inas.com |
Esensi hak manusia hidup, bereksistensi. Manusia akan bisa mengikuti hati jika ia bisa membuka mantra
dengan bahasa, berbicara dengan cara yang dirasakan oleh manusia dari rasa,
sehingga cara bisa dilakukan dengan tindakan serta bisa menuliskan dalam sebuah
karya dan menjadikan cara yang dituliskan, untuk bisa dilakukan oleh masa generasi
yang akan membaca karya. Untuk bisa menyelesaikan apa yang menjadi keresahan
manusia, namun hanya bisa memberikan sebuah pedoman dalam cara, tapi hanya manusia
bisa menentukan.
Banyak yang ingin dilakukan oleh manusia dengan membebaskan dirinya
dari cara manusia untuk bisa seperti manusia berharga. Dari tindakan yang
dilakukan oleh manusia yang mengerti tentang kebebasan, sehingga tindakan
kritik sebagai bentuk manusia menunjukkan bahwa ada hal harus dilakukan, cara
itu (kritik). Sebagai bentuk kebebasan manusia yang dibawa sejak dilahirkan.
Serta akan sadar dengan kebebesan manusia yang telah Allah Swt berikan, rasa
itu, bisa diimplementasikan dari norma, sesuai dengan fenomena sehingga
eksistensi yang lakukan melihat keadaan bahwa dirinya bisa menjadi sosok utama.
Pada saat keberadaban alam, dan keadaan bisa difungsikan untuk bisa
menjadikan dirinya sebagai manusia yang berharga, untuk keberadaan manusia, hal
ini bisa kita cermati yang dilakukan oleh Zadit, Presma Universitas Indonesia
(UI), pada saat mengangkat kartu kuning kepada Bapak Presiden Jokowi Widodo
pada saat menjadi tamu undangan sebagai tamu dan memberikan sambutan pada acara
yang dilaksanakan di UI, sebagai tamu kebanggaan.
Dalam satu sisi
manusia memiliki hak serta kewajiban untuk saling mengingatkan. Namun cara dan
etika dalam mengingatkan perlu perhitungan panjang untuk bisa menghindarkan
menjatuhkan dan mempermalukan di depan umum(menjaga perasaan manusia). Manusia
bisa mengkritik serta memberikan solusi ketika kita berbicara tentang apa yang
harus dibenahi, namun kadang manusia akal nalurinya untuk bisa saling
memanusiakan manusia untuk bisa saling menjaga dirinya dari apa yang harus
dijaga, untuk bisa menjaga perasaannya orang lain. Filsuf Yunani pernah
menuliskan, manusia yang bijaksana adalah manusia yang memahami budaya orang
lain. Jika manusia paham bahwa ada etika dalam diri manusia mengingatkan bukan
untuk menjatuhkan akan tetapi dengan halus untuk mengingatkan.
Ada pribahasa dalam
Bahasa Indonesia yang memberikan cara etika bermoral, berbunyi “ketika ada
manusia sedikit membaca maka manusia akan banyak memberikan keritikan, ketika
manusia banyak membaca akan sedikit mengkrtik, tapi akan senantiasa memberikan
masukan dan solusi”. Karena memberi bisa diterima bisa tidak, apalagi
memberikan di tempat umum, dengan rasa kasian pada yang diberi, maka harus kita
perhitungkan siapa yang akan diberikan, apakah itu akan layak untuk
dikasihiani, jika layak maka berikan pada saat di tempat umum, namun dengan
pantas, namun jika tidak pantas diberikan pada saat keramaian seharus diberikan
pada saat yang pantas dan pas.
Namun kadang
manusia bisa membenarkan sesuatu hal dengan caranya yang dianggap itu benar
sesuai dengan niatnya. Terfatal manusia melakukan sesuatu dengan cara yang
salah ketika menempatkan kebenaran dari niat, untuk bisa dijadikan sebuah
kebenaran, yang terlahir dari niat baik. Sesuatu yang baik akan memberikan
dampak baik ketika diniatkan baik dan dilakukan dengan cara baik pula, tanpa
ada unsur-unsur untuk menjadikan dirinya seperti apa. Karena eksistensi manusia
baik ketika esensi manusia memiliki niat baik, jiwa yang sehat akan menjadikan
raga yang kuat. Jika dari dalam dibuat dengan memperkuat sebuah cara, maka di
luar akan mengikuti apa yang dari dalam. Refleksi kita jika ingat pada perang Geriliya Jendral Soedirman
hanya mempercayai bahwa dan pada saatnya mengatakan pada ibunya, pamit
berangkat perang dengan bahasa yang diucapkan bahwa “niat baik, pasti baik,
niat selamat pasti selamat”. Karena semuanya terlahir dari jiwa yang baik,
perang geriliya pun memberikan hasil positif, dengan kemenangan sesuai harapan
bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar