PROSA
--Bahas Kotoran Prosa
bukan materi, tapi hanya narasi
stimulus diskusi
Teruntuk Disbud Hmj-Pbsi Unisma
Malang, Jumaat
02, juli 2021
Adalah bulan juni
dan hujan. Tak akan selesai saat berdikusi mengenai musim, kecuali menggap
inilah fenomena alam. Namun, tidak untuk kenangan yang belum ikhlas, akan
hilang. Tidak akan selesai dalam ingatan. Sebagai penikmat sastra sekaligus
berusaha mengukir, berusaha mempertajam asa, walaupun masih di atas kepala. Ia
sambil menikmati rokok saat hujan berlangsung, bahkan lebat, Ia sambil duduk,
ingat dengan memoar ‘Hujan di Bulan Juni’ yang ditulis oleh maestro Indonesia
sastrawan—yang berpulang belum genap satu tahun.
Mula-mula saat
duduk di warung kopi –pesan watshap masuk di laptop—dengan bahasa sederhana, menggunakan
bahasa Indonesia yang baik. Dia berkenalan dengan bahasa formal. Sebelum
dibuka, Ia melihat, siapa yang mengirim pesan. Sambil diam dan melajutkan sebbatan
yang sisa beberapa hisapan. Petang menyatu dengan dingin menukik tembus ke
pori-pori sepi—memaksaku memasang jaket pemberian perempuan yang telah dimakan
malam minggu sebelum—ku sendiri menikmatinya. Waktu itu sudah bersamanya.
Sebagai Ia
biasa-biasa saja. Kadang saja ada yang menganggap luar biasa. Ia melanjutkan
baca pesan dari seseorang itu. Padahal dari setiap pesan yang diharapkan bukan
tawaran, melainkan jawaban. Jawaban dari seorang yang ditunggu, di malam sebelum minggu Ia
tidak sendirian. Sambil merunduk Ia membaca pesannya, kurang lebih begini
isinya “Assalamualaikum, Mas Mohon maaf mengganggu waktunya. Saya Syahrizal
Fanani Achmad dari HMJ PBSI UNISMA ingin meminta Mas untuk menjadi pemateri di
acara diskusi budaya” dengan
bahasa sederhana, Ia menolaknya, menawarkan hal yang lebih pantas dan layak—saat
tahu kalau berbicara tentang prosa.
Sebagai
seorang pendidik, ia berharap ada hal
yang dapat dipelajari dari tawaran seorang yang mempercayai. Memaksa dengan
menolak akan melahirkan luka. Apakah keberanian akan menjadi kekonyolan? Pada
suatu tindakan—Ia sepertinya percaya pada satu tokoh eksistensialis dari
Prancis Jeans Paul Sartre bahwa manusia bebas itu kurang lebih dalam kajian
yang penah Ia ikuti, ia dengar dan ingat “kebebasan manusia itu perlu
mempertanggungjawabkan” kebebasan manusia perlu, tapi mempertanggungjawabkan.
Hal itulah Ia jadikan pedoman tuk memberanikan diri menjadi berbicara, meski
berharap akan tersesat nantinya, entah Ia atau semua.
***
Mula-mula
Ia duduk di warung kopi. Sambil menyeruput kopi. Waktu itu, Ia berpikir ulang, dan berpikir ulang.
Sambil berpikir menyalahkan rokok Chief. Rokok yang diberi oleh
perempuan berkerudung, yang beberapa hari lalu bertemu di jalan saat itu si
perempuan mendorong motor meticnya—yang kehabisan bensin. Senja yang telah
menjalarkan ke bumi begitu samar-samar dari ufuk barat, elok elegan berwarna
kuning keemasan. Akan tetapi, tlah tak seindah yang telah dibungkus Sukab dan
diberikan kepada Alena
seperti Ia itu kondisinya. Saat Alena menolak pemberian senja. Begitulah
kondisi hatinya. Dan berpikir sambil bergumam dalam hatinya “apakah ada yang
lebih tidak tahu apa-apa, dari seorang yang
sangat telat baca Pramoedya Ananta Toer yang triloginya, bahkan belum
menyelesaikannya. Lantaran saat Ia harus pergi ke kamar mandi menyelesaikan
cucian baju—yang sudah dua minggu di ember warna hitam. Sambil terseok-seok
dengan bahasa hiperbola, Ia belajar maksimal sembari menyelesaikan urusan kamar
mandi pribadi yang belum selesai. Ia terus berpikir sambil lalu mencari cara.
Bagaimana bisa menyampaikan dengan baik “tentang prosa.” Membaca dengan baik
secara teratur serta benar masih belum rapi dan fokus. Sesekali Ia membaca buku
terbaik dunia, agar Ia bisa seperti penulis terbaik dunia itu, bahkan bisa
mengalahkan. Kata temanya, Ia berkata dan
bermimpi seperti penulis yang telah terkenal itu. Apakah benar? Ia hanya
tersenyum dan selalu berusaha—bagaimana bisa menyampaikan ketidak teraturan
berpikirnya di depan umum. Setelah itu, Ia pergi ke tempat yang katanya buat
bahagia. Toko buku diskonan. Ia pergi niat mencari buku Martin Surya Jaya
judulnya “Kiat Sukses Hancur Lebur” mula-mula tertarik karena sempat nguping
pembicaraan seorang professor di salah satu kampus negeri. Pembicaraan itu di
Kafe Pustaka yang dekat dengan perpuskataan. Kalau buku itu buku sukses jadi
penulis. Pergi bergegas untuk segera mencarinya. Berharap setelah dapat buku
itu dapat mempelajari dan bisa memahami sehingga punya bahan pembicaraan, untuk
bahan dikusi. Bukunya tidak ketemu, malah bertemu dengan perempuan yang disukai
bergandengan tangan di toko buku, persis di rak buku sastra dan budaya. Bukunya
dapat bahagia, seketika sirna ada bunga dibalut darah merah, seperti bunga. Ia
seorang pembaca dan pernah membaca buku
karangan Schopenhoer filosof dari
Jerman—misoginis karena sakit hati pada perempuan, tapi Ia sadar bukan itu yang
dipelajari, melaikan mengkontruksi itu. Menjadikan kebencian jadi semua orang
dicintai, tapi tidak semua harus dimiliki. Setelah itu, Ia membuka bukunya,
lalu membaca. Setelah membaca Ia menemukan kekecewaan dengan buku yang
dibacanya—isinya dikira tips menulis pada umumnya, melainkan isinya seperti
tips buku sukses ternak lele—sebagai pembaca, Ia tidak terlalu lama kecewa. Ia
langsung membaca buku karangan Rintik
Sedu, walaupun bukunya tidak punya tapi dengarin Youtube, sambil berselencar di
geogle mencari buku karangannya. Baca resensinya, berharap bukunya diresensi
oleh Subagio, HB. Jassin, atau Nirwan Dewanto Shunli Alekxander. Ohh iya, bukan
zamannya almarhum berdua, tapi walaupun Nirwan Dewanto masih tahu karya
tersebut, kok juga tidak ada yang meresensi. Tidak kecewa tapi Ia hanya
berpikir. Ia sudah menemukan sedikit pandangan mengenai apa yang akan
disampaikan. memperdalam hal yang masih tidak tenggelam, masih dangkal tentang pemahaman,
memperaktikkan saja masih memegang buku seorang sastrawan lama—dibaca belum
selesai. Nama penulis Indonesia yang sangat diakui karyanya Aswendo Atmowiloto
judulnya, “Mengarang itu Gampang” baru itu, sedikit percaya. Walaupun itu akan
mampu menjadi rujukan dan bukan tolok ukur berhasilnya menyampaikan materi.
Ternyata sebagai seorang penikmat dan ingin mengangkat segala keresahan
kecingnya yang sederhana bisa jadi luar biasa, tak cukup hanya satu buku. Prosa
itu bagi Ia, hanya cerita narasi. Di bangku Sekolah Dasar sudah diajarkan, Ia
menyadari puisi lebih sulit dari prosa. Itu bukan kesimpulan dari pemahaman
atau pengalaman menulis. Itu hanya sedikit keberanian—lahir dari ketakutannya
saat membaca—menulis tanpa berpikir seperti seorang menanam jagung, kacang,
singkong, tela, dan tananam di bawah tanah lainnya. Bukan seperti itu, juga bukan
sejenis lainnya, untuk menikmati. Ia hanya terus berusaha berlatih, mengingat
menulis merupakan jenis salah dua dari keterampilan, yaitu; menulis dan
membaca. Masuk keterampilan produktif. Latihan dan latihan adalah cara
menikmati. Seorang atlit selalu berlatih, nikmatnya bukan prestasi saja,
melainkan juga sehatnya.
***
Ia
selalu mencari materi yang pas—untuk kegiatan temannya. Tidak pernah berpikir
kalau bisa dikuasai apa tidak, tapi bisa menyampaikan dan mengamalkannya.
