Kamis, 14 November 2019

Pesan Air Pada Gersang

Gambar: Deri S.

Pesan Air Pada Gersang

Pesan di acara sebelum acara dimulai. Perbincangan malam jumat magrib tadi sesat memgingat nenek moyang yang hilang dan isi rumah dikirimkan doa bagi yang biasa. Pak Tabrani dosen yang getol menghubungi untuk menanyakan acara.

Pertemuan formal ini membuatku tahu bahwa pembahasan ringan, dan karenga kering kerongkang pengetahuan dan pengalaman kepada keinginan menulis, dan ketika ini ditulis saya beri nama "Pesan Air pada Gersang" menarik artinya bahwa air akan senantiasa membuat tanah gersang menjadi dingin, begitupun beliau selaku orang yang lebih bisa dan paham tentang banyak hal memberikan petuah terarah.

"Apapun yang dihasilkan dari menulis manusia itu tidak menjadi pengecut. Karena sejeleknya orang menulis tak akan ada pengecut darinya."
Ucapan dari dosen Pak Tabrani ini mengisaratkan kalau bisa terus menulis. Apapun tulis karena tidak mungkin memiliki sebuah nilai kehidupan ketika ada kehilanganmu tiada. Hanya menulis paling sederhana Itu manusia memiliki nilai jejak hidupnya tidak hanya sia-sia.

Ketika acara akan dimulai, dari siang seorang dosen bernama Akhmad Tabrani, kebetulan nama awalnya mirip denganku. Beberapa hari lalu tidak hanya menjadi teman bicara namun sekaligus dosen pembimbingku. Dia seorang dosen yang sangat mudah dihubungi dan bahkan sering mebawarkan diri untuk shering-shering di luar mata kuliah pada biasanya ditempuh dalam kelas. Kali ini beliau menjadi pembicara diacara Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam singkatnya (HMJ-PBSI). Dengan topik "Sastra dan Politik Diera Reformasi"

Hari selesa biasa saya dengan Dani, Deri, Muhti, dan teman biasanya di lapak baca gratis datang. Beliau datang ke tempat lapak baca gratis yang kami gelar, biasa pada umumnya seorang dosen menghampiri Mahasiswa (i) semuanya bersalaman, lalu duduk bersamaan dengan kami. Menanyakan banyak hal mengenai apa yang telah diselengarakan ini baca gratis lalu namanya apa pertama dipertanyakan. "Gerilya Literasi" secara bersamaan. Lalu menghubungi salah satu mahasiswa untuk segera mengambil kertas UTS (Ujian Tengah Semester).
Pembicaraan berlanjut serta bapaknya meminta foto di tempat baca tersebut. Dengan sedikit berkata dengan pencitraan kalau memegang buku lalu meminta foto. Hal yang wajar seorang dosen ngobrol-ngobrol di tempat baca tapi tidak bicara tentang buku mungkin berasa akan ada anggappan tidak baik. Dan ia seorang publik figur dalam kalangan Kampus. Itu saja asumsinya.

Setelah panjang lebar bicara tentang banyak hal, membuka pertanyaan baru mengenai apa yang akan dibicarakan tentang tema teman-teman telah tentukan mengenai Sastra dan Politik Diera Reformasi. Disampaikan olehnya sebagai mukoddimah ia hanya berkata kalau besok yang akan disampaikan mengenai penyair harus bisa menulis puisi panfelt. Dan paling bisa menulis Rembulan dan Anggur itu yang akan disampaikan olehnya.
***
Dalam perkataan itu saya asumsikan bahwa dalam dunia penyairan. Kita harus bisa menyuarakan sebuah kesunyian yang hak yang berkaitan dengan manusia lainnya.

Dan beliaunya berkata kembali mengenai kesukaan di tempat ini "Kalian suka di sini Bapak tahu, kalian senang karena kalian  orang-orang yang kesepian (dalam kata sindiran kaum) dan jiwa-jiwa para penyair seperti kalian-kalian ini, suka kesepian" ucapnya. Semua gaduh membicarakan ha-hal romantisme dan saling pandang karena paham di antara kita hanya ada satu anak yang memiliki pasangan Deri.

Penyair memang harus kesepian karena akan melahirkan banyak karya nantinya. Kesepian yang disengaja atau tidak disengaja, kedua hal memiliki arti berbeda ada yang mencari ada pula yang menemukan. Dalam proses penyair menemukan akan senantiasa menelesik jurang-jurang transendensi pada manusia, jika ditemukan akan seperti hal menemukan uang akan bahagia jika dalam keadaan tidak pegang uang, betapa senangnya penyair dalam mencipta karya kurang lebih seperti itu, prosesnya.

Kesepian akan senantiasa memberikan kebebasan dalam berpikir dan bergerak. Bergerak merupakan sebuah representasi dari hasil berpikir manusia untuk bicara kemanusian. Penyair hanya membuat kata-kata sebagai persembahan ke dunia dan pada manusia. Tapi itulah tugas penyair hadir dalam jiwa-jiwa kosong dan memyuarakan yang sunyi sebagai bukti dalam diri ada yang diri pantas untuk dipahami dan dimengerti. Itulah penyair, membuka dunia melalui kata-katanya. Dan kata-kata itu yang bisa membuka.

Melanjutkan cerita bahwa proses puisinya Joko Pinurbo, D. Zawawi Imron,  Gus Mus, Rendra, dan Wiji Tukul. Mereka para penyair yang tidak hanya romansa namuan ada hal di luar logika tercipta tanpa menyudutkan siapa-siapa kecuali mereka merasa dengan makna dari puisi yang dibuat oleh para penyair tersebut.

Mereka juga menulis puisi milankosis namum juga menulis tentang puisi panflet. Yang kita tahu Ws. Rendra dengan puisi milankoslisnya mengenai berjudul "Kangen" dibacakan oleh beliau, dan berkata siapa yang menyangka akan ada puisi panflet begitu memukau ditulis Rendra. Dengan judul "Sajak Pertemuan Mahasiswa" merupakan puisi katigori puisi panfletnya, ada Wiji Tukul pula dengan label dirinya juga sebagai aktivis lingkungan, puisinya yang keras akan datang pada dirinya berapi berkeringat." Ujarnya.

Langit semakin mendung dan matahari dengan titahnya akan mengakhiri sebab gelap menunggu, sedangkan petang akan segera menyambutnya. Lapak baca hari Selasa 12/11/2019 segera akhiri sebab sudah tidak kondusif. Pak Tabrani sudah pulang sedangkan kita ber-4 akan segera bergeser untuk kerja ada pula istirahat karena dari 07:20 sampai 15:45 Wib.
Para Mahasiswa (i) mundar mandir bersegera mengosongkan Kampus. Terbukti malam sudah akan tiba, sedangkan sholat Ashar belum.



Akhmad Mustaqim 2019
Cerita bersama dengan Pak Tabrani Dosen PBSI, berkunjung di Gerilya Literasi.


Jumat, 08 November 2019

Gincu Merah



Merah itu mempesona pagi begitu segar angin menelusuri remang-remang di dalam pori-pori. Dalam ingatan ada warna merah dalam otak. Kebugaran ada dalam jiwa. Dingin itu membuka jiwa raga memaksa rupa itu berbahaya.
Pembuatan gincu yang masih belum bisa dipoles ke bibir. Ternyata bibir masih saja pecah-pecah dan suaranya masih saja bisa terdengar sempurna. Pertanyaan manusia itu perihal gincu masih tidak memiliki pengaruh pada ketajaman lidah hitamnya, sepertinya gincu merah hanya memberikan keindahan keanggunan.
Apa yang paling tajam dari mulut seorang perempuan. Manisnya ketika berbicara, atau ketika tersenyum setelah sholat dengan mengenakan mukennak putih. Padahal dalam otak dan hatinya tidak memiliki apapun kecuali rasa yang masih suci kecuali pertemuan itu di tengah malam. Perempuan itu terbangun melawan dingin berdiskusi melaui puisi yang terlahir pada saat itu pula. Dan menanyakan dari mana datangnya puisi, pada saat ilham mengampiri, lalu gincu itu sudah tidak berarti kecuali yang mengenai  bibir.
Jika aku seorang perempuan mungkin saja aku juga ingin punya gincu, gincu yang berwarna merah mungkkin yang begitu umum di Negara kita, kalau di luar negeri banyak aneka warna itu. Dan aku sempat pernah bercerita pada diriku sendiri pada saat angin tengah malam menelusuri jiwa yang kosong. Diskusi itu membuka bahwa tanpa gincu aku juga bisa berbicara.

***
Penggunaan bahasa sederhana paling dipahami
Aku pernah pergi keluar rumah tanpa gincu, perasaanku masih saja dalam keadaan paling tenang, namun diirku memkirkan perasaan orang lain tentang diriku lalu apa yang paling dikwatirkan. Bahasa. Bahasa yang begitu takut
Persoalan hati dengan dirinya sendiri. Tentang gincu yang sering dibawa tapi tidak pernah digunakan pada saat keluar rumah, bagaimana seorang perempuan tidak menggunakan bukan anti, apa Karena ia memiliki jiwa. Bahwa tidak ada dalam diri bukan sekedar gincu menjadi perempuan sesuatu. Sesuatu yang paling berarti.
Pada awal perjalananku di tahun 1987 an. Perempuan sepertiku tidak pernah menjadi impian lelaki karena aku benar-benar orang pribumi tanpa gincu, walau pun ada gincu pada saat itu menjadikan abu tanpa memiliki fungsi. Mengabdi pada nilai-nilai pribumi tidak yang memiliki produk gincu hingga waktu itu aku berdoa meminta kepada Tuhan kalau di negeri ini ingin ada pabrik gincu.
Beberapa tahun sudah, aku hidup tanpa gincu. Bicaraku masih saja lancar tidak ada masalah dengan diriku. Bagaimana orang-orang laki-laki sangat tulus mencintaiku, bukan hanya gincu yang dipuleskan ke bibirku yang sebenarnya agak tidak dibagus kalau dipandang, tapi namanya juga pemberian Tuhan harus disyukuri seandainya buatan manusia yakin akan banyak yang protes bagi kaum yang suka nyiyir bagi kaum elit politik tentunya bisa dikatakan lihai mengkritik.
Di tahun 2019 mulai dari kampanye pemilihan presiden banyak juga yang memakai gincu yang sangat merah menyeramkan. Ketika lisannya bersuara dan berkata serasa tidak ada yang paling salah semua serasa lurus, untuk saja suara tidak ada bentuknya tapi kenapa Tuhan menciptakan begitu tajam. Bahkan ada pribahasa jawa ‘suaramu adalah harimaumu’, mungkin itu termasuk kaum penganut dan pemilik gincu. Bagi yang pandai menyimpan gincunya dirasa ada juga yang akan nyinyirin, dikatakan orang yang apatislah tidak kritislah. Lagi-lagi gincu itu yang memoles bibir dan kadang dari lisan manusia mengeluarkan madu dan racun.
Tahun 2019 keos gara-gara gincu yang tidak pandai menyimpannya. Semua serasa merasa lebih cantik lebih lembut bahkan lebih ekstrim lagi merasa paling tidak ada yang salah warna, semua warna yang di bibir dianggap warna paling benar-benar merah. Padahal gincu itu harus disimpan dengan baik seperti pencak silat. Mengeluarkan jurus ketika memang darurat.
***
Aku seandainya menjadi gincu, bermimpi bukan hanya dipakai oleh Sahrini, Chelsea Islan, dan Ayunda. Mereka tidak pakai gincu pun sudah laku suaranya. Aku ingin gincu ini ketika membuat mempesona dipakai oleh orang-orang yang terpencil tidak memiliki hak untuk bersuara tajam. Namun apalah daya mereka kadang juga tidak bisa membersihkan bibirnya dulu kalau memakainya. Seharusnya dibersihkan dengan ilmu pengetahuan dengan membasahi bibirnya dengan buku, buku yang sesuai dengan bidangnya terpenting bisa membuka cakrawala bukan hanya bisa bicara. Kwatirku seperti itu, aku sebagai gincu tidak ingin dimanfaatkan untuk nipu. Aku teringat dengan bapak republik kita yang sudah tiada namun walau sudah tiada suaranya lebih keras dari dalam kuburannya karena bukunya. Walau tidak pernah menggunakan gincu di tahun 1926 ia menjadi tokoh berpengaruh di Indonesia. Tapi memang tidak menggunakan gincu karena dia lelaki yang kaku kalau pake gincu tidak tahan menahan tawaku ketika aku ada di bibirnya hehe.
Di tahun-tahun berikutnya ada Soe Hok Gie. Seperti ia juga kerap memanfaatkanku ,untuk merendahkan teman-teman seperjuangan untuk mengirimkan gincu dengan seperangkat alat kecantikan perempuan, mungkin semuanya akan paham maksudnya. Tapi ia juga pernah menggunakan gincu sebagai alat penyambung lidah rakyat ketika semua orang tidak menemukan arah jalannya revolusi di negeri ini. Soe julukannya seorang domonstran kritis, tajam, jujur dan berlandasan. Ia memoleskan setiap warna gincu ke bibir-bibir mahasiswa yang pada itu memiliki kegelisahan bersama akan ketidak selarasan pemerintahan pada masa itu sebutlah pada orde lama. Soe dan teman-temannya memoleskan warna merah gincu yang menyeramkan itu kepada mereka hingga namanya dikenang dan tahunnya menjadi sejarah yang sulit dilupakan. Berterima kasihlah ke Gincu.
Di tahun selanjutnya ada pula yang menggunakan jasa gincu. Aku sebagai gincu yang hanya digunakan untuk dimanfaatkan tidak pernah bermasalah. Karena semua memiliki pertanggungjawaban. Pada tahun 1995 perjuangannya menggunakan gincu dengan puisi-puisi yang dibacanya seperti menjadi ancaman dan samapai puncak tahun 1998 yang Hilang. Namanya Wiji Tukul. Sebagai gincu hanya mendoakan semoga tenang di alam sana. Aku berterima kasih telah memperlakukanku sebagaimana membela kebenaran tidak hanya dipoleskan ke bibir yang mencipta suara menyeramkan bagi tetangga sebelah dan membuat risihi.
***
Soekarno dan Hitler dalam sejarah ia menjadi seorang retorik terbaik di dunia dalam kajian bahasa Indonesia. Aku juga pernah berjumpa dengannya, di tahun-tahun sebelumnya kenal dengan seorang tokoh Saerekat Islam (SI), Umar Said Cokroaminoto yang tidak diragukan lagi menggunakan gincu dan tidak seperti ada terompet malaikat isrofil menggelegar menguncang dunia kala bepidato.
Mereka para ahli pembicara yang tidak hanya bicara. Apalagi dengan penggunaan gincu. Walau tidak akan semuanya benar, tapi lebih banyak benarnya. Gincu sebagai penyempurna kebaikan dan bisa sebaliknya. Aku berkata pada temanku yang bedak sangat sering digunakan oleh kaum hawa apalagi sekarang diera modern ini nyaris tidak ada yang tidak menggunakan.
“Aku hanya digunakan ketika perempuan itu pergi kekondangan”
“Aku tidak hanya itu, ketika ke pasarpun aku digunakan, walau kadang gak kuat dengan bau pasar tapi bahasa pasar walau kasar masih memiliki dasar, apalagi pada saat tawar menawar”.
“Enak juga jadi bedak, kenapa tidak banyak di pasar tidak menggunakan gincu?”
“Gincu itu mahal, biasanya hanya digunakan orang-orang yang ingin mengelabui, membuat pesona, di pasar kalau pakai gincu akan menjadi pembicaraan yang melebar menjadi sepasar hehe”
“Pantesan, banyak yang menggunakanku orang-orang elit politik yang suka berbicara”.
“Harus bersyukur masih bisa digunakan daripa tidak.!”
“iya sih, apa mereka bingung jika tanpa aku?”
“Antara bingung dan tidak, bingungnya tidak bisa membuat mempesona dengan warna dibirinya manusia tidak akan mempesona, tapi tidaknya semua orang akan lebih tanpak apadanya, tidak ada yang menipu melalui kata-kata”.
Jika semua hanya bisa berkata-kata tanpa gincu mengapa masih digunakan aku. Karena diriku jika ingin memperotes pengguna gincu yang keakuannya tidak melebur jadi abu, dan seharusnya pemakai gincu sadar akan dirinya bahwa hanya yang terbuat dari abu dan harus sadar akan semua itu tidak perlu besar akunya.
Aku ingin jadi gincu yang berguna bukan yang berbahaya. Warna tercipta agar bisa menjadi cahaya estetika.



Akhmad Mustaqim 2019

Lahir di Bangkalan. Mahasiswa jurusan Penddikan bahasa dan sastra Indonesia Semester VI,Universitas Islam Malang (UNISMA). Menulis antologi puisi berjudul Geriliya (Java,Creative 2017).

Kamis, 07 November 2019

Penerimaan Mahasiswa Berprestasi

Foto:Meyazkiya


Mula-mula awal masuk ke dalam gedung pelepasan wisuda angkatan. Sebelumnya ada yang bertanya kepadaku. akan hal prestasi pada saat itu pula, saya berpikir tentang prestasi, pernah ditanya mengenai prestasi tak ada yang perlu dibanggakan diri sendiri dan dibanggakan oleh orang lain, apalagi dibanggakan Kampus. Sepertinya tidak perlu karena masih belum pernah melakukan apa-apa, pernah melakukan sesuatu seandainya itu bisa diterima di PIMNAS, yaitu Pekan Karya Mahasiswa (PKM) yang meliputi karya ilmiah, jika memang diterima patut kita banggakan. Namu jawabku padanya, pernah mengikuti namun itu karena tuntutan Beasiswa. Dan maafku padanya tersampaikan bahwa jika ada informasi berlebihan menganai diri saya, segera dihapus, ini akan saya informasikan dengan apa yang lakukan sebagai proses. Ketika pertanyaan terus dipertanyakan oleh Wakil Dekan (WD lll) Tiga namanya Hamidin. Bahwa dalam proses memang dilakukan selama kuliah, hanya bagian dari sepanjang jalan kuliah. Ketika Bapak WD III itu menanyakan judul buku yang pernah ditulis, sekilas menjawab dengan cara lain bukan judul buku disebutkan, tapi proses penerbitan. Berbunyi: 'mohon maaf Pak bukan ingin menggurui yang harus diketahui dari proses saya, memang bentul menulis buku, namun bagi semua Mahasiswa (i) semua bisa dilakukan, hanya tidak ada kesempatan saja. Karena dalam penerbitan ada 2 katigori 1. Penerbit indie, 2. Penerbit mayor, kedua tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. Kalau buku yang saya terbitkan masuk pada ketigori terbitkan indie. Di toko buku tidak akan ditemukan, namun secara legalitas diakui, dan buku tersebut berjudul 'Gerilya' Kumpulan puisi. Dan ada buku selain itu namun belum diterbitkan karena buku tersebut masih belum pantas, tujuannya dijadikan buku untuk menyimpanan ide saja Pak, ada empat judul Cerpen, Puisi, dan Kumpulan opini. Yang kini masih dalam tahap penerbitan judulnya 'Idealisme Tanpa Batas' pengantar sudah dari Pak Rektor Unisma. Hanya itu yang bisa diberikan informasi mengenai saya Pak, tidak ada yang pantas untuk dibanggakan, semua hanya sebagai proses.

Pertanyaan itu datang lagi, 'Apa kamu membuka gerakan Literasi di Kampus?'. Kalau itu memang benar kami lakukan sejak Januari akhir hingga Sekarang. Gerakan Literasi ini dilakukan sebagai bentuk memperkenalkan dunia baca yang menjadi alternatif ketika Mahasiswa malas ke Perpustakaan pusat, dan bisa dikatakan ini bentuk wadah baca Mahasiswa (i) duduk santai sambil Membaca. Gerilya Literasi dilaksanakan setiap hari Selasa di Gasebo gedung FKIP-Unisma. Kegiatan literasi ini bisa dikatakan sudah efektif karena setiap melakukan lapak baca selalu ada transaksi peminjaman buku, kurang lebih 5-9 judul buku dipinjam oleh Mahasiswa (i). Dan kadang kalau saya diminta untuk dijadikan pembicara dibutuhkan diundang sebagai pembicara. Salah satu kegiatan yang dilakukan pada 2018 menjadi pembicara di Universitas Brawijaya (UB-Malang), Fakultas Kedokteran, dengan teman 'Literasi Sebagai Kesehatan Psikologis', di UKMP-UM bicara tentang 'Biografi Habibie, dan di UMM-Malang bicara tentang 'Sejarah Pers Indonesia' dan di Kampus Al-Qolam. Itu semua merupakan salah dua dari proses dilakukan, bukan karena bisa atau ada pengalaman melainkan sebuah diskusi tukar tepat kepada berbagi mereka.  Mungkin itu saja informasinya jika ada yang berlebihan itu tidak benar Pak. Ucapku dalam pesannya.

Pukul 14:00 Wib, datanglah undangan dikirim. Namun saya mempertanyakan kembali tentang undangan, dengan bahasa 'apakah tidak salah undangan diberikan ke saya, saya wisuda masih tahun depan?' ucapku melalui pesan WA. Balasanya 'datang saja cong itu khusus Mahasiswa yang memiliki inovasi' balsdnya dari wakil dekat III itu. 'Enggeh pak jika itu maksud bapak, semoga amanah dan bisa lebih baik lagi dan tidak sombong'. Ucapku dalam balas pesannya.

***

Diundangan tertulis pukul 18:30 sudah di tempat wisuda. Dalam benak bertanya-tanya apa yang akan diberikan dan apa yang akan disampaikan, pertanyaan itu didalam tidur dipertanyakan. Asumsi mungkin akan ada sedikit dan akan menjadi pembicara pada saat resepsi pelepasan wisuda 2018/2019 dan isi wisuda tersebut lebih banyak satu angkatan masuk kuliah, dan saya probadi belum lulus. Tidak ada yang dapat dipersiapkan kalau tidak hanya ingin membagi pengalaman kepada mereka tentang proses, dan kelulusan ini tidak menjadi final studi kita, melainkan ini awal dari studi kita yang sebenarnya. Karena akan lebih banyak bersentuhan dengan masyarakat, itu dibenak saya jika memang ada yang harus disampaikan.

Dan ketika sudah berada di tempat. Pertanyaan yang dilontarkan kepada teman-teman satu angkatan aneh-aneh, mulai dari ada apa datang ke acara Ini, ada yang ngejek ingin makan dan mau liputan, karena latar belakang aktivis di lembaga pers Mahasiswa. Semua pertanyaan ditampung dikumpulkan jadi satu kalau saya datang karena disuruh nyuci kotoran piring dsb. Hal itu disampaikan kepada setiap yang bertanya, sempat ketika ditanya oleh panitia di depan pintu tidak boleh masuk ke dalam lantaran undangan berbeda dan tidak ada, hanya menjawab kami disuruh WD III ke sini. Lalu kamu disuruh masuk.

Datanglah ke acara yang telah dilaksanskan, oleh pihak penitia wisuda. Ketika disebut nama untuk naik ke atas panggung dengan predikat Mahasiswa berprestasi, ketika berada di atas, teringat dengan tulisan Nietzsche yang mengiang-ngiang pada bulan itu pada saat baca 'The Outsider' dikutip oleh pemenang penghargaan dikutip ketika  Albert Camus pada saat berpidato dalam penerimaan pemghargaan nobel sastra dalam the outsider "Bukan hakim tapi pencipta akan menerintah, apakah dia seorang pekerja atau intelektual." hal itu menjadi pertanyaan besar, tanggungjawab besar pula. Apa yang bisa dilakukan dengan beban penghargaan.

Bersama dengan teman bernama Febi Akbar Rizky Mahasiswa Bahasa Inggris sementara saya Bahasa Indonesia. Teman selaku diskusi tentang tulisan dan dunia Literasi serta isu sosial yanh terjadi. Yang kadang selesai di tempat dan di luar tempat ketika belum selesai. Seorang santri yang selalu ingin berbagi. Dia pandai beretorika dan giat ingin menjadi penulis besar pula, sehingga buku pertama yang saya edit dan diterbitkan oleh perbit indie. Dan situ kita bercanda di tas panggung, dan berkata 'kita belum lulus, apa yang bisa dilakukan kita nanti atas beban baru kita ini' semua itu seperti mampi berdada di atas tapi tidak lulus padahal di bawah ada teman satu angkatan kuliah. Sudah lulus sedangkan kita masih saja dalam kondisi belum apa-apa.

Dan berharap bisa lebih baik dari sebelumnya.

Akhmad Mustaqim 2019
Penghargaan Mahasiswa berprestasi kepada saya dan teman.



Senin, 04 November 2019

Bingung Menulis Puisi; Abadi

Bingung Menulis Puisi

Saya hari ini ingin menulis sesuatu. Tapi untuk memulai masih bingung akan menulis apa. Pertanyaan itu hanya ada dalam hati dalam hati hanya berkata mungkin menulis saja puisi, katanya mudah tapi bagiku susah. Namun mau tidak mau harus mencoba:

Langit mendung turun masuk ke dalam kekosongan
Aku bukan hewan bisa terima apa adaNya
Aku manusia diberi rasa menerima
Suka-suka menerima
Ada gado-gado pada kata
Sebelum matahari menyinari ada dosa-dosa bersama doa-doa

Setelah itu dianggap selesai. Melihat sekeliling mengenai apa yang telah terjadi, bahwa puisi hanya bagian dari apa yang terjadi di samping kita. Ada yang bisa disampaikan dengan bahasa ada pula yang tidak dengan bahasa. Bahasa merupakan representasi rasa. Rasa tidak semua tertaung dalam bentuk eksistensi, kadang hanya samapai pada esensial.

Ketika seruan 'adduh' dibahasakan akan hanya menjadi subjek. Dan realitas dipertegas oleh bahasa mahkluk lain, bagaimana mungkin cita-cita, cinta, akan berbentuk. Kecuali, hanya bisa ditemui pada perjalanan, bukan ditemukan secara tiba-tiba dan beruntung.

Namun ketika beberapa hari lalu ikut diskusi bedah buku bersama dengan teman dan sekaligus saya anggap itu guru. Namanya M.A. Masud. Dalam perbincangan itu masih tersirat kata-kata bahwa dalam proses penulisan puisi ada dua. 'Menemukan' dan 'Menemui' kedua kata ini memiliki makna berbeda. Terkadang kalau menemukan itu secara tiba-tiba datang lalu menuliskan ide tersebut tuk dijadikan puisi. Menemui usaha menemukan sebuah ide dan menuliskan puisi tersebut menjadi hal paling berarti bagi penulis puisi.

Secara esensial memiliki tujuan sama, mendapatkan nilai estetika, spritual, dan lokalitas. Ketiga yang disebutkan merupakan dasar dari apa yang ada dalam sebuah karya sastra. Dan ketika itu lepas dari seorang penulis maka akan terjadi kematian pada penulis dalam makna puisi tersebut.

Di pertegas dalam memaknai puisi oleh Roland Barthes seorang peneliti sejarah sastra di Prancis pada tahun 1965 mendeklarasikan bahwa kematian penulis setelah karya sastra telah selesai, tidak ada lagi kaitannya dengan penulis. Jikapun ketika karya sudah selesai dan ada salah satu pembaca menanyakan dan makna tidak sesuai dengan apa yang di interpretasikan pembaca maka tidak perlu menyalahkan penulis ketika penulis menjawabnya tidak sesuai. Sebab penulis hanya mempersembhkan teks dalam karyanya. Pertanggung jawabannya ketika tulisan berupa teks ada terlahir maka kematian penulis datang, sebab dalam penggarapan karya penulis masuk pada penderitaan yang akan mati.

***
Apa yang indah dari menulis? Pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan ucapan melainkan dengan sebuah kebanggaan tersendiri, tidak hanya bicara bisa menulis tapi bisa membawa diri seperti seorang pengemis pada Tuhan. Ketika Menulis selalu mencari bukti dari sebuah kesucian diri dengan tulisan, pengemis mengambil kasihan dari para manusia yang berjiwa dermawan. Dan kejadian kadang menjadikan sebuah amalan tersendiri.

