Sabtu, 02 Mei 2020

Membaca Kronik Puisi Dewi


Resensi Buku


Judul: Pemeluk Angin
Penulis: Dewi R. Maulidiah
Penerbit: Pelangi Sastra
Cetakan: Pertama, 2019
Tebal: xii+162 halaman, 12x18 CM
ISBN: 178-402-5410-74-1
Harga: Rp. 50.000
Peresensi: Akhmad, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP-Unisma. Gerilya Literasi

Setiap membaca buku tentu tidak lepas dengan kronik. Buku berjudul Pemeluk Angin  ditulis Dewi R. Maulidah (Pelangi Sastra Malang 2019), merupakan sehimpun puisi yang mengilhamiku mengetahui puisi  surialis. Dibaca sebelum pandemi covid 19 meramaikan dunia, di tahun 2020 menjadi tahun baik dalam pembacaan karya sastraku. Karya sastra yang berupa puisi. Sebagai pembaca awam sebelum tahu isi puisi, pembaca, baca judul puisinya sudah merasa keanehan dan tidak dapat dirasionalkan dalam segi makna gamblangnya ‘Pemeluk Angin’!.

Menurut hemat saya puisi dalam buku mungil karangan Dewi R. Maulidah. Ia menulis puisi dengan genre puisi surealis bahkan dalam artian secara umum memiliki potensi absurd (tidak masuk akal maka cenderung dipandang dari judul dan isi subjudul puisi, telah memberi pandangan pembaca dan bisa menangkap siratan-siratan simbol bahasa kemana ingin diharapakan serta bisa ditemukan benang merah puisi yang telah selesai ditulis (final oleh penulis).

Sebagai pembaca awam mengenai puisi surealis Dewi R. Maulidah dengan judul buku Pemeluk Angin pembaca seperti diajak bertamasya di tempat baru belum tahu. Lebih tepatnya karena ini puisi terdiri dari diksi estetik namun tidak hanya itu akan tetapi estetika tanpa makna; seperti laut tanpa ombak dan desir angin. Sehingga untuk bisa menemukan apa yang bisa diambil harus menyelam ke dasarnya melalui memulai membaca. Pada awalnya sebelum membaca memandang covernya  memukau, lucu dan unik dengan gambar vector kepala perempuan berambut pendek di atas kepada ada seekor kucing bertengger kepalanya. Dan tertulis 12 huruf latin yang kapital semua bertulis frasa ‘Pemeluk Angin’. Bahwa itulah judul buku karya sastra sehimpun puisi.

Setelah membaca judulnya tentu dibenak mengalami sebuah tanda tanya lagi. Lalu mencobanya untuk menemukan pertanyaan dibenak mengenai judul yang dirasa sangat masih ganjal lagi menangkap maknanya. Dan mencoba memetakan frasa ‘Pemeluk Angin’ tersebut, untuk dipisah-pisah dari kata ‘pemeluk’ yang secara makna dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti orang yang memeluk. Orang tersebut sebagai subjek pada objek yang dipeluknya, yaitu kata ‘angin’ yang memiliki arti sebuah gerakan udara dari daerah bertekanan tinggi kedaerah yang bertekanan rendah. Dalam kedua makna tersebut ketika digabungkan tidak memiliki arti singkron tidak logis secara makna leksikon. Keduanya tidak dapat terjadi arti/makna yang sampai bahkan hanya mengalami sebuah hal metafisik non-rill. Secara leksikon tercipta makna tapi tidak padu dari keduanya.

Namun dalam sastra terkhusus apa yang pernah dituliskan oleh penulis puisi Hujan di Bulan Juni bernama Sapardi Djoko Damono dalam buku apresiasi sastra berjudul Bilang Begini Maksudnya Begitu (Gramedia 2016) berpendapat, ketika seorang pembaca puisi semakin mencari arti pada puisi maka pembaca akan mengalami kerumitan semakin mencari semakin rumit itulah puisi, karena esensi puisi estetika bunyi. Sedangkan bunyi bisa saja lahir dari simbol dan simbol bukan hanya melahirkan tanda namun akan bersamaan dengan makna, walau sering dalam karya sastra sering terdapat makna tersirat untuk menemukan nilai; sebab sastra sebuah kerja naluri manusia bukan otak dan logika, untuk memhaminya perlu meditasi.

Aku, Dewi, dan Teks

Dalam hal ini hemat saya beranggapan bahwa penulis puisi Pemeluk Angin ini telah mati dari karya ciptaannya. Sepenuhnya dipasrahkan kepada pembaca. Karena ketika ingin menemukan makna  sebagai pembaca tidak harus menemui penulis sebab penulis hanya mempersembahkan teks. Dalam esai seorang novelis serta peneliti sastra di Prancis bernama Roland Barthes dan Lee (1965) mengatakan bahwa seorang penulis sastra ketika ia melakukan proses menulis karya sastra, penulis tersebut akan mengalami sayatan-sayatan hidup dan bersiap untuk menemukan kematian. Tegasnya karya sastra yang telah final dalam karangannya (selesai penciptaannya)  maka penulis sudah tidak ada lagi dalam karyanya, dan hanya karya itu yang hidup dibesarkan atau didewasakan oleh pembacanya dan telah menjadi hak milik pembaca menentukan makna. Semudah itu ternyata menemukan makna dari karya sastra.

Dewi telah tiada (bukan meninggal, penulis akan panjang umur dengan karyanya), yang dimaksudkan, bahwa dalam kebingungan tersebut ternyata suatu ketika Tuhan  memiliki rencana akan kebingunganku untuk segera dibuka, kala itu ada bincang buku di Universitas Negeri Malang (UM,  tempatnya di Kafe Pustaka bincang itu bertajuk bembicaraan proses kreatif penulis Dewi R. Maulidah penulis buku Pemeluk Angin. Ketika moderator  membuka pertanyaan, saya sebagai orang gelisah ketika baca puisi yang ditulisnya, dengan malu dan ragu kedua dikalahkan dengan rasa ingin tahu, bertanyalah; pertanyaan sederhana “mengapa penulis mengambil judul tersebut, Pemeluk Angin  kan, secara makna tidak sampai, kan pasti tidak mungkin, apa maksudnya sedangkan isi puisinya tidak ada kata memeluk angin ada dengan definisinya. Jawab itu diharapkan bisa membuka kebingunganku, ternyata tidak, jawabanya “simple aja mas ambil judul ini karena suka dan dalam prosesnya dari berbagai puisi di dalamnya paling serius menulis puisi itu, tidak bermaksud apa-apa.” Jawabannya, dan masih saja membingunkan. Saya hanya bingung dengan judulnya saja belum masuk pada isi. Pemeluk Angin “apa ada yang memeluk angin!” dan itu hanya pada sastra ada frasa tidak masuk akal namun memiliki ke dalaman interpretasi dan dapat diamini, kembalilagi kerja naluri sastra itu. Ketika untu menemukan artinya, dan sastra seperti ilmu paling moderat sebab esensinya bebas karena kebenarannya dalam teks ditentukan oleh diri sendiri (naluri).  

Dewi dan Puisi-nya

Sehimpun puisi tersebut  memiliki tiga subjudul dan ada 81 judul puisi. Tiga seb-judul tesebut 1.Gelombang Pagi, 2. Menanam Bintang di Ladang, 3. Pemeluk Angin. Dari tiga puisi tersebut terasa terangkum dari puisi lainnya. mewakili dari seluruh puisi lainnya.

1/ Gelombang Pagi  Pagi /adalah denyut nadi/Mengalir menuntun mimpi menjadi raih./ Setiap helainya adalah getaran tak pernah sepi /dari kerumunan-Mu hingga datang kembali. Pagi /Seperti Ku dan Mu /Yang saling memanggil /Untukmu. Puisi ditulis, Malang 2015. (hal.03).

2/Menanam Bintang Di Ladang Apa kaudengar irama yang muncul di setiap/kedipan matamu?/mereka berlompatan hingga julang-terbang./mereka berlompatan hingga julang-terbang./mereka berlarian di pelupuk matamu yang terayun-ayun, / mereka berdansa mengiringi langkah suaramu, /hingga pun  lupa rasa apa. (hal.23)

3/ Pemeluk Angin Semenjak malam yang tak jemu kutemui/langkah terangnya ketiga hal di bawah langit/yang terendam  sepi./ kau pun menemuiku, menghela leherku hingga/ubun-ubunku/ kau berlari mengelilingi tubuh mungilku, seraya ingin menerbangkanku.(hal.55)

Dalam kutipan tiga puisi. Saya hanya mengingat dengan salah satu karya Afrizal Malna berjudul Berlin Proposal (Demaku.2015) bukan puisi yang membekas dalam ingatan, tapi teringat dengan prolog bukunya, berbunyi; buku tersbut ditulis di Berlin-Jerman, kala itu kondisi batin mengalami kegelisahan representasi yang khas dalam hubungan anntara bahasa, tubuh, arsip, dan makna yang berada di tempat berbeda, sebuah pengalaman retreat tubuh dari bahasa dengan stuasi neurotic berhadapan dengan kerja representasi makna. Dan kadang saya mengejar cahaya yang sinarnya segra menghilang.

Dewi dan puisinya merupakan representasi yang dekat dari realitas kehidupannya. Ia seorang mahasiswi pascasarjana jurusan Bahasa. Pangguaan bahasa yang tangkas berimajinasi seperti mampu menghidupkan benda yang mati, angin bisa dipeluk, ladang ditanami bintang, dan pagi memiliki gelombang. Semua lahir dari imajinasi yang diilhami naluri bahwa puisi mampu menangkap esensi dari kehidupan, mendalami semua itu melalui naluri.