Senin, 24 Februari 2020

Pengembala Domba; Pertemuan Kaum Gipsi, dan Narcissus






       Buku ini berkisah seorang memiliki mimpi besar; dengan kondisi memiriskan, lahir dari seorang petani, hidup harus mengembala domba, memberontak untuk melakukan perjalanan susuai harapan tanpa ada campur tangan orang lain; walaupun harus melakukan penolakan harapan orang tua, dengan cara menjadi pengelana. Orang tua menginginkan anaknya menjadi seorang pastur, tapi impian itu tidak lahir dari dalam dirinya. Lebih memilih menjadi pengembala domba dengan berkelana, hanya dengan berkelana banyak mengetahui dunia, dan memahami dosa-dosa manusia. 


“Sejak kecil Ia sudah ingin tahu tentang dunia, dan baginya ini lebih penting daripada menenal Tuhan dan mempelajari dosa-dosa manusia. Pemberontakan merupakan jalan paling ramai dan sunyi baginya. Bukan tidak memiliki keyakinan pada Tuhan namun tidak menunjukkan akan itu untuk bisa merasakan hidup dengan pilihan paling bisa lebih dekat drngan Tuhannya. Membantah keinginan orang tuanya untuk menjadikan dirinya seorang Pastor, membantah harapan orang tua yang belum tentu akan merasakan kebahagiaan dalam perjalanan nantinya. Memutuskan jalan paling adil bagi dirinya yaitu menjadi pengelana”

Sang Alkemis mengambil sebuah buku yang dibawa oleh seseorang dari Karavan. Dan ia membuka-buku buku cerita tersebut dan menukan kisah Narcissus. Narcissus ialah tokoh dalam legenda selama hidup berlutut di tepi Telaga untuk memandangi ke-elokkkan dirinya. Bahkan Ia terpesona pada dirinya sendiri, tanpa sadar akan posisi dirinya hingga suatu saat Ia terjatuh ke dalam telaga lalu tenggelam di tempat terjatuh, tumbuh sekuntum bunga yang dinamai narcissus.
Tetapi di pengarang buku tidak menutup cerita hanya sampai disitu. Ketika Narsissus mati dewi-dewi hutan itu datang menempati telaga tersebut, di mana telaga yang pernah di tempati Narcissus. Ketika para dewi itu merasakan kehilangan semula air tawar menjadi asin oleh air  matanya.

Poulo Celho menawarkan psikologis dalam berpikir dengan menggunakan kata telaga dan dewi. Bahwa Narcissus pernah diajarkan oleh dewi-dewi itu. Tapi ia tidak pernah menunjukkan ke-elokannya. Hanya telaga yang memahami lebih dekat. Seorang tidak akan membahami walaupun dekat, karena manusia memiliki ego rasa kadang tidak menerima apa yang diharapkan oleh manusia itu. Dan benda (telaga) akan lebih menerima apa adanya, tanpa melihat tentang latar belakang.
Telaga merasa kehilangan bukan karena ke-elokan, merasa kehilangan karena tidak bisa memberikan apa-apa telaga. Kehilanganya bukan karena tidak akan kembali selamanya, merasa kehilangan bukan karena ke-elokannya, tapi lebih ke dalam matanya kala berlutut di tepiannya.

*

“kesadaran Santiago seorang pengemabala akan dirinya membuat ia harus bisa baca. Santiago seorang pertain harus bekerja keras tidak sekedar untuk bisa makan dan minum, sama seperti domba-domba itu”

Sebab aku tidak hidup di masa lalu ataupun di masa depan. Aku hanya tertarik pada saat ini. Berbahagialah orang yang bisa beronsentrasi hanya untuk saat ini. (hal;3). Sejeleknya ciptaan seharusnya sadar akan pemberian Tuhanya, tidak ada yang sia-sia dari segala ciptaanya, benda kecil pun seperti hewan kutu. Kalau kutu di kepala tidak ada, mungkin ketombe di ramput akan banyak karena tidak akan digeruknya.

Akan kulihat bahwa di gurun  ini pun ada kehidupan, di langit sana ada bintang-bintang bersinar, dan suku-suku berperang karena mereka bagian dari umat manusia-hidup ini seperti persta bagimu, suatu festival meriah, sebuah hidup ini adalah saat yang kita alani sekarang ini.  “Sebab orang-orang mudah perpesona oleh gambar-gambar dan kata-kata, hingga pada akhirnya mereka bahasa dunia”.

Manusia sering kali merasakan kehilangan, pada akhirnya merasakan ketidak yakinan dalam hidup sendiri, karena terpengaruh dengan kesenangan dunia; di realitas ini  seperti menghilangkan nada hidupunya di logika. Sehingga yang jauh akan lebih dekat, yang dekat menjadi jauh. Sehingga dalam buku Sang Alkemis termaktub bahwa ‘di mana hatimu berada, disitulah hartamu berada’.
Cara pandang manusia dalam mencipta karya yang agung. Melakukan hal-hal yang kecil, menyelesaikan fungsi manusia secara posisi maupun secara fungsi; eksistensi letaknya ada pada rasa, esensi terletak dalam bahasa. Sehingga dalam buku Sang Alkemis ‘aku ingin menjadi angin agar mencipta karya agung’.

Seperti halnya batu yang telah dilemparkan, dan ucapan yang telah terucapkan. Tidak akan bisa kembali lagi dan ketika di ulang untuk mengembalikan lemparan tidak akan kembali pada pertama kali posisi, dan ucapakan akan kembali sempurna namun sebuah pemahaman dan makna yang akan diterima tidak bisa sempurna seperti apa yang ada dalam rasa; bahasa representasi dari jiwa. Dalam buku Sang Alkemis ‘apa yang terjadi satu kalai, satu kali lagi tak akan terjadi lagi’.

**

Sebuah perjalanan seorang pengembala domba, merasa sangat terpukul dengan perkataan Sang Alkemis, ketika bertemu di jalan. Ia berkata “Di mana kamu menemukan hatimu berada disitulah harta karmamu’. Semua ketenagan sebenarnya dekat dengan manusia memahami jasadnya tentu akan bahagia datang; tiada guna harta ada namun tidak bisa merasakan kebahagiaan, itu representasi kata harta sebagai arti dari barang berharga, sebagai posisinya.

Langkah semakin jauh setiap perjalanannya ia akan menemukan banyak hal, pengalaman, pengetahuan, dan penderitaan. Salah dua dari penemuannya kala bertemu dengan golongan gipsi, gipsi tersebut dalam satu sisi pandang, ada anggapan negative ‘konon pernah melakukan perjanjian dengan setan, untuk menculik anak-anak yang kemudian dibawa ke tenda-tenda Mestevius untuk dijadikan budak’ (hal:20)

Santiago yang berkelana bertemu dengan Raja Salim, seorang yang memiliki hobi dan kealian berkelana, tidak menemukan semua itu dengan membaca atau dengan mendengarkan guru. Paling pasti dari setiap berkelana akan banyak pengetahuan didapatkan sebab akan sering kali ditemukan hal baru atau hl dekat dengan diri kita namun tidak dirasa, dan orang lain akan memberitahukannya, sebab terlalu sibuk hingga lupa akan semua. Kealian akan datang kala ada sebuah suara, teks, dan rasa ada sesuai realita. ‘impian seperti itu tertanam, sekarang bekerja sesuai dengan kebutuhan. Ketika banyak uang bisa jalani impiannya (hal:33).

Dalam dialog seorang tukang roti dan pengembala jadi lebih penting bagi mereka daripada takdir-takdir mereka sendiri. Santiago menyakini bahwa Tuhan memiliki sifat baik pada setiap manusia. Domba-dombanya saja bisa memilih, maka jangan kwatir pengembala juga akan diperhatikan oleh Tuhan. Sebab Tuhan sangat toleransi-tanpa pandang bulu.

Dengan kemampuan intuitif memahami. Kata si pemandu Unta. Dan ia juga mulai belajar bahasa universal tentang masa lalu dan masa kini semua orang, mengenai ‘firasat’ menurut istilah ibunya. ‘bahwa intuitif sebenarnya peleburan jiwa, dengan begitu saja ke dalam arus kehidupan universal, di naba sejarah semua manusia saling terkait, dan kita bisa mengetahui segalanya, sebab segalanya telah tertulis di sana’.



akhmad mustaqim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar