Minggu, 04 Juli 2021

BEDAH BUKU PUISI DI SEMARANG

 

 



HASRAT PERJALANAN PUITIK DAN TRANSENDEN DALAM ANTOLOGI PUISI MUHAMMAD SYAUQI HAKIKI

Akhmad Mustaqim

akhmadmus16@gmail.com

Esai kritik sastra

Disampaikan pada kegiatan bedah buku “Menerjemahkan Rindu”

Sabtu 12, Juni 2021

Pukul: 09:00-10-30 Wib

Semarang Jawa Tengah

 

Pejalan kaki yang baik senantiasa menghasilkan sesuatu hal yang menarik dalam pikiran, bahkan tindakan. Seorang pejalan kaki pemikirannya seperti; pertemuan kikir[1] dan  gergaji, semakin dibenturkan atau digosokkan lambat-laun akan menjadi tajam. Mungkin begitulah proses puisi tercipta, terletak pada ketajaman pola pikir, serta penguasaan bahasa, sebagai media, dan teknik menulis. Buku berjudul “Menerjemahkan Rindu” karya Muhammad Syauqi Hahiki (Kuncup. 2020). Setelah melakukan proses pembacaan panjang, ada kesan begitu memukau, dan kalau boleh memujinya, “ia punya semangat puitik”.

Membaca buku puisi Muhammad Syauqi Hakiki, saya tidak bisa melupakan salah dua penyair dari jawa tengah juga, yaitu; Usmaan Arrumy dan Gus Mus. Keduanya tidak saya kenali, pun bukan siapa-siapaku, tetapi melalui karyanya mengenalinya—bahkan guru sastra tanpa menggurui. Mula-mula saat baca buku “Menerjemahkan Rindu” pikiranku mengarah ke “nun jauh di sana, tapi dekat dengan diksinya.” Stelistika puisinya tergambar dari diksi-diksinya. Perlu digaris bawahi bukan tentang isi, melainkan mengenai otensitas mendekati orsinil. Namun ada semangat stelistika bahasa-nyaris sama dalam mencipta rima. Namun semangat imajinasi tentang rasa “rindu”, “ibu”, “guru”, “sunyi”, “perempuan” “santri”, seperti memberi citra jawa tengah dan sosok seorang santri.

Contohnya, dalam puisi Rindu adalah Ikhtiar[2]:

            Rinduku adalah ihktiar untuk membimbing langkahku

            untuk memimbing masa deapanmu

            (Muhammad Syauqi Hakiki, “Rindu Adalah Iktiar”, 2020: 7)

 

Ya, hidup memang tidak harus seperti seorang Narsisuss[3] banyak ilmu pengetahuan tapi tidak ingin membagikan kepada orang banyak, jangankan pengetahuan, cinta, sayang,  hanya untuk diri sendirinya. Bahkan, Ia jatuh cinta kepada dirinya sendiri. Pada saat kematian tiba, kematiannya dikarenakan terpeleset ke danau, lantaran ia setiap hari memandang dirinya dari dalam air. Singkat cerita. Kematian pemuda bernama Narsisuss membuat semua orang kaget, sangat tidak menyangka, semua orang yang kenal denganya menyesali karena semasa hidup kurang bermanfaat. Ia yang menghabiskan waktu untuk dirinya sendiri. Danau yang ia tempati sambil berdiri, setiap hari berkaca ke air di danau yang bening,  dijadikan cermin. Sejak kematiannya, danau itu airnya berubah menjadi asin, lantaran banyaknya air mata tangisan orang-orang yang kenal Narsissus, menangisi. Air matanya terjatuh ke dalam danau itu. Seperti hidup yang tidak memiliki fungsi dalam hidup, kehidupan orang lain. Puisi di atas nampak sangat sosialis, romatis, dan agamis, jika dipandang dari satu ontologis teks.

Si aku lirik di sini hadir dengan diksi ‘ku’ yang bergabung dengan kata ‘rindu’ ber-pronominal persoan ‘aku’—tergabung menjadi ‘rinduku’, pronomina persona berarti tunggal, dan punya hasrat rindu kepada objek ‘mu’ pronominal persona—berarti satu orang tunggal tentang siapa?. Masih tanda tanya. Ini memiliki pemaknaan terentu yang menghadirkan penuh banyak tafsiran, ketika dibaca dari dua sisi: pertama bagaimana si aku lirik membawa masa depan. Interpretasi tersebut memberi gambaran niat baik dari kata /rindu/ bernilai berhasrat baik untuk ke depan. Inilah memberi gambaran manusia normal akan hal rasa cinta yang akan pasti melahirkan atau memilihara rindu dengan harapan ingin membawa kearah lebih baik untuk menatap masa depan (menikah).

Teknik menulis dengan menggunakan penulis, jenis puisi kwatrin. Sebagaimana kita tahu bahwa kwatrin sebenarnya ada mirip dengan pantun, namun  memiliki empat baris setiap sajaknya. Akan tetapi, kwatrin tidak terikat dengan pola a-b-a-b yang terdapat pada pantun. Acep Zamzam Noor, Adhimas Imanuel, Sapardi Djoko Damono, Subagio, Chairil, dan Gunawan Muhammad. Sering kali menggunakan jenis puisi kwatrin.

Semangat puitik dibangun oleh hasrat—menulis baik. Itu Impian semua orang, menulis baik. Hal itu tentu menjadi tantangan kepada seorang penulis puisi dan bagi semua penulis. Saat seorang bisa menuaikan ide ke dalam bentuk kreatif dengan melakukan proses tulisan. Maka akan ada jaminan akan mencapai keabadiaan—ia akan merekam dirinya dengan tinta. Namun, itu proses tidak mudah, seperti halnya kita menuangkan air minum ke dalam gelas, lalu meminumnya. Setelah usai meminum, merasa lepas haus, dan lega. Begitupun karya yang telah dituliskan, tanpa mengetahui proses serius atau tidak. Tapi secara teks itulah yang dikaji, dan dibaca.

Gairah Perjalanan Puitik; Kerinduan Kampung Halaman

Semangat menjadi penyair Mas Muhammad Syauqi Hakiki rajin menulis puisi dengan menuliskan tempat dan tahun. Ia tergolong penulis yang rajin mencatat setiap fragmen-sebagai-lakon sendiri, setiap singgah. Tediri 50 titimangsa di Malang, 15 di Pati, 1, di Jepara. 26 sisanya tidak mencantumkan titimangsa. Perjalanan puitiknya dapat dilacak sebagaimana ketika ia melakukan perjalanan ke mana berlabu. Jiwa puitik secara tidak langsung akan menjadikan dirinya sebagai pencatat yang rajin, bahkan kemungkinan membuat puisi merupakan ritual paling nyaman dan tenang. Kemungkinan  bisa menjadi tempat paling baik mencurahkan isi hati melalui puisi, entah berupa luka atau bahagia. Namun ia mengembalikan kepada siapa mencipta kata—pencari pemilik diksi paling Suci—bahwa segala rindu, masih ada yang paling pantas dan layak dirindukannya: bukan hanya cinta pada objek manusia, melainkan pada pemilik manusia, bahkan yang paling transenden. Adapun puisinya yang berdiri sendiri tanpa siapa-siapa dan kepada siapa mengabdi kecuali kepada sastra itu sendiri, bersama nilai keindahaanya.

Gairah perjalanan puitik transenden Muhammad Syauqi Hakiki, dapat dibaca pada contoh puisi berjudul Syahdu;

            Senandung Indah dua kawan setia

            Menjarah habis panji-panji jiwa

            Termashyur dalam balutan rasa

            Menelisik tajam menjurus sukma

Panas dingin ombak asmara

Menyikat habis deretan nyawa

Sang kuasa

Mentakdirkan warna dunia dialunan lagu cinta

 

Pati, 2017

(Muhammad Syauqi Hakiki, 2020:12)

 

Si aku lirik di sini menghadirkan motif bukan kesunyian atau kerinduan, melainkan hal-hal transenden. Di dunia nyata yang akan sangat ada, bahkan dapat dirasakan. Mengenai sifat Tuhan yang jauh bahkan berjarak jika bisa memahami manusia. Bait /menyikat habis deretan nyawa/ memahami apa yang tidak manusia sadari bahwa ada hal begitu dekat dari dalam diri manusia, yaitu kematian. Yang sewaktu-waktu Tuhan membuat kematian begitu indah, jika disadari kalau sewaktu-waktu apa yang tidak diharapkan manusia terjadi, yaitu kematian. Salain itu ada pada bait berbentuk (klausa) /Sang kuasa/ adalah sifat dari pencipta, ini memberi pandangan sifat Tuhan hanya untuk dirinya atas kehendaknya. Ia akan senantiasa memberikan apa yang dibutuhkan manusia, bukan yang sekedar diinginkan. Si aku lirik merasakan nostalgia bersama seorang teman atau orang yang penting dalam hidupnya.

Semangat puitik yang tetap konsisten saat menulis puisi. Diksi yang digunakan dengan semangat liris sebagai ciri menjadi bukti pada puisi di atas. Menulis dengan kesadaran untuk mengejar rima pada puisi, sering kali dilakukan oleh banyak penulis Indonesia menggunakannya, khususnya dalam puisi, ada banyak—namun menjaga konsistensi pada pengkaryaan, akan menjadi nilai lebih bagi seorang  penulis, dan itu proses tidak mudah.

Adapun kalau dicermati dari puisi di atas, walaupun membicarakan tentang kebesaran Tuhan, penulis tidak menampilkan secara vulgar wujud-Nya—diksi yang digunakan—tidak ada, kecuali diwakili dengan kata ‘Sang kuasa’ yang merupakan sifat Tuhan. Cara tersebut mengingatkanku pada salah satu buku Creative Wrieting[4] karya As. Laksana, sastrawan Indonesia. Kurang lebih begini; “dalam prinsip menulis khusus pada teknik menyampaikan gagasan kepada karya sastra jangan disampaikan dengan gamblang, apa yang akan disampaikan, tetapi buatlah pembaca berpikir dan merasakan, bentuk dari apa yang akan disampaikannya. Teknik ini seperti seorang menggambar, bagaimana seorang bisa menjelaskan sesuatu tempat bukan dengan menjelaskan melainkan memberikan warna, menjelaskan indah dengan warna”.

Teknik menulis puisi yang digunakan syair tidak sempurna. Semestinya menggunakan empat baris disetiap sajaknya. Dengan  rima terakhir berakhiran a-a-a-a dan a-b-a-b secara popular perkembangannya syair. Namun pada puisi di atas tidak sempurna secara teknik penulisannya.  Bahkan syair yang murni terdiri dari delapan  hingga dua belas suku kata. Setiap empat baris membentuk satu bait syair, dan merupakan satu kesatuan arti.

Gairah Puitik Sublim[5]; Seorang Penyair

Seperti biasa kalau kita jauh dengan kampung halaman ada hal yang menyiksa; bingung ketika semua teman tidak ada, kampung halaman memang lebih membuat tenang. Namun bukan hanya rindu, tapi kompleks, dengan certa-derita memahami hidup dengan sendirinya terbangun. Seperti seorang Ahasveros[6] (seorang raja yang mengembara karena mendapat kutukan tidak memiliki kampung halaman). Hal ini memberikan gambaran perantau jauh dengan kampung halaman. Bahkan keluarganya ditinggal, dan yang melupakan, hingga enggan pulang. Seperti seorang pengembara mencari sesuatu berharga.

Gairah puitik sublim; kampung halaman, direpresentasikan ke puisi M. Syauqi Hakiki berjudul Kau Salah:

            Kata samudera, rindu adalah dermaga

            Tempat penyair melihat senja

            Menenggelamkan wajahnya

 

            Kau salah

            Kata bumi, rindu adalah gumpalan tanah

            Tempat penyair menguburkan masa kelam payah

            Janji-janji sumpah serapah

 

            Kau salah

            Kata langit, rindu adalah hamparan awan luas

            Tempat penyair mengimajinasikan sajak bebas

            Yang tak terkekang wajar batas

           

            Kau salah

            Kata angin, rindu adalah hembusan hawa sepi

            Tempat penyair pulang menyendiri

            Menepaki jalannya yang sunyi

 

            Kau salah

            Kaat pena, rindu adalah puisi

            Tempat penyair berimajinasi

            Meluapkan kata-kata hati

 

            Kalian semua salah,

            Kata penyair, rinduku pada kekasihku

            Hanya aku yang bisa rasakan

 

            Malang , 2020

            (Muhammad Syauqi Hakiki, 2020)

 

Si aku lirik merepresentasikan puisi di atas. Bukan ia hidup di tempat paling nyaman yang jarang menemukan sesuatu berharga dalam hidup. Di perantauan memberikan sebuah pelajaran paling berharga semasa hidup “bagi ia yang senantiasa meniti relung-relung hidup,” penulis untuk itu mencoba menghadirkan metafora dengan objek membaca kondisi alam. Serta bagaimana si aku lirik memberikan pandangan bahwa kerja penyair melakukan pandangan begitu tajam mengenai hidup. Bukan hanya bermodal ide, rasa, dan hasrat. Akan tetapi, memiliki kecakapan tentang menyampaikan apa yang tidak pernah orang lain rasakan, dengan penguasaan prinsip puitik.

            Adapun puisi Muhammad Syauqi Hahiki di atas menghadirkan sebuah fenomenologi ontologis menafsirkan hal yang tampak. Menurut Heidegger[7] pandangan tentang hermeneutik masuk kategori fenomenelogi disain, bahwa hermeneutik dalam memakai kata yang orsinil yang mengungkapkan persoalan interpretasi (2005:157). Melaui pandangan tersebut, pada  saat diperantauan tidak akan pernah merasakan sesuatu nikmat yang paripurna tentang langkah hidup secara tidak disadari akan tiba suatu masa seorang merasakan apa yang akan dirasakan setiap orang disaat perjalanan hidup, bersifat otomatis. Merasakan kerinduan kampung halaman karena banyak orang-orang yang dicintai. Bahkan saat seorang hidup di perantauan tidak hanya mencari apa yang diharapkan; mencari ilmu, rejeki, dan bahkan jodoh. Tentu, seorang itu akan mencoba mencari teman yang mampu menemani hidupnya semasa di perantauan. Menjadi teman cerita, ia memposisikan teman paling baik yaitu buku. Pada puisinya ia tulis “hanya seorang aku yang menuliskan sesuatu dan paham perihal rindu.”

Adapun pada penggunaan diksi “samudera”, “bumi”, ‘angin”, “langit”, “pena”, “penyair”, masa-masa sulit seorang diksi tersebut seringkali hadir dengan berdiri sendiri tentang hidup manusia yang sedang mengalami goncangan batin. Motif kesepian.  Sering kali seorang penulis yang merelungi relung-relung transenden, Albert Camus menulis buku esai berjudul The Sea Close By[8] Buku tersebut memberikan kisah-kisah bahwa laut begitu dekat dengan diri kita.

Puisi di atas menggunakan teknik menulis puisinya menggunakan jenis puisi kwatrin, tapi belum sempurna. Dalam kwatrin memperhatikan empat baris setiap sajaknya. Akan tetapi bedanya kwatrin tidak terikat akan pola a-b-a-b. Puisi ini sempurna dalam rima kwatrin, diakhiri dengan rima ‘a’ huruf vocal. Sehingga irama sangat nyaman didengarkannya.

Simpulan sederhana bahwa menulis merupakan perjalan serta menjadi obat bagi seorang penulis untuk mengobati kegelisahan tentang dirinya. Semakin terbentur, terbentur, dan terbentuk, dalam kepenyairannya, dengan latihan menulis. Beruntunglah, ia yang menulis, selain mengabadikan sebuah moment, sekaligus menjadi terapi. Menulis karya sastra memasuki relung-relung paling dalam memahami esensi puisi.



[1] Alat yang buat untuk mempertajam gergaji terbuat dari besi

[2] Menerjemahkan Rindu, 2020. Hlm.6. Kuncup Kota Malang 

[3] Paulo Coelho, berjudul The Alkemis, terbi di Brasil pada tahun 1988. Pada pengantar buku.

[4]Laksana. As.  Creative Wrieting 2006. Buku pedoman menulis prosa yang diberikan kepada peserta kelas menulisnya.

[5] Dalam estetika, yang agung adalah kualitas kebesaran, baik fisik, moral, intelektual, metafisik, estetika, spiritual, atau artistik.

[6] Ahasveros, seorang raja Persia yang hidup 400 tahun sebelum Masehi, dikutuk oleh jin tidak memiliki kampung halaman, hidupnya di jalanan.

[7] Haidegger, Martin. 2005, Being and Time konsep fenemenologi yang disuarakan olehnya, adapun  banyak para tokoh membahas tentang hermeneutik: pertama Dilthey pendapatnya secara historis untuk menemukan interpretasi atau menafsirkan, sedangkan Haidegger lebih menekankan pada konsep ontologis untuk pencarian lebih luas.

[8] Camus, Albert. 2019. The Sea Close By (Laut Begitu Dekat). Penerbit Pelangi Sastra Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar