Minggu, 16 Agustus 2020

Dekonstruksi Cendikiawan Konservatif

 

Pemahaman terkadang tidak difahami ketika dalam tindakan, konteks tidak digunakan walaupun itu memiliki nilai kebaikan. Memahami konteks dalam melakukan keputusan perlu bagi seorang cendekiawan. Albert Einstein memberikan sebuah pandangan kepada manusia dalam menjadi self driving ketika melakukan perubahan, bahwa persoalan perubahan yang dihadapi manusia bukanlah mengadopsi hal-hal baru, melainkan sulitnya membuang kebiasaan-kebiasaan lama.

Dalam hal ini selaras dengan sebuah pandangan sebelumnya dalam memberikan kontribusi terhadap apa yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari apalagi berkaitan dengan keyakinan; harus bisa menyelaraskan dengan sebuah kebaruan yang ada dalam kehidupan, untuk menjadikan sebuah pandangan kreatif serta manusia terus berkembang,  bukan stagnan atau bahkan lebih parahnya berada di pinggir jurang. Namun, bukan menghilangkan tradisi lama, melainkan kontruksi ulang untuk dipadukan agar lebih baik disesuaikan dengan konteks zaman dengan tujuan berkembang.

Kepakaran seseorang tidak dapat dilihat dari apa yang dibicarakan. Semua orang dapat membicarakan apa yang tidak dapat dipastikan. Bahkan lebih fatalnya lagi hanya bisa memahami apa yang ada dalam temuan-temuan dari hal-hal tidak sehat. Dalam hal tersebut hanya mendengarkan nasehat yang masih memberi stigma orang lain tidak benar (menyebutkan si a tidak baik, dan b itu baik), biasanya ditemukan di ceramah-ceramah agama di youtube yang kurang bijak dan tidak tepat, dalam memberikan pendapat. Peran paling sentral ialah keterbukaan informasi serta maraknya digitalisasi yang tidak dapat dibendung lagi. Semua orang bisa mengambil akses apapun yang ada dalam dunia maya, sebuatanya.

            Semua orang dengan baik bisa belajar tanpa ada gurunya. Dalam hal ini tantangan bagi kaum dewasa bukan  lagi sebuah kemampuan menemukan intisari. Sebab dewasa ini manusia telah sangat mudah mempelajari sesuatu dan bisa menemukan sesuatu hanya dengan mengetik kata kunci dicari akan ada. Namun lebih baiknya bagaimana intisari tersebut dapat dikembangkan dan dapat dijadikan bahan sebagaimana nanti mampu memberikan dampak positif kepada dirinya sendiri dan bersyukur kepada orang lain. Maka berpikir sejenak dengan menggunakan hati salah satu jalan paling tepat dalam menghakimi sebuah kebenaran tanpa ada gurunya, lalu mengkorelasikan dengan sebuah perspektif orang sekitarnya, seperti guru, teman, dan keluarga. Hal itu pun harus hati-hati juga untuk menyaringnya.

            Beberapa hari lalu ada pertanyaan terlontar kepada saya. Pertanyaan itu ditanyakan pada saat keramaian pernikahan sanak family. Sebut saja namanya Sobir, ya ia seorang santri serta pengetahuan akan agama serta hadist-hadistnya sudah diluar kepala, bahkan tidak dapat diragukan kembali setiap apa yang dikatakan kemungkinan telah dilakukan. Jika dilihat dari penyampaian dengan tenang tanpa memaksanya, lebih tepatnya sangat memberikan pandangan akan sebuah pertanyaan hal seperti itu.

            Pertanyaan tersebut memberikan sebuah pasangan akan jati diri dan pendirian. Hal tersebut mengenai self ‘buku apa yang telah dibaca ketika memilih berbeda dari orang lainnya, sufikah, sastrakah, dan atau politikkah?’ pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan memberatkan bagi orang yang biasa saja. ‘jawabnya sederhana bagaimana mungkin bisa memahami buku tersebut, jika berbicara ku masih belepotan (tidak teratur)’. Dalam hemat saya, pertanyaan itu lahir dengan adanya sebuah keramaian di daerahnya dengan begitu banyak orang-orang membangun sebuah fanatic-fanatic kuat yang tidak tepat konteksnya. Pun, tidak dapat dijadikan sebuah prinsip yang tersimpan dalam dirinya, dan semua hanya menjadi umbaran (pembicaraan panjang lebar hingga tidak bernafas, tapi tidak ada dasar begitu jelas).

            Pada mulanya hal tersebut dibuka dengan sebuah pandangan agama. Bagaimana seorang bisa menyuarakan sebuah pandangan dengan baik, jika kebijaksanaan dalam memberikan sebuah pandangan tidak dalam bentuk berpikir, melainkan bentuk sebuah doktrin. Agama pada dasarnya doktrin untuk kehidupan masa kini, namun dalam dewasa ini jadikan agama sebagai objek yang dapat dikembangkan oleh subjek (manusia) sesuai dengan ketentuan yang ada namun tetap berpaku pada sebuah dasar yang telah ada, tanpa mengurangi atau melebihkan; pun, jika akan perlu dilebihkan untuk bisa dikembangkan kembali untuk lebih baik hematku tidak masalah.

            Menjadi masalahnya sebuah konteks tidak dapat dipahami oleh banyak orang. Bahwa agama bisa menjadi sebuah dasar baik jika bisa memadukan keduanya. Budaya serta agama. Walau pada dasarnya sebuah perbedaan yang signifikan, doktirn sifatnya agama, dan tradisi (kebiasaan) sifatnya budaya. Dalam hal ini jika dijadikan satu dari budaya dan agama akan menjadi sempurna dalam hidup berdampingan manusia di dunia ini, dalam agama Islam rahmatan lil alamin. Hidup berdampingan dengan rasa suka cita mencapai sebuah harapan bersama tanpa saling mencela dan membenarkan diri.

            Jika ada perkataan mengenai Islam liberal harus dijadikan sebuah pelajaran kedepannya mengenai kebenarannya. Bagaimana mungkin agama tidak bebas dalam berpikir dan menutup diri tanpa ada penerimaan terhadap agama lain, bahkan mengenai sebuah kesalahan paling sederhana terjadi kepada kita sebagai manusia. semua yang ada dimuka bumi memang saling menyempurnakan dan melengkapi dengan perbedaan pemikiran yang ada dalam diri manusia dengan latar hidup serta budaya yang ada.

            Indonesia memiliki banyak agama tidak dapat dijadikan sebuah patokan satu akan kebenaran. Semua memiliki dasar akan kebenarannya akan Tuhannya. Tidak dapat dijadikan sebuah masalah perbedaan agama akan dasarnya. Namun akan menjadi masalah ketika sesama agama namun tetap memberikan dampak negatif terhadap budaya  serta apa yang ada dalam hokum negara. Kita bermasyarakat memiliki bapak yaitu negara yang diperintah oleh manusia yang sedikit banyak memiliki niat baik untuk mengembangkan serta tetap melakukan langkah-langkah sesuai dengan yang ada dalam negara tersebut.

            Agama itu istilah dapur bagaimana penganutnya tidak memberi tahu proses pembuatan masakan yang  ada di dalam dapur, melainkan penikmat (orang yang berbeda agama, budaya, serta, kepercayaan). Namun, nanti bisa merasakan masakan yang dihasilkan oleh para penganutnya dipersembahkannya. Analoginya urusan agama yang berkaitan dengan Tuhan jangan sampai diberitahukan kepada orang lain, namun beritahukanlah cara-cara dirinya sebagai orang yang memiliki Tuhan, dengan memiliki sifat-sifatnya. apa-apa yang diharapkanNya, bahwa orang lain bisa merasakan bahwa agama Islam memiliki cara baik dalam memanusiakan manusia.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar