Selasa, 31 Agustus 2021

TEMPAT FIKSI DAN FAKTA: SASTRA

Mula-mula yang perlu dan patut dibatasi dalam pikiran kita. Bahwa Rio Fugitivo dalam novel "La Materi Del Deseo" (2001) dan Macondo dalam "Seratus Tahun Kesunyian" (1967). Jose Arcadio Buendia pendiri Macondo. Siapa yang tidak tahu dengannya, sebagai pembaca "One Hundred Years Of Solitude" karangan Gabriel Garcia Marquez. 


Realisme Magis bermula dengan Elina Garro penulis Mexico lahir 1916. Sebagian orang selalu menganggap bahwa Gabo (Gabriel Garcia Marquez) sebagai pencetus realisme magis, nyatanya tidak demikian. Meluruskan pola pikir yang baik dan bijak berasumsi, itu lebih baik. 


Kota fiksi yang dibuat oleh seorang penulis selalu menjadi ciri kreativitas penulis. Keluaran berpikir untuk mencipta satu nama daerah, kota. Tentu tidak lepas dengan kultur tempat tersebut. Jika memberikan bangunan di satu daerah, ada kehidupan yang perlu diperhatikan. Sering kali kita menggunakan karakter di wilayah tersebut, sesuai dengan letak geografisnya. Contoh Kota Macondo yang berlatar belakang di Kolombia kalau dicermati kehidupan di daerah tersebut. Dan kehidupan didalamnya sangat kental dengan kehidupan yang sangat mengejutkan, bagaimana seorang pesulap dipuja-puja karena dianggap kehidupan yang unik sekaligus menarik. 


Kota Macondo tersebut tidak akan punya kultur budaya serta kehidupan yang demikian. Kalau kota tersebut sudah berdiri lama dan sudah ada kehidupan sebelumnya. Hal itu, kalau dilacak dari kronologis zaman. Objek tempat menjadi sasaran dicermati kehidupannya, yaitu kehidupan fiksi. Kehidupan fiksi berbeda dengan kehidupan fiktif. Kalau dibedakan dari keduanya mengacu secara etimologis kata "fiksi" memiliki arti "cerita rekaan 'roman, novel, dan sebagainya' dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015). Sedangkan kalau kata "fiktif " memiliki arti "bersifat fiksi hanya terdapat dalam khayalan 'Cerita Pengantin Ciliwung' itu cerita belaka dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2015). Kedua arti tersebut punya kecenderungan satu sama lain, yaitu; "fiksi"; sebuah kejadian yang sudah pasti ada dalam dunia nyata. Sedangkan kalau "fiktif" sebuah kejadian yang tidak ada di dunia nyata (bisa khayalan yang tidak pernah ada di dunia nyata). Kedua makna tersebut punya sudut pencerahan berbeda-beda. 

Pada intinya dari pembuatan tempat-tempat fiksi di sebuah karangan akan menjadikan penulis lebih ekstra menciptakannya. Karena dituntut untuk bisa merasionalkan pikiran manusia normal, untuk meyakini adanya tempat dengan kecanggihan rekaan penulis. Sehingga pembaca terpukau percaya, dengan apa yang disampaikan dengan menulis--yang penulis pada sebuah kisah. Hal ini bukan bicara baik buruknya karya, hal itu terlalu dangkal serta sudah bukan waktunya, kecuali anak Sekolah Dasar (SD). Sebab karya sastra perlu kehidupan baru pada setiap pembaca dan kritikus, terkhusus dalam makna. 


Imajinasi merupakan kerja diri manusia, yang ada di dalam diri, bahkan hati. Dunia yang luas adalah dunia ide. Karena ide tanpa ada batas. Plato (427--347 SM) berkata "idea tidak dicipta manusia. Idea adalah dunia yang melampaui manusia, maka ide tidak bergantung, melainkan pikiran manusia yang tergantung pada dunia ide. Ide adalah citra pokok dan perdana dari realitas, nonmaterial, abadi, dan tidak berubah. Hal ini dapat dianggap bahwa ide manusia tidak punya batas, sebab imajinasi kerja daya pikir manusia untuk membayangkan. Adapun saat membayangkan manusia tidak akan punya sekat, tak terbatas serta akan semakin luas saat berpikir luas. Maka hasil manusia akan dikatakan hasil kreativitas--yang kita ketahui puncak dari kreativitas adalah hasil (apa yang diciptakan dan berfungsi dalam kehidupan, kepada diri maupun orang lain). 


Tempat-tempat fiksi merupakan hasil kreativitas. Entah itu secara cerita langsung maupun tidak langsung, dapat dinikmati dan masih diterima logika. Saat semua orang berpikir akan hal tempat yang unik dan baik, berkesan, maka penulis (pencipta) berhasil.


Adapun di Indonesia tempat yang non-fiksi, tapi banyak di latar pengisahan dalam karya sastra novel dihidupkan di karya-karya fiksi, novel dan cerpen. Tempatnya yaitu; Boven Deguel dan Pulau Buruh, yang begitu sangat dikental di dalam roman-roman Pramoedya Ananta Toer. Penulis yang selalu dianggap kontroversi di Indonesia. Dia menulis dengan begitu banyak karya namun yang ditulis di Pulau Buruh jadi masterpice. Begitulah. 


Senin, 30 Agustus 2021

GENDER, DAN HAL-HAL YANG BELUM TUNTAS


Ada seorang Bissu [1] membuat pernyataan dengan bahasa sederhana “kenapa seorang selalu mempermasalahkan gender ‘kenapa masih perlu dianalisis gender’ kalau sibuk dengan hal demikian, akan seperti menanyakan gender Tuhan kita.” Ujarnya, dengan bahasa ibu yang sederhana, ia berkata demikian. Hal tersebut jika dipikirkan secara mendalam berlarut-larut, dan tenaga kita akan habis, sebab banyak perspektif yang perlu mendasari akan hal tersebut. berbicara mengenai “gender” tentu perlu dasar perspektif luas; perlu dari secara biologis, agamis, psikologis, kultur budaya, dan hal-hal yang belum selesai yaitu feminisme. Jika menjelaskan secara panjang lebar akan melahirkan sebuah pilihan. Pilihan tersebut akan membuat reduksi pikiran kita, yang terus masuk dan bisa menanyakan pada diri kita sendiri “kita perlu bersikap seperti apa, ketika kita tahu dari banyak perspektif?” hal ini menjadi refleksi bagi kita semua.

Dalam hemat penulis membincangkan “gender” tentu hal yang umum, tapi rumit. Tidak ada salahnya mencoba menyederhanakannya. Sebab secara realitas tanpa disadari kehidupan sehari-hari selalu bertemu, dan bahkan mengalaminya. Dekat dengan kehidupan baik individu maupun universal. Berbicara gender secara luas terkadang melahirkan sebuah pandangan yang tabu, bahkan kalau lebih dalam lagi akan abu-abu, kecuali sanad serta akhirnya akan mengembalikan kepada diri sendiri dan bisa mengambil intisari dari banyaknya pendapat. Sebab tidak semua dapat diambil diamalkan secara baik karena ada pula pandangan yang akan berdampak buruk, walaupun niatnya baik. Pada kondisi tersebut  tentu memulai dari perspektif secara biologis. Adapun, secara biologis bicara gender tentu akan mengingatkan pada sebuah fenomena yang terjadi pada sejarah Bissu di Sulawesi Selatan tahun 1950[2] dipelopori oleh Kahar Muzakar orang beragama ekstrimis.


Faisal Oddang[3] menulis karangan novel berjudul “Tiba Sebelum Berangkat” Terbitan KPG (2018), mengisahkan pertikaian antara kelompok DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Yang mana kelompok tersebut di tahun 1951 menyisir semua Bissu untuk diadili, mengintrogasi, bahkan dihabisi. Karena dianggap menyimpang dari nilai-nilai agama, dan dianggap bahwa Bissu tidak memiliki agama dipandang secara biologis dan konstruksi sosial di masyarakat berlaku.  Bahkan dipandang dari kehidupan keseharian dianggap menyimpang dari yang ada di agama. Bagi masyarakat Bugis, ia dianggap orang yang suci bahkan dihormati. Karena  dipercaya mampu menghubungkan masyarakat dengan Tuhan. Walaupun secara penampilan Bissu bergender laki-laki, tapi penampilan perempuan. Sewaktu-waktu bisa saja Bissu berhubungan seksual. Bissu memiliki dualitas tubuh laki-laki dan perempuan.


Mengambil dari kisah diatas tersebut merupakan salah satu potret kehidupan gender, yang mendapatkan diskriminasi secara agama, tapi tidak secara budaya. Maka dapat kita ambil kesimpulan sederhana bahwa di masyarakat kita memahami sebuah “agama dari budaya atau budaya dari agama” di Indonesia pada konsep ini masuknya Islam ke Nusantara di abad ke 13 dari para pedagang Timur Tengah. Budaya berdagang orang-orang Nusantara, ini sebagai contoh nyata bahwa agama Islam awal mula menyesuaikan dengan budaya setempat, lalu membicarakan tentang ilmu agama. Kuntowijoyo dalam buku berjudul “Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia” cetakan IRCiSod (2017) memberi penjelasan mengenai agama kurang lebih begini “agama di Nusantara secara budaya dan bentuk-bentuk masjid berbeda dengan yang di Arab, maka bentuknya saja berbeda sehingga budaya yang ada akan menyesuaikan dengan yang ada di dalam akidah, tapi tidak dengan bentuk atau cara-cara beriman.


Feminisme dan Gender

Mula-mula  kalau kita membicarakan tentang feminism coba mengambil sebuah pemaknaan  secara semantik mengenai kata “feminisme” yang secara etimologi berasal dari bahasa latin yaitu, “femina” disadur ke dalam bahasa inggris jadi kata “femine” yang berarti memiliki sifat-sifat perempuan, lalu dapat imbuhan “isme” (paham) tentang nasib-nasib perempuan. Dalam hal ini feminisme berbicara tentang hak-hak perempuan yang dituntut, maupun yang secara kodrati. Sehingga menemukan sebuah idealnya konsep serta penerapan yang dapat mengkonstruksi sistem sosial,  menjadi kesadaran kolektif, yang akan bisamembuat (keadilan) dan (persamaan) tidak terjadi subordinasi, patriarki, dan marginalisasi.

Sedangkan kata “gender” kalau diartikan dalam bahasa Indonesia, yang termaktub dalam Kamus Besar Bahasa  Indonesia (KBBI) mempunyai makna jenis kelamin. Kalau dibenturkan dengan hubungan “analisis gender” apakah akan ada korelasi kelamin dengan hak-hak yang menjadi tanggung jawab sosial dan individual. Sehingga kajian secara khusus dapat penjelasan lebih signifikan dalam konteks hubungan “kodrati” atau “biologis” dan “konstruksi sosial” atau “anggapan masyarakat”. Hal ini melahirkan sebuah pandangan kalau gender berkaitan dengan hukum biologis dan hukum sosial.

Menelisik ke sejarah panjang ke belakang, yaitu. Pada 570 (M) yang dikenal dengan kehidupan Nabi Muhammad Saw, disebut dengan tahun gajah. Bahwa sebelum itu sangat terjadi diskriminasi perempuan yang tidak humanis, di mana dalam sejarah perempuan itu tidak berharga, kaum perempuan sebagai aib bahkan dibunuh, zaman itu disebut “zaman jahiliyah” dengan lahirnya Nabi Muhammad Saw., perempuan dimerdekakan dan dimuliakan.


Sejarah Gerakan Feminisme

Mula-mula kalau membicarakan gerakan feminisme dilacak dari sejarahnya, tentu tidak keluar dari sebuah pengaruh post-modern. Sehingga dapat dikatakan besar serta perkembangan gerakan feminism anak kandung dari budaya barat ditandai dengan lahirnya revolusi ilmu pengetahuan di abad XIIV dan lahirnya revolusi Prancis yang konon mendorong liberalisme masif pada abad ke XIIIV sehingga revolusi tersebut melahirkan perubahan besar-besaran mengenai kesadaran manusia, mengenai sosial, politik, bersama itu, kesadaran khususnya perempuan yang ikut serta memperjuangkan hak-haknya.

Mengacu pada perkembangan Eroupa khususnya di Inggris Mary Wollstonecraft melalui karya berjudul “A Vindication Of The Right Of Women” di tahun 1792. Selalu menyuarakan hak-hak perempuan yang menjadi pijakan banyak orang akan hal perkembangan gender. Khususnya dalam hak-hak pada kaum perempuan. Dalam konteks ini memandang menggunakan perspektif sosial dengan logika umum dan subjektif. Yang sering digunakan hak; politik, domestic, sosial, ekonomi, dan maupun pendidikan.


Adapun perkembangan tersebut berjalan stabil sambil lalu melakukan ekspansi lebih luas mengenai gerakan, entah secara individu maupun universal, yang ditandai dengan sektor-sektor sentral dalam khasanah sosial serta kehidupan masyarakat dan komunitas, organisasi, dan narasi dalam baca-bacaan yang tersebar di dalam literatur atau di buku, sangat kuat dan masif. Jika itu dapat stabil akan melahirkan sebuah gerakan positif maupun negative. Sehingga masyarakat akan menyadari perspektif tersebut berpacu pada sebuah dasar diri dalam mengambil setiap pengalaman orang atau pengalaman sendiri, yang terjadi. Untuk menemukan serta merasakan akan hal tersebut seharusnya dapat mengukur elektabilitas diri yang diuji.


Feminisme dalam Perspektif Agamis

Saat membicarakan perspektif agama tentu akan menganalogikan perkataan “agama itu lebih muda daripada cinta, tapi akan ada agama bisa lebih tua perihal rasa.” Sehingga feminis yang pada dasarnya membicarakan tentang rasa mulai dengan hak-hak diri, kebebasan, hak yang telah menjadi qudroti (biologis) maupun secara konstruksi sosial (dibentuk manusia). Maka agama akan menjadi dasar untuk menemukan sebuah perspektif yang lebih ideal jika menggunakan kesadaran sosial maupun individual.


Untuk menjawab perspektif memberikan privilege

terhadap perempuan, tentu ada landasan paling tua dalam peradaban feminisme anak kandung dari post-modernisme, yaitu di Agama Islam ada sebuah dasar dalam memperlakukan serta memuliakan perempuan. Mari menelisik Konsep feminisme[4] dalam Al-Quran,  mengacu pada, dalam sejarah nabi Musa, khususnya QS. Al-Qashash: 23. Dengan pendekatan tematik yang bercorak maqashid, penulis berupaya dan wanita karir yang Islami, serta menghadirkan sejumlah fakta sejarah Nabi dan sahabat tentang keterlibatan aktif wanita dalam politik, jihad, dan bisnis. Hal ini sangat rentan berbicara dengan perkembangan feminisme di Barat.

Jika melihat dari apa yang dijelaskan di atas dapat ditarik sebuah perspektif Agama Islam, tentu akan melahirkan sebuah hak-hak yang begitu bebas secara biologis dan konstruksi. Tidak ada kesangsiang dengan gender yang nanti akan menimbulkan stereotype bahwa pria lebih ideal atau lebih leluasa mendapatkan ruang gerak. Bahkan dalam sunnah nabi dalam hubungan rumah tangga paling ideal membagi hak laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, yaitu dengan dasar kesepakatan untuk mencapai justice  (keadilan) dan equality (persamaan). Dalam struktur sistem dan struktur masyarakat[5].

Di buku berjudul Nusa Jawa[6] tulis Denys Lombard hal. (125-126) menjelaskan bahwa kaum wanita disih-sisihkan secara institusional dari kekuasaan “Raja harus laki-laki” kata Tajussalatin, “sebab wanita kurang arif (kurang budinya) dan yang kurang arif tidak bisa naik tahta. Bahkan dalam hal ini juga memberikan penjelasan secara inti masyarakat muslim akan memiliki anggapan bahwa perempuan tidak dapat tampil di depan umum tuk menjadi imam shalat. Kecuali di Aceh Taj pada abad XIIV (17) 4 putri raja berturut-turut menjadi raja dan turun tahta pada tahun 1641. Kendati demikian lantaran tidak ada pilihan lain yaitu terakhir, setalah tidak ada lagi jalan lain.

Perspektif Feminisme RA. Kartini

Dalam perkembangannya, dimulai dengena generasi ketiga. Amerika pada akhir abad 19 dan awal abad 21. Starting point dari gerakan ini adalah memperjuangkan hak memilih bagi perempuan (the right to vote). Namun setelah hak tercapai, gerakan ini semakin meluas dan sempat mengalami pergeseran arah pemikiran di saat terpengaruh dengan metode berpikir maskulin. Sebuah gerakan yang agresif dan berbalik menindas pada kaum lelaki. Mereka cenderung chauvinistic (berlebih-lebihan). Gerakan ini telah melampaui batas spirit feminisme, yaitu menegakkan keadilan. Dengan fenomena tersebut membuat gerakan

feminisme terkadang kurang mendapat apresiasi di masyarakat, khususnya di Indonesia. Bahkan kelompok yang kontra feminisme mengkhawatirkan bahwa gerakan feminism ini akan merusak tatanan sosial dan bisa menjadi ancaman besar bagi keluarga dan masyarakat umum.


Di Indonesia sendiri, gerakan feminisme baru berkembang pada tahun 1980 an. Sejumlah aktivis perempuan mulai muncul, seperti Herawati, Wardah hafidz Marwah Daud Ibrahim, Yulia Surya Kusuma, Ratna Megawangi. Gerakan mereka tentu merupakan kesadaran yang lahir dari perlakuan yang masih kurang adil terhadap perempuan. Dominasi patriarki baik dibidang politik, sosial-ekonomi masih sangat kental ketika itu. Terbukti misalnya hak politik yang masih minim, bahkan ada kecenderungan penafsiran keagamaan yang memposisikan perempuan sebagai kelompok pelengkap dan tidak memiliki kemampuan memimpin.


R.A Kartini dalam konsep gerakan feminism sangat  ideal untuk diterapkan di Indonesia. Pemikiran serta konsep pemikiran yang diterapkan di jawa sangat ideal, sebab selain memberikan pandangan mengenai sikap perempuan terhadap gerakan sosial paling ideal yaitu bergerak di dunia pendidikan. Sehingga membangun sekolah dan bergerak di dunia pendidikan perempuan memang semestinya harus lebih tinggi daripada kaum laki-laki. Karena menganggap bahwa kesetaraan paling ideal yang  perlu diperjuangkan yaitu perempuan harus memiliki pendidikan tinggi (berpengetahuan), sebab kalau memiliki pengetahuan, perempuan akan mendidik anak-anaknya, dan anak-anak yang didik akan menjadi anak yang luar biasa. Karena didik oleh seorang ibu yang berpendidikan.


[7]Selamat membaca dan perhatikan kembali seca


[1] Pendeta agama Bugis kuno Sulawesi Selatan


[2] Bissu (harus) berada pada tataran dualitas tubuh antara laki-laki dan

perempuan sebagai representasi dan penghubung dua alam, yakni dunia (atwong lino) dan akhirat (eso ri

munro). Sebagai penghubung,

mereka tidak (diperbolehkan) melakukan hubungan seksual. Oleh karena itu, Bissu

diyakini sebagai pribadi yang suci atau “orang bersih” selayaknya pendeta.

Dengan kapasitasnya, Bissu dipercaya untuk mengemban jabatan religius pada

masyarakat Bugis. Jabatan religius mengharuskan mereka mengemban tugas tanpa

‘kotoran’ sebagai hambatan. Menurut kepercayaan hambatan ‘kotoran’ , dimaksud

seperti  haid, menyusui, dan melahirkan. ra

seksama, mari diskusikan.


[3] Buku yang menjelaskan konflik  DI/TII di Sulawesi Selatan

tepatnya di Bugis.


[4] Artikel Feminisme

Qur’ani: Tafsir Ayat Wanita Karir

2015, hlm 1-2.


[5] Dr. Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, Membaca Al-4XU¶DQ dengan Optik Perempuan, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008), h.86.


[6] Nusa Jawa penulis Denys Lombard 1996 Gramedia


[7] Tulisan ini hanya ditulis satu

kali, belum melakukan proses mengedit ulang dan ide yang ada dalam tulisan ini

masih perlu dibenahi kembali jika nanti menemukan pandangan-pandangan baru saat

berdiskusi.


[1] Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama dan Ikatan Pelajar Putri Nahdatul Ulama

Minggu, 29 Agustus 2021

PERJALANAN DAN KENANGAN

:kepada dua orang teman


Mula-mula mereka sering nongkrong di kopian tempatku bekerja. Ya, istilahnya mereka sering ngopi. Tepat pada saat itu teman-teman pers kampus mengajak ngobrol dan diskusi tipis mengenai pemberangkatan ke Metro Tv. Saat itu ada  teman yang sudah pernah sampai ke  tempat tersebut. Ia juga sudah dapat beasiswa dari Metro, tepatnya nama program beasiswa Metcom. Setelah perbincangan mengenai kunjungan pers mahasiswa ke media. Ambisi mereka ingin sekali berangkat kunjungan ke media profesional. Tepat pada saat itu ada target Bandung dan Jakarta. Media yang dituju sudah ada, hanya saja belum menindak lanjuti. Begitu sudah ditentukan rute dan akan ke mana melangkah, berangkatlah kita bertiga sebagai juru penembus ke tempat--yang nanti akan dikunjungi bersama anak lembaga pers kampus.
-
Tiba di Jakarta kurang lebih kita telah melakukan perjalanan ke mana-mana. Tujuan utama sebagai orang yang hanya ingin mengunjungi media dan ingin menjalin kerjasama. Rute awal langsung ke The Jakarta Post. Salah satu media terbesar juga di Indonesia atau di Jakarta yang menggunakan bahasa asing, bahasa Inggris. Setelah itu, salah satu teman bilang akan ke Mata Najwa. Tapi, mungkin tidak jodoh. Lalu langsung ke Metro TV. Sehari itu urusan segera di kelarkan semua. Karena kita sama-sama dikejar waktu, sebab masih kuliah. Lalu setelah menemukan kebutuhan akan hal kerjasama bersama Metro yang sudah jelas, sedangkan kalau dari The Jakarta Post masih diambang pertanyaan. Dan suruh nunggu kabar selanjutnya lagi, dengan ketentuan waktu yang ditetapkan. Namun, berbeda dengan yang di Metro sudah jelas dan pas, karena kunjungan edukasi ini menjadi salah satu program kalau di Metro. Lalu langsung diminta proposal kerjasama. Akan tetapi, kita sama-sama belum bawa. Hanya menunggu komunikasi lebih lanjut dengan dalih proposal akan dikirim email dan minta nomor salah seorang staf Metro. Urusan selesai dan jelas. Lalu kita berangkat ke Perpustakaan Nasional di sana hanya jalan saja.
-
Malam sudah tiba, kita sama-sama bingung akan ke mana. Setelah mencari buku di TIM (Taman Ismail Marzuki) malamnya. Lalu kita langsung melanjutkan ke Monas lalu ke Kota Tua. Di sana ada kehidupan yang aneh, apa mungkin karena terlalu menganggap berlebihan. Atau, karena latar belakang berbeda dan merasakan demikian. Suasana kota tersebut selain ramai juga ada bangunan yang unik. Bangunan Belanda yang menjadi ikon bagusnya kawasan tersebut. Sambil melangkah dan mencari suasana baru, mulai dari makan, tempat, dan hiburan yang edukasi serta baik, selalu dicari. Ya, minimal perjalanan ini tidak hanya dolen saja, tapi juga ada langkah baik, yang berbiak, entah cepat atau lambat berpengaruh.

Saat langkah jauh dan menelusuri ibu kota. Memanfaatkan perjalanan jauh, lalu mencari persinggahan istirahat. Ada teman di yang di kuliah di Universitas Islam Jakarta, itu dihubungi lalu istirahat hari pertama sudah menemukan tempat, selamat dari tidur di hotel islam atau di hotel merah putih. Ternyata niat baik selalu berbiak itu pasti ada dan selalu benar adanya. Ya, kalau karya puisi Jokpin kutipan dari puisi berjudul "Kamus Kecil" berikut kutipannya; /kalau ingin jadi bintang harus tahan banting/bahkan ibu tak pernah kehilangan iba/bahwa yang baik akan berbiak/bahwa untuk menjadi gagah harus gigih./ Itulah yang dianggap benar dalam setiap perjalanan kita, dan menguatkan psikologi diri. Sampailah di mana kita menemukan hal baru dalam hidup, yaitu pengalaman baru dari seorang petualang. Pengalaman hanya membaca perlu, tapi pengalaman realita kan mempertajam pola pikir dan kerja nyata. Begitulah kerja manusia dalam hidup--yang terus berputar dan selalu ingin terus berpikir. Dan nanti dapat diamani sekaligus dijadikan ilham, baik. Begitulah.

 

Sabtu, 28 Agustus 2021

KEMERDEKAAN

:hal-hal yang belum selesai


saat anak kecil dapat menikmati susu dan tau inti sarinya
saat siang yang lembam dengan kesibukan tanpa tujuan
baleho berkibar-kibar dan memberi kabar pertunjukan
--dan seorang anak kecil hanya tertawa lalu meludah

udara ekonomi semakin ke sini menyekik
ambulance semakin ramai melintas dengan bunyi "duka luka di masa merdeka Indonesia kita ke 76" itulah terjemahan dengan bahasa sederhana
dan sebagai anak kecil tak ngerti "kemerdekaan"
--kecuali saat makan dan minum susu tetap dirasa sempurna, lantaran orang tua masih bisa tertawa dari luka-luka keadaan, masih bisa.

saat merunduk dan memandang sosial media
mendengar suara-suara dari bung karno yang begitu dalam merangkai bahasa
saat mendoangak ke langit memandang awan putih dan cahaya cerah hari ini, "rusak" lantaran baleho-baleho yang tak mendidik
--jauh dengan bahasa bung besar menyusun kata-kata indah berkeringat

lalu bunga-bunga bertaburan di hari ini. dengan ucapan indah menjadi doa yang tabah, sebab wabah masih tak berubah atau kebijakan saja yang sering berlomba-lomba semakin lama akan diterima indah "katanya!"
--kemerdekaan menerima, harus terus menggema dalam jiwa dengan lomba yang tak pernah usai, yaitu kemerdekaan diri dan tak dapat memberi apa-apa pada mereka-mereka, yang menderita.

lekaslah membaik Indonesia yang telah mencapai 76 tahun merdeka--yang lepas dari resah kepanjangan di bawah bayang-bayang ke diktatoran kolonial, dulu.
kini lekaslah membaik dengan wabah yang menguji tuk segera tumbuh atau tumbang kepercayan diri. dari banyaknya spekulasi, jalan-jalan di pinggir jalan ditutup lagi "sebab ketakutan wabah, dokter tak dapat menjamin kecuali diri
--dan sunyi semakin berati di hari kemerdekaan dua tahun ini, pengibaran bendara tak dilaksanakan tak sesempurna diharap Fatmawati bendera dijahitnya hati-hati agar sempurna, kini karena terlalu pedih dengan luka-luka. namun untung masih bisa mengucapkan "selamat hari kemerdekaan"

lakaslah membaik tuk segera berbiak
doa baik dari stuasi ini, agar matahari dan bulan bersamaan tiba sesuai harapan; esok dan luas seterusnya di negeri Indonesia yang dibangga
--yang menggaungkan merdeka bukan sekadar kata namun cinta yang menggema jadi nyata, dirasa


ANGKRINGAN DAN PEMERSATU

:Kepada yang berkepala Post-strukturalis

"kita bertiga berbeda Tuhan, ada yang sama tapi beda cari menyembahnya. dari arah utara menemukan cara dan cita-cita masih terasa, bahwa ada cinta dari alasan berbeda." 

Untuk merasakan hal yang ada di depan kita tidak hanya bersuara keras atau kecil.
Mulut ia tak diam mempermainkan asap rokoknya, hingga menggulung-gulung ke udara.
Dan rasa gelap diganti dengan dingin yang tenang saat bersama.

Ia keluar dari tempat tinggalnya yang megah dan besar. sebab, dirasa sangat menakutkan. Karena pikirannya tak dapat direda dengan bacaan atau dengan hiburan lainnya. Maka mencari teman berdiskusi, ia berani berdiri asalkan dapat menghasilkan teman ngopi. Dan sepi yang menyelimuti dan berganti dengan ngobrol bukan tentang sunyi dan sepi, namun tentang pemikiran orang-orang besar dengan hasil bacaannya.

Sepertiga malam kita berpindah tempat mencari tempat lagi, untuk melapangkan ketangan kembali. Perbincangan masih tentang apa yang telah lama dan ada. Tapi, belum selesai oleh diri kita masing-masing. Salah satunya, tau tentang apa yang ada, namun belum bisa melakukan tindakan apa-apa,    kecuali hanya membagi cerita tentang rasa dalam buku dan cinta pada sesuatu.
Kami bertiga, setelah sekian lama kenal, waktu pertama kenal pada saat sama-sama mengikuti kelas Residensi Studi Falsafat. Saat itu, kita tahu asal, di mana belajar, dan Tuhannya. Serta pada akhirnya kita bisa tahu satu-persatu 'kesukaan mereka, mulai dari pemikiran tokoh besar dan rasa kopi apa yang paling cocok saat kondisi seperti ini.' Semua seperti seorang pejalan kaki--yang pelan-pelan akan sampai, baik secara cepat ataupun lambat, tapi tepat.

Kota ini dan negara sudah tidak biasanya, ambulance, Satpol PP, dan waktu keluar rumah dibatasi, sehingga ada kehidupan yang tidak biasa terjadi lantaran pandemi tak bisa dibendung lagi. Kita patut bersyukur lagi dan terus membesarkan jiwa lapang, walaupun ini berat dan tak ada ujung kapan berakhir. Semua orang ada yang lebih ganjil dengan kondisi ini, seperti pejual kaki lima, dan angkringan. Sambil ditanyakan "bagaimana kondisi sekarang penjualannya bang?" Dengan bahasa Indonesia yang baik, bertanya. Ia, pejual menjawab "sangat jauh dan penghasilan sangat kecil, tidak biasanya sebelumnya berjualan masa pandemi, apalagi PPKM level 4 ini, sangat terasa sakitnya, tapi gimana lagi mas." Dengan bahasa Jawa ibu yang lemah lembut menjawabnya. Begitulah hidupnya dia sambil senyum tenang.

Kita bertiga segera bergegas pulang, jarum jam telah menunjukkan ke angkat 1.30 Wib. Semua orang bergegas pulang, dan saya pun juga bergegas. Sambil melangkah pulang menuju sepeda motor, kami bertiga lalu langsung menuju masing-masing tempat, ditandai dengan bersalaman dan Michell langsung naik ke motor Ravi, dan ngebut langsung pulang. Begutulah. 



Jumat, 27 Agustus 2021

PAK SAMAN

Mula-mula Pak Saman bercerita pada saat memijat. Katanya "tidak boleh kalau pijet hari selasa dan jumat!" Ujarnya, sambil memijat teman yang sakit perutnya. Tidak tahu menahu sebab tidak bolehnya pijat di hari tersebut. Asumsi kecilku,--apa mungkin karena kecapean pada hari tersebut. Sehingga harus membuat sistem demikian.

Pak Saman banyak orang yang cocok pijet kepadanya. Lantaran banyak orang yang di kampung setempat--bernama kampung Konye' Desa Alasrajah, Kec. Blega, Kab. Bangkalan. Di kampung kecil tidak begitu terkenal, tapi tukang pijet tersebut jadi wilayah punya nama, walaupun dikenal tukang pijet. Bukan sangkal putung tapi dikenal dengan minyak--yang digunakan pada saat pijet.

Pada umumnya tukang pijet hanya jadi profesi sampingan. Akan tetapi, berbeda dengan para spesialis yang semestinya masuk sekolah ke perguruan tinggi. Maka akan jadi ahli dan profesi benaran, ya, walaupun tidak punya lisensi menjamin hidupnya, ketika seorang hanya menjadi tukang pijet. Andai tukang pijet 'hasilnya menjanjikan' ya, seorang tukang pijet secara ekonomi sejahtera mengalahkan perantau pejual sate. Pasti banyak masyarakat tersebut menyangi Pak Saman.

Konon, Pak Saman bukan hanya dikenal sebagai tukang pijet, tapi juga sebagai seorang warga yang rajin cari rumput dan di rumahnya punya pohon mangga dan punya pohon sirih, yang banyak. Biasa masyarakat kampung meminta dan tak segan kalau butuh banyak membelinya. Karena malu kalau minta dengan banyak.  Selain itu, ia juga dikenal keturunan dari nenek moyangnya tukang pijet, sehingga ia minat secara sangat jelas sanadnya.

Orang pijet di kampung bukan hanya memerlukan durasi lama atau enaknya pas mijetnya, tapi juga menjadi salah satu faktor apakah sanad keturunan tukang pijet itu. Karena masyakarat masih meyakini dan secara psikologis, punya anggapan tukang pijet yang ahli keturunannya jelas dan juga punya dasar keilmuan, yang jelas akan jadi dasar awal keyakinan rasional kita. Usut demi usut oleh masyarakat, kalau  memijat bukan sekedar pijat. Dan ada yang berkata, salah satu masyakat berkata namanya Ramli "Kak Saman pijet, dan melarang hari tertentu tidak boleh pijet dan dilarang, bukan tanpa dasar, ia diajarkan oleh kakeknya dulu. Hari tersebut jangan menerima pijet tidak boleh, kalau tetap maksa tidak akan sembuh sakitnya walaupun pijet, malah membahayakan si pemijat!" Ujar Ramli, setelah bercerita tentang anaknya yang setelah pulang pijet dari Pak Saman, itu.

Salain itu, ada alasan paling rasional, kalau memang mau dirasiokan. Yaitu, bagaimana ia selama satu minggu suntuk melakukan aktivitas banyak. Yaitu; mencari rumput, membajak, dan kadang membenahi air ke sumur. Rutinitas itu, kadang membuat sistem yang baik dalam masa karir mijet menjadi sampingan. Selain pemasukan (penghasilan hari-hari) utama di cari rumput, untuk sapi. Selingan nominal buat tambahan yaitu pijet, dan cukup beli rokok. Begitulah.


 

Rabu, 25 Agustus 2021

PENULIS AGENSI DAN REVOLUSIONER

Terinspirasi dari buku Rony Agustinus berjudul "Macondo dan, Para Raksasa, dan Lain-Lain pemerbit tanda baca (2021). Buku tersebut memberi ilham atas tulisan ringan yang tak bermaksud menghakimi dan berikan apa-apa yang tak patut. Ataupun, kalau nanti ada maklumi saja, sebab kita masih muda tentang sastra dan bacaan di Rak Buku banyak yang belum selesai.

Mula-mula, saat seorang awal mula menulis, akan timbul pola pikir "kalau saya menulis, siapa yang akan baca tulisanku, dan siapa yang akan bela-belain sisakan uang sakunya untuk beli karyaku." Begitulah kegelisahan seorang pemula, dalam proses menulis. Belumlah berpikir bagaimana tulisan dapat tersampaikan dengan baik, dan bisa membuat sesuatu sederhana jadi luar biasa. Ya, dengan keahlian menulis yang baik dan unik, tentu dengan teknik. Saat bertutur saat menulis.

Seorang yang memiliki pandangan pragmatis beranggapan, kadang tidak pernah berpikir ke sana. Mulanya berpikir korelasinya menulis dengan jurusan diambil kita apa ya. Kalau ia di perguruan tinggi. Dan berpikir bagaimana nanti, sekiranya kalau menulis ada kaitannya apa tidak, dengan masa depan dunia kerja. Hal tersebut merupakan mental awal mula belajar menulis seorang pragmatik. Kadang jadi atau tidak, dapat dilihat dari apa yang jadi ambisi mencapai sesuatu. Dan type seperti terebut berhenti saat mencapai apa yang diharapkan. Begitulah konsep berpikir, bermental, dan bertindaknya, sebagian akademisi awal. Yang semestinya tidak ada niat lain, selain menulis.

Konsep yang baik serta menarik sebenarnya dalam dunia, untuk mencapai sebuah perubahan. Entah berupa perubahan pribadi maupun perubahan yang secara semua orang mendapat dampak dari apa yang kita kerjakan. Konsep yang ideal yaitu; secara pragmatis, secara knowledge, dan secara idealis. Ketiga konsep tersebut berjalan sesuai harapan secara konsisten dan baik. Sebab yang berkaitan dengan orang banyak tidak hanya mempertahankan apa yang ada pada diri, namun ada hal yang perlu dibangun dari dalam diri. Untuk itu, sebuah cara yang nanti bisa menunjang dari kehidupan tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara bijaksana.

Kerja kolaboratif merupakan cita-cita dari banyak negara. Salah satunya Indonesia punya simbol--yang selalu diramaikan "gotong royong" hal ini sebenarnya mengajarkan manusia secara esensi. Karena manusia sebagai makhluk sosial (zoon politikun) kurang lebih begitu kata Ariestoles. Di Agama Islam pun diajarkan punya keseimbangan hubungan manusia sesama manusia (hablumninnas). Ini menunjukkan kalau makhluk sosial memiliki kecenderungan kalau melakukan sesuatu secara bersama, akan banyak berhasilnya. Berhasil dengan tujuan yang dibangun secara bersama.

Bom sastra Indonesia, kalau bicara hal terebut mungkin terlalu "wow, wah, atau huoo." Kalau bisa dilakukan dengan baik maka kebudayaan akan berjalan bersamaan dengan perkembangan zaman. Sehingga narasi mengenai--orang yang menganut konsep bahwa yang berbudaya selalu tertinggal, karena teori digunakan hanya itu-itu saja. Sudut pandang tersebut tisak sehat. Karena kalau jadi kebiasaan akan menjadi karakter, karakter tidak baik. Jika seorang penulis (sastrawan) akan hidup bersamaan dengan para penggerak sosial (seorang yang punya semangat menggerakkan perubahan 'revolusioner'). Namun tidak hanya itu, harus berdampingan dengan seorang agensi buku. Ketika hal itu dilakukan secara baik bersamaan akan mencapai satu tujuan yang baik, sesuai dengan harapan dari ketiganya. Begitupun negara maju.

Adapun Ronny Agustinus dalam Macondo Pa da Raksasa dan Lain-lain Hal (2021) memberikan pandangan mengenai perkembangan sebuah kebudayaan khususnya. Menurutnya "bom sastra Amerika Latin kebanyakan pengamat dan pembaca hanya berbicara tentang para penulis yang menonjol dari era tersebut, sebutlah Gabriel Garcia Marquez, Mario Vargas Llosa, Carlos Fuentes, dsb." Seakan itu hanya berkah keahlian penulis yang handal, padahal tidak demikian. Ada peran Carmen Balcells: di Balik Layar El Boom. Sehingga sukses di masanya sampai sekarang. Hal ini yang perlu direfleksikan oleh kita dan para pemangku kebijakan pemerintah (orang yang selalu sarapan perkataan 'negara kita harus terus maju dan berkembang. Ayo semuanya semangat'). Bagi mereka perpehatikan hal ini juga, kalau tidak akan telat berkembang dan maju. Karena ini salah satu kerja literasi--yang akan menopan ke setiap generasi bangsa.

Siapa nama yang disebutkan di atas? Adalah Carmen Balcells yang memperjuangkan 'Bom Sastra Amerika Latin' yang salah satunya mengenalkan ke kancah dunia. Sebab peran yang dilakukan yaitu, ia sebagai agensi sastra ACER di Barcelona. Sehingga banyak orang-orang mengenal sastra Amerika Latin, tidak hanya Eropa, tapi nyaris seluruh dunia. Karena ia melalukan sesuatu yang penulis harapkan; kesejahteraan, akses siapa yang akan mengenal bukunya, dan pasar bukunya, peran itulah yang dilakukannya. Sehingga tidak ada kesengsaraan menimpa mereka, si penulis.

Namun, tidak hanya hanya itu yang mampu menjalakan (mensukseskan sesuatu kebudayaan berkembang dan membantu kesejahteraan para pekerja kebudayaan). Akan tetapi, ada satu lagi yaitu seorang pejuang revolusioner perlu terlibat atau dilibatkan. Karena ia punya power secara regulasi atau secara kekuatan di dalam pemerintahan. Support tersebut akan menjadi jalan baik kehidupan semua masyakarat untuk mencapai perubahan secara individu maupun secara universal. Begitulah.