Menemukan Kematian Dalam Kehidupan
Judul:
Rumah Jadah
Penulis:
Royyan Julian
Penerbit:
Basabasi
Edisi:
Pertama, September 2019
Tebal:
131 Halaman
ISBN:
978-623-7290-22-3
Fenomenologi tradisi, budaya, dan agama. Suatu hal
yang tidak bisa dilupakan atau ditinggalkan dikehidupan bersosial. Menghadapi
permasalahan untuk diselesaikan dengan cara membuka pandangan baru merupakan
kesadaran Pada dewasa ini hal baru
menjadi pilihan hingga terjerumus pada dinamika yang jauh dari realitas sosial
yang berada di desa. Kontestasi kepala desa yang selalu menuai konflik
vertikal, sering terjadi karena adanya gesekan dari bawah (para pendukung yang
fanatik) membangun narasi negatif secara kolektif ke atas melahirkan konflik,
hingga jatuh korban. Ketika segala kepentingan dikaitkan dengan kepentingan
politik kotor, maka dengan mudah kita menemukan kematian dalam kehidupan.
Fragmen pada novela berjudul Rumah Jadah (2019)
berlatar hiruk pikuk kehidupan di Madura yang begitu kental, dengan tradisi jodoh-dijodohkan
ketika masih berada dalam kandungan, konflik
kontestasi kepala desa, dan isu agama. Semua masih bisa dirasakan hingga
sekarang, masih begitu kental bahkan seperti mendarah daging. Sebagai orang
yang berdarah Madura masih merasakan kebiasaan tersebut, tidak menjadi Madura
yang ideal melainkan membuka cara pandang baru pada narasi kontekstual yang
melahirkan sintesis.
Novela Rumah Jadah ini penulis Royan Julian membuka
awal cerita dengan begitu memukau. Pembukaan cerita dengan tragedi kematian yang
menghebohkan, kematian seorang perempuan yang tidak wajar. Di makam Syekh
Jakfar Sidik ditemukan perempuan meninggal dalam keadaan telanjang yang bernama
Marsia. Setelah hilang semalaman, Marsia ditemukan mati terkapar di makam Syekh
Jakfar Sidik. “Jenazah yang telanjang tampak kabur dilengkapi kabut pagi.
Seorang menyelimuti jasad itu dengan daun jati sebagaimana Tuhan menutupi
kemaluan dua manusia pertama dengan selembar daun ara sehabis mencicipi buah surga”.
(hal.5)
Kematian Marsia membuka cerita dengan beberapa
rentetan konflik, yang segera terungkap secara bertahap. Mengapa kematian tidak
wajar yang berada di atas bukit di tepi Ngarai Kalajengking terjadi.
Mengapa meninggal dengan keadaan memeluk
makam Syekh Jakfar. Jika ditellisik ternyata ia semasa hidupnya menjadi seorang
tokoh berpengaruh diislam Syiah. Warga dihebohkan dengan kematian itu, dan
bertanya-tanya mengapa bisa terjadi hal yang tidak wajar dalam hidupnya, bagi
yang masih bisa menjadi.
Di lereng bukit Maronggi menjadi saksi yang menuai kontroversi,
bahwa di bukit tersebut mata masyarakat menyadari bukan hanya tempat angker
melainkan tempat ritual pesugihan. Pada suatu ketika Linggo dan Marsia ditemukan
oleh salah satu pemuda, kalau mereka berdua sering mendatangi tempat tersebut
untuk melakukan ritual pesugihan. Dan sadar akan keterasingan hidup mereka
berdua membuat warga sadar, sadar untuk menghormati antara takut. Warga masih
bingung dengan tragedi Marsia. Stress
yang terjadi pada Linggo sebagai suaminya merasakan tekanan batin atas kematian
istrinya yang seperti menjadi aib baginya. Bahkan Linggo dan Maeda akan merasakan
kematian dalam hidup yang tidak berkesudahan.
***
Novela ini menggunakan alur mundur. Peristiwa kematian
Marsia pengatar menuju pengungkapan. Sedangkan
kronologis serta kejadian pasca kematian latar belakang tokoh Marsia dan Linggo
lambat laun dibeberkan secara detail. Pada bab dua bercerita tentang masa lalu
perjodohan Marsia dengan Fandrik, lelaki yang dituduh penyebab kematiannya
Fandrik sakit hati pada Marsia karena telah dijodohkan sejak berada dirahimnya,
tapi Marisa tidak menerimanya dengan bahagia. Perjodohan semenjak di dalam
rahim tidak menjamin kebagaiaan. Hal ini menjadi bukti dalam realitas tradisi
di Madura, menjadi wajar sejak dalam kandungan telah ditentukan kebahagiaannya
oleh manusia. Memiliki dampak tidak baik meningkatnya perceraian, salah satu
penyebabnya karena pada saat pernikahan tidak memiliki rasa cinta pada
pasanganya, melainkan memiliki rasa takut, takut karma dunia yang selalu
menjadi narasi tunggal harus patuh kepada orang tua yang senantiasa memiliki
kuasa akan hidup manusia yang masih berada dalam rahim. Hak dalam hidup tidak dapat
ditentukan sejak dalam rahim oleh manusia. manusia hanya bisa melakukan bukan
memutuskan, keputusan ada pada hak Tuhan yang tertulis di laufil
mahfud.
Susahnya Marsia dalam pada kondisi dihadapinya,
ketika harus memilih seorang laki-laki pilihannya. Lelaki yang dipilih bernama
Linggo. Namun cinta bukan patokan bahagia bersamanya. Hidup terlalu sempit
dalam memikirkan bahagia ketika bersamanya, seharusnya menjadi koreksi ketika
melakukan pilihan, pasca memilih bagaimana bisa mengatasi setiap masalah rumah
tangga. Marsia tidak bisa memiliki anak keturunan, ketika diusut dan diptukan
oleh dokter kalau Linggo mandul. Hati Marsia tidak bisa menerima itu dan
memaksa ingin memiliki anak. pada akhirnya ada cekcok rumah tangga. Dominasi perempuan
dalam kondisi seperti itu menjadi utama. Sedangkan Linggo sangat mencintai dan
buta cinta (bucin) denganya. Hingga
rasa itu membuat lupa akan norma-norma agama, karma, dan budaya, yang akan
memberikan dampak dalam kehidupanya.
Dan secara signifikan mementingkan keinginan bahagia
pasanganya. Dalam kontruksi sosial ketika dalam rumah tangga tidak memiliki
anak, ‘perempuan menang’ dan
laki-laki akan menerima cibiran dari banyak orang secara halus. Tidak dapat
dipungkiri masyarakat suaminya lemah.
Karena diselimuti malu dan merasa menanggung malu besar. Serasa menemukan
kematian dalam hidup Linggo. Marsia tidak peduli dengan derita Linggo. Linggo
sebagai suami mencari solusi dan setelah menemukan solusi yang begitu membuat
menutup mata hatinya. Linggo meminta Madong dengan terang-terang untuk bersetubuh
dengan Marsia. “Inilah adalah air matamu yang terakhir,” ucap Linggo sambil
menyeka pipi istrinya. “Jangan biarkan Tuhan merasa menang dengan melihat
tangismu. Kita telah mengalahkan-Nya dengan jerih payah. Kita sudah berhasil
membunuh takdir-Nya yang kejam.” (hal.76)
***
Perlawanan takdir Tuhan tidak berenti disitu. Sosok Marsia
tidak hanya menjadi perempuan biasa pada umumnya. Setelah konflik rumah tangga
selesai. Berhasil memiliki anak. Marsia bertemu Fandrik dendam lama menyala
mengingat pada masa lalu. Awal mulanya konlik pribadi hingga ego dipertahankan,
konflik perpolitikan dimulai. Mendengar kalau Fandrik akan mencalonkan diri
menjadi kepala desa. Marsia yang tidak ingin dianggap orang sembarangan di desa
tersebut, tidak ambisi kekuasaan tapi gengsi, maka ia segera bergegas pula
untuk mencalonkan diri juga. Dan bukan hanya kemenangan menjadi tujuan utama
tetapi juga harga diri keras ingin dipertahankan.
Marsia membawa misi menghalangi Fandrik ketika ada
isu mencalonkan diri. Dengan Ra Wazir yang digagalkan untuk mencalonkan diri,
untuk diganti Marsia. Konflik besar terjadi di dalam kontestasi politik bukan
hanya bentuk material (berbaur nyata)
namun non-materil (berbaur mistis) dilakukan untuk mensukseskan tujuannya. Dinimika
kampanye untuk menggait suara lebih banyak dengan mempengaruhi masyarakat
dengan membuka aib lawannya akan terjadi. Cara apapun untuk mensukseskan akan
dilakukan, itulah politik.
Kedua tim sukses adu cepat membakar kayu kropos
untuk menyulutkan api menjadi besar. Bahkan isu agama kampaye di plosok desa
eksis. Terkhusus di Madura yang menjadi mayoritas muslim, islamya Nahadatul
Ulama (NU). Marsia meminta para tim suksesnya meminta untuk membawa isu agama
lawanya Fandrik, sudah tahu kalau ia masih beriman ke Islam Syiah, itu
dijadikan alat menciderainya. Tujuan tidak lain dan tidak bukan untuk
mempengaruhi warga Desa Tanjung Mayang . Isu itu meluas sehingga pada saat ayahnya
meninggal. Rumah Fandrik didatangi untuk turut berduka-cita, kesempatan itu
dijadaikan klarifikasi terhadap isu tersebut kebenaran keluarga tersebut iman
pada Islam Syiah.
Ra Wazir selaku tokoh agama serta menjadi kiyai
sekaligus tim sukses Marsia, memanfaatkan posisinya pada saat di rumah duka
tersebut, menoleh ke kamar, ia melihat foto Syaidina Ali. Arah mata memandang
Ra Wazir memandangnya secara bersamaan, dan warga pecah mendengar isu itu,
tidak ada harapan, agama selain Islam NU, bakhkan sampai kambingya pun NU, yang
lain jangan sampai ada perbedaan, itu narasi dibangun. Itu menjadi bahan
menjatuhkan pada saat berkumpul dengan masyarakat, melakukan sentilan. “Orang-orang
tidak bisa membedakan mana foto Syaidina Ali dengan Syeh Abdul Qodir Jailani”.
(hal.90)
Pembalasan kepada tim sukses Fandrik. Isu yang
krusial dengan membawa dengan konteks pribadi. Menggilingnya dengan menggiring
isu kalau Marsia dan Linggo seorang warga yang memiliki pesugihan kekayaaanya
bukan hasil dari jerih payah kerja keras. Maeda perempuan muda yang cantik
menjadi kambing hitamnya dan korban, anak dari mereka yang cantik, berpendidikan,
tapi tidak ada laki-laki mana pun, mau mendekatinya karena takut kepada
keluarganya, kalau mendekati takut menjadi tumbal.(hal.91)
Pada kontestasi politik tidak ada yang bisa menerima
lawan politiknya baik, semua terlihat jelek. Itulah kebobrokan politik yang
secara tidak langsung dalam novella ini Royyan Julian menarasikan secara detail.
Bahwa kontestasi politik di Madura dalam lingkup desa terdapat konflik vertikal
bahkan ada korban jiwa; bukan hanya mengenai norma moral, dan bahkan norma ber-agama.
Bahwa kritik terhadap masyarakat Madura harus memiliki rasionalitas dalam
memilih pemimpin bukan melihat gender bahkan politik praktis. Kesadaran kolektif sangat perlu di dunia politik
sehingga bisa membedakan agama dengan politik, selaras dengan apa yang
dituliskan bapak republik “Pisahkan agama dengan politik, jangan dicampur
adukkan” Tan Malaka (1926).
Di Madura masih sangat kental dengan budaya
Patriarki. Secara signfikan terjadinya politik gender. Yang sejujurnya sangat diantisipai terjadi, namun
di faktanya; apa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin?, bahkan posisi
perempuan menjadi posisi yang ideal
sebagai posisinya. Terlihat pada Marsia melakukan perlawanan ke Fandrik. Salah
satu warga yang bertanya tentang pemimpin baik. Pertanyaan itu dijabawab oleh Kiyai
Karrar bahwa syarat pemimpin itu adil, jika bisa berbuat adil jadikanlah
pemimpin (hal. 106)
Novela ini sebenarnya sangat konpleks membahas
permasalahan dalam pemilihan kepala desa. Menceritakan stuasi begitu universal
dan kontekstual, tidak ada yang ditutup-tutupi dan menjadikan Madura bukan sebagai
wilayah yang ideal. Bahwa dalam budaya yang tidak baik diceritakan, bukan tidak
perlu diceritakan, apalagi dengan isu sensitif mengenai gender, agama, ketika
isu itu dipoles menjadi sangat seksi, dan menyebutkan isu ilmu santet dengan
ritualnya begitu kompleks. Konlfik dalam pemilihan kepala desa hingga ada
korban jiwa, sangat realistis di wilayah Madura masa kini.
***
Dalam pembacaan ini ada hal cukup mengganggu dalam
pembacaan dan bertanya-tanya mengenai konteks bahasa yang disampaikan penulis
Royyan Julian. Dalam percapakan tersebut, karena memang tidak dijelaskan secara
detail tahunnya kapan cerita tersebut terjadi. namun asumsi selaku pe-rehal
(pengulas), potret cerita ini berlatar tahun 1980-an, namun ada percapakan yang
keluar konteks atau tidak sesuai dengan zamanya, dalam bahasa Jerman zaitgaes dalam percakapan dalam
dialognya berbunyi“Cakep dari Hongkong”. Di halaman 32-33. Percakapan tersebut kurang
selaras dengan konteks zaman, jika dilihat dari bahasa tersebut latar yang pas
pada tahun 2010-an.
Karena
penulis pe-rehal (pengulas buku) berdarah Madura satu darah dengan penulis
Rumah Jedah. Memberikan saran mengenai detailnya ketika menceritakan kronologi,
yang terjadi pada permintaan Linggo kepada Madong, ada kesan tiba-tiba bahkan
terburu, atau cerita yang mungkin terlalu terburu-buru serta mendadak dalam
adegan yang seharusnya mempu membangun.
Di halaman 75-76. Ketika adegan
pertemuan Madong dengan Marsia. Tiba-tiba cerita yang bernarasi “Linggo
memejamkan mata. Berharap ketika ia membukanya kembali, waktu telah usai dan
semua berjalan lancar. “Perbuatan Marsia dan Madong memang berhasil. Perempuan
itu hamil dan menangis”. Dalam kalimat tersebut serasa terburu-buru.
Hal menarik pula dari Royyan Julian dalam Rumah
Jedah adalah gaya menceritakan dengan gaya-gaya homor. Dengan menyebutkan
hantu-hantu begitu detail. Bahwa hantu Wewe Gombel. Pada pargraf tersebut membuat
senyum pembaca.”Wewe sadar, ia tak mampu memenuhi kebutuhan anak asuhnya. Ia
harus melepaskan si anak ke anak pangkuan ibunya yang sejati. Karena kasih
sayangnya begitu besar, Wewe merelakan buah hatinya pulang ke rumahnya sendiri.
(hal.44-45)
Sebagai penulis muda Kak Royyan Julian tak boleh
berhenti di sini. Kelak keberanian akan ditunggu-tunggu oleh banyak pemuda
seperti pengulas ini dan para pegiat sastra. Kebenaranian dalam menceritakan
fragmen ke-daerahan. Tentunya akan lebih banyak lagi hal-hal lain perlu
diceritakan melalui penanya. Walaupun karya novela merupakan hasil projek namun
tidak lepas dari esensi novel lokalitas, dan karya sastra hasli dari
kerja-kerja naluri,sehingga akan membuat perubahan diri secara evolusi, dan
kejataman membaca dinamika, merekam peristiwa. Sebagai pembaca hanya menangkap
teks apa yang telah menjadi karya, sehingga interpretasi tugas pembaca, penulis
sebagai penggaris narasi.
Akhmad
Mustaqim 2019