Seketika saat malam menyetuji kesendirian adalah prestasi kala menulis puisi
baginya. Sambil mencari penulis Indonesia yang Ia tahu kalau pernah menulis
buku kreatif menulis. Ia sudah bosan berpikir keras, hasilnya tak hasil, tak
mengahilkan uang maksudnya. Makanya Ia bermalas-malasaan di kursi depan kost,
bahkan untuk menghilangkan penat pergi ke kopian. Katanya sih, mencari
inspirasi. Tapi ternyata tidak ada inspirasi, adanya hanya hal-hal dibenci
terjadi, teman biasanya main judi pinjam uang. Bukan meminjamkannya yang
dibenci, tapi mencari inspirasi—dapatnya hal dibenci uangnya habis. Lagi-lagi
mencari tips mendatangkan inspirasi di Youtube. Ia mencari di Youtube, ternyata
muncul di berandanya, ada Dee Lestari beri tips menangkap ide, berkata
“inspirasi jangan ditunggu, melainkan ditangkap di sekeliling kita dan
dikelola, itulah proses kreatif gue”, dengan bahasa anak urban, ke
barat-barataan jawa—jakarte. Sambil mengangguk-ngangguk seperti Albert
Camus menemukan ide mengenai karya Mesthe Sisifusnya. Tidak berpikir lagi, apa
yang dapat Ia sampaikan saat diminta menjelaskan prosa. Selain, Ia harus
mencerita kegagalan dalam proses menulis. Ia tambah yakin, sambil berpikir. Ia
lebih baik bicara pengalaman kecil gagal dicoba. Banyak comooah, hinaan, dan
pembantaiaan karyanya; Ia bahagia. Hanya itu mungkin Ia bisa menyampaikan
sesuatu berharga kepada orang yang percaya kepadanya—walaupun dirinya masih
belum apa-apa—masih saja sibuk mencari menyelesaikan urusakan ekonominya,
dengan menjual beberapa yang berharga. Hingga pada akhirnya hanya beberapa yang
tahu dan ingin Ia mengenalnya, lantaran hanya derita saat bersamanya. Katanya. Ia
selalu bahagia, karena belum tahu apa-apa, temannya sudah bisa hanya Ia yang
masih saja, begitu saja. Menikmati senja yang yang tak pernah bermakna bagi
orang lain. Bahkan Ia pernah dikutuk oleh ibunya, untung tidak dikutuk jadi
batu, tapi dikutuk aja, katanya “jadi manusia saja.” Ia sambil tertawa sesaat
dikutuk itu. Lalu Ia memandang ke arah utara gunung dekat rumahnya, bagaimana
bisa nanti Ia bisa mengubah gunung tak berfungsi bagi kehidupan secara materil.
Ia malah membuat cerita dengan menamakan nama Gunung itu dalam karangannya “La
Barka”. Dengan bahagia mengubah segala dalam ceritanya. Setelah selesai, Ia ingat
kembali. Bahwa sebenatar lagi apa yang bisa dipaparkan kepada orang-orang yang
percaya dirinya bisa. Bisa menulis prosa dan menjelaskannya. Baru itulah Ia
bergetar dadanya—dirinya berlatih bicara tidak gugup saja dulu, materinya tidak
tahu. Sambil lalu, setiap pagi memainkan kentrung dan gitar di kopian, bermain
sesuka hati, terpenting bernada, tanpa berpikir baik buruknya nada dan suaranya
saat bernyanyi. Untungya Ia punya guru di luar kelas di kampusnya. Tempat di
mana, Ia belajar bersama empat orang. Guru bertanta “katanya kamu akan ngisi
prosa di kegiatan organisasi, kamu tahu yang akan kamu sampaikan, itu?” dengan
nada sura mengejek dan mimik mukanya menjengkelkan. Ia menjawab “hehe Ia Pak,
bingung sudah kadung iya-in, bingung ada refrensi yang bisa saya baca,
Pak?” guru yang baik, selalu memberikan
jalan. “Baca bukunya Kang Sulak, yang itu yang pernah ku kirim pdf-nya, sudah
selesaikan!” langsung menjawab. “Iya sudah, tapi lupa karena sudah lama bacanya
hehe, aku lemot belajar menulis.” Lalu
Ia langsung bergegas dan mencari di filenya, ternyata masih ada. Di bawah
inilah, yang akan disampaikan nanti, oleh Ia yang berharap ada pengalaman dari
hal yang pernah diambil—baik maupun buruk tetap—dilakukan dan tetap dilakukan.
Berikut ini Ia melampirkan kiat-kiat menulis fiksi dari Si Sulak.
Anda Hanya
Perlu Action. Itu Saja!
Hasrat semata tanpa tindakan akan membiakkan penyakit.
William Blake (1757–1827),
penyair Inggris
Jadi anda
ingin menulis? Menulislah, apa pun bakat anda, apa pun kesukaan anda.
Mulailah
sekarang juga.
Seorang remaja
sering tiba-tiba menjadi penyair yang produktif ketika sedag jatuh cinta. Ia
memompa kekuatan imajinasi, mengerahkan seluruh kepiawaian berbahasa, membuat
pengandaian dan metafora, dan melahirkan setumpuk puisi. Seorang mahasiswa yang
jatuh cinta juga tiba-tiba bisa menjadi penulis makalah yang produktif dan
selalu siap menuliskan makalah atau tugas-tugas kuliah untuk orang yang sedang
dia incar. Keduanya mungkin akan menjadi pemabok ketika cinta mereka ditolak. Jika
anda ingin menulis karena mencintai dunia penciptaan, menulislah dalam suasana
hati apa pun: ketika sedang jatuh cinta, ketika sedang patah hati, ketika
sedang puyeng, ketika sedang bahagia, ketika sedang gelisah, atau bahkan ketika
sedang tidak punya ide.O, tunggu dulu! Bisakah menulis tanpa ide? Bisa saja,
yang tidak bisa ada menulis tanpa kemauan. Nanti kita akan sampai juga pada
bagian tentang menulis ketika tak punya ide. Tentu saja setiap tulisan, seremeh
apa pun, pasti mengandung ide. Dan, anda tahu, ide tidak datang sendiri. Setiap
penulis, sehebat apa pun ia, tidak pernah hanya ongkangongkang kaki di teras
rumahnya, menunggu didatangi ide yang luar biasa. Ia tetap harus memancing
datangnya gagasan itu, menangkap, dan mengembangkannya. Menulis apa saja ketika
sedang tidak punya ide sebenarnya adalah salah satu cara untuk memancing datangnya
ide. Prinsip menulis tak pernah berbeda dari hal-hal lain dalam hidup kita. Ia
harus tetap berjalan dalam kondisi apa pun. Seorang tukang kayu harus tetap
menjadi tukang kayu yang baik kendatipun pikirannya sedang kalut. Ia tetap
harus menyelesaikan pekerjaannya. Seorang bankir tetap bekerja sebagai bankir
sekalipun sedang dihajar berbagai persoalan di rumahnya. Seorang polisi lalu
lintas harus tetap berdiri di perempatan jalan mengatur lalu lalang kendaraan,
entah hatinya sedang sedih, entah sedang bahagia, atau ketika sedang tidak
punya ide. Begitu juga dengan pemain bulutangkis, pelayan restoran, atau tukang
pos. Kenapa harus berhenti menulis hanya karena sedang puyeng atau sedang
tertekan oleh suatu masalah? Kenapa harus berhenti menulis karena tidak punya
ide? Apa jadinya jika tukang pos suatu saat menolak mengantarkan surat atau
polisi lalu lintas tidak mau berdiri di perempatan jalan karena "tidak
punya ide"?
Karena itu,
yang diperlukan sesungguhnya hanya action. Jangan biarkan pena anda menganggur,
mesin ketik anda karatan, layar komputer anda kosong melompong, dan kertas anda
menguning tanpa isi.
Oke, satu...
dua... tiga... menulislah sekarang juga. Dan jika anda setuju terhadap seruan
ini, saya ingin menambahkan lagi: menulislah yang buruk.
Menulis Buruk
Orang yang tidak pernah melakukan kesalahan biasanya tidak
menghasilkan apaapa.
Edward John Phelps (1822–1900),
diplomat dan ahli hukum Amerika.
Saya tidak
sedang berolok-olok ketika menyarankan kepada anda agar menulis buruk. Terus
terang, saya sendiri selalu menulis buruk untuk menghasilkan draft pertama tulisan
saya. Artinya, draft pertama saya pasti melompat-lompat, alurnya kacau,
kalimatkalimatnya mungkin tidak indah sama sekali, dan sebagainya. Tapi,
menurut saya, sesuatu yang kacau pun tetap lebih baik ketimbang tidak ada sama
sekali. Saya berpikir bahwa lebih baik menghasilkan draft tulisan yang buruk ketimbang
hanya merenungi kertas kosong selama berjam-jam. Biasanya saya membuatdraft
pertama dengan tulisan tangan, baru kemudian saya salin di komputer. Ini memudahkan
bagi saya karena saya bisa bekerja di mana saja asal ada kertas dan pena.
Dengan draft
yang buruk, anda memiliki kesempatan berikutnya untuk membuatnya menjadi lebih
baik. Akan tetapi jika kertas anda tetap kosong, anda hanya memiliki kesempatan
berikutnya untuk bengong lagi. Saya tahu bahwa anda, seperti banyak orang lain
yang berminat menulis, pasti ingin menghasilkan tulisan yang baik. Oke, itu
keinginan yang baik. Paling tidak, anda ingin menulis sebagus karya-karya para
penulis yang anda sukai. Itu jika anda memiliki penulis idola, sebab ada juga
satu dua yang ingin melahirkan karya yang orisinil, sehingga mereka tidak mau
membaca. Orang-orang jenis terakhir ini takut bahwa membaca akan mempengaruhi
karya mereka dan itu artinya tidak lagi orisinil menurut mereka. Ini pandangan
yang aneh sekali dan menyalahi prinsip pergaulan secara umum. Tentang kaitan
antara membaca dan prinsip pergaulan ini, anda bisa membacanya di bagian lain buku
ini yang membicarakan tentang membaca. Sekarang kita kembali dulu ke topik
pembicaraan tentang menulis secara buruk. Saya tentu saja ingin sekali melihat
anda menghasilkan karya terbaik anda. Dan anda pun ingin menulis
sebaik-baiknya. Karena itu saya menganjurkan kepada anda agar tidak takut
menulis buruk. Saran ini memang berubah seratus delapan puluh derajat dari
saran saya sebelumnya.
GEMAN SANGKOLAN
MBAH KASIYA
Mereka
mendapat pesan tersirat, mengenai Geman1
Mbah Kasiya. Bunyi pesanya; “Jangan
pernah meletakkan geman tersebut ke tumbuhan”.
Sekarang Geman Sangkolan2
dari Mbah Kasiya dipegang bernama Nilam. Ia, sering kali ingat dengan
pesannya. Datangnya bingung itu karena hanya tahu dari cerita orang-orang. Dan
hingga sekarang masih penuh dengan tanda tanya. Ia sambil memandangi geman yang
digantungkan seperti hiasan dan pazzel-pazzel indah. Hal itu dilakukan disetiap
bulan suro, tanggal satu. Geman itu diambil lalu dimandikan dengan bunga tujuh
warna serta minyan. Sudah dua puluh lima tahun belum merasa ada tanda-tanda
kesaktian nyata.
Semua
berharap ketika perang usai bisa membawa pulang bunga. Namun, jikalau bisa
tidak perlu perang tuk mendapat bunga. Ketika ada pilihan semua tidak pernah berharap
ada musibah. Walaupun setiap musibah itu akan memberikan dampak baik atau buruk,
tentu akan dirasa oleh manusia. Sekecil apapun peristiwa yang namanya musibah.
Namun, tetap ada dua cara pandang; satu ujian, dua penderitaan dampak dari diri
sendiri. Mengapa itu bisa terjadi pertanyaan itu jawabannya dihati. Karena
samahlanya dari mana datangnya pikiran apakah dari langit atau bumi.
Nilam
sadar apa yang harus dilakukan selama beberapa tahun. Ketika sadar pada awalnya
berpikir tentang makna dan manfaat. Dan berpikir dari mana bisa mendapatkan
manfaat dari apa yang dijaga, bisa dirasa dikehidupan nyata. Pada saat itu
jenuh memuncak. Tak ada hal nyata dirasa selama menjaga sangkolan. Menjaga sesuatu hanya menemukan kebosanan ketika berharap banyak yang berbentuk materil.
**
Nilam,
kala itu mengambil jeruk ke rumah Mosleh. Ia salah satu pemilik jeruk keris.
Setiap tahun selama dua puluh lima tahun pertahun, dilakukan secara rutin.
Ketika akan tiba malam satu suro. Aroma kemenyan bertebaran di rumahnya
tetangga tidak akan kaget. Walau
terkadang hingga mengebul asap kental dan tajam. Asap kental itu sehingga
menutupi atap rumahnya ketika dilihat dari jarak seratus meter.
Ketika
jeruk sudah siap. Ritual memandikan geman,
seperti ritual setiap tahun bersifat
wajib. Kalau tidak dilaksanakan akan mengingkari apa yang telah diamanahkan.
Tentu, mengecewakan pemilik geman. Geman yang dibuat dengan proses bertirakat.
Perlu, bahkan, harus, dirawat kala pembuat sudah tiada. Karena di dalam besi
bukan hanya besi biasa tapi ada hoddam3,
memandikan membuat tambah ampuh khasiatnya karena ada sesuatu didalamnya yang
perlu diperhatikan.
***
Nilam pada suatu ketika
dalam mimpi didatangi oleh orang
berambut putih. Sosok tersebut Mbah
Kesiyaa. Pembuat geman itu. Dalam mimpi tersebut berpesan lagi, untuk tetap
dijaga gemannya. “jaga dengan baik geman
itu”, hanya kata seperti itu yang datang.
Kala
itu, dalam dirinya Nilan sebenarnya sudah mengalami keraguan, mulai tidak
yakin, akan adanya benda mati yang memberi fungsi. Apalagi pada kehidupan yang
masih begini-begini. Kehidupannya dari dulu dari awal di sangkoli geman. Tidak ada
perubahan. Masih saja cukup rejeki Tuhan untuk bertahan hidup dan mengembangkan
hidup. Dan walau harus perlu menjemput dengan keras, bekerja keras untuk
mendapatkan.
**
Setelah
usai memandikan geman. Diletakan kembali disertai dengan bau kemenyan
bertebaran baunya. Keraguan pada geman itu
datang lagi. Dalam hatinya terbesit hasrat ingin mencobanya. Bergegaslah ke belakang rumahnya, yang dekat
dengan bukit, pepohonan rindang bergoyang kencang ketika siang dan angin
membuka dirinya dengan menggoyangkan. Dalam hatinya ingin mencobanya ke
tumbuhan yang ada, karena ingat dengan pesannya, jangan diletakkan pada pohon,
dan sebab akibat dari dampak jika meletakkan ke pohon itu tidak tahu.
Bergegaslah akan disandarkannya, tapi rencana gagal, Nilam bertemu dengan mbah
Kair, gagal percobaan tersebut. Lalu mencari cara lain dengan membawa pulang
geman tanpa slotong3
“Jangan
kamu coba-coba dengan geman peninggalan
itu Lam”, Ujar Mbah Kair kepadanya.
“Enggeh
Mbah…”, tersipu malu, karena ia mertua dari saudara almarhum. Nilam seperti
ingin segera beranjak.
Seperti bangun
kesiangan di rumah mertua. Bertemulah dengan Mosleh setelah bertemu dengan Mbah
Kair. Dengan Geman yang digenggam. Dengan tanda tanya besar yang ada didalam
dirinya, mengenai keampuhan geman tersebut.
Pada saat bersamaan, tepat bertemu, dan bertanya.
“Teh4 Geman ini tidak
buktinya,” ungkap, kepadanya begitu serius ke Ghutteh Mosleh mengenai kekecewaanya.
“ Apa yang dibingungkan Lam?” dengan santai meresponnya.
“Geman
ini,,!!, Mbah Kasiya, kemarin datang dalam mimpi berpesan jaga sangkolan ini, aku tak dapat apa-apa
jaga ini teh.
“Geman
ini, geman keselamatan Lam” dengan sigkat menjawabnya, lalu bergegas tidak
menghiaraukan Nilam.
“Keselamatan
dunia akhirat?” Ohh iya, apa benar Teh Mosleh, punya gengsean semantan5, yang
katanya sepasang dari geman ini?”
“Bukan,
tapi gengsean itu, mempertajam dari geman buatan dari Desa Kajjan,
menajamkan buatan para pendahulu yang ada di wilayah Blega, khususnya daerah
Desa Kajjen, yang konon pusat peradapan
pembuatan geman seperti; keris,
calok, clorek, dan todik.”
Pembicaram
Nilam dengan Musleh mengarah pada sejarah geman
yang kebetulan sejarahnya datang dari daerahnya dan mengaitkan dengan gensean semantan6,
bahwa sebagai penyeimbang dibuat untuk mempertajam geman hasil pembuat para
pendahulu itu. Karena harus sepasang, jika tidak, dikwatirkan yang pegang geman tersebut tidak kuat dengan
keganasaanya. Nilam tambah dihantui penasaran besar terpatri setiap selesai
ritual tanggal satu Suro. Dengan
kebenaran cerita yang pada awalnya hanya bingung dengan manfaat dan fungsi geman peninggalan Mbah Toyyib bapak Nilam.
Dan, sepertinya kini keling-lungan bertambah lagi, kini bertambah bahwa dari
mana datangnya geman itu. Dan
bagaimana bisa tercipta, dilihat saja seperti mengerikan. “Kelebihan
orang-orang pendahulu berkarya bukan sekedar berkarya, namun bisa membawa
kemuliaan”.
***
Nilam
pergi tempat tahlil. Ia sudah tidak biasa membawa geman, sebagai sekeb8
yang biasa dibawa. Pertama kali
ini membawa geman. Peninggalan yang tidak
pernah dibawa. Apalagi sebagai sekeb.
Di tempat itu sudah biasa membawa benda tajam, karena sudah menjadi tradisi,
tidak ada kesangsiaan terpenting tetap beradap. Bahkan dalam tradisi kuno,
konon ada anggapan kalau keluar rumah tidak membawa benda tajam, maka dianggap
sombong. Tradisi yang meleburkan diri
dengan datangnya modernisasi akan menjadi pertarungan antara tradisi kuno
dengan modernisasi. Dulu hanya geman kini
sudah ada yang pistol. Keduanya sebagai pelindung “katanya”.
***
Kekerasan
fisik yang jelas-jelas akan terjadi akan membuka ruang manusia, bahwa tidak ada
manusia didalamnya kecuali ketidak sadaran akan dirinya. Kurang
berperikemanusian sebagai anggapnnya akan terjadi. Awal mula yang tidak bisa
disengaja lalu siapa yang akan disalahkan. Pohon pisang menguning daunnya, lalu
mongering mati. Setelah dapat tiga hari setelah
acara tahlil desa sebelah dihebohkan dengan matinya pohon kumpulan pisang
yang bergerempek lima batang pohon pisang. Dan ada anggapan gara-gara rombongan
dari kampung sebelah. Sensitiv karena tepat di pohon pisang tersebut Nilam dan
yang lain meletakkan geman di tempat
tersebut, dan menyangka kalau matinya pohon disebabkan mereka.
Biasanya
para pembawa geman, tentunya tidak
akan dibawa masuk ke dalam teras tuan rumah berduka, geman tetap disimpan di
luar pagar rumah. geman diletakkan di pohon sudah biasa. Karena tuan berduka akan
memberikan tempat penyimpanan geman
bagi para warga yang datang, tempatnya pun dibeda-bedakan.
Dan
bisa memilih. Tempat yang disediakan; khusus para Kiyai, depan menghadap ke
Selatan, khusus para rakyat biasa menghadap ke dapan menghadap pada Kiyai. Bagi
anak kecil ya bebas kalau beruntung akan strategis kebagian tempat, biasanya
strategis itu bisa berkumpul bersama dengan yang tua, hingga mendapatkan porsi
makanan yang sama, dengan yang tua. Namun namanya juga amarah yang didahulukan
hingga kebaikan tidak terlihat olehnya.
***
Fatoni
pemuda yang lahir di era 1995-2010 an. Yang tidak mempercayai dengan hal mistik
berangkapan bahwa pohon yang kering dan mati itu, disebabkan racun, dan pelakunya warga sebelah. Fatoni
bahasanya, memperkeruh keadaan duka yang belum terhapus. Pemuda dari sebelah berambut merah, lulusan SMA dari
Kota. Suara kerasnya terdengar oleh kampung Konyik. Yang menyangka kalau
kejadian itu disebabkan oleh salah satu orang yang datang tahlil. Prasangka
buruk semua tidak akan menerima apalagi anggapan tidak baik.
Niat baik terkadang tidak
pernah berbiak baik, kadang ada saja berteriak tidak baik. Ujar Nilam.
***
Mosleh
yang berbicara dengan Nilam, menanyakan pada saat tahlilan ke-5 hari lalu
membawa Geman Mbah Kesiya. Nilam
mengaku bahwa membawanya, kecurigaan Mosleh, sebab matinya pohon pisang
tersebut karena geman-nya. Warga Kampung Lajing seperti termakan
asumsi Fatoni yang menceritakan
peristiwa 20 tahun lalu, kalau ada orang dari daerahnya pernah meninggal oleh
orang Kampung Konyik. Apa yang telah terjadi pada saat itu kita harus tahu,
pada saat itu kita ini menelan kekalahan.
“Lebih baik pote matah derih padeh pote tolang8 ” ucap
Fatoni.
Bahasa yang memiliki
salah presepsi, ketika konteks tidak dipahami, makna tersebut memberi doktrin
dari masa-kemasa yang salah, walau tidak diperhatikan salah penerepannya.
Emosi
yang memuncak, akan terjadi carok
akan dimulai, karena ketidak terimaan seorang yang dianggap telah merendahkan
kampong Lajing, mendatangi salah satu cara klarifikasi. Anggapan Kampung Konyik
yang berpura-pura baik tapi malah menaburkan
racun ke tumbuhan mereka. Tiga orang datang ke Nuralim tokoh masyarakat di
Kampung Konyik meminta penjelasan atau bentuk klarifikasi apa yang terjadi. Dianggap
punya itikad tidak baik, kepada Kampung Lajing.
Pembicaraan
di rumah Nuralim dan tiga orang dari Lajing. Datang menanyakan padanya, dan
membicarakan tentang permasalahan Nilam yang datang ke rumahnya Maluha itu,.
Kebaikan menaburkan duka. Kecurigaan yang terjadi di masa lalu. Semua mata
tidak bisa dilihat di masa lalu tentang keburukan, yang seperti halnya ikan di
laut, kita jangan wadahi semua, dalam logika apakah kita bisa. Ikan di lau akan
diwadahi kan tidak akan muat. Begitupun air yang bening jangan harap akan
selalu bening pasti ada kotornya. Ketika pertama melihat cucu dari bernama
Nilam yang tidak pernah menginjak kakinya ke rumah Maluha. Mulai tragedi 20
tahun lalu. Itu memang cucu Kholil. Tapi
Nilam tidak keluaran, karena beda dengan bapaknya dia hanya menjadi tukang
rumah tangga memilih jadi perantau.
Angin
yang berdesir kea rah rumahnya. Suara pembicaraan itu didengar oleh Nilam. Kaget merasa tidak terima kalau Nuralim
didatangi. Yonggein9 bergegas
segera membawa geman sangkolannya
bersama Musleh. Karena keadaan dianggap sudah darurat. Tamu yang datang dengan
membawa geman ke rumah orang, terdengar
dengan pembicaraan yang ramai itu, memiliki prasangka buruk. Kaget itu sudah
biasa dalam tradisi kampung Konyik didatangi tamu pembawa geman kekawatiran itu hanya takut kalau nanti dia apa-apakan.
Nuralim sebagai sepupunya dan tokoh masyrakat. Bergegaslah sepulang dari cari
rumput.
Ketiga
tamu dari kampung sebelah kaget dengan datangnya Nilam. Dengan genggaman tangan
kiri geman Mbak Kesiya, bawaan yang
dibawanya itu sudah akan siap tanpa slotong,
dengan rasa takut berbisik Fatoni, Fatoni yang paham dengan asal usul Geman tersebut tahu kalau itu garapan Mbah Kesiya yang sangat
melegenda. Siapa yang tidak tahu para bejingan-blater10 bahwa geman itu dari di Desa Kajjen. Desa yang
memiliki bujuk 11 41,
hanya desa yang memiliki bujuk lebih
dari 41 dijaga oleh para bejing lawas se
beleter dijaga, sebab pusat penggarapan geman
yang ampuh tiada tanding.
***
Nilam
berbahasa dengan intonasi tinggi. Karena dianggap kebaikannya dianggap buruk.
Diaggap kematian sesuatu yang ada di
dunia disebabkan ulah manusia. Tidak paham akan Pencipta dengan kehendak-Nya, bahwa
semua makhluk hidup pasti mati. Sindiran Nilam di hadapan mereka seperti
menonjok kepala Fatoni yang ketakutan. Ucapannya kasar didengar di telinga
Nilam, mengenai anggapan buruk padanya. Keberuntungan masih berpihak pada
ketenangan Mosleh pemegang gengsean
semanten. Bersama dengan Nuralim pamanya. Parto dengan nada rendah, dan
ketakutan disebabkan melihat bawaan Nilam calok
geman Mbah Kesiya dengan lorekan pamor12
lengkap di lapisan besinya.
Mereka seperti kadok disiram oleh air. Fatoni
dengan ego langsung menciut, suaranya biasanya nyaring dengan geman sangkolan meninggikan dirinya seperti anggapan air
kobokan sebagai air laut samudera, langit memiliki tiang pohon pisang. Ia hanya
bawa Geman gerapan Mbah Mursina.
Mereka saling berbisik pada paman yang satunya kalau gemannya tidak akan mampu
melawan geman yang dipegang Nilam buatan Mbah Kesiya, konflik 20 tahun yang
membuat meninggal Kakek karena adanya Geman itu. Melihat Nilam bicara suaranya
yang seperti ada kekuatan dari pamor
bungkem13.
“Tidak
ada dendam dariku yang dibawa. Bertahun-tahun saya bertani bekerja bangunan ke sana
ke sini tidak ada masalah baru kali ini ada masalah!”. Ucap Nilam
“Diduduk dulu Lam.!” Nuralim menyuruh untuk duduk,
Nilam mendengarkan ucapan pamannya itu.
“Tidak, Man, ini bab adab manusia beranggapan,
sebelum menuduh harus menanyakan, dulu. Kerena saya datang ke tahlilalan
kemarin itu dianggap kalau, kematian pohon pisang itu diracun orang sini, tidak
terima kalau tidak ada bukti”. Dengan nada tinggi emosi.
“Iya, paham, mari duduk musyawarahkan dulu.”
Menenangkan dengan bahasa yang lembut Nuralim.
“Iya tidak terima aja Man, kelakuan baik dibalas
seperti ini.”
“Yawes, mau tanya apakah kamu pada saat tahlilan
kemarin itu membawa geman yang dibawa
itu?” tanya Nuralim kepadanya.
“Iya, Nilam itu membawanya Lim.” Saut Musleh yang
mengetahui itu semua dari awal.
“Terjawab sekarang, jadi sebab matinya pohon pisang,
tidak lain dan tidak bukan, bukan karena diracun, tapi saya yakin penyebabnya
karena geman Mbah Kesiya yang dibawa
oleh Nilam, karena dalam sejarahnya geman
tersebut tidak boleh disentuhkan ke benda-benda yang hidup seperti pohon,
kalau tidak kuat akan mongering dan mati pohon tersebut”. Ucap Nuralim kepada
orang yang menemuinya di rumah tersebut.
Permasalahan itu mulai
terpecahkan, dan ketiga pihak telah sadar, karena sangkolan itu tidak boleh
disandarkan ke pohon kalau disandarkan pohon itu akan kering dan mati. Dan
sangkolan itu pula memberikan keselamatan bagi para pemegang.
Perdamaian
terjadi pada tahun 2019, Februari, 25. Suasana dendam yang telah mati sudah
tidak ada lagi, sangkolan geman
memang tidak pernah memberikan keburukan kepada pemegangnya, akan selalu
memberikan sebuah keberkahan serta kebaikan. Berkah pelantera geman itu, dengan dampak geman pula bisa tercipta sesuatu yang
tidak diharapkan. Kejadian dulu geman itu
tidak ikut menyentuh geman lawan sama sekali, hanya dibawa saja, yang memakan
korban 20 tahun bukan geman Mbah Kesiya yang
dipegang Nilam sekarang, tapi clorek.
Geman seperti halnya jimat tidak lain dan tidak bukan, diharapkan hanya keselamatan,
kramat yang mengandung rahmat dari Sang Pencipta.
Catatan
1.
geman: pusaka
2.
sangkolan; peinggalan yang telah meninggal
3.
slotong; tutupnya pusaka
4.
ghutteh/ teh; paman
5.
gensean; alat mempetajam benda tumpul
6.
gengsean semanten; penajam pernikahan yang memiliki arti perdamaian
7.
sekeb; bawaan yang disembunyikan
8. lebih baik pote matah dareh pada pote tolang;
lebih baik putih mata daripada putih tulang.
9.
yonggein; disamperin ke rumah bentuk tidak terima.
10.
bajingan-blater; orang berpengalaman tokoh yang disegani karena menjadi orang
yang ditakuti juga.
11.
bujuk: makam yang kramat
12.
pamor: lorekan dalam pusaka yang dipercayai memiliki makna dalam hidup manusia.
13
pamor bungkem: lorekan di geman memiliki kekuatan yang buat orang tunduk dengan
suaranya.