Rabu, 25 Oktober 2023

UMPAN: PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, DAN INDONESIA

Dewasa ini, terkait pembangunan kebudayaan, teringat dengan pandangan Sutan Takdir Alisjahbana[1] yakini, yakin intelektualisme relevan dengan kehidupan sekarang yang dihela sains dan teknologi. Oleh karena itu, pendidikan harus terus menggelorakan intelektual.

Sebuah catatan singkat untuk refleksi diri, bicara pendidikan, kebudayaan, dan Indonesia yang rumpang di dunia intelektual. Di bulan baik ini, kami beberapa bulan lalu merayakan ulang tahun ke-78 RI, di tahun 2023 dengan tagline “Terus Melaju untuk Indonesia Maju”—yang kurang lebih tagline tersebut dapat membentuk kesadaran merata pada tubuh dan jiwa masyarakat Indonesia. Terkhusus untuk saya sebagai tenaga pengajar yang masih jauh dari kata: berkontribusi, memberi, dan memperbaiki negeri ini secara benar.

[2]Di Barat, mereka sedang memasak nasi yang sudah hampir matang, jadi wajar mereka khawatir nasinya akan hangus jika api tak dikecilkan. Namun, STA mengatakan, kwatir ini terlalu dini bagi Indonesia karena apinya saja belum menyala. Maka, janganlah mengkwatirkan dominasi intelektualisme mana kala nyala intelektualisme itu sendiri belum terpantik di kehidupan masyarakat. Di Dirgahayu HUT ke-78 RI ini, setelah membaca opini di koran Kompas dengan judul "Memahami Takdir" (2022), ditulis oleh Iwan Pranoto Guru Besar ITB, yang meminjam tulisan Sutan Takdir Alisabhana (1930) tentang pendidikan.

Selaras dengan pandangan yang dipolekmekkan pada modernisasi terdahulu itu. Di tanah kebanggaan Indonesia ini yang kalis, terdahulu sudah mengalami gonjang-ganjing perspektif. Kalau pendidikan hingga kini masih seksi jika dibahas, apalagi kita hanya kalangan intelektual yang masih belum punya kekuatan mengakomodir perubahan secara revolusi. Namun, perlu bersyukur, karena di antara kita masih ada daqi’ kesadaran di relung hati.

Adapun, perlu disadari melalui sudut pandang pemikiran, pembicaran, dan melakukan sesuatu selaras dengan kebebasan atas kebaikan—yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga terus menjadi agent dari jalan-jalan kultural. Dengan kata lain, Bahasa sederhanya; dapat menjadi sumber liyan akan kebaikan secara kultural. Hal ini selaras dengan pandangan Ki Hadjar Dewantara, salah satu peran pendidikan afektif itu: keluarga, langgar, dan kelas pendidikan.

Dasar tersebut akan termanifestasikan kepada realitas sosial yang ada di dunia pendidikan, yang dasar-dasarnya apakah bisa kita sadari itu bentuk intelekual dari Barat—yang masih kental dengan dikotomi kesadaran tidak merata. Tentu dalam memahami pendidikan, kebudayaan, dan rumpang intelektual. Dari fenomena di sekitar itu telah menyadari perlu secara baik tenaga pendidikan menjadikan peserta didik lebih membuka dada, bukan malah menutup diri.

Pertanyaannya adalah; apakah pendidikan kita ini kebarat-baratan? Atau ke-timur-timuran? Lalu filosofi apa yang dapat dikaji secara nalar oleh kita dalam memantapkan diri melawan kejanggalan arah pendidikan kita—yang seolah-olah disposisi arah juang di dunia pendidikan. Apakah kerumpangan pendidikan ini dapat menjadi rimpang, sesuai dengan esensi dan eksistensi.  

Darurat Pendidikan Kita

Urgensi negera terletak pada pendidikan. Berbicara pendidikan tentu tidak lepas dengan sebuah sudut pandang terhdap pendidikan formal, non-formal, dan informal, yang begitu akrab dengan kita. Tentu, akrab yang dimaksud kita memiliki kesadaran atas anggapan bahwa pendidikan itu penting. Namun tidak dengan yang tersandra dengan pandangan pendidikan itu buruk, tapi melepaskan dari pemahaman atas sistem. Lantas apakah urgensi negera tersebut berkaitan dengan kurang baiknya sistem, atau ada oknum pemangku kebijakan kurang bijak menerapkan dalam realitas, yang dampaknya masih asam dan kadang tawar dirasakan masyarakat.

Sistem pendidikan di negara Indonesia bagi masyarakat secara luas akan dirasa sudah baik. Bahkan dasar baik tersebut terletak pada sebuah tokoh besar pendidikan kita, yang dapat dikatakan telah mencetuskan sistem pendidikan sangat bagus. Hal ini telah menjadikan kita untuk terus menyangka, jika pendidikan kita sudah masuk pada sebuah elmen sangat luas jika berkaitan dengan sekarang. Karena secara filosofis yang telah dicetuskan oleh para pendiri telah direduksi, bahkan ada yang kurangi.

Sistem dari masa ke masa memiliki kecenderungan berbeda-beda. Ada dengan lantang pendiidkan terbaik terletak pada zaman Ki Hadjar Dewantara, lantaran pada saat itu akses pendidikan masih terbatas. Dengan bahasa lain, kaum terdidik masih ada dikotomi kuat terhadap pemerataan dunia pendidikan. Jika bukan dari anak bangsawan atau berdarah Belanda atau kata lain dalam perspektif orang Indonesia kolonialis, itu. Pendidikan taman siswa bagi orang Indonesia sangat menjawab permasalahan pada saat itu. Yang mana, masyarakat bisa mengenyam pendidikan masih rumpang. Rumpang di sini tidak merata, sehingga masyarakat masa itu yang masih penuh dengan tantangan melewan kolonialis untuk bisa mencapai satu harapan besar, yaitu  belajar. Akan tetapi, permasalahan pada saat itu bukan terletak pada sebuah mental belajar, melainkan tujuan pendidikan pada saat itu terletak pada kesadaran kolektif merebut kemerdekaan dengan kemampuan manusia nusantara yang utuh.

Kegamangan pendidikan pada saat itu terletak pada kesadaran tidak merata. Bahwa masyarakat pribumi dalam kesadarannya untuk melakukan perlawanan atas kolonial, masa itu. Tentu bagi yang merasa rugi dan sunyi dari kemiskianan. Maka, salah satu cita-citanya itu, menggapai sebuah kemerdekaan Hindia Belanda (sebutan kolonial). Hal tersebut dapat dikatakan; masyarakat kesadarannya masih rumpang antara yang miskin dan yang kaya. Dengan karunia Tuhan yang maha besar dan kuasa, tepat pada 17, Agustus 1945 Soekarno-Hatta membacakan teks proklamasi, yang menjadi simbol dan mitos.

Pereodisasi Kurikulum Indonesia

Kurikulum di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan signifikan dari masa ke masa. Berikut adalah gambaran singkat tentang perkembangan kurikulum di Indonesia sejak masa kemerdekaan hingga saat ini:

1. Kurikulum 1947:

Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, kurikulum pendidikan di Indonesia masih sangat terbatas. Pada tahun 1947, pemerintah merilis kurikulum sementara yang disebut "Kurikulum 1947". Kurikulum ini lebih menekankan pendidikan nasional yang mencakup bahasa Indonesia dan Pancasila sebagai nilai-nilai inti.

2. Kurikulum 1952:

Pada tahun 1952, pemerintah mengganti Kurikulum 1947 dengan "Kurikulum 1952". Kurikulum ini memberikan penekanan yang lebih besar pada pendidikan agama dan moral.

3. Kurikulum 1975:

Selama masa Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, pemerintah mengenalkan "Kurikulum 1975". Kurikulum ini memiliki fokus yang kuat pada pembentukan karakter Pancasila dan ideologi nasional. Pendidikan agama juga menjadi komponen penting dalam kurikulum ini.

4. Kurikulum 1984:

Pada tahun 1984, pemerintah mengganti Kurikulum 1975 dengan "Kurikulum 1984". Kurikulum ini menekankan pembelajaran yang lebih praktis dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan industri. Kurikulum ini juga memperkenalkan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) yang menekankan ideologi Pancasila.

5. Kurikulum 1994:

Kurikulum 1994 diperkenalkan untuk menggantikan Kurikulum 1984. Kurikulum ini lebih mengutamakan pemahaman konsep daripada hafalan. Salah satu fitur utama adalah pembelajaran tematik di tingkat sekolah dasar.

6. Kurikulum 2004 (KTSP):

Pada tahun 2004, pemerintah mengadopsi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP memberikan lebih banyak otonomi kepada sekolah dalam merancang dan melaksanakan kurikulum mereka. Ini bertujuan untuk meningkatkan relevansi kurikulum dengan kondisi setempat.

7. Kurikulum 2013 (K-13):

Kurikulum 2013, juga dikenal sebagai K-13, diperkenalkan untuk menggantikan KTSP. K-13 lebih menekankan pada pengembangan karakter, keterampilan, dan pemahaman konsep. Ini menggabungkan pendekatan ilmiah dan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran.

 

8. Kurikulum Merdeka Belajar (2020):

Pemerintah Indonesia mengumumkan "Kurikulum Merdeka Belajar" pada tahun 2020. Kurikulum ini bertujuan untuk memberikan lebih banyak kebebasan kepada siswa dalam memilih mata pelajaran yang ingin mereka pelajari, serta memberikan fleksibilitas dalam metode pembelajaran.

Kurikulum di Indonesia terus berkembang sejalan dengan perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan pasar kerja. Semua perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia.

 

Kesadaran Intelektual Merata Kunci

Kesadaran nasionalis ini tentu tidak dapat diragukan kembali. Karena sudah semestinya sudah menerima dari masa kecil, di dunia pendidikan tingkat dasar, salah satunya mencintai produk lokal selalu disuarakan. Lalu dipupuk di setiap jenjang penpendidikan. Namun kadang tolok ukur dari nasionalisme hanya terletak hanya pada pelafalan, bukan sebagai dasar penting dalam hidup—yang menjadi sebuah kesadaran atas manusia Indonesia.

Dalam hal ini tentu berkaitan dengan system pendidikan. Bahwa system pendidikan yang baik akan menentukan sebuah hasil yang baik, hasil baik tersebut terkait dengan indikator pencapaiaan yang ditentukan oleh seorang tenaga pendidik. Sebagaimana penilaian tersebut punya tolok ukur secara primer, sekunder, dan bahkan tersier.

Tolok ukur tiga hal tersebut bisa dapat ditentukan oleh pemerinta, lalu kesadaran guru bisa menerapkan dalam kehidupannya. Sehingga dampak tersebut bisa dirasakan oleh peserta didik—yang sangat bisa dicapai dunia pendidikan yang ideal sesuai dengan kebutuhan. Hal ini selaras dengan apa yang Ki Hadjar Dewantara; jika kamu menanam jagung maka akan menuai jagung, jangan sampai tidak. Adagium tersebut berkorelasi dengan dunia pendidikan kita yang mengarah pada kemampuan manusia dapat diasah dan bisa ditemukan di dunia pendidikan. Sehingga potensi dirinya bisa ditemukan.

Untuk mencapai ideal manusia ketika memilih menjadi seorang terdidik, yang terbuka pikirannya, selalu menggali potensi diri, lalu memiliki pengalaman atas hidup. Hal ini tentu terkait dengan tenaga pendidik yang baik dan handal dalam mendidik, mengjarkan ilmu, dan juga bisa memberi hukuman kepada peserta didik yang belum memiliki kesadaran belajar. Sehingga tanggungjawab tenaga pendidik bahwa generasi bangsa akan menentukan peradapan baiknya sebuah negara.

Tercapainya tenaga pendidik yang dapat bertanggungjawab atas mengajar tentu menjadi tenaga pengajar profesional, perlu dimunculkan kesadaran dari dirinya sendiri. Salah satu pemicu tentu berkaitan dengan kesejahteraan tenaga pengajar. Agar bisa mencapai sebuah pendidikan yang berkualitas. Karena semakin banyak beban administrasi tapi masih kurang ngopi, mengajar di kelas hanya sekadar saja.

Budaya Literasi Hidupi di Ruang-Ruang Kelas

Peran peradapan ini tidak lepas dari sebuah ruang akademik yang dipengang oleh tenaga pendidik yang tepat. Hal ini tentu berkaitan erat dengan sebuah kecakapan literasi seorang tenaga pendidik. Maka, tidak hanya mengajar peserta didik, tapi juga memupuh jiwa dengan sebuah rekomendasi bacaan sekurang-kurangnya, bisa diberikan kepada peserta didik. Karena dengan seperti itu peserta didik, kognetif, afektif, dan psikomotorik tak hanya sekadar dapat doktrin dari eksternal, melainkan lahir dari internal.

Di era sekarang teknologi berkembang. Sehingga pendidikan tidak hanya menjadi sebuah kepentingan kebutuhan melepaskan dari budaya lama, belajar untuk melepaskan diri dari kobodohan. Akan tetapi, teknologi salah satu anak kandung dari modern ini. Pendidikan dijadikan jalan menggapai pekerjaan. Bahkan buruknya lagi menjadi sebuah liberalisasi pendidikan. Sehingga pendidikan semestinya menjadi salah satu usaha menyelesaikan masalah sendiri, tapi terkadang tidak dapat menyelesaikannya. Hal ini menjadi jawaban kalau pendidikan menjauhkan diri dari realitas sosial.

Kesadaran literasi yang dapat disuarakan kini ialah; bagaimana setiap orang mampu menyadari akan  kemampuan dirinya. Jika ini masih berada di dunia pendidikan bagaimana peserta didik dapat memahami serta dengan sadar memunculkan diri sebagai jiwa intelektual—yang dapat menjawab permasalahan di sekitar, dan dapat menjadi obat sebuah problem.

 



[1] Cum Sastrawan STA 1930-an

[2] Ibid