HASRAT PERJALANAN PUITIK DAN TRANSENDEN DALAM ANTOLOGI PUISI MUHAMMAD
SYAUQI HAKIKI
Akhmad Mustaqim
Esai kritik sastra
Disampaikan pada kegiatan bedah buku
“Menerjemahkan Rindu”
Sabtu 12, Juni 2021
Pukul: 09:00-10-30 Wib
Semarang Jawa Tengah
Pejalan kaki yang baik senantiasa menghasilkan sesuatu hal yang
menarik dalam pikiran, bahkan tindakan. Seorang pejalan kaki pemikirannya
seperti; pertemuan kikir[1]
dan gergaji, semakin dibenturkan atau
digosokkan lambat-laun akan menjadi tajam. Mungkin begitulah proses puisi
tercipta, terletak pada ketajaman pola pikir, serta penguasaan bahasa, sebagai
media, dan teknik menulis. Buku berjudul “Menerjemahkan Rindu” karya Muhammad
Syauqi Hahiki (Kuncup. 2020). Setelah melakukan proses pembacaan panjang, ada
kesan begitu memukau, dan kalau boleh memujinya, “ia punya semangat puitik”.
Membaca buku puisi Muhammad Syauqi Hakiki, saya tidak bisa
melupakan salah dua penyair dari jawa tengah juga, yaitu; Usmaan Arrumy dan Gus
Mus. Keduanya tidak saya kenali, pun bukan siapa-siapaku, tetapi melalui
karyanya mengenalinya—bahkan guru sastra tanpa menggurui. Mula-mula saat baca
buku “Menerjemahkan Rindu” pikiranku mengarah ke “nun jauh di sana, tapi
dekat dengan diksinya.” Stelistika puisinya tergambar dari diksi-diksinya. Perlu
digaris bawahi bukan tentang isi, melainkan mengenai otensitas mendekati
orsinil. Namun ada semangat stelistika bahasa-nyaris sama dalam mencipta rima.
Namun semangat imajinasi tentang rasa “rindu”, “ibu”, “guru”, “sunyi”,
“perempuan” “santri”, seperti memberi citra jawa tengah dan sosok seorang santri.
Contohnya, dalam puisi Rindu adalah Ikhtiar[2]:
Rinduku adalah ihktiar untuk membimbing langkahku
untuk memimbing masa deapanmu
(Muhammad Syauqi Hakiki, “Rindu
Adalah Iktiar”, 2020: 7)
Ya, hidup memang tidak harus seperti seorang Narsisuss[3]
banyak ilmu pengetahuan tapi tidak ingin membagikan kepada orang banyak, jangankan
pengetahuan, cinta, sayang, hanya untuk
diri sendirinya. Bahkan, Ia jatuh cinta kepada dirinya sendiri. Pada saat
kematian tiba, kematiannya dikarenakan terpeleset ke danau, lantaran ia setiap
hari memandang dirinya dari dalam air. Singkat cerita. Kematian pemuda bernama
Narsisuss membuat semua orang kaget, sangat tidak menyangka, semua orang yang kenal
denganya menyesali karena semasa hidup kurang bermanfaat. Ia yang menghabiskan
waktu untuk dirinya sendiri. Danau yang ia tempati sambil berdiri, setiap hari
berkaca ke air di danau yang bening,
dijadikan cermin. Sejak kematiannya, danau itu airnya berubah menjadi
asin, lantaran banyaknya air mata tangisan orang-orang yang kenal Narsissus, menangisi.
Air matanya terjatuh ke dalam danau itu. Seperti hidup yang tidak memiliki
fungsi dalam hidup, kehidupan orang lain. Puisi di atas nampak sangat sosialis,
romatis, dan agamis, jika dipandang dari satu ontologis teks.
Si aku lirik di sini hadir dengan diksi ‘ku’ yang bergabung dengan kata
‘rindu’ ber-pronominal persoan ‘aku’—tergabung menjadi ‘rinduku’, pronomina
persona berarti tunggal, dan punya hasrat rindu kepada objek ‘mu’ pronominal
persona—berarti satu orang tunggal tentang siapa?. Masih tanda tanya. Ini
memiliki pemaknaan terentu yang menghadirkan penuh banyak tafsiran, ketika
dibaca dari dua sisi: pertama bagaimana si aku lirik membawa masa depan.
Interpretasi tersebut memberi gambaran niat baik dari kata /rindu/ bernilai berhasrat
baik untuk ke depan. Inilah memberi gambaran manusia normal akan hal rasa cinta
yang akan pasti melahirkan atau memilihara rindu dengan harapan ingin membawa
kearah lebih baik untuk menatap masa depan (menikah).
Teknik menulis dengan menggunakan penulis, jenis puisi kwatrin. Sebagaimana
kita tahu bahwa kwatrin sebenarnya ada mirip dengan pantun, namun memiliki empat baris setiap sajaknya. Akan
tetapi, kwatrin tidak terikat dengan pola a-b-a-b yang terdapat pada pantun.
Acep Zamzam Noor, Adhimas Imanuel, Sapardi Djoko Damono, Subagio, Chairil, dan
Gunawan Muhammad. Sering kali menggunakan jenis puisi kwatrin.
Semangat puitik dibangun oleh hasrat—menulis baik. Itu Impian semua
orang, menulis baik. Hal itu tentu menjadi tantangan kepada seorang penulis
puisi dan bagi semua penulis. Saat seorang bisa menuaikan ide ke dalam bentuk
kreatif dengan melakukan proses tulisan. Maka akan ada jaminan akan mencapai
keabadiaan—ia akan merekam dirinya dengan tinta. Namun, itu proses tidak mudah,
seperti halnya kita menuangkan air minum ke dalam gelas, lalu meminumnya. Setelah
usai meminum, merasa lepas haus, dan lega. Begitupun karya yang telah
dituliskan, tanpa mengetahui proses serius atau tidak. Tapi secara teks itulah
yang dikaji, dan dibaca.
Gairah Perjalanan Puitik; Kerinduan Kampung Halaman
Semangat menjadi penyair Mas Muhammad Syauqi Hakiki rajin menulis
puisi dengan menuliskan tempat dan tahun. Ia tergolong penulis yang rajin
mencatat setiap fragmen-sebagai-lakon sendiri, setiap singgah. Tediri 50
titimangsa di Malang, 15 di Pati, 1, di Jepara. 26 sisanya tidak mencantumkan
titimangsa. Perjalanan puitiknya dapat dilacak sebagaimana ketika ia melakukan
perjalanan ke mana berlabu. Jiwa puitik secara tidak langsung akan menjadikan
dirinya sebagai pencatat yang rajin, bahkan kemungkinan membuat puisi merupakan
ritual paling nyaman dan tenang. Kemungkinan
bisa menjadi tempat paling baik mencurahkan isi hati melalui puisi,
entah berupa luka atau bahagia. Namun ia mengembalikan kepada siapa mencipta
kata—pencari pemilik diksi paling Suci—bahwa segala rindu, masih ada yang
paling pantas dan layak dirindukannya: bukan hanya cinta pada objek manusia,
melainkan pada pemilik manusia, bahkan yang paling transenden. Adapun puisinya
yang berdiri sendiri tanpa siapa-siapa dan kepada siapa mengabdi kecuali kepada
sastra itu sendiri, bersama nilai keindahaanya.
Gairah perjalanan puitik transenden Muhammad Syauqi Hakiki, dapat
dibaca pada contoh puisi berjudul Syahdu;
Senandung Indah dua kawan setia
Menjarah habis panji-panji jiwa
Termashyur dalam balutan rasa
Menelisik tajam menjurus sukma
Panas
dingin ombak asmara
Menyikat
habis deretan nyawa
Sang
kuasa
Mentakdirkan
warna dunia dialunan lagu cinta
Pati,
2017
(Muhammad
Syauqi Hakiki, 2020:12)
Si aku lirik di sini menghadirkan motif bukan kesunyian atau kerinduan,
melainkan hal-hal transenden. Di dunia nyata yang akan sangat ada, bahkan dapat
dirasakan. Mengenai sifat Tuhan yang jauh bahkan berjarak jika bisa memahami
manusia. Bait /menyikat habis deretan nyawa/ memahami apa yang tidak manusia
sadari bahwa ada hal begitu dekat dari dalam diri manusia, yaitu kematian. Yang
sewaktu-waktu Tuhan membuat kematian begitu indah, jika disadari kalau
sewaktu-waktu apa yang tidak diharapkan manusia terjadi, yaitu kematian. Salain
itu ada pada bait berbentuk (klausa) /Sang kuasa/ adalah sifat dari pencipta,
ini memberi pandangan sifat Tuhan hanya untuk dirinya atas kehendaknya. Ia akan
senantiasa memberikan apa yang dibutuhkan manusia, bukan yang sekedar
diinginkan. Si aku lirik merasakan nostalgia bersama seorang teman atau orang
yang penting dalam hidupnya.
Semangat puitik yang tetap konsisten saat menulis puisi. Diksi yang
digunakan dengan semangat liris sebagai ciri menjadi bukti pada puisi di atas.
Menulis dengan kesadaran untuk mengejar rima pada puisi, sering kali dilakukan
oleh banyak penulis Indonesia menggunakannya, khususnya dalam puisi, ada
banyak—namun menjaga konsistensi pada pengkaryaan, akan menjadi nilai lebih bagi
seorang penulis, dan itu proses tidak
mudah.
Adapun kalau dicermati dari puisi di atas, walaupun membicarakan
tentang kebesaran Tuhan, penulis tidak menampilkan secara vulgar wujud-Nya—diksi
yang digunakan—tidak ada, kecuali diwakili dengan kata ‘Sang kuasa’ yang
merupakan sifat Tuhan. Cara tersebut mengingatkanku pada salah satu buku Creative
Wrieting[4]
karya As. Laksana, sastrawan Indonesia. Kurang lebih begini; “dalam
prinsip menulis khusus pada teknik menyampaikan gagasan kepada karya sastra
jangan disampaikan dengan gamblang, apa yang akan disampaikan, tetapi buatlah
pembaca berpikir dan merasakan, bentuk dari apa yang akan disampaikannya.
Teknik ini seperti seorang menggambar, bagaimana seorang bisa menjelaskan
sesuatu tempat bukan dengan menjelaskan melainkan memberikan warna, menjelaskan
indah dengan warna”.
Teknik menulis puisi yang digunakan syair tidak sempurna.
Semestinya menggunakan empat baris disetiap sajaknya. Dengan rima terakhir berakhiran a-a-a-a dan a-b-a-b
secara popular perkembangannya syair. Namun pada puisi di atas tidak sempurna
secara teknik penulisannya. Bahkan syair
yang murni terdiri dari delapan hingga
dua belas suku kata. Setiap empat baris membentuk satu bait syair, dan
merupakan satu kesatuan arti.
Gairah Puitik Sublim[5];
Seorang Penyair
Seperti biasa kalau kita jauh dengan kampung halaman ada hal yang menyiksa;
bingung ketika semua teman tidak ada, kampung halaman memang lebih membuat
tenang. Namun bukan hanya rindu, tapi kompleks, dengan certa-derita memahami
hidup dengan sendirinya terbangun. Seperti seorang Ahasveros[6]
(seorang raja yang mengembara karena mendapat kutukan tidak memiliki kampung
halaman). Hal ini memberikan gambaran perantau jauh dengan kampung halaman. Bahkan
keluarganya ditinggal, dan yang melupakan, hingga enggan pulang. Seperti
seorang pengembara mencari sesuatu berharga.
Gairah puitik sublim; kampung halaman, direpresentasikan ke puisi
M. Syauqi Hakiki berjudul Kau Salah:
Kata samudera, rindu adalah dermaga
Tempat penyair melihat senja
Menenggelamkan wajahnya
Kau salah
Kata bumi, rindu adalah gumpalan
tanah
Tempat penyair menguburkan masa
kelam payah
Janji-janji sumpah serapah
Kau salah
Kata langit, rindu adalah hamparan
awan luas
Tempat penyair mengimajinasikan
sajak bebas
Yang tak terkekang wajar batas
Kau salah
Kata angin, rindu adalah hembusan
hawa sepi
Tempat penyair pulang menyendiri
Menepaki jalannya yang sunyi
Kau salah
Kaat pena, rindu adalah puisi
Tempat penyair berimajinasi
Meluapkan kata-kata hati
Kalian semua salah,
Kata penyair, rinduku pada kekasihku
Hanya aku yang bisa rasakan
Malang , 2020
(Muhammad Syauqi Hakiki, 2020)
Si aku lirik merepresentasikan puisi di atas. Bukan ia hidup di
tempat paling nyaman yang jarang menemukan sesuatu berharga dalam hidup. Di perantauan
memberikan sebuah pelajaran paling berharga semasa hidup “bagi ia yang
senantiasa meniti relung-relung hidup,” penulis untuk itu mencoba menghadirkan
metafora dengan objek membaca kondisi alam. Serta bagaimana si aku lirik
memberikan pandangan bahwa kerja penyair melakukan pandangan begitu tajam
mengenai hidup. Bukan hanya bermodal ide, rasa, dan hasrat. Akan tetapi,
memiliki kecakapan tentang menyampaikan apa yang tidak pernah orang lain
rasakan, dengan penguasaan prinsip puitik.
Adapun puisi
Muhammad Syauqi Hahiki di atas menghadirkan sebuah fenomenologi ontologis
menafsirkan hal yang tampak. Menurut Heidegger[7]
pandangan tentang hermeneutik masuk kategori fenomenelogi disain, bahwa hermeneutik
dalam memakai kata yang orsinil yang mengungkapkan persoalan interpretasi
(2005:157). Melaui pandangan tersebut, pada
saat diperantauan tidak akan pernah merasakan sesuatu nikmat yang paripurna
tentang langkah hidup secara tidak disadari akan tiba suatu masa seorang
merasakan apa yang akan dirasakan setiap orang disaat perjalanan hidup,
bersifat otomatis. Merasakan kerinduan kampung halaman karena banyak
orang-orang yang dicintai. Bahkan saat seorang hidup di perantauan tidak hanya
mencari apa yang diharapkan; mencari ilmu, rejeki, dan bahkan jodoh. Tentu,
seorang itu akan mencoba mencari teman yang mampu menemani hidupnya semasa di perantauan.
Menjadi teman cerita, ia memposisikan teman paling baik yaitu buku. Pada
puisinya ia tulis “hanya seorang aku yang menuliskan sesuatu dan paham perihal
rindu.”
Adapun pada penggunaan diksi “samudera”, “bumi”, ‘angin”, “langit”,
“pena”, “penyair”, masa-masa sulit seorang diksi tersebut seringkali hadir
dengan berdiri sendiri tentang hidup manusia yang sedang mengalami goncangan
batin. Motif kesepian. Sering kali seorang
penulis yang merelungi relung-relung transenden, Albert Camus menulis buku esai
berjudul The Sea Close By[8]
Buku tersebut memberikan kisah-kisah bahwa laut begitu dekat dengan diri kita.
Puisi di atas menggunakan teknik menulis puisinya menggunakan jenis
puisi kwatrin, tapi belum sempurna. Dalam kwatrin memperhatikan empat baris
setiap sajaknya. Akan tetapi bedanya kwatrin tidak terikat akan pola a-b-a-b.
Puisi ini sempurna dalam rima kwatrin, diakhiri dengan rima ‘a’ huruf vocal.
Sehingga irama sangat nyaman didengarkannya.
Simpulan sederhana bahwa menulis merupakan perjalan serta menjadi
obat bagi seorang penulis untuk mengobati kegelisahan tentang dirinya. Semakin
terbentur, terbentur, dan terbentuk, dalam kepenyairannya, dengan latihan
menulis. Beruntunglah, ia yang menulis, selain mengabadikan sebuah moment,
sekaligus menjadi terapi. Menulis karya sastra memasuki relung-relung paling
dalam memahami esensi puisi.
[1]
Alat yang buat untuk mempertajam gergaji terbuat dari besi
[2] Menerjemahkan
Rindu, 2020. Hlm.6. Kuncup Kota Malang
[3] Paulo
Coelho, berjudul The Alkemis, terbi di Brasil pada tahun 1988. Pada
pengantar buku.
[4]Laksana.
As. Creative Wrieting 2006. Buku
pedoman menulis prosa yang diberikan kepada peserta kelas menulisnya.
[5] Dalam
estetika, yang agung adalah kualitas kebesaran, baik fisik, moral, intelektual,
metafisik, estetika, spiritual, atau artistik.
[6] Ahasveros,
seorang raja Persia yang hidup 400 tahun sebelum Masehi, dikutuk oleh jin tidak
memiliki kampung halaman, hidupnya di jalanan.
[7] Haidegger,
Martin. 2005, Being and Time konsep fenemenologi yang disuarakan
olehnya, adapun banyak para tokoh
membahas tentang hermeneutik: pertama Dilthey pendapatnya secara historis untuk
menemukan interpretasi atau menafsirkan, sedangkan Haidegger lebih menekankan
pada konsep ontologis untuk pencarian lebih luas.
[8]
Camus, Albert. 2019. The Sea Close By (Laut Begitu Dekat). Penerbit Pelangi
Sastra Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar