Sabtu, 10 Oktober 2020

Betapa Tak Menariknya Kebijakan Tuan dan Puan


Semoga panjang umur untuk hal-hal baik. Begitulah, yang pantas hari ini ucapkan sebagai bentuk syukur. Merasakan keadaan negeri ini yang baik-baik saja. Namun ada yang kurang baik, yaitu kebijakan yang tidak begitu indah. Keputusan menjadi chaos. Kita sadar negara ini dibangun oleh para pendiri bangsa yang arif dan bijaksana, oleh sebab itulah mengingat pada Presiden Pertama Ir.Soekarno dengan risalahnya “Aku lebih mudah memerangi serta mengusir colonial Belanda dari Indonesia , namun bukan hal itu paling berat, akan tetapi lebih sulit, berat memerangi bangsa sendiri, yang memiliki kulit sawu matang”. Hal itulah sepertinya menjadi refleksi bagi kita semua hari ini, dengan memahami keadaan negeri ini. 

Beberapa waktu lalu salah satu teman berkata “Bagaimana masyarakat kok banyak yang saling salah menyalahkan perihal kebijakan”, pertanyaan tersebut membuka perspektif baru. Jika ada narasi tunggal mengarah ke pemerintah tentu harus dilakukan pola pikir sehat. Hemat saya dalam pembicaraan tersebut, jika sistem sudah baik dan tidak ada multitafsir, harus tetap dilanjutkan, dan tidak perlu diubah. Sistem di Indonesia sudah baik hanya oknum menjalankan rodanya saja terkadang “terbilelinger tidak menemukan arahnya revolusi, maka kembalilah pada satu nation yaitu penderitaan rakyat yang dinamis dan konkrit”, Ir Soekarno saat penyampaian pidato tahun 1966.

Namun, ketika sebuah pandangan memberikan dampak, perihal itu tentu menjurus kepada pemerintah sekarang yang bernarasi ”Betapa tidak menariknya pemerintah sekarang” hal itu harus menjadi kegelisahaan bersama, sebab masyarakat seperti memiliki rasa distras perihal kebijakan tidak tidak profesional serta proporsional dengan rakyat kecil. Ketika kepercayaan telah diciderai, pola pikir akan terbuka sendiri dan akan melahirkan kesangsian dalam berpikir mengenai negeri ini.

Namun, dalam memberikan argumentasi atau perihal pandangan kita harus netral berpikir mau bertindak. Tetap yang menjadi kegelisahaan bersama yaitu masyarakat (rakyat Indonesia yang mengalami kesulitan di masa pandemi ini). Mulai dari kesulitan akan hal ekonomi, pendidikan, dan budaya. Tentu hal tersebut tidak lain sudah ada kebijakan yang telah diberikan oleh pemerintah, dalam menanggulangi rakyat dengan berlakunya pra-kerja, dikhususkan kepada orang-orang yang tidak bekerja. Sebagian masyarakat merasakan yang kini masuk gelombang 10. Hal tersebut menjadi bukti kerja para pemangku kebijakan memberikan dampak positif kepada masyarakat, masih ada.

Suara masyarakat intelektual yaitu mahasiswa (i) telah melakukan kajian serta sebuah konsep berupa gerakan. Seperti halnya telah melakukan demonstrasi, dilakukan di kota-kota di mana para mahasiswa bisa menyuarakan diri apa yang menjadi kegelisahan masyarakat luas. Perihal paling tidak pernah sejalan yaitu; RUU Cipta Kerja yang akhir-akhir ini pemerintah seperti memberikan sebuah keputusan tanpa melakukan peninjauan lebih luas dari buruh. Walaupun secara tidak langsung memiliki hakikat baik perihal kebijakan, namun keputusan ketika tidak dimufakati bersama niat baik akan menjadi buruk.

Hal tersebut seperti terburu-buru dalam melakukan keputusan. Bahkan dalam media tirto.id (03/10/2020) memberitakan berbunyi; jelang tengah malam, tujuh fraksi partai politik di DPR RI, DPD RI, dan pemerintah menyepakati Omnibus Law RUU Cipta Kerja (Ciptaker) selesai dibahas di tingkat I. RUU Cipta Kerja tinggal menunggu pengesahan di pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.

Pertanyaanya, apakah keputusan tersebut tidak terlalu terburu-buru. Sedangkan masyarakat masih mengalami sebuah kepanikan yang belum selesai mengenai virus corona yang entah kapan akan usai. Fokus masyarakat masih pada pandemi, namun pemerintah lebih berfokus pada pengesahaan Omnibus Law Cipta Kerja. Hal-hal hari ini dikhawatirkan oknum-oknum yang memiliki kepentingan melakukan gerakan kurang sehat. Mengambil kesempatan untuk menyukseskan misinya sebagaimana seorang musuh mengambil peluang untuk menang. Maka dari  situlah dedikasi  kepada masyarakat luas harus lebih masif berikan agar tetap ada pandangan.

Masyarakat hari ini tidak akan memandang presiden dan pemimpin yang lainnya. Yang dilihat adalah kebijakan sistem yang telah disepakatinya. Tentu sebuah kerugian menimpanya (merasa bahwa masyarakat kecil seperti buruh), secara tidak langsung menyita hak-hak buruh/pekerja. Nantinya pekerja/buruh akan diupah semurah mungkin dengan penghitungan upah per jam dan dilegalkannya pembayaran upah dibawah sektor ketenagakerjaan. Selain itu status dan kepastian kerja tidak jelas lewat outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu. Itulah hal mendasar persoalan mendasar dalam RUU Cipta Kerja.

Distrasnya masyarakat terhadap pemerintah disebabkan adanya kebijakan yang tidak tepat. Masyarakat kecil merasa sangat dirugikan perihal yang telah disahkan. Namun, pertanggungjawaban masih berada diambang bahkan merasa dirugikan. Untuk mengobati dan tetap percaya kepada pemerintah khusus kepada Bapak Presiden Jokowi menurunkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) .


 



*Ditulis ketika demonstrasi akan berlangsung atas tuntutan Omnibus Law Cipta Kerja Kamis 08/10/2020

Sabtu, 03 Oktober 2020

Kiat Sukses Seorang Penulis Besar

 

Resensi buku

Judul: Sebelum Lampu Padam

Penerbit: Pelangi Sastra Malang

Penulis: Abdul Aziz Rasjid

Cetakan: Pertama Mei, 2020

Tebal: 13x20 cm; xvii+166 halaman

ISBN: 978-623-7283-5-22

Genre: Esai Sastra 


Di tangan pencukur rambut terampil, rambut apa saja akan menghasilkan potongan yang rapi dan pas. Begitu pula di tangan seorang penulis disiplin, hal apapun objeknya menjadi tulisan berkualitas dan menyenangkan. Itulah ungkapan yang tepat dalam menyimpulkan kumpulan esai sastra berjudul Sebelum Lampu Padam, Pelangi Sastra karya Abdul Aziz Rasjid. 

Sebelum masuk ke isi buku. Mari sejenak refleksi, ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), mata pelajaran bahasa Indonesia. Duduk bermalas-malasan di bangku sambil mendengarkan guru menyampaikan pelajaran. Di samping jendela, mata memandang keluar jalan raya terbentang serta lalulang mobil dan motor sangat jelas; barangkali itu salah satu kebosanan ketika belajar. Ketika menyebutkan tahun, nama-nama tokoh, dan kronologis bisa ditebak kalau itu pelajaran periodisasi sastra. Pelajaran tersebut ada kaitannya dengan bahasa. Karena sastra mediumnya bahasa. Seperti biasa sebelum masuk lebih dalam ke bahasa tentu belajar sejarahnya terlebih dahulu; hal itu begitu membosankan sebab harus menghafal.

Membaca buku seperti memandang oasis kesusastraan. Berwarna hijau bersamaan dengan embun. Hasil bacaan luas dijadikan sebuah naratif ciamik bernama esai. Bermula dari khazanah sastra dalam negeri, hingga ke luar negeri. Sehingga khazanah kesusastraan akan menjadi luas, dengan mudah diterima. Dalam naratifnya mengisahkan dua tokoh besar seperti Edward Said dan Jeans Paul Sartre bahwa pada masa kecilnya mereka sangat dekat (gemar dengan sastra), sehingga terbawa pada gagasan-gagasan sastra, dan menjadi pengaruh terhadap mereka berdua semasa hidupnya. Dari keduanya dapat dilihat dari karya dan masa hidup dalam berperan di bidang keilmuan (hal.43).

Tujuan penulis telah jelas dalam hal ini. Bahwa dalam menjadikan dirinya sebagai seorang penulis hebat, terkhusus dalam kesusastraan, dengan ikhtiar tidak akan membuat otak kekeringan dengan membaca banyak baca karya-karya orang hebat. Ia mengajak kepada penulis nantinya agar tetap menjadi seorang penulis yang baik dan hebat. Karena baik saja ruang lingkupnya hanya dalam negeri, namun hebat akan keluar dari negerinya sendiri; seperti halnya penulis besar luar negeri karyanya dibaca oleh orang Indonesia, seperti halnya Orhan Pamuk, Kahlil Mutran, Leo Tolstoy, Pablo Neruda, Miguel De Cervantes, Gabriel Garcia Marquez, Shakespeare, Maxim Gorky, dan Edward Said, serta para penulis lainnya. Demikian seperti rumus sederhana ketika menjadi seorang penulis yang baik dan hebat (Hal.67).

Tulisan yang sangat memberikan reflektif kepada pembaca sastra Indonesia. Bahwa sastra Indonesia sepertinya perlu dan sangat penting menemukan marwahnya sendiri dengan pola-polanya serta tekniknya sendiri. Abdul Aziz R seperti memberikan tips cara menjadi penulis hebat yaitu; 1) membaca karya-karya bagus. 2) menuliskan hasil bacaan dalam bentuk esai. 3) mempraktikan dengan melatih menulis. 4) perbanyak diskusi dan berkumpul dengan  pegiat sastra. Empat tahap tersebut menjadi dasar untuk menjadi penulis good to great.

Penulis baik dan hebat dilahirkan dari sebuah proses panjang. Proses panjang tersebut dengan memperluas dengan khazanah pembacaan dengan seperti itulah bonus dari membaca yaitu menulis, karena semakin banyak hal diketahui dan dialami, maka dengan menulislah ide dituangkannya mencipta pengetahuan baru. Dalam kiat sukses menjadi penulis hebat membaca buku Senyap Lebih Nyaring Circa 2019, karya Eka Kurniawan mendedikasikan bahwa penulis yang hebat bisa melampaui empat proses yaitu; 1) Membaca karya sastra, 2) Menulis ulang karya sastra, 3) Menerjemahkan karya sastra, 4) dan memulai menulis. Hal tersebut menjadi salah  dua proses seorang penulis good to great.

Perbedaan dari keduanya tidak lain memberikan sebuah dedikasi pasti, dalam kiat kiat sukses menjadi penulis. Kumpulan esai Abdul Aziz R membahas, bahkan berporos pada naratif sastra yang ciamik dalam penyampaianya sehingga khazanah perspektif kita lahir. Hal tersebut menjadi bukti bahwa gerbang dunia yaitu membaca dan memperbanyak baca karangan luar teringat pada kisah. Pada suatu hari, Miguel de Cervantes menemukan sebuah buku yang berjudul Sejarah Don Quixote dari Lamancha di sebuah toko loak dan berkah buku tersebut sastra dunia diberikan corak baru (hal.101).

Maka, buku ini hakikatnya ingin menyampaikan bahwa seorang penulis besar akan melampaui banyak membaca. Tanpa menggurui atau memberi tips cara menulis. Pandangan tersebut lebih reflektif seorang penulis sudah tentu pembaca yang baik, namun seorang pembaca belum tentu penulis. Maka sebelum mematikan lampu untuk tidur sangat pas jadi pengantar.





Resensi buku ini telah dimuat oleh koran Jawa pos Radar Madura 30/09/2020