Sabtu, 25 Juli 2020

KEPADA EYANG SAPARDI DAN SASTRA INDONESIA
















Terima kasih telah berkarya sepenuh hati kami bisa menikmati serta mengambil intisari dari kesusastraan Indonesia; bukan hanya karya puisi namun karya sastra lainnya. Minggu 19, Juli 2020 diksi baru tercipta. Berkabung atas meninggalnya penyair besar Indonesia. Bahwa telah gugur abadi sosok dikenal menulis puisi Hujan di Bulan Juni.  Untuk sapaan lainnya SDD atau nama lengkapnya Sapardi Djoko Damono. Semasa hidupnya telah memilih jalan paling tepat yaitu berkarya banyak karyanya, Keberadaan tetap ada dalam teks ciptaanya. Telah banyak karya yang diberikan kepada generasi muda khusus di dunia sastra.
Setelah dipastikan tiada (meninggal) semua berkabung telah  banyak masyarakat telah memberikan respon positif atas mendiang Eyang SDD. Nyaris seluruh sosial media di Indonesia memberitakan ketiadaan serta memberitakan penyair yang menuliskan puisi “Hujan di Bulan Juni” yang selalu menjadi perbincangan. Tentu tidak asing bagi masyarakat pegiat sastra di Indonesia akan puisi tersebut. Bahkan, Semua akan tahu  puisi tersebut; mulai dari para pegiat sastra maupun yang tidak suka terhadap sastra. Semua merasa kehilangan tokoh besar Indonesia dalam sastra, memberi sebuah gambaran bahwa masyarakat Indonesia gemar akan keindahan.
Taburan bunga serta ucapan telah diberikan atas penghormatan terakhir jasadnya dan tidak akan berkarya kembali. Antusias kehilangan penyair SDD. Hal tersebut dapat dilihat secara signifikan dari ketiadaan  seorang penyair akan selamanya tidak akan bisa dinikmati kembali karyanya. Khususnya penyair besar Alm. Sapardi Djoko Damono. Ketika semua orang telah meyakinkan serta memberikan penjelasan bahwa kematian telah tiba pada Eyang SDD. Semua orang merasakan sebuah sajak-sajak yang berjudul “Pada Suatu Hari Nanti” ditulis pada tahun 1991 jika dibayangkan sekarang puisi tersebut berumur 29 tahun. Isi puisi tersebut berisi sebuah rasa kematian yang telah dirasakan oleh penulis disampaikan dengan begitu detail dan halus, kata tersebut sesuai dengan adanya situasi sekarang, sudah jelas hanya jasadnya yang akan sendiri ‘kata-kata’ dibiarkan dibiarkan sendiri. Begitu banyak masyarakat memberikan penghormatan dengan sebuah puisi. Beginilah puisi lengkapnya:

Pada Suati Hari Nanti
: Sapardi Djoko Damono

pada suatu hari nanti
jasadku tak aka nada lagi
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau takkan kurelakan sendiri

pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati

pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau takkan letih-letihnya kucari
(1991)   

Berdasarkan temuan dalam tulisan puisi tersebut. Sebagai pembaca seperti membaca kondisi sekarang yang telah tiba masanya. Eyang SDD dalam menulis puisi tersebut seperti halnya membaca kematiannya sendiri bahwa ketiadaan itu akan abadi. Namun, sebuah teks kata yang dipersembahkan itu akan abadi menemani seorang pembaca.  Gambaran tersebut memberi sebuah bukti bahwa ketiadaan seseorang akan menjadikan seorang akan merasa sebuah kehilangan, namun karya itu akan menemani semua kecuali yang tidak membaca. Jika masih memiliki rasa membaca karya-karya akan selalu hidup dalam jiwa pembaca.
Kematian seorang  penyair akan  dirasakan oleh para pembaca. jasabnya akan dirasa ketiadaannya namun ide, akan menjadi penentu manusia mengambil, bahkan mencoba menghidupkan kembali di dalam pikiran pembaca. Karena secara tidak langsung semua pikiran secara keras masuk ke dalam teks, pembaca akan dengan mudah menyerap apa yang ada dalam teks hasil si penulis.
Pembaca akan memaksa menghidupkan kembali secara tidak langsung mengajak penulis untuk menjelaskan secara baik harapan tersebut dimiliki pembaca yang kritis sehingga senantiasa mencoba mengendus-endus isi kepala  dengan yang ada dalam temuan teks (memahami sebuah isi buku). Kerja naluri dan otak tergambar jelas. Pun, jika tidak ada maka akan dijadikan sebuah catatan luas untuk menjadikan sebuah kronik hidupnya  pembaca.
Mengapa setiap penulis mati akan menjadi sebuah kesan luar biasa. Semua orang tidak bisa begitu saja sebab penulis memiliki rekam jejak dalam bentuk teks. Kehidupan teks akan mengikuti pola zaman serta pola pikir manusia yang telah ada bahkan dalam hal tersebut, semua masih dalam taraf meneliti keberadaan penulis untuk menelusuri lebih dalam.
Alm. Eyang Sapardi bukan seorang nabi. Namun, dalam karya sastranya telah memberikan sebuah ilham. Pembacaannya dalam berusaha menemukan pola bahkan dasar-dasar dalam berkarya menjadi sebuah kekuatan ada pada karya-karyanya. Pembaca akan selalu menjadikan dirinya sebagai penulis puisi yang rapi dan soft (lembut). setiap puisi akan mengajak kepada pembaca sebagaimana seperti seorang anak mendengar kan  si pencerita. Dengan seperti itulah penulis akan merasakan kehidupan dalam kematian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar