Minggu, 27 Desember 2020

Kiat Sukses Menjadi Kritik Sastra

 


Buku berjudul Jalan Kritik Sastra Aplikasi Teori Poskolonial hingga Ekokritik (Intrans 2020). Ketika selesai membaca, saya teringat dengan nama  H.B. Jassin. Nama yang tak asing bagi jurusan sastra Indonesia. Karya esai kesusastraan beliau selalu menjadi rekomendasi para pegiat sastra khususnya yang ingin mendalami kritik sastra. Biasanya dosen, mewajibkan baca karya-karyanya. Begitupun, dengan karya Yusri Fajar penulis Jalan Kritik Sastra Aplikasi Teori Poskolonial hingga Ekokritik, buku tersebut sangat baik jadi pendoman memahami karya sastra lebih dalam. Karena mengkritik tujuan membangun intelektual lebih baik, tentu dengan cara sehat intelektual pula. Begitulah, yang pantas saya utarakan setelah membaca.

Yusri Fajar seroang akademisi menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) di salah satu kampus terbesar di Jawa Timur yaitu Universitas Brawijaya Malang. Tulisan berjenis esai kritik terhadap karya sastra yang tertuang dalam buku, Jalan Kritik Sastra Aplikasi Teori Poskolonial hingga Ekokrtik. Merupakan representasi dari seorang penulis akademisi sekaligus seorang sastrawan. Sehingga tulisan tersebut memberikan sebuah dedikasi secara tidak langsung, bagaimana seorang bisa mengkritik secara baik tanpa ada unsur menghujat, bahkan secara naratif disampaikan dengan teks bahasa yang baik, tepat, dan sesuai dengan logika berbahasa. Nyaris patuh dengan disiplin ilmu linguistik.

            Buku ini membuka pengalaman, pengetahuan, dan bagaimana melakukan kritik terhadap karya sastra. Jalan kritik dengan cara-cara baik dalam mengkritik sebuah karya sastra. bukan hanya mengkritik teks sastra namun non-teks pula. Dalam buku tersebut dikemas dalam bentuk esai kritik dengan judul buku Jalan Kritik Sastra Aplikasi Teori Poskolonial Ekokritik (Intrans, 2020).

1.      Kritik Karya Sastra Kumpulan Cerpen

Kritik sastra memiliki peran penting dalam dunia kesusastraan, menginterpretasikan, menilai dan mengkaji banyak karya sastra. Karena posisi penulis dan karya satra telah terpisah. Hal ini selaras dengan apa yang telah dikatakan oleh Roland Barthes (1965), dalam esai Sapardi Djoko Damono berjudul Interteks, Inter-teks. Bahwa pembaca teks akan melibatkan tiga pihak: teks, pengarang, dan pembaca. Maka pentingnya seorang kritikus teks sastra maupun non-teks, bertujuan mengungkap bahasa tekstual yang memiliki multitafsir, contoh dalam Kumpulan Cerpen berjudul Semua untuk Hindia (KPG, 2014) dengan kutipan “Hindia Belanda seperti negeri ajaib yang senantiasa menawarkan penjajahan  spiritual.” (Iska Banu, 2014:33). Makna sebenarnya dalam dialog tersebut: Kedatangan orang-orang Belanda ke Indonesia membawa dampak hibriditas dan budaya. ( Yusri Fajar, 2020:01).

2.      Kritik Karya Sastra Puisi Gastronomi

Namun, dari sisi karya sastra lain berupa puisi. Yusri Fajar memberi dedikasi perihal kritik bagaimana bisa mengkritisi sebuah puisi, tergambar jelas dalam esai kritik sastra berjudul Makanan, Relasi Sosial, dan Identitas: Menikmati puisi-puisi dalam “Dapur Ajaib” Karya Alfian Dippahatang. “Kamu adalah yang kamu makan” merupakan representasi dari apa yang ada dalam penggalan puisi yang dijadikan contoh. Sehingga karya sastra puisi tersebut masuk pada ciri puisi gastronomi, sastra berkaitan dengan makanan. “Aroma kebahagiaan itu tercium dari tumis/ bumbu  yang sedang kuhirup dari racikanmu/hawa panas dari perapian membuat wajahmu/ yang keringatan dan berminyak kian bermuar (Dppahatang, Sibuk di Dapur, 2017;57). Inilah bukti bahwa buku  ini juga memiliki sebuah kompleksitas membahas tentang puisi yang tajam dengan mengambil sisi lain dari yang umum, yaitu sastra gastronom Prancis, Jeans Anthelme Brillant-Savarin (sebagaimana dikutio Rahman, 2016:13) menganggapnya sebagai indera yang terhubung dengan sensasi kenikmatan di mana tubuh menyadari sensasi itu. Sensasi dalam puisi itulah diambil yang memiliki kaitan  dengan rasa dan tubuh.

3.      Kritik Karya Sastra Novel

Dalam hal ini Yusri Fajar memberikan  dedikasi melalui kritik karya sastra novel dengan judul Neokolonialisme dalam Novel ”The God of Small Things” Karya Arundhati Roy: Hegemoni Ekonomi, Sistem Kasta, dan Para Elit Lokal. Tergambar dalam sebuah karya sastra tersebut dengan sebuah pemasalahan kompleks di India masa setelah kemerdekaan negara tersebut. Narasi berbentuk teks yang disampaikan oleh Arundhati Roy (Fajar, 2020,18); Setelah kemerdekaan, mereka (kasta rendah yang tidak dapat disentuh) mendapati bahwa mereka tidak berhak atas tunjangan pemerintah apa pun seperti reservasi pekerjaan atau peminjaman bank dengan tingkat bunga rendah, karena secara resmi, di atas kertas, mereka adalah orang Kritsen, dan karenanya tidak memiliki hak (1997:74). Dalam hal ini jelas ada ketidak seimbangan dalam memperlakukan manusia, walau pada dasarnya sudah merdeka. Namun, kasta rendah masih belum merasakan kemerdekaan tersebut, selain itu dikarekan masih ada perbedaan dalam beribadah antara kasta rendah dan atas.

4.      Kritik Karya Sastra Teks ke Media Audio Visual

Kritik karya sastra Indonesia tentu banyak yang bertansformasi dari ke teks sastra ke bentuk Audio visual (difilimkan). Masih belum lama adaptasi karya sastra seperti; Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer (diflimkan 2019), Laila S. Chudori yang Laut Bercerita (difilmkan 2018) dan Dilan 1990 (diflimkan 2019), dan Tinggalamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka (diflimkan 2013). Dari yang telah disebutkan flim di atas tidak asing di Indonesia. Jika anda berpikir bahwa adaptasi hanya berhubungan dengan novel-novel dan flim-flim, anda salah. Orang-orang era Victoria telah memiliki tradisi mengadaptasi banyak karya dengan berbagai kemungkinan arah: puisi, novel, drama, opera, lukisan, lagu-lagu , tarian, dan “Telbeux vivants” telah diadaptasi dari satu medium ke medium lainnya, dan sebaliknya. (LEnda Huetcheon, 2006:IX). Hal ini dapat memberikan sebuah pandangan bahwa relasi antar bidang seni ‘bersinergi’ secara dinamis bersama dengan teknologi. (Fajar, 2020: 66).

Dapat disimpulkan, bahwa buku ini adalah jalan mudah dalam memahami karya sastra secara luas. Kita ketahui sangat sedikit kritikus sastra di Indonesia. Namun tidak semua pembaca diajak menjadi kritikus, tapi sebagai pembaca sastra interpretasi, apresiasi, suatu karya sastra sangat penting. Dan buku ini menjadi pedoman dengan mengkritik karya sastra, ini merupakan jalan tengah paling bijak, adanya kritik sastra merupakan bentuk pertanggungjawaban diri dan masyarakat (HB. Jassin, 1956; 47).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar