Selasa, 14 Juni 2022

MEMAHAMI PROSES DAN TANDA BACA


Mula-mula tulisan ini terinspirasi dari kegetiran  seorang berproses untuk menjadi penulis. Banyak kegiatan yang telah dilakukan sebagaimana seorang ingin menggapai sesuatu untuk mencapai hal diharapkan. Seperti seorang ingin menggapai sesuatu, seperti seseorang ingin sampai ke puncak gunung, sudah semestinya melakukan perjalanan jauh serta menemukan, merasakan, dan berat melangkah. Banyak rintangan di bawah untuk menuju ke puncak.

Seorang yang bermimpi menjadi penulis akan selalu melakukan latihan setiap hari menulis. Namun paling penting yaitu membaca dalam proses menulis perlu membaca dan terus haus membaca banyak hal khususnya buku-buku yang berkualitas. Tentu yang sesuai dengan kebutuhan. Selain itu, bergumul dengan orang-orang yang se-frekuensi, yang bersemangat belajar menulis. Biasanya di dalam akademik sering berkumpul dengan orang-orang pegiat literasi berdiskusi. Paling beruntung dapat mengikuti diskusi secara gratis, paling beruntung seminar dengan pemateri penulis keren dan hebat—yang sudah diakui karyanya, sangat senang mengikuti.

Seumuran 20—30 masa-masa yang kita saat bertemu dengan teman-teman seperjuangan akan memunculkan obrolan berbeda. Tentu banyak hal yang dibicarakan mulai; proses yang dilakukan, konsep ke depan, dan hal-hal yang telah menimpa menjadi pelajaran atau sekedar dianggap sia-sia. Seperti muncul kegetiran hidup muncul seketika dengan mengevaluasi hal-hal yang telah terjadi. Ini ada yang mengatakan quarter life crisis.

Proses panjang yang diberi kesempatan dalam belajar perlu disyukuri. Karena diluar sana masih banyak orang-orang memimpikan  seperti kita berada di ruang diuntung yaitu kuliah di perguruan tinggi—yang mungkin kalau tidak dapat memanfaatkan secara baik akan memunculkan kegetiran di masa depan—yang tak menjanjikan. Paling tragisnya  masih bingung akan masa depan setelah lulus.

Memang benar dengan apa yang telah disampaikan oleh salah satu seorang mentor dadakan. Mentor dadakan tersebut memberikan pandangan begitu kompleks pada saat saya awal mula tiba di kota perantauan Kota Malang. merasa diuntung pada saat datang ke Malang di Bus pada tahun 2016 bertemu dengan seorang mahasiswa angkatan 1993 di UMM-Malang. beliau berbicara banyak tentang itu, selain merekomendasikan bacaan buku kepadaku sebagai mahasiswa baru.

Pesan tersebut masih membekas “hanya ada dua mas yang akan ditemukan pasca lulus nanti; kamu dibutuhkan atau membutuhkan!” pernyataan itu terngiang-ngiang selama kuliah. Namun ada lanjutan setelah berbicara seperti itu, “setelah sadar itu dek,,, kamu harus berproses dengan siapapun selama kuliah; organisasi, komunitas, dan ruang belajar manfaatkan sebaik mungkin. Minimal kalau kamu tidak dibutuhkan, tapi temanmu kamu butuhkan… terus berproses!.” Ujarnya tiga tahun lalu, yang diingat.

Dalam proses. Sebagai seorang yang belajar di perantauan. Mungkin akan berbeda dengan seorang mahasiswa lainnya yang hanya menunggu (menerima) setiap pelajaran. Namun sebagai yang tidak hanya menerima—kita kadang harus merelakan di kota perantauan menunda urusan romantisme untuk tetap fokus dengan tujuan menjadi dasar, mengubah segala hal di rumah dengan cara-cara sendiri.

Mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia tidak pernah sengaja secara sistematis. Apalagi ada embel-embel akan jadi apa dan sudah diarahkan oleh lingkungan, jika ambil jurusan ini akan menjadi seorang pendidik, sastrawan, wartawan, ahli bahasa, dan editor. Tidak pernah ada dalam konsep hidup saya—yang memang secara latar bukan dari dunia pendidikan. Seorang anak yang tubuh besar serta berekembang dengan keadaan getir menjadi semangat mendalami suatu bidang disenangi “Pendidikan dan Sastra”.

Pada saat belajar di jurusan yang telah dipilih. Tanpa ada penyesalan. Mengambil awal mula tidak tahu akan menjadi apa, hanya berkuliah saja. Saat belajar linguistik umum dan Bahasa Indonesia. Pada saat pelajaran konstruksi sintaksis ada yang berkesan, saat belajar tanda baca dalam bahasa.

Memahami Tanda Baca

Kalau ditanya mengenai tanda baca yang paling disukai. Dari sekian banyak tanda baca, saya lebih memilih tanda baca 'tanda tanya' (?). Karena bentuknya yang paling aneh melengkung seperti celurit. Mengapa suka bentuk seperti itu. Sangat sederhana, mungkin salah satunya karena masa kecil saya begitu dekat dengan orang-orang yang pencari rumput. Detailnya tak mungkin seorang pencari rumput tak bawa clurit. Analoginya sederhana seperti seorang belajar alatnya; buku dan bolpoin.

Secara esensi, tanda baca (?) ini bermakna tanda tanya. Sebagaimana konsep hidup. Kalau orang selalu merasa perlu banyak hal dipertanyakan, kita merasa kalau perlu merendah hati tidak tahu apa-apa. Maka selalu bertanya akan hal. Konsep sederhananya belajar terus jadi penting. Mungkin makna ini bersifat subjektif atau secara pribadi. Bahwa selalu merasa tidak tahu apa-apa, itu lebih baik. Daripada sok. Dan merasa kalau semua dipenuhi tanya karena tidak tahu apa-apa, bentuk bijaksana kalau dalam filsafat.

Sebenarnya secara bentuk saya merasa lebih bagus tanda baca 'tanda seru' (!)—yang bentuknya seperti pentungan. Seperti alat yang penuh dengan simbol kekerasan. Bahkan asumsi sederhana, sering terjadi ditemukan para pihak-pihak pekerja berseragam pegang pentungan. Seringkali dibuat untuk melakukan kekerasan tanpa ada melakukan perundingan.  Secara esensi tanda seru diletakkan diakhir ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah menggambarkan kesungguhan, kepercayaan, atau emosi yang kuat.

 Dari konsep seseorang memilih hidup tentu memiliki cara berbeda-beda. Ada pula seorang bisa memilih selalu menanyakan apa yang terjadi dengan pertanyaan-pertanyaan –yang ada ada, bahkan menimpa. Jika disadari bahwa pelajaran seumur hidup terdapat konsep mencari, bukan menerima. Mungkin. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar