Resensi Buku
Judul: Pemeluk Angin
Penulis: Dewi R. Maulidiah
Penerbit: Pelangi Sastra
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: xii+162 halaman, 12x18 CM
ISBN: 178-402-5410-74-1
Harga: Rp. 50.000
Peresensi: Akhmad, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia FKIP-Unisma. Gerilya Literasi
Setiap membaca buku
tentu tidak lepas dengan kronik. Buku berjudul Pemeluk Angin ditulis Dewi
R. Maulidah (Pelangi Sastra Malang 2019), merupakan sehimpun puisi yang mengilhamiku
mengetahui puisi surialis. Dibaca
sebelum pandemi covid 19 meramaikan dunia, di tahun 2020 menjadi tahun baik
dalam pembacaan karya sastraku. Karya sastra yang berupa puisi. Sebagai pembaca
awam sebelum tahu isi puisi, pembaca, baca judul puisinya sudah merasa keanehan
dan tidak dapat dirasionalkan dalam segi makna gamblangnya ‘Pemeluk Angin’!.
Menurut hemat saya
puisi dalam buku mungil karangan Dewi R. Maulidah. Ia menulis puisi dengan
genre puisi surealis bahkan dalam artian secara umum memiliki potensi absurd
(tidak masuk akal maka cenderung dipandang dari judul dan isi subjudul puisi, telah
memberi pandangan pembaca dan bisa menangkap siratan-siratan simbol bahasa
kemana ingin diharapakan serta bisa ditemukan benang merah puisi yang telah
selesai ditulis (final oleh penulis).
Sebagai pembaca awam
mengenai puisi surealis Dewi R. Maulidah dengan judul buku Pemeluk Angin pembaca seperti diajak bertamasya di tempat
baru belum tahu. Lebih tepatnya karena ini puisi terdiri dari diksi estetik
namun tidak hanya itu akan tetapi estetika tanpa makna; seperti laut tanpa
ombak dan desir angin. Sehingga untuk bisa menemukan apa yang bisa diambil
harus menyelam ke dasarnya melalui memulai membaca. Pada awalnya sebelum
membaca memandang covernya memukau, lucu
dan unik dengan gambar vector kepala perempuan berambut pendek di atas kepada
ada seekor kucing bertengger kepalanya. Dan tertulis 12 huruf latin yang
kapital semua bertulis frasa ‘Pemeluk
Angin’. Bahwa itulah judul buku karya sastra sehimpun puisi.
Setelah membaca judulnya
tentu dibenak mengalami sebuah tanda tanya lagi. Lalu mencobanya untuk
menemukan pertanyaan dibenak mengenai judul yang dirasa sangat masih ganjal
lagi menangkap maknanya. Dan mencoba memetakan frasa ‘Pemeluk Angin’ tersebut,
untuk dipisah-pisah dari kata ‘pemeluk’ yang secara makna dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti orang yang memeluk. Orang tersebut
sebagai subjek pada objek yang dipeluknya, yaitu kata ‘angin’ yang memiliki
arti sebuah gerakan udara dari daerah bertekanan tinggi kedaerah yang
bertekanan rendah. Dalam kedua makna tersebut ketika digabungkan tidak memiliki
arti singkron tidak logis secara makna leksikon. Keduanya tidak dapat terjadi
arti/makna yang sampai bahkan hanya mengalami sebuah hal metafisik non-rill.
Secara leksikon tercipta makna tapi tidak padu dari keduanya.
Namun dalam sastra
terkhusus apa yang pernah dituliskan oleh penulis puisi Hujan di Bulan Juni
bernama Sapardi Djoko Damono dalam buku apresiasi sastra berjudul Bilang Begini Maksudnya Begitu (Gramedia
2016) berpendapat, ketika seorang pembaca puisi semakin mencari arti pada puisi
maka pembaca akan mengalami kerumitan semakin mencari semakin rumit itulah
puisi, karena esensi puisi estetika bunyi. Sedangkan bunyi bisa saja lahir dari
simbol dan simbol bukan hanya melahirkan tanda namun akan bersamaan dengan
makna, walau sering dalam karya sastra sering terdapat makna tersirat untuk
menemukan nilai; sebab sastra sebuah kerja naluri manusia bukan otak dan
logika, untuk memhaminya perlu meditasi.
Aku, Dewi, dan Teks
Dalam hal ini hemat
saya beranggapan bahwa penulis puisi Pemeluk
Angin ini telah mati dari karya ciptaannya. Sepenuhnya dipasrahkan kepada
pembaca. Karena ketika ingin menemukan makna
sebagai pembaca tidak harus menemui penulis sebab penulis hanya mempersembahkan
teks. Dalam esai seorang novelis serta peneliti sastra di Prancis bernama
Roland Barthes dan Lee (1965) mengatakan bahwa seorang penulis sastra ketika ia
melakukan proses menulis karya sastra, penulis tersebut akan mengalami
sayatan-sayatan hidup dan bersiap untuk menemukan kematian. Tegasnya karya
sastra yang telah final dalam karangannya (selesai penciptaannya) maka penulis sudah tidak ada lagi dalam
karyanya, dan hanya karya itu yang hidup dibesarkan atau didewasakan oleh
pembacanya dan telah menjadi hak milik pembaca menentukan makna. Semudah itu
ternyata menemukan makna dari karya sastra.
Dewi telah tiada (bukan
meninggal, penulis akan panjang umur dengan karyanya), yang dimaksudkan, bahwa
dalam kebingungan tersebut ternyata suatu ketika Tuhan memiliki rencana akan kebingunganku untuk
segera dibuka, kala itu ada bincang buku di Universitas Negeri Malang (UM, tempatnya di Kafe Pustaka bincang itu bertajuk
bembicaraan proses kreatif penulis Dewi R. Maulidah penulis buku Pemeluk Angin. Ketika moderator membuka pertanyaan, saya sebagai orang
gelisah ketika baca puisi yang ditulisnya, dengan malu dan ragu kedua
dikalahkan dengan rasa ingin tahu, bertanyalah; pertanyaan sederhana “mengapa penulis
mengambil judul tersebut, Pemeluk Angin
kan, secara makna tidak sampai, kan
pasti tidak mungkin, apa maksudnya sedangkan isi puisinya tidak ada kata
memeluk angin ada dengan definisinya. Jawab itu diharapkan bisa membuka
kebingunganku, ternyata tidak, jawabanya “simple aja mas ambil judul ini karena
suka dan dalam prosesnya dari berbagai puisi di dalamnya paling serius menulis
puisi itu, tidak bermaksud apa-apa.” Jawabannya, dan masih saja membingunkan. Saya
hanya bingung dengan judulnya saja belum masuk pada isi. Pemeluk Angin “apa ada
yang memeluk angin!” dan itu hanya pada sastra ada frasa tidak masuk akal namun
memiliki ke dalaman interpretasi dan dapat diamini, kembalilagi kerja naluri
sastra itu. Ketika untu menemukan artinya, dan sastra seperti ilmu paling moderat sebab esensinya bebas karena
kebenarannya dalam teks ditentukan oleh diri sendiri (naluri).
Dewi dan Puisi-nya
Sehimpun puisi tersebut
memiliki tiga subjudul dan ada 81 judul
puisi. Tiga seb-judul tesebut 1.Gelombang Pagi, 2. Menanam Bintang di Ladang,
3. Pemeluk Angin. Dari tiga puisi tersebut terasa terangkum dari puisi lainnya.
mewakili dari seluruh puisi lainnya.
1/ Gelombang Pagi Pagi /adalah denyut nadi/Mengalir menuntun mimpi
menjadi raih./ Setiap helainya adalah getaran tak pernah sepi /dari
kerumunan-Mu hingga datang kembali. Pagi /Seperti Ku dan Mu /Yang saling
memanggil /Untukmu. Puisi ditulis, Malang 2015. (hal.03).
2/Menanam Bintang Di Ladang Apa kaudengar
irama yang muncul di setiap/kedipan matamu?/mereka berlompatan hingga
julang-terbang./mereka berlompatan hingga julang-terbang./mereka berlarian di
pelupuk matamu yang terayun-ayun, / mereka berdansa mengiringi langkah suaramu,
/hingga pun lupa rasa apa. (hal.23)
3/ Pemeluk Angin
Semenjak malam yang tak jemu
kutemui/langkah terangnya ketiga hal di bawah langit/yang terendam sepi./ kau pun menemuiku, menghela leherku
hingga/ubun-ubunku/ kau berlari mengelilingi tubuh mungilku, seraya ingin menerbangkanku.(hal.55)
Dalam kutipan tiga
puisi. Saya hanya mengingat dengan salah satu karya Afrizal Malna berjudul Berlin Proposal (Demaku.2015) bukan
puisi yang membekas dalam ingatan, tapi teringat dengan prolog bukunya,
berbunyi; buku tersbut ditulis di Berlin-Jerman, kala itu kondisi batin mengalami
kegelisahan representasi yang khas dalam hubungan anntara bahasa, tubuh, arsip,
dan makna yang berada di tempat berbeda, sebuah pengalaman retreat tubuh dari
bahasa dengan stuasi neurotic berhadapan dengan kerja representasi makna. Dan
kadang saya mengejar cahaya yang sinarnya segra menghilang.
Dewi dan puisinya
merupakan representasi yang dekat dari realitas kehidupannya. Ia seorang
mahasiswi pascasarjana jurusan Bahasa. Pangguaan bahasa yang tangkas berimajinasi
seperti mampu menghidupkan benda yang mati, angin bisa dipeluk, ladang ditanami
bintang, dan pagi memiliki gelombang. Semua lahir dari imajinasi yang diilhami
naluri bahwa puisi mampu menangkap esensi dari kehidupan, mendalami semua itu
melalui naluri.