon pusat peradapan pembuatan geman seperti; keris, calok, clorek, dan todik.”

 

Pembicaram Nilam dengan Musleh mengarah pada sejarah geman yang kebetulan sejarahnya datang dari daerahnya dan mengaitkan dengan gensean  semantan6, bahwa sebagai penyeimbang dibuat untuk mempertajam geman hasil pembuat para pendahulu itu. Karena harus sepasang, jika tidak, dikwatirkan yang pegang geman tersebut tidak kuat dengan keganasaanya. Nilam tambah dihantui penasaran besar terpatri setiap selesai ritual tanggal satu Suro.  Dengan kebenaran cerita yang pada awalnya hanya bingung dengan manfaat dan fungsi geman peninggalan Mbah Toyyib bapak Nilam. Dan, sepertinya kini keling-lungan bertambah lagi, kini bertambah bahwa dari mana datangnya geman itu. Dan bagaimana bisa tercipta, dilihat saja seperti mengerikan. “Kelebihan orang-orang pendahulu berkarya bukan sekedar berkarya, namun bisa membawa kemuliaan”.

***

Nilam pergi tempat tahlil. Ia sudah tidak biasa membawa geman, sebagai sekeb8 yang  biasa dibawa. Pertama kali ini membawa geman. Peninggalan yang tidak pernah dibawa. Apalagi sebagai sekeb. Di tempat itu sudah biasa membawa benda tajam, karena sudah menjadi tradisi, tidak ada kesangsiaan terpenting tetap beradap. Bahkan dalam tradisi kuno, konon ada anggapan kalau keluar rumah tidak membawa benda tajam, maka dianggap sombong.  Tradisi yang meleburkan diri dengan datangnya modernisasi akan menjadi pertarungan antara tradisi kuno dengan modernisasi. Dulu hanya geman kini sudah ada yang pistol. Keduanya sebagai pelindung “katanya”.

 

***

Kekerasan fisik yang jelas-jelas akan terjadi akan membuka ruang manusia, bahwa tidak ada manusia didalamnya kecuali ketidak sadaran akan dirinya. Kurang berperikemanusian sebagai anggapnnya akan terjadi. Awal mula yang tidak bisa disengaja lalu siapa yang akan disalahkan. Pohon pisang menguning daunnya, lalu mongering mati. Setelah dapat tiga hari setelah  acara tahlil desa sebelah dihebohkan dengan matinya pohon kumpulan pisang yang bergerempek lima batang pohon pisang. Dan ada anggapan gara-gara rombongan dari kampung sebelah. Sensitiv karena tepat di pohon pisang tersebut Nilam dan yang lain meletakkan geman di tempat tersebut, dan menyangka kalau matinya pohon disebabkan mereka.

Biasanya para pembawa geman, tentunya tidak akan dibawa masuk ke dalam teras tuan rumah berduka, geman tetap disimpan di luar pagar rumah.  geman diletakkan di pohon sudah biasa. Karena tuan berduka akan memberikan tempat penyimpanan geman bagi para warga yang datang, tempatnya pun dibeda-bedakan.

Dan bisa memilih. Tempat yang disediakan; khusus para Kiyai, depan menghadap ke Selatan, khusus para rakyat biasa menghadap ke dapan menghadap pada Kiyai. Bagi anak kecil ya bebas kalau beruntung akan strategis kebagian tempat, biasanya strategis itu bisa berkumpul bersama dengan yang tua, hingga mendapatkan porsi makanan yang sama, dengan yang tua. Namun namanya juga amarah yang didahulukan hingga kebaikan tidak terlihat olehnya.

***

Fatoni pemuda yang lahir di era 1995-2010 an. Yang tidak mempercayai dengan hal mistik berangkapan bahwa pohon yang kering dan mati itu, disebabkan  racun, dan pelakunya warga sebelah. Fatoni bahasanya, memperkeruh keadaan duka yang belum terhapus. Pemuda  dari sebelah berambut merah, lulusan SMA dari Kota. Suara kerasnya terdengar oleh kampung Konyik. Yang menyangka kalau kejadian itu disebabkan oleh salah satu orang yang datang tahlil. Prasangka buruk semua tidak akan menerima apalagi anggapan tidak baik.

Niat baik terkadang tidak pernah berbiak baik, kadang ada saja berteriak tidak baik. Ujar Nilam.

***

            Mosleh yang berbicara dengan Nilam, menanyakan pada saat tahlilan ke-5 hari lalu membawa Geman Mbah Kesiya. Nilam mengaku bahwa membawanya, kecurigaan Mosleh, sebab matinya pohon pisang tersebut karena geman-nya. Warga Kampung Lajing seperti termakan asumsi  Fatoni yang menceritakan peristiwa 20 tahun lalu, kalau ada orang dari daerahnya pernah meninggal oleh orang Kampung Konyik. Apa yang telah terjadi pada saat itu kita harus tahu, pada saat itu kita ini menelan kekalahan.

Lebih baik pote matah derih padeh pote tolang8 ” ucap Fatoni.

Bahasa yang memiliki salah presepsi, ketika konteks tidak dipahami, makna tersebut memberi doktrin dari masa-kemasa yang salah, walau tidak diperhatikan salah penerepannya.

Emosi yang memuncak, akan terjadi carok akan dimulai, karena ketidak terimaan seorang yang dianggap telah merendahkan kampong Lajing, mendatangi salah satu cara klarifikasi. Anggapan Kampung Konyik yang  berpura-pura baik tapi malah menaburkan racun ke tumbuhan mereka. Tiga orang datang ke Nuralim tokoh masyarakat di Kampung Konyik meminta penjelasan atau bentuk klarifikasi apa yang terjadi. Dianggap punya itikad tidak baik, kepada Kampung Lajing.

Pembicaraan di rumah Nuralim dan tiga orang dari Lajing. Datang menanyakan padanya, dan membicarakan tentang permasalahan Nilam yang datang ke rumahnya Maluha itu,. Kebaikan menaburkan duka. Kecurigaan yang terjadi di masa lalu. Semua mata tidak bisa dilihat di masa lalu tentang keburukan, yang seperti halnya ikan di laut, kita jangan wadahi semua, dalam logika apakah kita bisa. Ikan di lau akan diwadahi kan tidak akan muat. Begitupun air yang bening jangan harap akan selalu bening pasti ada kotornya. Ketika pertama melihat cucu dari bernama Nilam yang tidak pernah menginjak kakinya ke rumah Maluha. Mulai tragedi 20 tahun lalu.  Itu memang cucu Kholil. Tapi Nilam tidak keluaran, karena beda dengan bapaknya dia hanya menjadi tukang rumah tangga memilih jadi perantau. 

Angin yang berdesir kea rah rumahnya. Suara pembicaraan itu didengar oleh Nilam.  Kaget merasa tidak terima kalau Nuralim didatangi. Yonggein9 bergegas segera membawa geman sangkolannya bersama Musleh. Karena keadaan dianggap sudah darurat. Tamu yang datang dengan membawa geman ke rumah orang, terdengar dengan pembicaraan yang ramai itu, memiliki prasangka buruk. Kaget itu sudah biasa dalam tradisi kampung Konyik didatangi tamu pembawa geman kekawatiran itu hanya takut kalau nanti dia apa-apakan. Nuralim sebagai sepupunya dan tokoh masyrakat. Bergegaslah sepulang dari cari rumput.

Ketiga tamu dari kampung sebelah kaget dengan datangnya Nilam. Dengan genggaman tangan kiri geman Mbak Kesiya, bawaan yang dibawanya itu sudah akan siap tanpa slotong, dengan rasa takut berbisik Fatoni, Fatoni yang paham dengan asal usul Geman tersebut tahu kalau itu garapan Mbah Kesiya yang sangat melegenda. Siapa yang tidak tahu para bejingan-blater10  bahwa  geman itu dari di Desa Kajjen. Desa yang memiliki bujuk 11 41, hanya desa yang memiliki bujuk lebih dari 41 dijaga oleh para bejing lawas se beleter dijaga, sebab pusat penggarapan geman yang ampuh tiada tanding.

 

***

Nilam berbahasa dengan intonasi tinggi. Karena dianggap kebaikannya dianggap buruk. Diaggap  kematian sesuatu yang ada di dunia disebabkan ulah manusia. Tidak paham akan Pencipta dengan kehendak-Nya, bahwa semua makhluk hidup pasti mati. Sindiran Nilam di hadapan mereka seperti menonjok kepala Fatoni yang ketakutan. Ucapannya kasar didengar di telinga Nilam, mengenai anggapan buruk padanya. Keberuntungan masih berpihak pada ketenangan Mosleh pemegang gengsean semanten. Bersama dengan Nuralim pamanya. Parto dengan nada rendah, dan ketakutan disebabkan melihat bawaan Nilam calok geman Mbah Kesiya dengan lorekan pamor12 lengkap di lapisan besinya.

 Mereka seperti kadok disiram oleh air. Fatoni dengan ego langsung menciut, suaranya biasanya nyaring dengan geman sangkolan  meninggikan dirinya seperti anggapan air kobokan sebagai air laut samudera, langit memiliki tiang pohon pisang. Ia hanya bawa Geman gerapan Mbah Mursina. Mereka saling berbisik pada paman yang satunya kalau gemannya tidak akan mampu melawan geman yang dipegang Nilam buatan Mbah Kesiya, konflik 20 tahun yang membuat meninggal Kakek karena adanya Geman itu. Melihat Nilam bicara suaranya yang seperti ada kekuatan dari pamor bungkem13.

 

“Tidak ada dendam dariku yang dibawa. Bertahun-tahun saya bertani bekerja bangunan ke sana ke sini tidak ada masalah baru kali ini ada masalah!”. Ucap Nilam

“Diduduk dulu Lam.!” Nuralim menyuruh untuk duduk, Nilam mendengarkan ucapan pamannya itu.

“Tidak, Man, ini bab adab manusia beranggapan, sebelum menuduh harus menanyakan, dulu. Kerena saya datang ke tahlilalan kemarin itu dianggap kalau, kematian pohon pisang itu diracun orang sini, tidak terima kalau tidak ada bukti”. Dengan nada tinggi emosi.

“Iya, paham, mari duduk musyawarahkan dulu.” Menenangkan dengan bahasa yang lembut Nuralim.

“Iya tidak terima aja Man, kelakuan baik dibalas seperti ini.”

“Yawes, mau tanya apakah kamu pada saat tahlilan kemarin itu membawa geman yang dibawa itu?” tanya Nuralim kepadanya.

“Iya, Nilam itu membawanya Lim.” Saut Musleh yang mengetahui itu semua dari awal.

“Terjawab sekarang, jadi sebab matinya pohon pisang, tidak lain dan tidak bukan, bukan karena diracun, tapi saya yakin penyebabnya karena geman Mbah Kesiya yang dibawa oleh Nilam, karena dalam sejarahnya geman tersebut tidak boleh disentuhkan ke benda-benda yang hidup seperti pohon, kalau tidak kuat akan mongering dan mati pohon tersebut”. Ucap Nuralim kepada orang yang menemuinya di rumah tersebut.

Permasalahan itu mulai terpecahkan, dan ketiga pihak telah sadar, karena sangkolan itu tidak boleh disandarkan ke pohon kalau disandarkan pohon itu akan kering dan mati. Dan sangkolan itu pula memberikan keselamatan bagi para pemegang.

Perdamaian terjadi pada tahun 2019, Februari, 25. Suasana dendam yang telah mati sudah tidak ada lagi, sangkolan geman memang tidak pernah memberikan keburukan kepada pemegangnya, akan selalu memberikan sebuah keberkahan serta kebaikan. Berkah pelantera geman itu, dengan dampak geman pula bisa tercipta sesuatu yang tidak diharapkan. Kejadian dulu geman itu tidak ikut menyentuh geman lawan sama sekali, hanya dibawa saja, yang memakan korban 20 tahun bukan geman Mbah Kesiya yang dipegang Nilam sekarang, tapi clorek. Geman seperti halnya jimat tidak lain dan tidak bukan, diharapkan hanya keselamatan, kramat yang mengandung rahmat dari Sang Pencipta.

 

 


 

Catatan

1. geman: pusaka

2. sangkolan; peinggalan yang telah meninggal

3. slotong; tutupnya pusaka

4. ghutteh/ teh; paman

5. gensean; alat mempetajam benda tumpul

6. gengsean semanten; penajam pernikahan yang memiliki arti perdamaian

7. sekeb; bawaan yang disembunyikan

8.  lebih baik pote matah dareh pada pote tolang; lebih baik putih mata daripada putih tulang. 

9. yonggein; disamperin ke rumah bentuk tidak terima.

10. bajingan-blater; orang berpengalaman tokoh yang disegani karena menjadi orang yang ditakuti juga.

11. bujuk: makam yang kramat

12. pamor: lorekan dalam pusaka yang dipercayai memiliki makna dalam hidup manusia.

13 pamor bungkem: lorekan di geman memiliki kekuatan yang buat orang tunduk dengan suaranya.

 

 

 

 

 

 

 



[1] Prosa berasal dari bahasa latin yaitu “terus terang”

 

[2] Tulisan yang belum selesai dalam benar atau tidak secara subtansi, tapi tulisan ini sabagai upaya dari yang tidak tahu apa-apa bisa sedikit menemukan pencerahan tentang apa yang akan dibicarakan. Jika ada yang kurang tepat dan kurang jelas mari kita pelajari bersama, bukan memposisikan orang yang lebih tahu, melainkan yang masih ingin mengetahuinya.

 

[3] Tokoh dari cerpen  Sepotong Senja untuk Pacarku, 2002, Gramedia.

[4] As. Laksana Creativer Writing Menulis Fiksi dan Prosa

[5] Ambil bagian dari buku As. Laksana Creative Wrieiting

[6] Cerpen ini sudah terbit 2021 dalam kumpulan Cerpen Tragedi Cinta Bai Lima