Selasa, 22 Desember 2020

MEMBACA SENJAKALA KEBUDAYAAN


"Andai, ketika membaca di dalam buku dikagetkan dengan hantu sedang sholat, pasti saya rajin baca buku. Mungkin itulah pandangan orang agamis jika ingin menemukan sesuatu beda, berhubung saya tidak begitu punya anggapan seperti itu, ya biasa-biasa aja, dan kaget menemukan sesuatu itu harapanku" 

Tidak pernah dapat penjelasan tepat dan jelas, perihal pertanyaan seni dan sains. Apalagi ada yang anggap kedua tersebut suatu kelompok disiplin ilmu eksakta dan humaniora. Perdebatan tersebut tidak dipungkiri dari dulu hingga sekarang masih tetap jadi hal seksi, khususnya di kalangan diskusi sastra yang masih baru dan selalu bertanya manfaat perihal ilmu pengetahuan. Tidak salah, namun kurang tepat saja jika dalam belajar masih melakukan bicara nilai siapa yang bawa nilai itu sendiri. Secara, tidak perlu adanya pandangan kalau sastra dan sains setara, juga tidak perlu adanya sebuah stigma jika sastra ilmu yang teorinya masih sama saja dari hulu kehilir. Sebagian orang mempermasalahkan, padahal tidak perlu dan tidak juga harus; bertanya perihal keluar dari karya. Jika Martin Suryajaya berpendapat dalam chanel youtubenya yang bahas sains dan seni, bahwa terlalu sempit medan makna jika hanya seperti yang telah disebut di atas mengenai sains dan seni. Sains katanya sering dimaknai oleh banyak orang kerja logika (otak) untuk menghasilkan objek pengetahuan, sedangkan seni dimaknai kerja hati yang berporos pada objek tersebut mengelolahnya adalah naluri (hati). Istilah kedua tersebut tidak perlu dipermasalahkam karena dari kedua ada alasan logis dan reflektif. Namun, dalam buku Nirwan Dewanto berjudul 'Senjakala Kebudayaan' (OAK. 2017) memberi perpektif baru perihal keduanya. Hal itu tercerahkan dari hasil bacaan buku tersebut, yaitu sebagaimana seni dan sains jangan pernah disamakan dalam sebuah parameter pencapaian. Kita tahu sains akan menghasilkan teori baru dan bisa dibuktikan dengan pembangunan, dan juga sangat begitu dekat dengan realitas sosial dan sangat tampak contoh kecil mesin yang pada abad ke-16 telah menemukan mesin ketik di Jerman. Semua orang berlomba-lomba menyambutnya dan ingin memgethaui kontribusi kepada kehi , begitulah gambarnya. Tapi seni tidak pernah terlihat secara pacaindera melainkan secara pola pandang dan sikap. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari sains dan seni satu kesatuan yang ada dalam bentuk paraktik di lapangan. Mari refleksikan, bahwa setiap bangunan juga ada seninya (cara yang baik dalam membangun), memperhatikan bentuk yang ada apa objek tersebut. Contoh dalam membuat HP, jika hanya kerja sains dan tidak ada seni-nya maka tidak akan menghasilkan HP yang bagus dan enak dipandang. Maka simpulan ada pada cara membentuk suatu objek untuk menghasilkan manfaat kepada manusia. Selaras tujuan dari ilmu pengetahuan. Kan, puncak akhir dari pengetahuan itu adalah bermanfaat kepada orang lain, agama, dan peradapan dunia, (berfunsi pada kehidupan), bisa memerdekan, dan bisa memanusiakan manusia sesuai dengan rill jalan hidupnya. Sebab tidak akan ada guna memperpanjang banyak diskusi mengenai kedua Ilmu tersebut jika keduanya tidak memberi sebuah fungsi dalam kehidupan dan peradapan dunia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar