Jumat, 29 Oktober 2021

FUNGSI, BAHASA, DAN SEMANGAT SUMPAH PEMUDA


Sumpah pemuda, salah satu tanggal, bulan, dan tahun bersejarah bagi masyarakat Indonesia. Karena setiap 28 Oktober. Semangat ini tidak hanya berbicara mengenang masa lalu, tapi ada semangat masa lalu yang diwarisi kepada generasi hari ini. Hal itu yang sebenarnya perlu terus tertanam dalam diri, bukan hanya euforia saja, tapi juga harus tetap memiliki semangat kebanggan mengenai bahasa Indonesia yang ini bentuk hal terkecil di bulan butir tiga. Berisi tentang berbahasa satu bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu.

Namun di dunia pendidikan, khusus Pendidikan Bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda 28, Oktober 1928. Tanggal tersebut punya semangat nilai tersendiri dan jadi momen mengesankan, yaitu sebagai tahun, bulan, dan tahun, disebut pula sebagai lahirnya bahasa Indonesia. Sebab dari tiga butir ada semangat penggunaan bahasa sebagai bahasa pemersatu bangsa. 

Pada dasarnya, bahasa di suatu negara sebagai suatu identitas. Karena bahasa sebagai bagian dari budaya yang akan mencerminkan diri sebagai karakter masyarakat. Bahkan membentuk karakter manusia. Jika masyarakat menggunakan bahasa yang baik, maka akan menjadi karakter. Ada adagium pas untuk bahasa, mulutmu adalah harimaumu. 

Jika kita cermat terhadap negara. Ternyata selain Indonesia, banyak negara yang mempunyai bahasa dan ternyata di negara Indonesia masuk nomor 2 memiliki bahasa terbanyak. Jika kita ketahui kalau bahasa daerah masyarakat Indonesia yaitu, kurang lebih 710 bahasa daerah yang masih digunakan atau aktif. Maka sangat perlu adanya bahasa pemersatu sebagai bentuk keberagaman yang sangat luas. Yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. 

Setelah itu, posisi paling banyak di posisi ini ada di tetangga negara Indonesia, yaitu Negara Papua Nugini. Bahasa di  masyarakat yang masih aktif digunakan yaitu 840 bahasa dan berlaku. Tentu, dalam hal ini masyarakat masih menggunakan bahasa tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun tetap punya bahasa resminya, yaitu bahasa Inggris, Hiri Motu, dan Tok Pisan. Apakah akan tetap kalau bahasa akan sebagai bentuk identitas. Pertanyaanya tersebut perlu dikoreksi ulang sambil lalu ditemukan solusinya. Sehingga bahasa harus dijadikan sumber pengetahuan.

Negara yang bahasa resminya tidak memiliki kekuatan atau ideal di negaranya. Terkadang masalahnya lantaran masih belum menjadi ilmu pengetahuan, atau masyarakat belum punya kebanggan untuk menjadikan dirinya percaya kalau bahasa resmi menjamin hidupnya. Sehingga, untuk merasa bangga dan menyebarluaskan tidak percaya diri. Bahkan malu. 

Seandainya bahasa resmi menjadi ilmu pengetahuan, yang dapat menyelesaikan masalah individu setiap orang. Maka tanpa ragu masyarakat akan punya semangat, tetap mengamalkan dan mengembangkan. Sehingga tidak ada lagi orang akademis diolok-olok "ngapain ambil jurusan bahasa Indonesia, kan sudah orang Indonesia." Narasi ini sering terjadi di lingkungan kita.

Jika tercanang bahasa sebagai ilmu pengetahun, secara tidak langsung merasakan kalau bahasa resmi sebagai kebutuhan diri. Sehingga masyarakat akan punya sudut pandang berbeda dengan kondisi untuk bersikap kepentingan bahasa. 

Kembali pada butir ketiga 'Sumpah Pemuda,' seorang akan punya pandangan berbeda, khusus bagi yang belum punya kesempatan memahami seluk-beluk linguistik umum ataupun khusus. Mungkin hanya paham mengenai fungsi bahasa, dan secara itu reduksi sehingga sempit. Makna tersebut sangat sempit dan rumit. Sebenarnya bisa diperluas yaitu lagi, bahwa pemersatu akan bisa membantu hidup lebih baik secara ekonomi maupun  secara jenjang karir. Analoginya begini, contoh kalau seorang pedagang mampu menguasai bahasa dengan baik akan dengan mudah menjual dan dapat hasil maksimal. Begitulah fungsi sederhana.

Mengingat dengan  film Habibie dan Ainun, ada percakapan mengenai pentingnya bahasa--yang bukan hanya berbicara sekedar fungsi. Kurang lebih begini percakapannya, "Dalam hidup, jika kalian mampu menguasai bahasa maka kamu akan bisa terbang kemana-mana seperti burung, bebas!!" Begitulah kutipan film yang dilontarkan Habibie kepada temannya yang di Jerman. Makna secara sederhana, seorang akan punya bahasa akan banyak pengetahuan, dan masalah rejeki akan datang. 

Dalam perkatakan itu, kalau bahasa bukan sekedar alat komunikasi saja, melainkan juga sebagai ilmu pengetahuan. Khusus dalam masyarakat yang senantiasa mencoba mencari identitas dirinya. Kesadaran akan ilmu pengetahuan. Bahasa akan punya peran dalam kehidupan sehari-hari, jika dikuasai. 

Peran paling penting yaitu ada dua faktor yang mampu mengenalkan sekalian mengamalkan, yaitu; 1) dunia pendidikan, 2) organisasi masyarakat. Keduanya akan punya peran efektif serta dalam bentuk pengembangan yang memulai dari sebuah kesadaran diri sebagai kebutuhan, bukan sekedar mengimplementasikan sebagai fungsi bahasa, melainkan sebagai identitas yang membawa diri ke taraf hidup lebih baik secara moril dan material. 

Sehingga dalam memposisikan bahasa, secara pribadi punya kebanggan. Kebanggan tersebut melahirkan sikap empati serta rasa ingin memiliki. Dampak itu, akan menjadi dedikasi ke semua orang. Jika bahasa hanya sebagai fungsi akan rentan dijadikan alat kepentingan saja, tapi jika jadi pengetahuan akan melahirkan solusi baik dari buruknya hidup. Dan merasa setiap kebutuhan hidup berkaitan dengan bahasa. 


Rabu, 27 Oktober 2021

SEMANGAT SASTRA PESANTREN DAN SEMINARI


Di akun facebook tempo hari lalu yang ditulis oleh salah tiga, yaitu Mashuri dengan akun facebook bernama Mashuri Alhamdulillah, Binhad Nurrohmat, dan Raedu Basha. Mereka memiliki semangat dunia sastra. Saat itu, sebagai anak kemarin sore belajar merangkak mengenai sastra, kaget. Ketika mereka membahas sastra pesantren. Setelah dibaca sambil lalu berpikir mengenai itu, terngingang-ngiang di kepala. Apa benar ada atau tidak, saat itu mencoba mencarinya.

Di Majalah Tempo Edisi 5-11 Agustus 2013, dalam liputan khusus ‘Sastra Religi’ berjudul "Pada Mulanya Kata". Liputan panjang tersebut menguraikan beberapa kehidupan sastrawan yang lahir dari pesantren. Namun, tidak hanya dari pesantren yang diangkat melainkan juga sastrawan yang berproses dari Seminari--yang mana, keduanya melakukan proses serta cara-cara 'nyaris' sama." "Pesantren dan Seminari tidak hanya melahirkan kyai dan pastor yang pandai berkhotbah serta bergiat mengurusi dakwah dan tanah misi. Dari sana, lahir pula sejumlah sastrawan yang memperkaya khazanah sastra Indonesia." 

Adapun, tokoh-tokoh sastra yang pernah mencicipi atau menikmati dunia Pesantren dan Seminari. Bahkan sastrawan yang diperhitungkan di Indonesia, lahir dari lembaga pendidikan keagamaan. Dari Seminari ada, Jokpin, Romo Mangun, Remy Suka di, Mario F. Kawi, serta pastor Leo Kleden, SVD adalah sederet sastrawan dengan latar belakang yang sama. Dari Pesantren, mengenal Mustofa Bisri (Gus Mus), Zawawi Imron, dan Acep Zamzam Noor, beserta Abidah El Khalieqy dan Ahmad Fuadi dari generasi baru. Tempo (hal 51, 2013). 

Di akun facebook itu, saya sebagai anak kemarin baru lahir sambil belajar merangkak terseok-seok, mengenai sastra. Mereka itu, salah tiganya yang sebatas diketahui, yaitu; Mashuri dengan akun facebook bernama Mashuri Alhamdulillah, Binhad Nurrohmat akun facebook nama asli, yang ketiga Raedu Basha. Mereka saling sahut menyaut melempar gagasannya sangat enak didengar, sebab mereka dengan bijaksana, menggunakan bahasa.

Mereka menulis sangat nyaring sekali di mata dan telinga saat membacanya. Mereka tidak bertengkar dan tidak membenarkan baik buruknya kategori “sastra pesantren” benar atau tidak, karena secara sadar kalau dipandang secara harfiah kata “sastra” yang tidak sedikitpun punya makna saklek secara fungsi, saat digabungkan dengan kata lain. Namun kata “sastra” dalam arti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kita, bukan bahasa sehari-hari). Jadi, semua karya manusia berupa “kata/teks’ di bumi, jika hanya memaknai sastra begitu. Kata sastra,  pesantren, serta seminari, secara mereka bermula dari bahasa--yang secara manusia sebagai subjek, manusia sebagai peran aktif pasifnya. 

Dalam konteks kategori ini, hemat penulis tentang sastra pesantren atau non pesantren. Mungkin bagi seorang penulis karya sastra yang tidak ingin ramai dan ingin damai tapi ramai. Mereka akan menunduk fokus menulis dan bagaimana membawa semangat membalut dengan karya sastra sebagai alat saja. Sehingga penciptaan karya akan membawa semangat apa-apa yang akan disampaikan di dalamnya, oleh seorang penulis. Penulis menciptakan berfokus pada bagaimana mengemasnya. Mengenai dikotomi kritikus dan akademis akan mengkaji dari hasil karya. Mungkin begitulah kerja sederhana sastra. Tentang semangat sastra dan membawa nilai estetika apa di dalam karya.

Sebagai awam dan baru kemarin sore tahu sastra, yang terseok-seok masih berusaha memahami relung-relung untuk mendalami. Dengan membaca, diskusi, atau mendengar berita di media sosial, di spotify, dan youtube, bahkan dari para pegiat yang dianggap sudah di luar kepala paham mengenai dunia sastra. Namun, tidak semua yang didengar direkam lalu disimpan dalam ingatan. Ternyata mereka berbicara ada yang layaknya ada pula yang tidak, perlu dimasukkan di telinga, untuk disaring dan dikaji.

Dalam hal ini, penulis tidak ingin memberikan pandangan yang sebenar-benarnya, atau membenarkan. Tapi, ini sebagai usaha spesifik sastra pesantren seperti apa yang menjadi fokus pembahasan. Tentu, hal tersebut perlu diluruskan bila itu perlu agar tidak ada kesangsian bagi yang awam atau sudah berpengalaman. 

Pembahasan akan berfokus pada sebuah pandangan umum. Bahwa setiap karya sastra akan punya genre yang dibentuk oleh khalayak umum--yang disepakati. Kalaupun akan punya pandangan lain agar menyempurnakan yang telah ada (umum). Itu bagian dari proses kesusastraan. Siapa yang menemukan atau yang memulai akan jadi orang diperhitungkan oleh para penikmat sastra atau yang punya kebijakan mengakui karya, lalu disebut ia sebagai sastrawan, penulis,penyair, novelis, esais, dan jurnalis. Ya, minimal sastrawan bagi dirinya sendiri yang berkarya tidak untuk dikenalkan dan dikenang, cukup di lingkungan bernilai: baik dan karyanya. 

Semangat Proses Berkarya

Secara proses, sastra pesantren memiliki proses yang sama, atau sama dengan seorang non-pesantren menggarap atau membuat karya sastra dengan cara-cara umum, prosesnya. Dengan membaca, diskusi, banyak cari pengalaman, banyak ngopi, dan merenungi sesuatu di ruang sepi, itu sama saja. Yang jelas tidak hanya menjadi seorang suci yang tahu banyak hal, berada di menara gading.

Sastra pesantren dalam hemat penulis hanya wadah penampungan ilmu, sebagaimana sekolah tempat belajar banyak orang. Tidak punya nilai kalau penghuni sekolah tak mencerminkan manusia terdidik. Begitupun di Seminari. Bahwa sastra tetap sebagai alatnya, alat yang dapat menyampaikan sesuatu--dari gagasan, nilai, dan tujuan. Sastra sebagai lapis dari ketiganya. Hal ini dapat dipandang kalau isi dalam karya sastra sastra membawa semangat apa. Penulis yang ingin bawa semangat nilai agama, nilai budaya, HAM, sejarah, dan nilai-nilai lokal, atau sekadar membagi kisah tragis atau senang kehidupan orang lain atau diri sendiri dan banyak lagi. Setiap penulis akan membawa semangat berbeda-beda dalam berkarya, khususnya karya sastra. 

Mereka, pada dasarnya manusia yang pada umumnya, sama. Memakan, meminum, serta berak. Namun, mereka punya semangat besar berkarya di bidang kesusastraan. Hingga pada akhirnya dapat diakui dalam karya atau secara kepribadiannya--yang bisa membawa semangat berbeda-beda--dan sastra seperti wadah netral tanpa tendensi. Atau tidak membuat chaos dengan saling membenarkan karya sastra. Dan sastra memang tidak memiliki agama, kecuali yang penulis karya sastra punya keyakinan.

Pada dasarnya esensi sastra dan bahasa tidak dapat dipisahkan. Sebab bahasa menjadi media sastra, sastra menjadi pembalut dari ide dan bahasa jadi alat pembeda (representasi) mencipta keindahan. Hal tersebut selalu jadi kelebihan karya sastra. Maka, bahasa dalam karya sastra selalu membuat manusia hidup seperti tak punya agama tapi punya Tuhan. Seperti seorang bocah yang iman kepada Pencipta alam, yang mendahului alam semesta ini, diyakininya. 

Manusia jenis tersebut termasuk manusia yang gandrung akan keindahan bukan perkelahian dan perpecahan. Mengupas puisi Soe Hok Gie (1961) "aku tak ingin berbicara tentang nilai dan cinta, melainkan tentang keindahan," kurang lebih demikian kutipannya. Interpretasi makna tersebut punya kekuatan nilai puncak dari hidup manusia dapat mencapai ma'rifat keindahan. 

Kalau dicermati manusia yang menggemari sastra yang lahir dari Pesantren dan Seminari, secara laku ataupun karya selalu bersentuhan dengan hati. Terkontaminasi pada ideologi atau agama yang digandrungi--yang diamati sebagai keyakinan akan membawa keselamatan. Makrifat indah dalam hidup Tuhan. Sastra sebagai jalan penyatuan bermula dari kata. Dan di luar orang-orang membuat dikotomi serta ajang pengangkatan. Mungkin. 


 

Selasa, 26 Oktober 2021

HIPERSASTRA DAN MAKNA SASTRA ANAK


Hipersastra merupakan pandangan yang memberikan tanda mengenai sesuatu yang berlebihan mengenai sesuatu. Walaupun kadang berlebihan dampaknya, positif atau negatif selalu eksis. Apalagi membicarakan sastra, yang setiap zaman selalu asik dan penting dikaji dalam culture studies. 

Saat membaca majalah Bobo, yang terbit tahun XXVI, 14, Januari 1999, dengan topik utama “Keriput Empuk” secara umum, majalah tersebut berisi cerita anak, berita anak, cergam, dan puisi anak. bahkan secara kebahasaan yang kental dengan bahasa--yang sangat kental secara substansi ini, fokus pada pembahasan karya khusus anak. 

Relevan karya sastra tersebut, masuk ke pembahasaan nilai-nilai sastra anak. Akan tetapi, substansi isi majalah tersebut beragam mengenai isi. Jika diperhatikan dari setiap penulis di dalamnya, tidak hanya anak-anak yang mengisi rubrik-rubrik dalam majalah tersebut, namun ada juga orang dewasa bahkan orang tua. Hal ini tentu akan menjadi sebuah problem kacil. Karena anak tidak ingin digurui melalui lisan maupun tulisan, karya sastra sebagai wadah paling ideal.

Memaknai sastra, tentu akan mengingat dengan empat konsep; realitas sosial, pembaca, teks, dan penulis. Batasan tersebut secara fokus membahas sastra secara luas—yang perlu dispesifikkan. Bahwa empat konsep tersebut akan menentukan konvensi mengenai jenis-jenis sastra. Sastra anak pun, akan menjadi pembahasan paling menarik di masa-masa sekarang ini. Sebab sudah terlalu banyak karya sastra anak.

Sastra selalu menjadi perbincangan yang menarik di setiap zaman, apalagi diperluas lagi dengan kata “sastra” disandingkan dengan kata “anak.” Jadi frasa “sastra anak,” bahkan ada pula jenis gabungan dengan kata lain, sastra menjadi beragam bergabung seperti kata “dewasa” akan  menjadi frasa “sastra dewasa.” Apakah semua itu dapat diklasifikasikan dalam bentuk kategori yang paten. .

Sastra menurut Lukens (2003:9) menawarkan pandangan yaitu, ada dua hal utama; kesenangan dan pemahaman. Di tangan pembaca, karya sastra paling sederhana memberikan hiburan yang menyenangkan. Sehingga sastra akan menawarkan cerita menarik, mengajak ke dunia fantasi, membawa pembaca suatu alur kehidupan yang penuh dengan daya suspense, daya menarik bagi pembaca untuk ingin tahu dan merasa terikat karenanya, “karena memainkan” emosi pembaca sehingga larut ke dalam arus cerita,  dan semuanya dikemas dengan bahasa yang dimainkan sehingga menarik. 

Adapun, dalam sastra anak tentu berfokus dengan pada penciptaan karya. Serta apa yang akan disampaikan atau dapat dikaji dari segi kebahasaan seorang dewasa membuat karya sastra. Karya sastra anak yang dibuat oleh orang dewasa apakah akan bisa memfungsikan karya sastra anak sebagai media paling baik memberikan dedikasi kepada anak-anak melalui sastra.

Sastra anak, secara etimologi dapat dikatakan hyper sastra. Sebab secara bahasa yang digunakan  secara dalam teks memperhatikan pada bahasa. Bahkan untuk masuk ke ruang lebih luas lagi penggunaan bahasa berlebihan. Bagaimana sastra sebagai alat semata, isinya terletak pada ide penulis karya sastra, menjadi sempit dengan sebutan “sastra anak.”

Menurut Stewig (1980:18-20) menegaskan mengapa anak diberikan buku bacaan sastra adalah agar mereka mendapatkan kesenangan. Sehingga anak-anak pada dasarnya memerlukan banyak hiburan. Bukan hanya pemahaman-pemahaman--yang diterima, melainkan sebuah tempat bermain yang nyaman: di sekolah.

Makna kata “sastra” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata-kata, gaya bahasa yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari). Makna tersebut dapat dikatakan sangat sempit dalam sastra. Karena sastra tidak hanya membicarakan tentang keindahan pada teks kita, tapi akan ada nilai lebih dari itu semua terdapat karya sastra, terkandung.

Hipersastra dapat diartikan dari suatu hal yang berlebihan dalam makna bahasa Indonesia. Sehingga berlebihan  dari sastra akan punya dampak positif dan negatif secara makna. Jika selalu berlebih akan sastra akan memiliki ruang sempit, sehingga perlu adanya patokan-patokan yang objektif dari setiap tokoh yang berpendapat mengenai pendekatan karya sastra.

Jika, hipersastra ini dipandang dari segi kata “kesusastraan” tentu bersyukur Indonesia jika kata tersebut digunakan akan punya makna lebih luas. Karena tidak hanya membicarakan tentang gaya bahasa melainkan sebuah teks yang mengandung nilai instruksi atau pedoman. Maka sastra  yang berasal dari kata dasar śās- atau asas- yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi, dan tra yang berarti alat atau sarana. Sangat penting serta perlu diajarkan sastra anak sejak dini. Penulis menulis cerita anak--yang dapat diterima oleh setiap kalangan. 

Sastra anak merupakan simbol yang lahir sebagai nama, karena dapat dikatakan simbol di bumi salah satu dari kerja bahasa “berlebihan,” yang dibangun oleh konstruksi masyarakat untuk menyuarakan sastra anak. Sehingga secara tidak langsung berulang-ulang, menjadi sastra anak: dan ternyata eksis dan dibutuhkan. 

Dalam membahas sastra anak, tentu berfokus pada bahasa pada penciptaan karya. Jika nilai-nilai terkandung di dalamnya punya nilai yang berbeda dengan apa yang ada di dasar karya. Dengan bahasa yang sederhana tersebut kita dapat memberikan pandangan lain, mengemas sastra dengan dasar-dasar yang khusus. Sastra anak, akan punya nilai: 1) kebahasaan heterogen (tanpa ada bahasa istilah-istilah). 2) menentukan nilai-nilai yang akan dikemas ke dalamnya.

Jika sastra anak menampilkan nilai-nilai karakter disampaikan dengan jenis-jenis sastra berbeda. Maka akan memilih sastra novel, cerpen, dan puisi. Jenis tersebut juga direduksi kembali, menjadi jenis; novela, cergam, dan puisi pentigraf. Ragam ini menjadi wadah atau kendaran menampung ide penulis untuk dilemparkan kepada pembaca.

Seorang bocah-bocah ketika membaca karya orang dewasa  secara nuansa serta cara menyampaikannya terkadang keluar dari konteks hidup mereka, itu sepertinya menjadi problematik pada anak sebagai pembaca. Hingga batasan paling signifikan akan sastra anak itu, tidak akan punya batasan secara luas yang ditulis oleh orang dewasa. Hal tersebut akan senantiasa dirasa oleh anak, secara tidak tersirat maupun tersurat.

 Pada judul cerita berjudul “Laguna Sihir” karya Lena D. kelahiran 1984 menulis cerita yang dapat dinikmati oleh orang dewasa. Cerita yang diambil potret masyarakat yang tidak hanya kehidupan manusia perlu diperhatikan, tapi perlu manusia memperhatikan makhluk hidup lainya, seperti hewan di sekitarnya. Dalam hal tersebut tentu perlu ditawarkan kepada anak sejak dini.

Maka secara tidak langsung sastra akan tetap menjadi media alternatif untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak sejak dini. Dengan karya-karya sastra--yang menarik serta unik akan lebih baik jika penulis menyisipi nilai-nilai agama, budaya, tradisi, dan sosial. Dimunculkan dalam karya sastra baik secara narari maupun secara dialog tokoh. 

 

 

 


Minggu, 24 Oktober 2021

CATATAN DAN PEMBACAAN


Pengambilan foto: Cak Pendek 


CATATAN MEDAN MEMBATJA 

Minggu 24 Oktober 2021 

Moderator: Mbak Fafa

Nutulis: Akhmad Mustaqim 

Pengulas buku: Cak Pendek, Mas Aan, Akhmad, Mutmainnah, Mbak Fafa, dan Pak Hasan. 


Sebagai moderator, aku akan membuka dengan salam. Kita hari ini bertemu lagi, di Medan Membaca, dengan keadaan sehat. Sebelumnya karena ada orang baru perkenalan dulu, "mas dan mbak..." sudah, lalu, kita mulai dari kepala suku Sabtu Membaca, Cak Pendek. Silahkan bisa dimulai... 



Judul buku: Pramoedya Berumah dalam Buku 

Penulis: Muhidin M. Dahlan 

Pengulas: Cak Pendek 


Buku ditulis oleh Muhidin M Dahlan, awal mulanya mengisahkan roman tetralogi pulau Buru, Pram. Mengisahkan tentang logika tentang tokoh yang punya sifat dan tindakan pikiran eropa. Tokoh tersebut bernama Minke. Secara teoritik dan praktik Ia punya idealis berbeda dengan seorang berdarah pribumi. Roman 'Bumi Manusia' karya Pram. 


Catatan kedua menelaah karya sastra Pram, roman 'Rumah Kaca' tokoh bernama Pengamanan yang dapat disebutkan sebagai intelektual jawa. Dari kebiasaannya yang membentuk kepribadian yang unik yaitu melakukan pengklipingan banyaknya pandangan-pandangan dalam teks koran dan media lainnya, serta banyak lagi. 


Selanjutnya roman, "Bukan Pasar Malam" Muhidin, mengasumsikan kisah di dalam yaitu, tentang biografinya Pram, atau representasi dari dirinya. Cerita berlatar Blora. Pram menceritakan tentang jiwa dan karakter orang Jawa. 


Selanjutnya, Arus Balik epos pasca kejayaan Nusantara di awal abad 16. Bercerita tentang perkembangan kapal yang masuk ke Indonesia (jawa). Yang dimaksud membicarakan mengenai negeri di atas angin. Lalu ada pula Gadis Pantai, novel ini sebenarnya belum selesai. Narasi yang terkandung novel tersebut punya semangat dan representasi, intisari mengisahkan tentang nenek Pram. 


Novel Perburuan ditulis dengan latar mistis, novel diganjar penghargaan dari Balai Pustaka 1984. Bercerita latar di belakang kehidupan di penjajahan masa brutal Jepang. Sehingga karya tersebut menyimpan riwayat kesadaran kolektif untuk perjalanan seorang penulis di dalam penjara, atau yang di luar--yang dapat menikmati tulisa sekaligus kekejaman. 


Pram dalam proses menulis novel sangat jeli. Saat membicarakan tentang penggunaan bahasa perlu di riset. Sehingga dapat dikatakan secara kontekstual bahasa digunakan sangat kental dan baik mengisahkan yang baik, bagi Pram. 


Panggil Aku Kartini, buku ini mengisahkan tentang hidup seorang pribumi, khusus tentang semangat R.A Kartini aslinya. Buku tersebut lebih berfokus pada perkembangan feminisme yang ideal di Indonesia. 


Pram sangat senang dengan pemuda yang suka gemar belajar. Karena dengan belajar tersebut pemuda dianggap punya harapan untuk generasi selanjutnya. Dan Pram mengatakan  "Itu dianggap manusia bebas." Salah satu sanggahan kawan memberi definisi 'manusia bebas' dengan singkat, mengatakan bahwa kalau manusia bebas tidak berbicara kepentingan. Sehingga seorang pemuda terpelajar jadi harapan. 


Muhidin, yang menulis buku tentang cara-cara ideal dalam hidupnya menulis dengan pola Pram. Buku ini berkisah atau secara catatan biografinya. Dapat dikatakan sebagai bentuk buku Otobiografi Pram, dengan sampel karya-karya Pram yang terbaik. Yang telah disebutkan di atas. 


Salah satu pandangan Pram, yang representasikan ke Minke. Bahawa ilmu sains jangan tunduk kepada raja. Jangan sampai ketundukan seorang dapat luntur karena hormat berlebihan. Yang dilakukan dalam tradisi jawa. Itulah yang dilakukan Pram yang ingin membuat tradisi jawa yang membuat manusia sempit, menjadi luas dan tetap ada. Akan tapi, berharap bahwa sains harus tetap berkembang tidak boleh tunduk dengan tradisi yang tidak dapat membuat sains tidak berkembang. Begitulah sains yang perlu dikembangkan. 


Dalam sejarah gelap Pram, Pram merasakan sakit hati dengan tragedi 65, khususnya dengan karya atau buku-buku, ia yang sudah bisa diterbitkan tapi mendapat jarahan rumahnya pada saat itu, oleh pemerintah. Saat itu, karya-karya Pram, banyak dibakar. Sehingga Pram memang tidak terima dengan apa yang dilakukan pemerintah kepadanya, yang dianggap eks tapol. Saat itu pula Pram, lebih banyak hidup dipenjara. 


Pesannya Pram, dalam buku ini "menulis adalah melawan". 


Judul Buku: Atomic Habits 

Penulis: James Clear 

Penulis: Mas Aan 


Mula-mula buku ini, fokus pada pengembangan diri. Buku yang berisi motivasi diri. Buku terjemahan ini sangat baik sebagai latihan hidup yang tertib dan terstruktur membentuk diri dari hal biasa menjadi luar biasa. 


Manusia, semestinya sasae dan pada mulanya, dapat menyadari akan dirinya. Sehingga lahirlah dari dalam diri punya keinginan. Lalu kita perlu menentukan dulu apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan. Setelah menentukan, lalu bisa mengukur keinginan diri dan kebutuhan diri. 


Setelah mengukur diri sendiri untuk awal mula menimbulkan sebuah tuntutan, untuk lebih baik dengan membuat habist yang sangat baik dalam kebutuhan diri. Buku ini yang memberikan pandangan sekaligus arahan membuat kita lebih baik melakukan dimulai dari hal-hal kecil.


Buku tentang cara mudah seorang mempelajari pola kebiasaan hidup disiplin. Membangun kebiasaan positif. Ada empat hal perlu diperhatikan dan perlu perencanaan, yang perlu dilakukan bagaimana ia menjadi kebiasaan. Empat hal tersebut sebagai berikut; 


1) Terlihat, harus mengacu apa yang dilakukan setiap saat, melakukan praktik-praktik yang akan dilakukan harus jelas, terlihat. Yang mana, apa yang telah menjadi tujuan akan harus terlihat setiap hari. Contoh, saat kita gemar membaca buku kita perlu meletakkan buku-buku yang mudah dilihat, oleh indera kita. Bahkan bisa saja meletakkan di mana kebiasaan singgah; ruang tamu perlu ada buku, tempat tidur, dan tempat makan. Secara setiap saat melihat apa yang menjadi tujuan. 


2) Menarik, harus disuka hatinya dengan apa yang membangun kultur. Menarik ini harus punya nilai lebih dari kebiasaan orang lain. Membuat percaya diri dengan  kebutuhan sendiri, yang akan menjadi kelebihan nanti. Dan dapat diartikan kalau dirinya diakui dengan apa yang dimiliki, sesuai kelebihannya yang menarik. Hal ini kan sudah ditentukan diawal menemukan diri sendiri keinginan dan kebutuhannya. Tentu tidak keluar konteks dengan yang sesuai, yaitu kesukaan 


3). Menjadikan mudah. Kegiatan harian yang dapat dilakukan serasa melakukan kegiatan sedikit mungkin. Apa-apa yang dilakukan itu menjadi mudah tidak rumit dan sulit. Contoh apa yang telah menjadi tujuan awal tidak mempersulit dirinya, dengan membangun habits, kalau kita bisa melakukan apa-apa yang terjadi dalam kebutuhan kita dilakukan  secara baik dan konsisten. Jika tidak tetap melakukan kegiatan kecil yang dapat dijadikan suatu hal mengarah ke tujuannya, walaupun tidak sempurna. Dalam kehidupan sehari-hari--kalau kita tidak melakukan sesuatu hari ini yang sudah ditentukan, minimal punya niat melakukannya--yang mana nanti dalam praktik, begini, "saat ingin olahraga tapi saat waktu yang ditentukan tidak bisa atau kejebak hujan, kita bisa menggantinya cukup membangun kebiasaan langkah kecil olahraga, yaitu memakai sepatu tanpa lari--dengan seperti itu, notis logika kita punya pola pikir rasa 'daripada hanya pakai sepatu dan tidak olahraga kenapa tidak olahraga lari ditempat saja, atau keliling di emper rumah. Dalam hal ini perlu namanya teknik mencatat agar ingat, kapan yang tidak olahraga dan kapan perlu menggantinya. 


4) Menjadikan memuaskan. Setidaknya kita senang dalam menjalani apa yang telah menjadi target. Pola seperti perlu ada rasa kepuasaan terhadap diri sendiri mengenai apa yang telah dilakukan. Kepuasaan akan menjadikan kita lebih semangat lagi dengan pencapaian dilakukan. Contoh kita melakukan sesuatu yang telah menjadi target tersebut dilakukan sebaik mungkin, dengan terpaksa tapi akan punya nilai kepuasaan terhadap apa yang telah dilakukan. Apa-apa yang dilakukan secara terpaksa punya kepuasaan tersendiri. 


Buku ini juga memberikan tips yang perlu diingat dan dihindari jika terjadi. "Jangan mangkir dua kali atau jangan mengulang lagi apa-apa yang telah terjadi. Contohnya jika hari ini tidak bisa melakukan sesuatu kebiasaan sehari-hari, jangan sampai terulang kembali. Perlu diingat dan dicatat agar tidak terulang. Kalau terulang, bisa dilakukan lagi. 


Buku tentang self improvement, buku membangun diri. Sebuah sistem yang revolusioner menjadi 1 persen lebih baik setiap hari. 


Dalam melakukan sesuatu perlu kebiasaan (habits). Dimulai dari hal-hal kecil yang dapat dijadikan besar. Sehingga menjadi kebiasaan. Harus menekan dengan diri sendiri agar ada kepuasaan. 


Kebiasaan perlu dibangun dengan cara apa yang biasa dan bisa dilihat. Kebiasaan tersebut perlu meletakkan apa yang bisa dilihat setiap saat. Suatu sisi memaksa penderitaan untuk mencapai keindahan. Ucap salah satu teman, memberi tambahan mengenai substansi buku. 


Judul buku: Kolam dan Susus 

Penulis: Raksasa 

Pengulas: Mbak Mutmainnah 


Saya di sini tidak dapat menjelaskan buku yang serius. Buku ini salah satu buku percintaan kegalauan anak remaja. Tapi buku ini jadi salah satu latihan menulis. Ujarnya seorang pengulas buku. 


Bergabung di sini menjadi salah satu cara belajar membaca. Karena masih belum bisa membaca yang lebih banyak dan luas, masih pemula. Buku ini sebagai acuan saja bagaimana bisa saya menulis. Karena sangat berkelindan dengan kehidupanku. 


...Buku ini ini memiliki empat babak. 1) membicarakan tentang kegalauan remaja. Lebih berbicara tentang cinta apa-apa yang ada dalam hidup. Tapi teks dalam buku ini sangat menginspirasi bagi seorang yang sedang belajar menulis. 


Buku ini, lebih berfokus dengan cara menulis. Agar menulis bisa lancar, buku ini sebagai stimulus. Belajar menulis untuk membangun kebiasaan. Pengenalan buku. Sedangkan kalau buku-buku yang lainnya sudah dijelaskan sangat berat. Tentu buku Anatomic Habits yang diulas Mas Aan, jadi list bacaanku nanti. 




Judul Buku: The Storied Life Of A.J. FIKRY 

Penulis: Gabrielle Zevin 

Pengulas: Mbak Fafa 


Buku ini berbicara tentang dunia perbukuan. Toko buku yang sepi, Mr. Fikri. Punya istri bernama Amelia, tapi meninggal. Kehidupan tragis tokoh utama yang sangat tragis, ingin punya anak tapi malah istrinya meninggal saat istrinya mengandung 2 bulan. Semangat menjual buku turun, bahkan sudah malas. 


Tokoh yang berbicara tentang Mr. Fikry. Berkisah tentang toko ilmu. Menemukan bayi di toko bukunya. Bayi bernama Maya, salah satu buku bernama Ismai istri Daniel. Ia yang membuang bayi tersebut di toko buku Mr. Fikri. 


Bayi yang ditemukan di toko sebenarnya memiliki tujuan untuk yang sangat visioner kepada anaknya. Narasi seorang ibu kenapa membuang ke toko buku agar kelak ketika besar agar berguna. Karena dianggap di toko buku anak tersebut dibesarkan dengan banyak membaca. 


Tentu hal ini menjadi salah satu tujuan. Untuk anak yang tadi bayi tersebut suka dan gemar membaca.  Maya yang ditemui di dalam toko buku itu, ketika dewasa ternyata memang tumbuh dengan anak yang cerdas didik oleh Mr. Fikri. Selain itu juga membawa berkah toko yang awal sepi menjadi ramai. Karena anak tersebut dikenal sebagai penulis berumur 9 tahun, yang terhitung masih anak-anak tapi sudah bisa berkarya. 


Novel ini membicarakan kebiasaan membaca yang perlu cintai dulu buku, bukan sekedar mencekoki suruh baca tapi lupa untuk menyukai. Kutipan novel ini yang diingat yaitu, Terkadang buku-buku ditemukan dengan waktu yang tepat." 


Buku: 

Penulis: Agustinus

Pengulas: Bapak Hasan 


Penulis Agustinus seorang yang menulis tentang Backpacker. Seorang yang membicarakan tentang wilayah negara Indonesia dan China. Seorang tokoh berkisah tentang kehidupan dua tempat: negara tempat tinggal dan negara yang dijelajahi. Itu menimbulkan pandangan luas, tanpa justifikasi. 


Perjalan yang dilakukan oleh penulis tidak melakukan penghakiman terhadap wilayah. Negara yang mana ada justifikasi. Sebagai seorang yang minoritas di negara sendiri dan di negara lain. 


Perjalanan itu menceritakan wilayah yang pernah disinggahi yaitu wilayah yang dijelajahi. Negara yang dijelajahi yaitu negara pecahan Uni Soviet. Penulis menceritakan tentang hidup manusia di setiap negara dengan  kultur dan kebiasaan yang berbeda. Menganggap baik negara sendiri, ternyata tidak begitu juga.



Terima kasih sampai jumpa lagi… 



Jumat, 22 Oktober 2021

MEMBACA EPOS LA GALEGO, PUISI, DAN 13 PERTANYAAN MANURUNG


Untuk mengingat sastra Indonesia, entah lisan maupun tulisan tidak lepas dengan pengaruh letak geografi yang punya cerita berbeda-beda, mengenai karya sastra, atau pencipta karya sastra—yang secara umum sastra selalu menawarkan teknik baru, ataupun lama. Umumnya karya sastra seperti novel, cerpen, naskah drama, esai, dan puisi, atau istilah lain tidak dapat disebutkan satu persatu. Puisi dengan teknik berbeda-beda secara konsisten akan memberi tawaran kepada pembaca, bahwa penulis puisi tersebut berhasil memikat pembaca.

Dalam epos Mahabarata yang begitu dekat dengan konflik perseteruan persaudaraan, ditandai dengan adanya  perang baratayuda. Mula-mula ketika mendengar perang tersebut, yang melekat dalam ingatan yaitu, Pandawa dan Kurawa—yang tak kalah penting ada Krisna dan Sengkuni.

Pada abad 20,  kedua cerita di paragraf kedua dapat diakses dengan mudah bahkan bisa ditemukan dengan banyak versi; buku cerita anak fantasi, di televisi, dan bahkan buku-buku paket sekolah. Bahkan ada dalam bentuk teks seperti: buku, majalah, koran, dan bulletin. Akan tetapi, ada bentuk lain seperti visual yaitu: tradisi lisan, monolog di spotify, dan di film.  

Dalam karya sastra  puisi berjudul “Manurung 13 Pertanyaan Untuk 3 Nama,” Gramedia, (2017), karya Faisal Oddang.  Karya sastra jenis puisi yang unik dikemas. Selain unik menggunakan teknik penulisan narasi. Secara substansi, puisi yang dikemas puisi narasi hidup dalam nuansa puitis, tak lebay dan mendayu-dayu--yang tak penting.

Buku berjudul Manurung (2017), sebuah puisi yang tidak hanya berbicara tentang keindahan diksi, metafora, dan permainan bunyi, pada puisi. Tapi, ada semangat sejarah masa lampau yang ingin disampaikan secara puitis dengan penguasaan  imajinatif, yang kreatif. Sehingga komposisi puisi ini bukan hanya tentang pengarsipan nilai estetik, melainkan terkandung sejarah yang nyaris hilang dan dilupakan.

Sebuah upaya. Dengan puisi yang tidak hanya dikenal dengan memberi nilai estetik, melainkan puisi memiliki kekuatan narasi, yang memukau untuk dapat menyampaikan sesuatu hal penting, yang mudah diingat. Walaupun ini kedengarannya sangat menghakimi, dan memberi label, penulis berasumsi, bahwa puisi dapat dikategorikan sebagai puisi gelap dan terasa asing di mulut saat membacanya. Puisi garapan Faisal Oddang Manurung, secara garis besar berisi tentang pertanyaan-pertanyaan terhadap 3 nama—yang tidak akan lepas oleh waktu—selalu dikenal oleh masyarakat Bugis, yaitu La Galego.

La Galego, bukan hal baru dalam sejarah sastra Bugis. Pada pengantar bukunya, Faisal mengatakan, bahwa Jhon Leyden menempatkan sebagai representasi dari sastra Bugis yang mengandalkan irama.  Dalam buku  On The Languages And Literature Of The Indone Chinese Nations (1808), ada pendapat lain, yaitu Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (1817), di tahun 1820, John Crawfurd meski tidak secara langsung menyebut La Galigo. Dalam konteks ini, ia memposisikan diri sebagai orang yang cinta akan budaya sendiri. Namun tidak memahami asal usul serta kepastian mengenai La Galigo. Sehingga puisi tersebut menawarkan semangat pertanyaan yang puitis.

Faisal ingin menawarkan dalam bentuk puisi. Ada 13 pertanyaan, dengan tiga nama, Ia ingin menyampaikan narasi sejarah yang hilang dalam bentuk puisi. Tiga tersebut terdiri dari Datu Palinge, Sawerigading, dan La Galigo. Dan 13 pertanyaan dibagi ke setiap nama yang telah disebutkan. Lima pertanyaan ke Datu Palange, Sawerigading lima pertanyaan, dan La Galigo tiga pertanyaan. Dari semua dirayakan dalam puisi berjudul Manurung.

Tiga nama tersebut akan selalu ada di ingatan masyarakat bugis berdampingan dengan kehidupan. perhatikan kutipan puisi sebagai berikut:“Cerita-cerita tentang kalian terus disampaikan dari waktu ke waktu semua sibuk membicarakan istana, pesta, perang, sabung ayam-tak ada kami di sana, kami hanya muncul ketika kalian butuh seorang sebagai tumbal untuk kesenangan yang kalian inginkan. Kalian butuh budak entah di dia kate entah albino, orosada atau orekelling (bait 12. Hal.21)

Faisal, Pertanyaan, dan 3 Nama  

Faisal Oddang memberi gambaran mengenai tokoh-tokoh yang dilontarkan pertanyaan dimulai dari Datu Palinge, Ia istri dari Datu Patotoe. Sang Penguasa Dunia Atas (Botting Langi) yang mengirim Batara Guru. Anaknya untuk mengisi Dunia Tengah (Ale Kawa) yang kemudian berpasangan dengan perempuan dari Dunia Bawah (Buri Liu). Selanjutnya ada Sawerigading keturunan ketiga dari Dunia Tengah yang perannya cukup penting dalam La Galigo. Dan yang ketiga, La Galigo, putra Sawerigading. Ketiga tokoh yang diberi pertanyaan dalam buku ini memiliki darah manurung. R. A. Kern menjelaskan bahwa manurung secara harfiah berarti “turun ke bawah” lebih luasnya lagi, bahwa manurung berarti “orang-orang atau benda-benda yang turun dari langit.” Pada akhirnya, Manurung kini tiba dalam bentuk yang lain, pertanyaan dikemas dengan puisi.

Datu Palinge 

Perhatikan, pertanyaan kepada Datu Palinge dalam puisi Manurung; 1, di bumi, ketika anakmu sebagai hamba setelah suami benar-benar menjadi Tuhan. Kesedihan macam yang telah disembunyikan di dadamu?,2. Sudahkah kau ajarkan kepadanya tentang wajah Kesedihan yang kelak datang kepadanya setelah dia selesai menciptakan Bumi dan isinya?, 3. Ada yang kamu pahami tentang Kesenian dan seseorang yang terasing karena kekuasaan?, 4. Seorang perempuan datang dari bawah laut, cukupkah itu bagimu untuk mengganti segala yang hilang dari dari Batara Guru?, 5. Ketiak cucumu mati lalu memakannya dan kau tak menegur mereka?. 

Sesuatu yang dipertanyakan akan memberikan pertanyaan besar, mengungkap-ungkap beberapa misteri. Apalagi berkaitan dengan peninggalan manusia dianggap sakral, dengan beberapa bukti pada literature yang telah berserakan membicarakan La Galigo dalam teks sejarah, dan Faisal mencoba menyajikan dalam bentuk teks puisi, yang memiliki kekuatan narasi sebagai bukti dalam menyajikan segala manusia berhubungan dengan dirinya dan tuhannya. Teks puisi menjadi media mempertajam dengan sebuah sifat dan kondisi yang menjadi pertanyaannya. 

Teks dan konteks dalam puisi mengenai pertanyaan kepada Datu Palinge dalam puisi berjudul “Di Bumi, ketika anakmu terasing sebagai hamba setelah suamimu benar-benar menjadi Tuhan, kesedihan macam apa yang telah kamu sembunyikan di dadamu?, “apalah arti Tuhan bila tak ada manusia yang menyembah?” langit sungguh riuh tetapi suamimu bersedih atas nama sepi-sesorang yang ia percaya telah melubangi hatinya dengan pertanyaan yang susah payah ia jawab. (bait. 1. Hal.27)

Sebuah keharusan manusia memahami tentang kematian dalam hidup. Minimal mengetahui nama dari kematian itu sendiri, jika perlu mengenal kematian lalu menjadikan bagian dari hidupnya. Ketika bisa menjadikan bagiannya akan senantiasa mempersembahkan pada dunia untuk bisa memberi nilai guna. Selayaknya Datu Palinge selama hidup. Pada bait puisi ”Manusia harus mengenalnya meski tidak pernah Kematian mengulurkan tangan untuk dijabat atau mengucapkan nama untuk dikenang. Sama sekali tak pernah.(bait.26.hal.64)

Sawerigading

Adakah penyesalan dalam hidup Sawerigading, ketika dilontarkan lima pertanyaan bentuk puisi. Bahwa ketika semasa hidup hanya bisa tersenyum bersama dengan keindahan alam semesta?, memakan, makananan enak di bumi, mencintai dengan begitu agresif,  ketika dalam sadarnya setiap langkah hidupnya masih belum bisa mengenali dirinya sendiri. Kenal memahami serta mencari ketidak lengkapan untuk melengkapinya: 1. Apakah kau menatap sepasang matanya sebelum cinta membuatmu buta dan bahan tak mampu melihat dirimu sendiri?, 2. Apa yang kau kenang dari tubuh-tubuh tak bersalah yang kau siksa dan dibunuh demi berahi dan selangkangan yang basa?, 3. Masihkah kau kenali amis lumuran darah budak di batang pohon Welenreng itu?, 4. Bagaimana mungkin kau berbahagia dengan We Cubai jika cinta telah kau curangi, telah kau rebut dengan dusta-dengan menciptakan sungai darah dari leher orang-orang tak bersalah yang kau tebas?, 5. Masih bisakah kau tersenyum jika kelak mengenang sejumlah perang yang telah kau lalui?.

Apa yang akan disesali dalam peristiwa besar semasa hidup? Pertanyaan akan dibalas dengan pertanyaan. Bahwa penyesalan ketika hidup, pasca-kehidupan. Hal ini, ketika hanya bisa memandangi bumi dan isinya, merasakan bahwa memiliki dan sebagai manusia hanya bisa memakan serta membuat tumbuhan tumbuh subur, dan itu hanya untuk dinikmati sendiri. Apa harus segera tiada meninggalkan dunia?

Dan pertanyaan itu masih bisa menjadi sumber pengetahuan baru dan besar dalam kehidupan di abad ini. Jika di benturkan. Bahwa apa yang hilang tentunya akan menjadi keinginan besar untuk menemukan sebuah kebahagiaan. “Apakah kau menatap sepasang matanya sebelum cinta membuatmu buta dan bahkan tak mampu melihat dirimu sendiri?, Waktumu telah tiba, matahari yang terbit dan matahari terbenam bukan hanya memindahkan peristiwa, diam-diam malam menciptakan satu demi satu perkara yang kumiliki, termasuk sisa hidupmu. “siapa yang telah menyembunyikannya dariku?”Pitotoe menciptakan cermin untuk di tubuh seorang perempuan, kau tak ingin menikahi dirimu sendiri, kau percaya bahwa surga tak pernah jauh darimu, bukan di Langit atau di Bawah laut. (hal.73)

La Galigo 

Tokoh ketiga termasuk yang terpenting dalam karya sastra puisi berjudul Manurung ini. La Galigo hanya terbagi tiga pertanyaan. Namun tidak kalah misterinya; 1. Untuk kematian-kematian yang menjemput hidupmu yang baru, perkabungan macam apa yang telah kau lakukan, 2. Siapa yang telah mengajarimu bertahan hidup tanpa cinta dari seorang ibu, ibu yang justru ingin menjadikanmu umpan ikan-ikan yang kelaparan?, 3. Kenapa kau, dan dua orang sebelum dirimu tidak juga menjawab pertanyaanku? Apakah menuntut kebenaran melalui sejumlah pertanyaan hanya akan berakhir dengan pertanyaan itu sendiri?.

Sebuah pertanyaan sebelum-sebelumnya itu hanya menjadi pertanyaan pula, namun tetaplah sebuah pertanyaan dalam intelektual sebuah kegelisahan pribadi atau semua orang yang belum bisa memahami hal-hal tertentu, peninggalan hanya menjadi kenangan dan peristiwa besar ketika bahasa hanya menjadi alat dan lisan sebagai penyampai. Dan puisi sebuah pertanyaan ulang untuk menemukan pencerahan, namun teks sebagai alat atau pisau analisis menemukan jawaban. Kebenaran dan kebingungan diciptakan agar semua orang merasakan keduanya. Kebenaran menjawab setiap perkara, dan kebingungan akan menjawab sebuah skeptis. Keduanya akan ada pada semua prasasti yang ada; La Galigo dilontarkan pertanyaan dalam bentuk puisi;

“Untuk kematian-kematian yang menjemput hidupmu yang baru, perkabungan macam apa yang telah kau lakukan?” (hal.109)

Semua terlahir ke dunia, di langit Tuhan hanya memberikan sebuah fasilitas. Kebutuhan manusia telah diberikan. Manusia ketika melahirkan campur  tangan-Nya. Sampai kematian hanya menentukannya, bagaimana hidup bisa menentukan pada pencipta padahal manusia itu sendiri akan mengurusi semua kelahiran, kehidupan, dan kematian. Apa akan menyalahkan Pencipta yang rata-rata ada, belum tentu benar dan belum tentu salah. Namun apakah akan memberikan penderitaan kepada orang lain, terkhusus pada orang tua sendiri, sanak keluarga, dan apakah akan memberikan sebuah kerugian kepada orang-orang disekelilingnya.

“Tak ada ketuban yang pecah, bahkan setelah ibumu bosan mendengar talu lesung yang datang dari arah Mario.

Yang pecah hanya langit, pecah seperti rekah bunga anggrek berwarna abu-abu, sebelum kelopaknya tanggal satu demi satu.

Kau menyiksa ibumu dengan rasa sakit yang tak mampu ia tanggung,

Langit tidak terlalu campur tangan  untuk rasa sakit meski sejumlah hadiah dikirim untuk menawarnya.

Meski telah mereka kirim paying untuk tadungmu.

Budak-budak kate dan albino disembelih sebagai tumbal agar gumpal darah di selangkangan ibumu mencair dan mengalir. (hal. 109)

Faisal Oddang kelahiran 1991, dapat dikatakan penulis muda dengan karya yang selalu menawarkan narasi lokal, Ia berhasil karena telah dapat banyak penghargaan, salah satunya anugerah penulis Cerpen terbaik koran Kompas 2014. Karya-karya yang berseliweran di media cetak maupun daring. Ia memberikan tawaran yang sangat segar dan bergizi serta aman untuk sastra Indonesia. Serta sastra akan menjadi jalan lain mengenalkan serta dapat lebih mudah memahami budaya lokal, bahkan sejarah.

Kehadiran puisi ini menghidupkan kembali cerita epos sejarah Bugis. Substansi puisi yang detail. Puisi yang nyaris deskripsinya unik dan baik, karena digarap begitu serius. Membaca Manurung, butuh ketekunan membaca, teliti, dan mencari makna diksi tidak familiar. Dan memaknai bait,  frasa, dan klausa—untuk menemukan intisari dari karya sastra puisi—yang berisis 13 pertanyaan untuk tiga nama. Puisi bukan sekedar puisi, tapi imajinasi sejarah sastra Bugis.

 

 

 


KADO HARI SANTRI 2021 PERLU GEMA LITERASI AGAMA


Di Hari Santri Nasional (HSN) 2021. Gema suara santri seluruh Indonesia merayakan. Hal ini ditandai dengan twibbon-twibbon bertebaran di sosial media, dan ini potret masyarakat Indonesia banyak mengenyam dan masuk ke dunia pesantren, yang kerap sekali dekat dengan pelajaran agama Islam. Maka dapat dapat dikatakan kalau masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam. Pantas saja jika setiap perayaan (HSN) beragam dalam melaksanakan perayaan semangat santri.

Dalam sejarah lahirnya  HSN, sebenarnya cikal bakal lahirnya kemerdekaan negara Indonesia di Tahun 1945, yang mana pada saat itu para ulama di Jawa--Madura, melakukan perkumpulan di Surabaya. Pada saat  itu, semangat yang dibawa ialah sengat kemerdekaan negara dan harus melawan kolonialisme. Saat itu dikenal dengan resolusi jihad, dipelopori oleh Kh. Hasyim Ashari.

Kegelisahan tersebut dikarenakan adanya NICA (Netdherkan Indies Civil Administration) yang mencoba untuk melakukan penjajahan kembali ke Indonesia. Saat itu Indonesia baru beberapa bulan meresmikan kemerdekaan dengan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, dipimpin oleh Soekarno dan Moh, Hatta, pada 17 Agustus 1945.

Sejarah masa lalu akan selalu menjadi motivasi hidup di masa sekarang. Sebagai seorang santri yang dapat dikatakan sebagai seorang yang berperan, kini pantas para santri Indonesia melakukan semangat mengenang sambil mempelajari semangat apa yang telah dibawa di masa lalu. Dan kini tugasnya perlu direduksi suatu hal yang dapat diambil dari para pendahulu. Sehingga hari ini santri punya memikirkan semua secara logis, kritis, dan spiritualis.

Mengetahui sejarah, semestinya tidak menjadikan kita sebagai makhluk yang konservatif, melainkan menjadikan lebih kreatif. Sebab kalau kita kaitkan dengan apa yang terjadi di masa lalu kita tidak dapat menjadikan itu tolok ukur, tapi bisa saja dijadikan suatu referensi di  masa sekarang. Semangat hari santri di masa lalu yang dapat diambil sebagai cocok atau relevan dengan zaman. Hal ini yang perlu diambil dan ditemukan arti dan nilai.

Bung Karno telah memberikan dedikasi setelah mencapai kemerdekaan karena melawan kolonialisme Belanda, yaitu mengusir dengan berdarah-darah, bahkan ada menjadi korban. Ada yang paling berat, yaitu melawan bangsa sendiri dengan kulit dan tinggal di tempat yang sama. Pandangan tersebut dapat diambil sebuah pembelajaran begitu baik dalam membaca zaman dalam mempelajari semangat masa lalu. Hal itu yang seringkali kita kesulitan menjadi peran yang baik dengan apa yang perlu diambil.

Semangat juang atas kemerdekaan  adalah tujuan utama pada masa penjajahan. Namun kini kita tidak berada di kondisi seperti itu, melainkan berada di kondisi yang telah menuju berkembang. Ini yang menjadi point penting bagi kehidupan suatu santri di negara Indonesia. Yaitu menemukan dan memposisikan diri sebagai orang yang memiliki  peran, di sektor-sektor kecil di negaranya, agar punya tujuan.

Di abad ke XX, kita sangat mengalami perkembangan hidup yang begitu maju. Secara teknologi dan pembangunan. Peran seorang santri bisa mengisi ruang-ruang tersebut untuk menjadi pionir atau menjadi bagian dari konseptor atau eksekutor dalam pengembangan teknologi dan pembangunan. Jika dibagian teknologi sangat diharapkan santri mampu beradaptasi dengan teknologi yang sangat cantik. Dalam sektor pembangunan santri memiliki peran untuk didalamnya agar nuansa semangat spiritual dalam bentuk pembangunan tergambar secara filosofis maupun secara pragmatis.

Sangat diharapkan jika peran yang ada di setiap sektor diisi oleh orang-orang beragama kuat secara spiritual dan intelektual. berada di dalam kedua hal tersebut. karena dengan seperti itu akan keindahan dalam hidup bernegara dalam prosesnya. Lagi-lagi akan menjadi penopang dalam kehidupan sebagai dasar paling baik untuk menyelesaikan sebuah problematik kehidupan, agama sebagai ilmu pengetahuan.

Agama bukan berisi tentang sebuah nilai-nilai hubungan spiritual kepada Tuhan. Namun ada hal yang paling penting selain itu, yaitu kehidupan masyarakat yang mampu menjadi agama sebagai sumber sekaligus solusi dari sebuah problematik kehidupan secara logis maupun praktis. Sehingga dasar tersebut jadi dasar pengetahuan.

Sekarang tidak dapat kita ketahui bahwa semangat beragama untuk tetap memberikan sebuah pandangan yang sangat luas untuk memiliki peran paling baik untuk selalu berperan penting. Sebagaimana mestinya harus tetap optimis dengan banyaknya hidup kita jalani dari hidup begitu tenang dan berperan dalam hal apapun dengan dasar-dasar agama.


LITERASI AGAMA

Literasi bukan lagi berbicara tentang kecakapan membaca dan menulis, sudah tidak berbicara tentang makna itu. Di zaman sudah berkembang ini literasi tidak hanya berbicara tentang kemampuan membaca dan menulis. Namun lebih luas lagi, yaitu kecakapan beragama yaitu, agama sebagai pemecahan masalah-masalah di dunia. 

Literasi agama merupakan kecakapan pemeluk yang beragama mampu menyelesaikan banyak hal yang ada dalam kehidupan. Karena dalam agama selalu ada cara-cara untuk bisa menyelesaikan lalu menemukan masalah-masalah yang ada di dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga secara tidak langsung masyarakat mampu membuka diri dalam menemukan solusi.

Dalam sejarah Indonesia dapat diambil contoh semangat yang dilakukan oleh Sutan Takdir Alisjahbana, semangat yang dibawa ke Akademi di Jakarta 1970. Peran tersebut merupakan semangat religius sebagai dasar-dasar yang terkandung di dalamnya. Semangat tersebut akan membawa kebudayaan yang relevan untuk dijadikan kehidupan begitu indah yang berfungsi.

Untuk menyuarakan semangat tersebut ruang paling efektif yaitu ruang dunia pendidikan. Karena ruang tersebut lebih baik dan efektif menanamkan atau dapat menawarkan pandangan kepada generasi yang mampu menanamkan secara teratur secara struktur, agar bisa membuka diri bahwa agama agar sebagai liberalisme humanis. Sehingga gairah agama yang berkembang. 

Semangat yang ada di dalam itu, adalah semangat yang sangat relevan dan bisa kita implementasikan diri sendiri, sosial, dan berguna bagi masyarakat. Sehingga konsep berpikir dalam konsep agama, dan masyarakat beranggapan kalau seorang cendekia itu berada di menara gading tanpa mengetahui problematik di realita sosial. Namun tidak dengan seorang cendikia yang menawarkan sebuah ide yang dapat menyelesaikan masalah-masalah di dunia sosial, sains, dan spiritual.

Jika semangat yang dibawa oleh seorang untuk mengetahui dan bisa agama sebagai sebuah solusi. Lima hal isu ditarikan oleh Prof. Dr. Musdah Mulia 21, Oktober 2021. Saat menyampaikan “Memoar Lecture di Dewan Kesenian Jakarta 2021” Sutan Takdir Alisjahbana (STA). perlu dalam catatan tersebut mengenai lima isu penting yang perlu diketahui: 1) Agama Islam tidak hanya untuk golongan melainkan semua untuk golongan, 2) Keadilan yang perlu diimplementasikan secara baik negara, 3) Peduli, bahwa setiap manusia perlu punya rasa tersebut, 4) Mengajarkan pada negara, 5) Lingkungan, bahwa setiap warga beragama Islam melindungi lingkungan dengan baik. Begitulah yang ditangkap dari catatan sedikit di atas sangat relevan.

Di hari santri ini tulisan di atas ingin memberikan dedikasi kepada semua dan khususnya kepada diri sendiri. Sebagaimana mestinya sebagai santri mengembang tanggung jawab besar di dalam diri.Untuk membawa semangat lama untuk tetap membawa semangat literasi agama. Selamat Hari Santri Nasional 2021.

 

Rabu, 20 Oktober 2021

PEMUDA DAN ORANG-ORANG PABRIK


Di tas anak  muda itu selalu berisi buku, berisi dua buku, yang satu catatan, sedangkan satunya itu buku bacaan. Saat itu, ia awal masuk kerja. Karena pertama masuk, saat itu ia membaca buku “Semangat Muda” yang ditulis oleh Tan Malaka ditulis semasa di Tokyo tahun 1926, terbit di Saga Arsy. Ia malah membaca buku tersebut dibaca saat jam istirahat pabrik, kalau tidak saat seperti saat mau pulang menunggu teman untuk dijemput. 

Buku pemberian seorang guru kakak tingkatnya yang di organisasi kampusnya. Buku tersebut dapat dikatakan membentuk dirinya dipengaruhi oleh buku tersebut. Sehingga gemar  membaca dan juga memahami perjuangan hidup yang gelap dan terang. Tentang hidup di realitas negara maupun dan direduksi ke kehidupan sehari-hari.

Tas gendong ke pinggir berwarna hitam, menjadi saksi lika liku hidupnya. Saat itu pula kemana-mana tas tersebut dibawa ke manapun, selain isi buku berisi dompet, buku, dan bisa buat tempat HP. Namun bukan hanya itu menjadi tolok ukur tas yang difungsikannya.

Seperti biasa, saat jam istirahat semua karyawan pabrik keluar untuk sekedar makan atau ngobrol,baja di depan memberi makan atau sekedar bertemu dengan banyak orang. Pembicaran tentang banyak hal itu timbul. Lalu akan menjadi salah satu hiburan, atau sekedar menambah teman.

Salah seorang teman yang dekat dengannya, ia selalu mencoba untuk akrab dan mencoba untuk dapat kenal lebih dalam. Bapak bernama Ismanto, salah seorang tokoh Muhammadiyah. Ia seorang yang sering melakukan kritis terhadap shalat kurang benar dengan tata cara dilakukan, pemuda itu. Karena suka membaca dan bacaan yang dibaca buku tidak disukai, banyak orang karena seorang Tan Malaka, sampul buku yang sangat mencolok gambarnya. Itulah hidup dia yang begitu dengan dunia aktivis semasa kuliahnya. Tentu hal itu yang membuat banyak hal yang diketahui dengan bacaan pemuda tersebut.

Suatu ketika pemuda tersebut ditanyakan dengan bahasa sederhana “apakah kamu sedang kuliah, kok suka membaca?” tanya sambil berjalan ke mushola pabrik, yang ingin ishomah. Dengan bahasa ibu sederhana , pemuda itu menjawab “belum  pak, insyaallah tahun depan ingin kuliah!” ujarnya sambil tersenyum kecil, yang begitu mungil.

Setelah melakukan sholat dan makan, seperti biasa langsung masuk ke kantor di mana teman-temannya istirahat. Ada yang suka memakan, memakan makanan yang bungkusnya retur. Namun  isinya masih enak dan masih tidak rusak kalau dimakan. Begitulah hidup yang begitu dekat dan sesuai dengan kehidupan mereka sehari-hari. mungkin saja karena lantaran tidak terlalu lesu,  ada yang memang capek sehingga harus istirahat.  

Saat seorang mahasiswa memutuskan untuk cuti kuliah, terus mengambil bekerja di salah satu pabrik di Sidoarjo. Siantar Top nama pabriknya. Pilihan seorang mahasiswa yang mengambil keputusan paling baik menurutnya, sebab tidak ingin terseok-seok di akhir nanti, dan lebih baik terseok-seok di depan. Begitulah yang dilakukan oleh mahasiswa pada 2016 mengambil keputusan bekerja, cuti kuliah.

Di kota pendidikan, Malang. salah satu temannya menjadi saksi dalam hidupnya saat mengambil keputusan cuti kuliah, untuk pergi ke Surabaya bertemu dengan temannya lalu bekerja di pabrik. Sangat beruntung dalam ukuran untuk orang-orang yang punya kesempatan bekerja sangat mudah masuk ke dalam pabrik karena dibawa oleh temannya.

Ada dua orang yang mula-mula sama mendaftarkan diri, pemuda satunya lolos dengan wawancara tahap penerimaan, yang satu gagal. Keberuntungan dapat dikatakan beruntung bernasib baik. Dan posisi kerja didapat sangat strategis, yaitu bagian stoker (menghitung barang-barang masuk dan keluar). 

 


Selasa, 19 Oktober 2021

BAHASA, SASTRA, DAN PRAGMATIK


Bahasa dan sastra tidak hanya berbicara tentang apa yang dapat dipahami secara definisi, lepas dari itu, keduanya punya porsi jika dipandang  secara fungsi. Jika sastra punya peran secara definisi “teks yang punya kata Indah, tertuang dalam karya” hal tersebut sesuai dengan yang  ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia dari dulu hingga kini belum berubah. Namun, arti kata tersebut sengat sempit jika ditafsirkan secara harfiah dan dipraktikkan mengikuti kamus bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa sebenarnya punya ruang serta kesempatan lebih luas dari definisi yang di atas.

Prof Djoko Saryono guru besar Universitas Negeri Malang menuliskan di akun facebook (11/10/2021), bahwa akhir-akhir ini bahasa Indonesia novel terjemahan sering lebih bersih, rapi, dan ajek daripada Indonesia karya Ilmiah. Ada benarnya dari sisi sistematika penulisan kedua jenis penulis berbeda, tapi bahasa tetap menjadi tolok ukur untuk menentukan elektabilitas: ilmiah atau tidak bahasa digunakan.

Konteks di atas, merupakan rujukan paling baik untuk jadikan tolok ukur bahasa dan sastra. Jika kata sastra ditelusuri tidak hanya membicarakan tentang hal ini, namun ada kata (terkandung dalam bahasa). Tentu, untuk menyusun karya sastra—yang baik dan dapat dinikmati perlu penguasaan bahasa. Sehingga bahasa yang dapat disampaikan secara sederhana mampu menjelaskan  sesuatu yang berat menjadi sederhana; baik atau buruk, tersampaikan dengan menggunakan bahasa.

Karya sastra dalam bentuk teks ini tidak akan keluar dari konteks bahasa yang ada pada diri penulis dengan latar belakang penulis, entah penulis dengan menggunakan bahasa kedua bukan bahasa ibu. Apakah bahasa Indonesia merupakan bahasa Ibu. Hemat penulis bukan, bahasa ibu—itu terletak pada bahasa daerah yang ditepati—yang jarang seseorang melakukan kerja-kerja kebasahan tersebut dihadirkan dalam karya. Kalaupun ada terkadang wadah menerima karya tersebut tidak ada. Penulis kadang mengalami kesulitan dalam konteks mengarahkan ke mana tulisannya.

Sebagai masyarakat yang terperangkap dalam penggunaan bahasa Indonesia, itu dianggap bahasa Indonesia merupakan bahasa ibu. Sehingga dalam penggunaan bahasa seringkali terjadi sebagai ruang paling luas. Padahal  kalau digunakan bahasa daerah awal, akan lebih memudah cara berbicara tentang banyak hal akan lebih mudah mengungkapkannya. Apalagi dalam karya seseorang bisa menggunakan bahasa sederhana akan lebih baik, tentunya.

Namun seorang penulis karya sastra kadang terperangkap dengan keindahan dan lupa dengan nilai keindahan. Sehingga setiap karya sastra seorang bisa saja mereduksi dari bahasa ibunya terdahulu lalu memulai kembali menuliskan menggunakan bahasa Indonesia.  Kedua cara tersebut akan menjadi kesulitan untuk membuka ruang paling luas kembali. Maka terjemahan ke dalam bahasa Indonesia dapat diukur kadarnya.

Contoh: bahasa se pantes  eyang guy pedih karya toles, ilmiah otabeh tak-ilmiah, koduh sedih bik bahasa kelahirrennah.  Lerres seedebuawain bik Alm. Budi Darma, penoles sebegus jiah penoles jiah noles sesuai cara abentanah dibik, jek norok apah se-caeeng oreng, ben rok norok!

Terjemahannya: bahasa yang pantas digunakan buat karya tulis, ilmiah atau bukan ilmiah, perlu menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa kelahirannya. Sesuai apa yang dikatakan oleh Alm. Budi Darma, penulis yang baik itu, menulis sesuai dengan penggunaan bahasa (penutur), jangan ikutan apa yang dibicarakan orang, ikut-ikutan.

Kedua bahasa di atas, bahasa Madura diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Mengapa orang-orang kita jarang menulis karya dengan penggunaan bahasa ibu, kalaupun ingin dikembangkan ke ranah lebih luas. Kalaupun dalam bahasa daerah digunakan serta punya wadah lebih luas pembacanya.

Bahasa dan sastra akan menjadi umum dan akan memberikan sebuah keluasan dalam memiliki pasangan menggunakan bahasa. Bahkan arsip untuk mengawetkan sebuah karya lisan akan punya kekuatan membuka ruang hidup lebih luas. Sehingga bahasa akan menjadi medium paling ideal menampilkan hidup sederhana.

Secara fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, komunikasi yang nanti bisa dijadikan sebuah kajian sebagai representasi dari apa yang ada diamal; hati atau raga. Namun tidak akan punya cara paling ideal dalam penggunaannya kecuali si pengguna mampu mengaplikasikan konteks penggunaan maksim bahasa. Atau seorang pandai dengan ilmu pragmatik dalam linguistic. Mungkin.