Jika ada pertanyaan apakah akan menjadi penulis; cita-cita dilahirkan dari sebuah keinginan sedangkan keinginan tidak dapat ditempuh dengan sekedar ingin, menulis dengan keinginan hati merupakan sebuah pilihan. Dan kadang menjadi sebuah tiba-tiba datang dan lahir. Hal paling sederhana membaca buku dan membuka diskusi dengan hasil bacaannya. Jika merasa lebih akan sedikit berani bercerita dengan apa yang telah dianggap oleh mata dalam teks, belum realitas. Penulis sebagai subjektifitas akan selalu memantau beberapa hal; kehidupan, ideologi, dan pandang hidup. Jika itu ada akan ada sebuah tambahan-tambahan lainnya.

Dalam dunia tulis ada yang pernah menanyakan, filsafat kepenulisan yang pernah dilontarkan pada tahun 2018 lalu. Disalah satu tempat Oase Literasi di Malang tepatnya. Pada saat itu membagi pengalaman menulis padahal saya pribadi masih belajar menulis. Memberanikan diri samahalnya dengan saya lakukan menulis, tidak tahu apa-apa tentang pengetahuan, namun menulis sesuatu hal ingin selalu Ingin selalu dilahirkan, kadang lahir secara primatur sudah menjadi biasa. Apa yang lebih indah dari menulis, yaitu kebebasan dalam menuangkan ide tanpa ada batasan. Teruslah menulis motivasiku. Pada saat itu salah peserta menulis secara filosofis menulis itu esensialnya apa dalam dibenturkan dengam filsafahnya; hal itu membuka pengetahuan baru sekaligus membuat kebingungan baru. Dari hal itu saya ingat dengan tulisan seorang filsuf Yunani, Rene Descretes dengan seloganya 'aku berpikir maka aku ada' itu Cogito Ergo Sun dalam bahasa Prancis.

Pernyataan yang dilontarkan menjadi fenomenal sehingga dalam hidup selalu menjadi refrensi para intelektual. Ide manusia kadang bisa tercipta secara tiba-tiba, kadang tidak bisa direncanakan, hanya bisa direnungkan. Berpikir dalam ranah ilmu diteori activa relativitas jauh dari realitas hanya ada dalam pikiran, Ketika dibentuk dalam tulisan makan akan menjadi dasar perubahan. Sehingga pemikiran kita akan senantiasa membawa dan berada dalam sebuah tindakan.

Menulis cara terbaik tidak bisa melupakan efektif memperdalam perasaan dan membuka kepekaan. Menjadi saksi sejarah di masa yang akan segera menjadi masa lalu.



Akhmad Mustaqim 2019

Sabtu, 02 November 2019

Memaknai Sepi dan Sunyi; Usaha Membunuh Sepi

foto:akhmad

Kesepian pertemuan
Kesunyian penafsiran
Persoalan penyikapan
Aku minta maaf pada waktu yang jadi abu dicari temukan disatukan tuk menyembuhkan rindu (Wislawa Zsymborzka)

Langit makin mendung lagi. Kota makin ramai lagi. Persoalan direnungkan akan menjadi pengetahuan. Membaca bukan sekedar memaknai ataupun menemukan. Hujan akan datang bulan akan segera hilang, peradapan baru akan lahir, bibit kering akan tiba membiru. 

Kucing tidur tenang bersama dengan anaknya dengan mesra mengorok. Sebagai pendengar aku tak bisa memahami. Mata memaknai rasa ia berdua berdekatan dengan orang-orang suka membaca buku. Tidurnya tidak sempat mendengarkan hasil bacaan, diskusi yang dikaji, ternyata bermimpi dinikmati.

Ada perempuan berbaju putih hitam seperti mahasiswi pada hari itu mungkin saja tepat hari Ujian Tengah Semester (UTS). Di samping kucing tidur masih saja ada pemuda membaca buku karya Felix K. Nezi dengan judul 'Usaha Membunuh Sepi', seperti biasa pada umumnya orang membaca buku, pemuda itu mengantuk dan sambil menguai lalu tidur di atas bukunya.

Mata yang sudah tidak enak di pandang. Suasana sudah biasa di bawah Perpustakaan Umum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Angin, awan, dan udara mendukung pemuda untuk segera menyudahi buku itu. Sebab Malang yang sejuk dengan cuaca begitu sangat kembali seperti biasanya. Dingin yang membuat mata ingin sekali menyentuh kasur empuk dan hanya bermimpi.

Dalam benak pembaca buku Felix K. Nezi. Pada bab terakhir yang ingin diselesaikan tampat itu dari semalaman membacanya. Buku itu sebenarnya Kumpulan cerpen. Dalam pikirannya ia hanya berpikir mengenai apa yang dipikirkan 'enak ya jadi kucing tinggal di Kampus tidak perlu baca buku, bayar SPP, dan repot mikir hidup.' tiba-tiba datang perempuan mahasiswi membawa makanan kucing. Kedua kucing yang lagi tidur langsung diangkat, dibuka makanan kucing lalu diberikannya. Serasa kalap kedua ibu dan anak kucing itu memakan. Pergi perempuan pemberi makanan itu. Setelah kenyang kedua kucing itu, satu persatu kembali lagi di samping pemuda baca buku itu. Tidur lagi, lalu diikuti oleh anaknya tidak habis memkan, makanan tersebut. Menyusul tidur di sampingnya.

Berbual lagi pembaca buku. 'enak sekali hidupnya kucing ini bisa jadi ini juga akan masuk surga dengan mudah nanti'. Manusia tentunya berbeda dari apa yang telah dijadikan Tuhan dengan beberapa kudrotnya. Manusia fungsinya berpikir dan hewan tidak. Sehingga ada yang menanyakan 'berdosakah hewan itu?' sepertinya tidak akan berodosa sautnya pembaca buku itu, karena hewan tidak punya perasaan, manusia yang akan berdosa kalau keliru karena memiliki rasa.

***
Isi buku dari apa yang dibaca pemuda itu, kalau usaha membunuh sepi merupakan sebuah cerita di mana, semakin manusia usaha membunuh sepi, semakin ramai sepi itu datang. Kecuali dengan berdoa sepi tidak akan menghampiri.
Kutipan dalam Cerpen berjudul Usaha Membunuh Sepi di bawa ini menjadi bukti dalam manusia mencari sunyi.

Doa-doa mampu menyelamatkan aku dari sepi. Entah bagaimana, sepi tak berani mengusik orang-orang berdoa. Usai misa pagi, hanya beberapa sepi yang kelihatan berdiri di pintu gereja dan menatap dengan benci (Hal 26-27).

Dalam hasil pembacaan pemuda itu akan memberi bukti bahwa setiap orang usaha membunuh sepi akan selalu ada perjuangan. Perjuangan melawan diri sendiri, mencari sesuatu yang tidak akan menyiksa diri sedangkan ketika kita mencoba membunuh sepi akan ada deraian luka ditemui.

Namun hanya ada jalan lain untuk bisa tidak ditemukan luka dan sepi tidak mengusiknya. Dengan berdoa serta sadar akan luka pada derita bahwa tidak selalu pemuda sibuk memikirkan siapa teman yang membuat ramai (pacaran), hal itu sebanarnya merupakan pilihan. Dan pilihan akan melahirkan sebuah kometemen diri sebagaimana nanti apa yang dicari bisa ditemukan dan dirasakan. Tanpa memikirkan apa kata orang berkata, Jomblolah, ginilah, ya itu hidup kalau selalu mengisi kata-kata orang lain ke dalam mangkok kita.

Sebenarnya sepi tidak perlu dicari akan datang sendiri. Ketika sudah bergantung dengan orang lain hidup dalam keramaian manusia akan menemukan selalu kesepian, tidak perlu usaha. Sehingga narasi tinggal tentang sepi dan sunyi seharusnya didalami secara etimologi.

Sepi merupakan pilihan pemuda atau manusia yang ingin menepikan diri walau pada dasarnya kata 'sepi' tidak ada imbuhan 'me' yang akan menjadi kata kerja. Sedangkan Kata 'sunyi' sebuah sifat dari kata 'sepi' dan akan memiliki kecenderungan kalau sunyi sebuah pilihan yang nantinya akan membuat kita ada dalam naluri menimbulkan sebuah pertanyaan dan pilihan akan sebuah kehidupan. Bahwa akan ada manusia bisa menemukan dalam pikirannya terbentuk dalam praktiknya. Dan pilihan itu akan kecenderungan tercipta idealis.
Dan teringat dengan kata-kata Soe Hok Gie.

Lebih baik diasingkan daripada menyerah dalam kemunafikan (hal 125, 2002)

Kata 'diasingkan' pada zaman millenial ini tidak relevan pada kaum muda. Akan tetapi lebih baik menggunakan kata 'mengasingkan' hal ini bisa masuk pada ranah bagaimana kaum muda sering-sering  mengasingkan diri untuk berpikir dalam melakukan tindakan. Korelasinya harus dilakukan objek rakyat sebagai acuan sebuah tujuan perubahan.

Tujuan pemuda tidak itu bukan hanya ada dalam buku dan menghatamkan buku banyak, namun hal itu juga harus terbentuk dalam karya. Dan dinamika akan selalu ada dalam masyarakat. Namun tantangnya jangan sampai kita 'diasingkan' selaras dengan kata-kata Soe Hok Gie bahwa kata diasingkan jangan sampai ada dalam jiwa masyarakat kepada kaum muda.

Membaca buku sebagai memperhatikan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dan mempermudah kehidupan diri sendiri dan orang lain.


Akhmad Mustaqim 2019
Ditulis di Perpustakaan UMM, sambil menyelesaikan buku Usaha Membunuh Sepi karya Felix K. Nezi