Seorang siswa (i) memiliki jiwa kritis terhadap di dunia sekolah sudah menjadi hal wajar semestinya. Bukan malah disalahkan atau ditegor dengan narasi etiked. Seorang siswa (i) di dalam dunia pendidikan ruang menkritik, perlu di luaskan atau dibuka. Karena semestinya siswa (i) sebagai objek sekaligus subjek di ruang pendidikan belajar merasakan dan tahu hal perlu diharapakan.
Jika disalahkan dan dianggap
kurang tepat. Karena belum tahu merasakan sebagai pendidik, padahal untuk
mengukur baik buruknya pendidikan terletak pada siswa (i)—yang terlibat di
dalamnya. Bukannya sangat baik sekolah mendapat kritik. Karena dengan seperti
itu tahu letak kekurang atau kelebihan
penerapan sistem pendidikan ideal.
Ravi Azzamy sebagai
siswa dan teman-temannya, kalau tidak semua siswa (i) di Indonesia, mewakili
siswa—perlu dilibatkan di setiap perumusan kebijakan sekolah. Agar setiap
kebijakan akan sesuai dengan relevansinya kebutuhannya. Selain itu, kalaupun
perlu mendatangkan orang tua agar relevan.
Dalam buku “Buku
Panduan Melawan Sekolah” Meraboks (2022). Merupakan representasi dari seorang
siswa saat menemukan kejanggalan dalam dunia sekolah. Judul buku tersebut
memang provokatif, tapi bukan secara esensial ada hal buruk di dalamnya. Melainkan
sebagai seorang siswa menulis menuangkan argumentasinya ke dalam bentuk teks (buku), bentuk pencapaian luar
biasa.
Meminjam perkataan
Okky Mandasari di instagram Omomong.com, saat membincangkan tulisannya, berkata
“apa benar kamu masih anak SMA, menulis sebagus ini… aku tak menganggap
pendidikan di Indonesia ini buruk, kalau siswa sepertimu ini, tuliannya bagus!”
sekurang-kurangnya cuplikan obrolan tersebut bermula, si Ravi tranding
dengan narasi; “ada siswa SMK (i)
menulis buku ‘Panduan Melawan Sekolah’—bahkan
dikatakan siswa tidak patuh terhadap dunia pendidika, dan ba-bi-bu…”
dengan ramainya itu ada hikmah di Indonesia dunia pendidikan diramaikan dengan
perpektif akan SMK kritis.
Mungkin banyak
Ravi-Ravi di luar sana, tapi tidak sama dengan cara melakukan perlawanan
terhadap pendidikan. Banyak pula di antara siswa(i) memiliki kegelisan
berbeda-beda; gelisah karena ingin pacaran tapi ditolak, galau karena putus
cinta, cering caper kepada teman kelasnya, dan sering pula ditemukan asyik
dengan dunia romantisme. Tidak dipungkiri masa-masa sekolah. Hanya naikmat itu
dirasakannya.
Rafi Azzamy siswa (i)
memiliki perbedaan dengan teman-teman lainnya. Selain memang menjadi siswa
rajin memabaca. Klaim ini saya memposisikan diri Ravi sebagai teman. Kita
berteman semenjak mengikuti Kelas Filsafat Dasar (KFD) 2021 pada saat dia kelas
XII di SMK. Mengenal Rafi sebagai teman bukan membaca karyanya.
Memandang siswa (i)
seperti Rafi awalnya tidak percaya. Secara karakter memang pandai berbicara,
serta memiliki selera humor tinggi. Saat di dalam kelas dia memang sambil
membaca dan mencatat hal-hal penting di dalam buku catatannya. Bahkan juga ada
oret-oretan di stiki note-nya juga.
Awal mula perkenalan
setiap peserta kelas. Ada mahasiswa di
dalam kelas tersebut sudah biasa di telinga, tapi tidak dengan siswa mengikuti
kelas ini. Dan pembiacarannya lancar serta terstruktur. Dikejutkan lagi, karena
alasannya ikut kelas filsafat dasar ini ingin memperdalam baca pengangtar buku-buku filsafat sejak
Sekolah Menenag Pertama (SMP), alasan yang begitu mencengangkan serta punya
fokus dalam membaca buku.
Lagi-lagi saya
mengenal Rafi bukan dari karyanya terdahulu, melainkan dari didi sebagai
personal yang sama-sama memiliki motovasi belajar. Selain itu, Ia juga menjadi
teman diskusi yang seru saat jam istirahat kelas. Obrolan yang dingat di benakku,
ketika menyebutkan salah satu buku Open Socety karya Karl Poper. Katanya,
Dia sudah membaca buku tersebut. Bahkan setiap berbicara pijakan dasarnya Karl
Poper, awal-awal. Sebelum mengenal Jaques Lacan.
RAFI DAN BUKU YANG
DITULIS
Sebagai pembaca tentu
ada konsep paling menarik untuk saya terapkan dalam diri. Ada tiga hal; 1)
mebaca sebagai pembaca teks, 2) membaca
tokoh/penulis buku, 3) pembaca sebagai konteks pribadi ‘kira-kira membaca buku
ini ada kaitan dengan pribadi/menjadi kebutuhan’. Setidaknya dasar membaca
seperti itu, ketika membaca buku “Buku Panduan Melawan Sekolah” ditulis oleh
Rafi Azzamy.
Membaca buku Rafi, memandang cara kritis seorang
dalam melakukan perjuangan atas hal-hal fundamental di dunia sekolah. Pendidikan
yang sepertinya membebaskan ternyata
sebagai siswa memiliki perspektif berbeda. Tidak sama dengan apa yang
diharapkan pendidik dan peserta didik. Hal tersebut dalam buku “Penduan Melawan
Sekolah” tidak lain membuat seorang pendidik perlu mengevaluasi adanya
kebijakan—yang setidaknya kurang sesuai dengan keinginan siswa yang inging
sekolah.
Menurut Prof Djoko
Saryono guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) dan Pakar Pendidikan, yang
memberikan testimonya di buku tersebut menuliskan dalam kutipannya “Rafi
mengajak kawan-kawannya melawan sekolah yang penuh kepalsuan dan ingkar janji
kepada generasinya”. Kutipan tersebut terpapang di depan buku. Dari kutipan
tersebut perlu mereduksi sekaligus merefleksikan diri apa yang disampaikan oleh
seorang pakar dan professor tersebut.
Sederhannya. Ada
kejanggalan perlu disadari secara bersama. Terkhusus bagi seorang pendidik—yang
tidak memberi peluang atau mengukung siswa untuk tidak berkreasi, kratif.
Sekurang-kurangnnya kemerdekaan atas dunia belajar tidak dibatasi (siswa yang
memang memiliki jalan baik dengan dirinya sendiri perlu punya jalan akan hal
baik akan pilihannya, perlu difasilitasi, bukan dibatasi). Jika belajar
merupakan tempat belajar yang nyaman, siswa pelu diberi kebebasan serta bisa
menggali potensi-potensi dirinya.
Keseimbangan seorang
peserta didik dan pendidik perlu dijunjung tinggi, bukan ada realasi kuasa atas
pendidik. Semestinya seorang pendidik memiliki relasi sama sebagai seorang—yang
belajar hubungan mengajar mentransfer pengetahuan saja, tapi juga ada
proses saling belajar. Jika tidak
sama-sama belajar akan ada ke-akuan yang
diangkap kalau ‘siswa merupakan wadah kosong perlu diisi’. Padahal tidak
demikian.
Ravi dalam hal ini tidak sejutu dengan apa yang
ada dalam sistem demikian. Maka paling penting untuk membuka kran itu
semua, yaitu mengubah kesadaran seorang pendidik tidak menganggap bahwa siswa
merupakan manusia tidak memiliki kesadaran terhadapa tujuan belajar. Tapi
pelajar sebagai subjek dari proses mengajar dan belajar. Sehingga secara
esensial pendidikan itu mencerdaskan
sekaligus membuka kesadaran atas dirinya.
Untuk melakukan
cara-cara efektif tersebut tidak perlu jauh-jauh melakukan rapat panjang lebar.
Cukup buku yang ditulis memiliki skema yang sesuai sekaligus relevan bagi kaum
milenial. Selain itu, buku Ravi memberikan sebuah konsepsi atau tolok ukur
relevan. Karena secara langsung Ravi terlibat di dalamnya. Hal ini termasuk
namanya pengalaman pribadi.
Pendidikan dan Bagi
Siswa yang Tak Sadar Kebutuhan Belajar
Kesadaran siswa
(i) secara luas akan memiliki perbedaan.
Tidak semua siswa berada di atas rata-rata se-Ravi jika perlu menyebutnya itu
ideal, tapi ada pula siswa bersekolah lantaran tekanan dari orang tua. Bukan
keiinganan sendiri, hal ini menjadi masalah pribadi dan kompleks juga.
kaitannya akan dengan motovasi belajarmnya.
Jika di dalam kelas
ada 10 siswa (i) seperti halnya Ravi dalam semangat belajarnya. Maka jangan
kwatir akan ada perbuhan signifikan di dunia pendidikan. Namun tidak bisa
mengukurnya dengan cara hal-hal paling ideal, karena ideal akan identik
special. Dan special itu tak akan banyak. Apakah akan nanti?
Pertanyaan tersebut
masih bersifat ideal, sedangkan di dunia ini tidak ada yang idaeal. Kecuali
hal-hal praktikal akan susuai dengan kebutuahan manusia terealsiasikan. Dunia
siswa (i) penuh beragam, begitupun motovasi belajarnya. Hal ini akan menjadi
bukti bahwa konsep belajar siswa (i) berbeda-beda. Sebagai orang yang ingin
menawarkan perpektif ideal diterapkan ada dua: 1. Konsep menerima, 2. Konsep
mencari.
Konsep tersebut
mereduksi dari kisah di epos Mahabarata di dalam dua tokoh paling menarik jika
kita terapkan di dunia pendidikan. Bahkan teruntuk kepada orang-orang yang
ingin belajar secara seirus. Tokoh tersebut perlu diikuti cara kehidupan dalam
konetks belajar yaitu: Karna dan Arjuna.
Dalam kisah tersebut.
Walaupun mereka berdua merupakan saudara, tapi tidak diketahui kalau mereka
berdua bersaudara. Namun penulis tidak mencaritakan panjang lebar kedua tokoh
tersebut dari segi persaudaraannya. Akan berbusa-busa saja… karena paling
penting ialah cara belajar mereka berdua—yang hemat saya mereka secara tersirat
punya konsep perlu ditiru bagi siswa di Indonesia.
1.
Karna sebagai
sosok orang yang meneripak kopsep belajar mencari. Dalam kisahnya dia tidak
diakui sebagai murid dari seorang Drona, lantaran secara politik beranggapan
kalau dia akan menjadi muridnya, akan mengalahkan seorang ponakan bernama
Arjuna. Walaupun tidak dianggap murid dia tetap takdim kepadanya, bentuk
keta’dimannya itu membangun patung lalu setiap kali berlatih memanah berdoa di
depan patung Drona—yang dianggap gurunya. Serta dia akan belajar dengan banyak
mencari cara menjadi pemanah terhebat. Cita-cita tersebut berhasil dan Karna
menjadi pemanah terhebat, dalam kematiannya pun dia, dikarenakan dia tidak
memegang senjata. Dan sejarah membaca kalau Karna sebagai kasatria pemanah terbaik di dunia
terbunuh lantaran tidak memegang senjata. Seandainya senjata dipegangnya tidak
akan terbunuh, malah sebaliknya akan terjadi.
2.
Arjuna sebagai
sosok tampan dan sakti madraguna. Kelebihan yang dimiliki adalah sama dengan
Karna yaitu memanah. Dia salah satu murid paling disayangi oleh guru Drona
sekaligus sebagai kakeknya. Selain itu dia hanya menerima konsep menerima dari
belajarnya. Setiap saat hanya berlatih
apa yang diajarkan oleh gurunya, tanpa menambah ilmu dari lainnya. maka secara
tidak langsung akan kalah dengan Karna dalam kesaktian, lebih unggul. Bahkan di
dalam peperangan pertama Arjuna hampir kalah dalam petarungan di salah satu
perebutan permaisuri. Dan masyarakat sadar kesaktian Karna lebih unggul,
seandainya kasta tidak dipandang di epos tersebut.
Pada
konsep tersebut perlu menyadari dan perlu mengambil konsep tersebut. tanpa
memberikan label kepada Ravi dalam konsep belajar digunkan, ketika membicarakan
cara belajar Karna dan Arjuna. Namun hal ini menjadi tawaran kepada kita semua
bahwa dalam belajar perlu memiliki penerapan: mencari atau menerima.