Kamis, 31 Maret 2022

HIDUP SEMENTARA YANG DIUNTUNGKAN

 "Dalam hidup, kita tak pernah meminta akan memiliki nasib baik, dan juga tidak pernah ingin menjadi manusia baik atau jahat, tapi semua manusia akan beruntung memiliki kesadaran akan banyak hal: tentang cinta, derita, dan menyakiti dengan kesadaran yang tak pernah diinginkan secara tulus, tapi harus terjadi dari satu sisi, agar manusia tahu kalau hidup tidak pernah ideal dan sesuai konsep kurva normal…" 

Saya hidup di daerah terpencil sana. Kampung konyik desa Alasarajah, Kecamatan Blega, dan Kabupaten Bangkalan. Jadi apa yang mengalir dalam tubuh akan selalu menjadi ciri khas saat keluar dari daerah tersebut. Pada saat kesempatan merantau kerja dan kuliah. Kini berpikir akan latar belakang teman permainan di kampung yang masih hidup dan yang sudah meninggal. Sepertinya ada hal unik dapat dibagikan di hidupku yang sementara diuntungkan secara pribadi menganggapnya. 

Sebenarnya saya lahir di Jakarta. Saat itu orang tua saya bapak bekerja menjadi Satpam. Sebelumnya itu ikut proyek pembongkarang Suharto tahun 1981-nan. Bapak bekerja ikut dibagian baris depan untuk ikut membasmi tanah masyarakat untuk dibangunnya. Saat itu tentu bapak jadi ancaman banyak masyarakat, khususnya yang kenal akan meneror dan merasa tidak terima jika warung, rumah, dan tanahnya digusur. Walaupun alasanya jelas masyarakat sulit menerimanya. 

Beruntung hidup dan dilahirkan sebagai pria. Dalam satu sisi yang begitu beruntung pria dalam urusan kebebasan serta tanggung jawab dalam hidup di dunia. Apalagi urusan nikah. Di lingkungan yang sangat sering pria berumur 25 dianggap sudah matang atau dimatangkan untuk segera menikah. Ya... mereka menganggap sunnah mengikuti lalapan nabi Muhammad Saw. 

Namun kita sadar sebenarnya. Bukan perihal umur yang perlu kita ketahui alasan nabi menikah. Selain itu juga pencapaian sekaligus pilihan ideal serta kesiapan batin dan dohir tetap di pikiran dan diikuti segera praktik bagi umatnya. Sebenarnya kita sebagai seorang umat perlu paham apa saja yang telah dilakukan nabi sebelum menikah. Melakukan penjelajahan ilmu pengetahuan serta berwirausaha, beliau siap. Mengapa dengan kita yang masih belum separuh melakukan  apa yang dilakukannya, memilih untuk mengambil keputusan untuk menikah. 

Di lingkungan agamaku. Tepatnya di daerah masa kecilku hidup. Semua masyarakat menganggap semua itu perlu adanya keseriusan untuk menikah. Siapa juga dalam hati menikah dengan orang yang telah menaruh hati. Semua orang punya nikah dengan cara paling baik untuk kebutuhan hidup lebih baik. Tidak dipungkiri dari jaman baheula sama. Ideal manusia untuk senang dan bahagia secara nyata menjadi manusia normal. 

Untuk hal ini seorang pria diuntungkan. Saya merasa untung karena lahir sebagai seorang pria yang tidak terlalu dipermasalahkan dalam urusan menikah walaupun ukur 25 tahun. Sebab seorang bapak sudah memberi pandangan kepada saya kalau nanti, "anakku ini sekarang sekolah di Malang dan dia juga bukan orang sini. Jadi pola pikirnya berbeda dengan teman-teman yang asli orang sini. Jadi maklumi saja ya..." jawab saat ditanya oleh masyarakat dengan tekanan anaknya segera dinikahkan. Pembelaan itu memang sangat logis dan tepat. Karena tidak semua bernasib baik untuk kondisi seperti ini. 

"Jika seorang pria belum menikah di umur 25 tahun, masih belum menjadi aib. Berbeda dengan seorang perempuan..." 

Mungkin saja akan berbeda jika pertemuan di desaku. Seorang perempuan belum menikah di atas umur 25tahun akan dianggap buruk atau tidak baik (tidak laku). Bahkan aib pribadi dan itu seperti aib seorang keluarga. Pola pikir tersebut tertanam dalam diri seseorang secara luas. Kadang menjengkelkan jika menggunakan pengukuran dengan kurva normal dengan dasar panutan nabi dipandang dari satu sisi. Padahal masih banyak sisi lain sebagai jalan baik seorang memilih kehidupan yang panjang. 

Padahal pencapaian seorang dan memilih untuk hidup dengan pasangan. Sebenarnya seorang bisa mengambil keputusan relevan sesuai kebutuhan serta kesiapan akan dirinya. Pernikahan perempuan akan menjadi kebanggan orang tua. Bahkan dalam sebuah tradisi di salah satu daerah pernikahan seorang perempuan melepaskan beban berat keluarga (meringankan beban keluarga) sehingga dalam tradisi lama dan pola pikir lama, begitu. Pasangan tersebut ada pada buku pembahasan buku "Sejarah Perempuan Indonesia" (2008), ditulis oleh Cora Vreede De Stuers peneliti dari Perancis. Begitu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar