Buku
berjudul Jalan Kritik Sastra Aplikasi
Teori Poskolonial hingga Ekokritik (Intrans 2020). Ketika selesai membaca,
saya teringat dengan nama H.B. Jassin. Nama
yang tak asing bagi jurusan sastra Indonesia. Karya esai kesusastraan beliau
selalu menjadi rekomendasi para pegiat sastra khususnya yang ingin mendalami
kritik sastra. Biasanya dosen, mewajibkan baca karya-karyanya. Begitupun, dengan
karya Yusri Fajar penulis Jalan Kritik
Sastra Aplikasi Teori Poskolonial hingga Ekokritik, buku tersebut sangat baik
jadi pendoman memahami karya sastra lebih dalam. Karena mengkritik tujuan membangun
intelektual lebih baik, tentu dengan cara sehat intelektual pula. Begitulah,
yang pantas saya utarakan setelah membaca.
Yusri
Fajar seroang akademisi menjadi dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) di salah
satu kampus terbesar di Jawa Timur yaitu Universitas Brawijaya Malang. Tulisan
berjenis esai kritik terhadap karya sastra yang tertuang dalam buku, Jalan Kritik Sastra Aplikasi Teori
Poskolonial hingga Ekokrtik. Merupakan representasi dari seorang penulis
akademisi sekaligus seorang sastrawan. Sehingga tulisan tersebut memberikan
sebuah dedikasi secara tidak langsung, bagaimana seorang bisa mengkritik secara
baik tanpa ada unsur menghujat, bahkan secara naratif disampaikan dengan teks
bahasa yang baik, tepat, dan sesuai dengan logika berbahasa. Nyaris patuh
dengan disiplin ilmu linguistik.
Buku ini membuka pengalaman, pengetahuan, dan bagaimana
melakukan kritik terhadap karya sastra. Jalan kritik dengan cara-cara baik
dalam mengkritik sebuah karya sastra. bukan hanya mengkritik teks sastra namun
non-teks pula. Dalam buku tersebut dikemas dalam bentuk esai kritik dengan
judul buku Jalan Kritik Sastra Aplikasi
Teori Poskolonial Ekokritik (Intrans, 2020).
1.
Kritik Karya
Sastra Kumpulan Cerpen
Kritik
sastra memiliki peran penting dalam dunia kesusastraan, menginterpretasikan,
menilai dan mengkaji banyak karya sastra. Karena posisi penulis dan karya satra
telah terpisah. Hal ini selaras dengan apa yang telah dikatakan oleh Roland
Barthes (1965), dalam esai Sapardi Djoko Damono berjudul Interteks, Inter-teks. Bahwa pembaca teks akan melibatkan tiga pihak:
teks, pengarang, dan pembaca. Maka pentingnya seorang kritikus teks sastra
maupun non-teks, bertujuan mengungkap bahasa tekstual yang memiliki multitafsir,
contoh dalam Kumpulan Cerpen berjudul Semua
untuk Hindia (KPG, 2014) dengan kutipan “Hindia
Belanda seperti negeri ajaib yang senantiasa menawarkan penjajahan spiritual.” (Iska Banu, 2014:33). Makna
sebenarnya dalam dialog tersebut: Kedatangan orang-orang Belanda ke Indonesia
membawa dampak hibriditas dan budaya. ( Yusri Fajar, 2020:01).
2.
Kritik Karya Sastra
Puisi Gastronomi
Namun,
dari sisi karya sastra lain berupa puisi. Yusri Fajar memberi dedikasi perihal
kritik bagaimana bisa mengkritisi sebuah puisi, tergambar jelas dalam esai
kritik sastra berjudul Makanan, Relasi
Sosial, dan Identitas: Menikmati puisi-puisi dalam “Dapur Ajaib” Karya Alfian
Dippahatang. “Kamu adalah yang kamu makan” merupakan representasi dari apa
yang ada dalam penggalan puisi yang dijadikan contoh. Sehingga karya sastra
puisi tersebut masuk pada ciri puisi gastronomi, sastra berkaitan dengan
makanan. “Aroma kebahagiaan itu tercium dari tumis/ bumbu yang sedang kuhirup dari racikanmu/hawa panas
dari perapian membuat wajahmu/ yang keringatan dan berminyak kian bermuar
(Dppahatang, Sibuk di Dapur, 2017;57). Inilah bukti bahwa buku ini juga memiliki sebuah kompleksitas
membahas tentang puisi yang tajam dengan mengambil sisi lain dari yang umum,
yaitu sastra gastronom Prancis, Jeans Anthelme Brillant-Savarin (sebagaimana
dikutio Rahman, 2016:13) menganggapnya sebagai indera yang terhubung dengan
sensasi kenikmatan di mana tubuh menyadari sensasi itu. Sensasi dalam puisi
itulah diambil yang memiliki kaitan
dengan rasa dan tubuh.
3.
Kritik Karya
Sastra Novel
Dalam
hal ini Yusri Fajar memberikan dedikasi
melalui kritik karya sastra novel dengan judul Neokolonialisme dalam Novel ”The God of Small Things” Karya Arundhati
Roy: Hegemoni Ekonomi, Sistem Kasta, dan Para Elit Lokal. Tergambar dalam
sebuah karya sastra tersebut dengan sebuah pemasalahan kompleks di India masa
setelah kemerdekaan negara tersebut. Narasi berbentuk teks yang disampaikan
oleh Arundhati Roy (Fajar, 2020,18); Setelah
kemerdekaan, mereka (kasta rendah yang tidak dapat disentuh) mendapati bahwa
mereka tidak berhak atas tunjangan pemerintah apa pun seperti reservasi
pekerjaan atau peminjaman bank dengan tingkat bunga rendah, karena secara
resmi, di atas kertas, mereka adalah orang Kritsen, dan karenanya tidak
memiliki hak (1997:74). Dalam hal ini jelas ada ketidak seimbangan dalam
memperlakukan manusia, walau pada dasarnya sudah merdeka. Namun, kasta rendah
masih belum merasakan kemerdekaan tersebut, selain itu dikarekan masih ada
perbedaan dalam beribadah antara kasta rendah dan atas.
4.
Kritik Karya
Sastra Teks ke Media Audio Visual
Kritik
karya sastra Indonesia tentu banyak yang bertansformasi dari ke teks sastra ke
bentuk Audio visual (difilimkan). Masih belum lama adaptasi karya sastra
seperti; Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer (diflimkan 2019), Laila S.
Chudori yang Laut Bercerita (difilmkan
2018) dan Dilan 1990 (diflimkan
2019), dan Tinggalamnya Kapal Van Der
Wijck karya Buya Hamka (diflimkan 2013).
Dari yang telah disebutkan flim di atas tidak asing di Indonesia. Jika anda
berpikir bahwa adaptasi hanya berhubungan dengan novel-novel dan flim-flim,
anda salah. Orang-orang era Victoria telah memiliki tradisi mengadaptasi banyak
karya dengan berbagai kemungkinan arah: puisi, novel, drama, opera, lukisan,
lagu-lagu , tarian, dan “Telbeux vivants” telah diadaptasi dari satu medium ke
medium lainnya, dan sebaliknya. (LEnda Huetcheon, 2006:IX). Hal ini dapat
memberikan sebuah pandangan bahwa relasi antar bidang seni ‘bersinergi’ secara
dinamis bersama dengan teknologi. (Fajar, 2020: 66).
Dapat
disimpulkan, bahwa buku ini adalah jalan mudah dalam memahami karya sastra
secara luas. Kita ketahui sangat sedikit kritikus sastra di Indonesia. Namun
tidak semua pembaca diajak menjadi kritikus, tapi sebagai pembaca sastra
interpretasi, apresiasi, suatu karya sastra sangat penting. Dan buku ini
menjadi pedoman dengan mengkritik karya sastra, ini merupakan jalan tengah
paling bijak, adanya kritik sastra merupakan bentuk pertanggungjawaban diri dan
masyarakat (HB. Jassin, 1956; 47).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar