Kamis, 10 Desember 2020

Perjalanan Penulis, dan Tugas Seorang Akademis

  

  

Judul: Ibu di Wajah Purnama

Karya: Khoirul Muttaqin

Penerbit: Lakeisha

Cetakan: Pertama Juli 2020

Tebal: viii+110

ISBN: 978-623-6573-03-7

Genre: Sastra


Di tangan seorang perempuan yang rajin, ia akan melipat baju dan meletakkan di lemari dengan rapi. Begitu pula di tangan penulis akademis, akan menulis dengan menggunakan bahasa yang manis, sistematis, dan logis, tanpa ada sedikit kekacauan, kesangsian dalam mengemas sebuah kisah. Nyaris, rapi menggunakan bahasa yang baik dan benar, Barangkali itu yang tepat untuk menyimpulkan dalam kumpulan cerpen, ditulis oleh dosen Khoirul Muttaqin, berjudul “Ibu di Wajah Purnama” diterbitkan Lakeisha 2020.

Dalam kisah Narcissus, seorang pemuda yang berdiri di atas telaga salama hidup, sambil berkaca ke dalam air di telaga itu. Lalu, nasib buruk menimpanya jalan yang telah ditentukan yaitu umurnya. Ia meninggal karena  terpeleset  pada saat berkaca. Semua orang menangisi kematiannya, air telaga yang murni tawar berubah menjadi asin, lantaran banyak air mata masuk ke dalam telaga. Kisah tersebut diambil dari dalam novel Sang Alkemis ditulis oleh Paulo Celho di tahun 1984 dalam tokoh Santiago menceritakan pemuda tersebut.  begitulah yang pantas untuk mengemukakan kumpulan cerpen berjudul “Ibu di Wajah Purnama”. Sebagai bentuk lain dan  kisah lain namun tujuannya sama.

Khoirul Muttaqin sebagai penulis seperti ada ambisi menunjukkan sebuah identitas diri dalam karya ini. Identitas tersebut berupa lokalitas serta seorang akademis. Sebagai orang yang berada di tengah masyarakat urban sekarang. Namun, sebelumnya tidak. Latar belakang dirinya dibawa ke kehidupan lebih luas dengan sebuah pencapaian menuliskan dalam bentuk cerpen. Nyaris isi dalam cerpen tersebut memiliki setting sangat dekat dengan dirinya, yang sangat kental budaya dengan tradisi jawa, pola pikir jawa, dan sikap jawa. Sebagai seorang akademisi sekaligus dosen yang memberikan dedikasi kepada pembaca, apalagi seorang  dosen di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia memberikan sebuah tata cara menulis yang manis, sistematis, dan logis. Tergambar dalam cara mengisahkan cerita, narrator dalam cerpen  seperti orang terdidik yang sudah mengerti ilmu bahasa Indonesia.

Kumpulan cerpen ini memberikan tiga hal terkait isi yang akan disampaikan penulis yaitu; lokalitas, jiwa zaman (Zeitgeist), konsistensi tokoh, Ini, menurut hemat saya.  Bahwa  dalam tiga hal tersebut yang tergambar jelas pesan moral dalam latar sosial budaya bahwa moral merupakan suatu hal yang dapat dikatakan baik maupun buruknya ajaran yang dapat diterima oleh masyarakat perihal perilaku maupun tata krama yang dilakukan oleh seseorang. (Nurgiyantoro, Burhan,  429: 2015).

Terkait dengan sebuah budaya lokalitas yang ada dalam cerpen tergambar dalam judul “Menunggu Kupu-Kupu”. Dalam tradisi kampung pada umumnya, jika ada kupu-kupu masuk ke dalam rumah ada tanda baik berupa tamu datang ke rumah yang ditempati. Aku selalu sabar menunggu kupu-kupu datang ke rumahku. Aku relakan waktu bermainku yang pendek karena terpotong oleh rutinitas sekolah dan ngaji ku yang terasa amat panjang bagiku (hal.61 2020).

Jiwa zaman (Zeitgeist dalam bahasa Jerman), memberikan sebuah gambaran paling sederhana. Ketika karya sastra berupa kumpulan cerpen dibaca hingga sepuh dan dua puluh tahun akan datang, jiwa zaman yang akan dijadikan bukti kalau di masa lalu ada namanya virus corona yang  ketika merasuki ke dalam tubuh manusia, akan membahayakan bahkan hingga meninggal, bahkan jasad meninggalnya akan diperlakukan berbeda umumnya. Hal ini dibuktikan dalam cerpen berjudul “ Risalah Kematian” dengan dialog sebagai berikut; “Orang-orang sekarang pada panic” ujarnya salah satu tokoh, “Panik kenapa?”, sautnya, “Bagaimana tidak. Pak Rokam kan pasien positif corona.”. hal ini menjadi bukti bahwa suatu saat nanti, zaman akan membuktikan bahwa terdahulu masa-masa sulit telah dilalui.  

Konsistensi tokoh yang sangat jawasentris. Tergambar dalam tokoh beramana Kek Amin, representasi dari penulis. “Setiap sampai di rumah, Kakek Amin terus saja mengumpat dan mengutuk dirinya yang selalu saja tak mampu mempertahankan pendiriannya. Dalam hal ini memberikan sebuah bukti kalau konsistensi tokoh menunjukkan bahwa ada sebuah keseriusan dalam penggarapan karya sastra. Bahkan  dalam membentuk sebuah pendirian orang tua sangat wajar ketika sangat kuat tidak plin-plan sangat memberikan dedikasi yang relevansi.

Kesuksesan seorang akademis senantiasa menulis dengan begitu rapi. Tidak dipungkiri karena sesuai dengan disiplin  ilmu yang digeluti, sesuai dengan jurusan masa kuliah Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan sekarang menjadi dosen di jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Unisma.

Akhirul Kalam, tulisan ini sangat baik mengemas cerita dengan sebuah lokalitas. Terkontaminasi latar belakang sosial budaya. Namun tidak mengurangi kenikmatan membaca “Tiba Sebelum Berangkat” (Gramedia 2018) karya Faisal Oddang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar