Jumat, 07 Oktober 2022

BUKU, SAYA, DAN SISWA (I)






Seorang siswa (i) memiliki jiwa kritis terhadap di dunia sekolah sudah menjadi hal wajar semestinya. Bukan malah disalahkan atau ditegor dengan narasi etiked. Seorang siswa (i) di dalam dunia pendidikan ruang menkritik, perlu di luaskan atau dibuka. Karena semestinya siswa (i) sebagai objek sekaligus subjek di ruang pendidikan belajar merasakan dan tahu hal perlu diharapakan.

Jika disalahkan dan dianggap kurang tepat. Karena belum tahu merasakan sebagai pendidik, padahal untuk mengukur baik buruknya pendidikan terletak pada siswa (i)—yang terlibat di dalamnya. Bukannya sangat baik sekolah mendapat kritik. Karena dengan seperti itu tahu letak  kekurang atau kelebihan penerapan sistem pendidikan ideal.

Ravi Azzamy sebagai siswa dan teman-temannya, kalau tidak semua siswa (i) di Indonesia, mewakili siswa—perlu dilibatkan di setiap perumusan kebijakan sekolah. Agar setiap kebijakan akan sesuai dengan relevansinya kebutuhannya. Selain itu, kalaupun perlu mendatangkan orang tua agar relevan.

Dalam buku “Buku Panduan Melawan Sekolah” Meraboks (2022). Merupakan representasi dari seorang siswa saat menemukan kejanggalan dalam dunia sekolah. Judul buku tersebut memang provokatif, tapi bukan secara esensial ada hal buruk di dalamnya. Melainkan sebagai seorang siswa menulis menuangkan argumentasinya ke dalam  bentuk teks (buku), bentuk pencapaian luar biasa.

Meminjam perkataan Okky Mandasari di instagram Omomong.com, saat membincangkan tulisannya, berkata “apa benar kamu masih anak SMA, menulis sebagus ini… aku tak menganggap pendidikan di Indonesia ini buruk, kalau siswa sepertimu ini, tuliannya bagus!” sekurang-kurangnya cuplikan obrolan tersebut bermula, si Ravi tranding dengan  narasi; “ada siswa SMK (i) menulis buku ‘Panduan Melawan Sekolah’—bahkan  dikatakan siswa tidak patuh terhadap dunia pendidika, dan ba-bi-bu…” dengan ramainya itu ada hikmah di Indonesia dunia pendidikan diramaikan dengan perpektif akan SMK kritis.

Mungkin banyak Ravi-Ravi di luar sana, tapi tidak sama dengan cara melakukan perlawanan terhadap pendidikan. Banyak pula di antara siswa(i) memiliki kegelisan berbeda-beda; gelisah karena ingin pacaran tapi ditolak, galau karena putus cinta, cering caper kepada teman kelasnya, dan sering pula ditemukan asyik dengan dunia romantisme. Tidak dipungkiri masa-masa sekolah. Hanya naikmat itu dirasakannya.

Rafi Azzamy siswa (i) memiliki perbedaan dengan teman-teman lainnya. Selain memang menjadi siswa rajin memabaca. Klaim ini saya memposisikan diri Ravi sebagai teman. Kita berteman semenjak mengikuti Kelas Filsafat Dasar (KFD) 2021 pada saat dia kelas XII di SMK. Mengenal Rafi sebagai teman bukan membaca karyanya.

Memandang siswa (i) seperti Rafi awalnya tidak percaya. Secara karakter memang pandai berbicara, serta memiliki selera humor tinggi. Saat di dalam kelas dia memang sambil membaca dan mencatat hal-hal penting di dalam buku catatannya. Bahkan juga ada oret-oretan di stiki note-nya juga.

Awal mula perkenalan setiap peserta kelas. Ada  mahasiswa di dalam kelas tersebut sudah biasa di telinga, tapi tidak dengan siswa mengikuti kelas ini. Dan pembiacarannya lancar serta terstruktur. Dikejutkan lagi, karena alasannya ikut kelas filsafat dasar ini ingin memperdalam  baca pengangtar buku-buku filsafat sejak Sekolah Menenag Pertama (SMP), alasan yang begitu mencengangkan serta punya fokus dalam membaca buku.

Lagi-lagi saya mengenal Rafi bukan dari karyanya terdahulu, melainkan dari didi sebagai personal yang sama-sama memiliki motovasi belajar. Selain itu, Ia juga menjadi teman diskusi yang seru saat jam istirahat kelas. Obrolan yang dingat di benakku, ketika menyebutkan salah satu buku Open Socety karya Karl Poper. Katanya, Dia sudah membaca buku tersebut. Bahkan setiap berbicara pijakan dasarnya Karl Poper, awal-awal. Sebelum mengenal Jaques Lacan.

RAFI DAN BUKU YANG DITULIS

Sebagai pembaca tentu ada konsep paling menarik untuk saya terapkan dalam diri. Ada tiga hal; 1) mebaca sebagai pembaca  teks, 2) membaca tokoh/penulis buku, 3) pembaca sebagai konteks pribadi ‘kira-kira membaca buku ini ada kaitan dengan pribadi/menjadi kebutuhan’. Setidaknya dasar membaca seperti itu, ketika membaca buku “Buku Panduan Melawan Sekolah” ditulis oleh Rafi Azzamy.

Membaca  buku Rafi, memandang cara kritis seorang dalam melakukan perjuangan atas hal-hal fundamental di dunia sekolah. Pendidikan yang sepertinya membebaskan ternyata  sebagai siswa memiliki perspektif berbeda. Tidak sama dengan apa yang diharapkan pendidik dan peserta didik. Hal tersebut dalam buku “Penduan Melawan Sekolah” tidak lain membuat seorang pendidik perlu mengevaluasi adanya kebijakan—yang setidaknya kurang sesuai dengan keinginan siswa yang inging sekolah.

Menurut Prof Djoko Saryono guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) dan Pakar Pendidikan, yang memberikan testimonya di buku tersebut menuliskan dalam kutipannya “Rafi mengajak kawan-kawannya melawan sekolah yang penuh kepalsuan dan ingkar janji kepada generasinya”. Kutipan tersebut terpapang di depan buku. Dari kutipan tersebut perlu mereduksi sekaligus merefleksikan diri apa yang disampaikan oleh seorang pakar dan professor tersebut.

Sederhannya. Ada kejanggalan perlu disadari secara bersama. Terkhusus bagi seorang pendidik—yang tidak memberi peluang atau mengukung siswa untuk tidak berkreasi, kratif. Sekurang-kurangnnya kemerdekaan atas dunia belajar tidak dibatasi (siswa yang memang memiliki jalan baik dengan dirinya sendiri perlu punya jalan akan hal baik akan pilihannya, perlu difasilitasi, bukan dibatasi). Jika belajar merupakan tempat belajar yang nyaman, siswa pelu diberi kebebasan serta bisa menggali potensi-potensi dirinya.

Keseimbangan seorang peserta didik dan pendidik perlu dijunjung tinggi, bukan ada realasi kuasa atas pendidik. Semestinya seorang pendidik memiliki relasi sama sebagai seorang—yang belajar hubungan mengajar mentransfer pengetahuan saja, tapi juga ada proses  saling belajar. Jika tidak sama-sama belajar akan  ada ke-akuan yang diangkap kalau ‘siswa merupakan wadah kosong perlu diisi’. Padahal tidak demikian.

Ravi  dalam hal ini tidak sejutu dengan apa yang ada dalam sistem demikian. Maka paling penting untuk membuka kran itu semua, yaitu mengubah kesadaran seorang pendidik tidak menganggap bahwa siswa merupakan manusia tidak memiliki kesadaran terhadapa tujuan belajar. Tapi pelajar sebagai subjek dari proses mengajar dan belajar. Sehingga secara esensial  pendidikan itu mencerdaskan sekaligus membuka kesadaran atas dirinya.

Untuk melakukan cara-cara efektif tersebut tidak perlu jauh-jauh melakukan rapat panjang lebar. Cukup buku yang ditulis memiliki skema yang sesuai sekaligus relevan bagi kaum milenial. Selain itu, buku Ravi memberikan sebuah konsepsi atau tolok ukur relevan. Karena secara langsung Ravi terlibat di dalamnya. Hal ini termasuk namanya pengalaman pribadi.

Pendidikan dan Bagi Siswa yang Tak Sadar Kebutuhan Belajar

Kesadaran siswa (i)  secara luas akan memiliki perbedaan. Tidak semua siswa berada di atas rata-rata se-Ravi jika perlu menyebutnya itu ideal, tapi ada pula siswa bersekolah lantaran tekanan dari orang tua. Bukan keiinganan sendiri, hal ini menjadi masalah pribadi dan kompleks juga. kaitannya akan dengan motovasi belajarmnya.

Jika di dalam kelas ada 10 siswa (i) seperti halnya Ravi dalam semangat belajarnya. Maka jangan kwatir akan ada perbuhan signifikan di dunia pendidikan. Namun tidak bisa mengukurnya dengan cara hal-hal paling ideal, karena ideal akan identik special. Dan special itu tak akan banyak. Apakah akan nanti?

Pertanyaan tersebut masih bersifat ideal, sedangkan di dunia ini tidak ada yang idaeal. Kecuali hal-hal praktikal akan susuai dengan kebutuahan manusia terealsiasikan. Dunia siswa (i) penuh beragam, begitupun motovasi belajarnya. Hal ini akan menjadi bukti bahwa konsep belajar siswa (i) berbeda-beda. Sebagai orang yang ingin menawarkan perpektif ideal diterapkan ada dua: 1. Konsep menerima, 2. Konsep mencari.

Konsep tersebut mereduksi dari kisah di epos Mahabarata di dalam dua tokoh paling menarik jika kita terapkan di dunia pendidikan. Bahkan teruntuk kepada orang-orang yang ingin belajar secara seirus. Tokoh tersebut perlu diikuti cara kehidupan dalam konetks belajar yaitu: Karna dan Arjuna.

Dalam kisah tersebut. Walaupun mereka berdua merupakan saudara, tapi tidak diketahui kalau mereka berdua bersaudara. Namun penulis tidak mencaritakan panjang lebar kedua tokoh tersebut dari segi persaudaraannya. Akan berbusa-busa saja… karena paling penting ialah cara belajar mereka berdua—yang hemat saya mereka secara tersirat punya konsep perlu ditiru bagi siswa di Indonesia.

1.   Karna sebagai sosok orang yang meneripak kopsep belajar mencari. Dalam kisahnya dia tidak diakui sebagai murid dari seorang Drona, lantaran secara politik beranggapan kalau dia akan menjadi muridnya, akan mengalahkan seorang ponakan bernama Arjuna. Walaupun tidak dianggap murid dia tetap takdim kepadanya, bentuk keta’dimannya itu membangun patung lalu setiap kali berlatih memanah berdoa di depan patung Drona—yang dianggap gurunya. Serta dia akan belajar dengan banyak mencari cara menjadi pemanah terhebat. Cita-cita tersebut berhasil dan Karna menjadi pemanah terhebat, dalam kematiannya pun dia, dikarenakan dia tidak memegang senjata. Dan sejarah membaca kalau Karna  sebagai kasatria pemanah terbaik di dunia terbunuh lantaran tidak memegang senjata. Seandainya senjata dipegangnya tidak akan terbunuh, malah sebaliknya akan terjadi.

2.   Arjuna sebagai sosok tampan dan sakti madraguna. Kelebihan yang dimiliki adalah sama dengan Karna yaitu memanah. Dia salah satu murid paling disayangi oleh guru Drona sekaligus sebagai kakeknya. Selain itu dia hanya menerima konsep menerima dari belajarnya. Setiap saat  hanya berlatih apa yang diajarkan oleh gurunya, tanpa menambah ilmu dari lainnya. maka secara tidak langsung akan kalah dengan Karna dalam kesaktian, lebih unggul. Bahkan di dalam peperangan pertama Arjuna hampir kalah dalam petarungan di salah satu perebutan permaisuri. Dan masyarakat sadar kesaktian Karna lebih unggul, seandainya kasta tidak dipandang di epos tersebut.

Pada konsep tersebut perlu menyadari dan perlu mengambil konsep tersebut. tanpa memberikan label kepada Ravi dalam konsep belajar digunkan, ketika membicarakan cara belajar Karna dan Arjuna. Namun hal ini menjadi tawaran kepada kita semua bahwa dalam belajar perlu memiliki penerapan: mencari atau menerima.

 


Selasa, 04 Oktober 2022

YANG TERSISA DI BULAN JULI, AGUSTUS, DAN SEPTEMBER



Mula-mula saya duduk di pelataran tempat tinggal di perantauan, di kos sederhana, tempat di mana setiap lelah atau suka duka, serta  senang tertampung. Jika dianggap sebagai saksi bisu, memang benar  sebab banyak hal dirasa selama lima tahun menempati tempat ini. Selain itu, ruang paling  bisa mengantarkanku ke dalam banyak hal pemikiran. Entah itu baik dan juga buruk terpikirkan.

Tiga bulan ini memang ada hal paling berkesan. Salah dua kesan paling terasa, ketika orang-orang bahkan teman dekat memberikan kepercayaan kepada saya untuk berbicara. Berbicara tentang apapun kadang diberikan saja terus kesempatan itu. Tanpa berpikir bisa atau tidak, menguasai atau tidak. Mereka hanya menyuruh saja tanpa berpikir menguasai.

Dari kejadian tersebut, saya berpikir. Kalau memang asumsi di luar kepala itu beragam. Ternyata tidak hanya hitam dan putih saja, melainkan juga ada warna coklat. Dan bahkan abu-abu, sangat liar dan begitu liar pola pikir manusia. Keliaran berpikir itu mungkin sangat dianggap benad di kepala mereka tentangku. Padahal tak ada paling benar anggapan berlebihan tersebut, kecuali bagiku ini masih terus belajar. Belajar apapun akan hal sesuai kebutuhan sendiri atau berkaitan dengan orang lain.

Saat itu, ketika  tidak mengatahui arah perjalanan hidup di perantauan. Sepertinya butuh sendiri untuk menemukan sesuatu hal pasti menentukan langkah baik dalam versi sediri. Terkadang kalau masih belum menemukan cara atau langkah baik ke depannya, menemui seorang mentor atau guru untuk meminta solusi. Langkah baik apa dapat dilakukan dalam kondisi seperti ini saja seperti dulu.

Ternyata jawaban tersebut membuat diri sendiri memahami kalau semua kepercayaan perlu ditampung lalu mengambil keputusan, jika segala itu  niatkan untuk belajar. Sebab  hanya dengan seperti itu kita tak punya beban apapun tentang penyampaian diharapkan seorang pembicara. Setidaknya tawaran ketika bicara memperhatikan sebuah kondisi serta konteks sesuai kebutuhan entah secara praktikal dan esensial sesuai. Sisa dari penyampaian mampu diterima  serta direduksi oleh setiap pendengar.

Ketika menyampaikan tentu kita perlu memberikan sebuah pandangan. Hal ini perlu dilakukan dua pandangan secara esensial atau secara praktikal. Secara esensial sesuai dengan kebutuhan atau permintaan. Secara praktikal akan menyesuaikan dengan kemampuan pribadi serta improvisasi pengalaman serta pengetahuan secara pribadi.

Tiga bulan ini mendapat pengalaman luar biasa dari perantauan. Saat melakukan proses kadang juga diberikan sebuah posisi berbicara. Pada dasarnya ini bagian dari hal tak pernah diharapkan, tapi sepertinya fungsi ini berjalan tidak sesuai pikiran sendiri. Ada hal di luar kendali menimpa dan itu baik serta menjadi pengalan tersendiri dalam hidupku.

Terkadang beribicara dengan banyak orang di luar sana membuat kita lebih mudah menerima dan melemparkan ide. Entah terkadang dilema dengan ucapan sendiri, apakah memang pantas bicara seperti itu, atau sesuai tidak dengan pengalaman pribadi. Hal itu krap kali muncul bertubi-tubi ketikan bicara di depan. Bahkan terkadang merasa gemetar berbicara di depan hingga struktur penyampaiaannya tidak sesuai  dengan isi kepala. Jika semua orang menganggap, kalau ada pembicara di depan kita itu benar. Tidak dengan diriku sebagai posisi pribadi bicara, atau pada saat mendengarkan. Selalu skeptis.

Dari pengalaman secara pribadi belum tentu dapat diterima, kalau tidak pandai mereduksi setiap kejadian. Bisa saja setiap persoalan mampu diatasi dengan cara-cara sederhana virsi kita, akan tetapi tidak dengan orang lain. Dan itu bisa selesai dengan cara-cara kita.

Kira-kira cara kita mampu menjadi umum atau hanya menjadi khusus? Tiga bulan ini seperti membuat eksperimen dari banyak diketahui oleh kehidupan sehari-hari kita dan bisa membuat tambah dewasa secara biasa menemukan sesuatu dari banyak kepala mereka-mereka. Hal tersebut menjadi salah satu cara untuk bisa menemukan perbedaan pola setiap peristiwa, dan menemukan cara terbaik diri sendiri sendiri, tanpa  intervensi.

Jika ada hal mengesankan di setiap perjalanan, tentu bersyukur dengan cara melakukan sesuatu hal wajar dilakukan. Bentuk syukur salah satu seorang bisa memaknai bahasa  sekaligus menyesuaikan kebutuhan manusia. tidak dapat kita memperlakukan sesuatu tanpa suatu tanggung jawab. Mungkin.