Minggu, 18 Desember 2022

SEBUAH CATATAN SINGKAT TENTANG DISKUSI BUDAYA



Oleh: akhmad mustaqim 

Esai moderator diskusi budaya HMJ PBSI Unisma 

Sabtu 17, Desember 2022

1/

Pada kehidupan kita sehari-hari yang gelap ataupun terang, bahagia ataupun tidak bahagia, budaya akan selalu ada. Sebagai orang yang menyadari kalau hidup seperti itu—akan selalu tenang. Seperti halnya budaya yang secara umum dimaknai ciptaan manusia yang terus menerus  bersifat baik, dan menjadi habitus. Mungkin itulah budaya. 

Kebudayaan, meminjam perkataan Koentjaraningrat  (1990:180) kebudayaan merupakan seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar. Menyederhanakan kebudayaan di kehidupan sehari-hari tidak lain sebuah kebiasaan baik dilakukan manusia setiap saat yang memberikan dampak. 

Kita terkadang terjebak dengan persepsi-persepsi begitu lebar serta kadang jauh. Memang secara umum kata “budaya” dapat disandingkan kata lain yang akan jadi frasa dan memunculkan makna baru secara simbolik maupun secara semantik, dan bahkan pragmatik. Sehingga sandingan sering kali tergabung dengan kata lain; baca, literasi, ngaji, dan menari dsb—itu yang akan memunculkan makna budaya positi kala disandingkan dengan kata yang telah disebutkan. Sedangkan yang seringkali salah menggabungkan kata “budaya”—yang bermakna negatif dan bahkan kurang tepat kata itu, yaitu: korupsi, ngombe, bullying, dan telat dsb. 

Makna secara semantik dan konteks di atas perlu memilah serta memilih untuk dijadikan sesuatu hal yang tepat sesuai makna serta praktik. Yang jelas sebuah budaya, ingin mencipta hal-hal baik yang dapat mampu beradaptasi dengan zaman serta lingkungan. Adagium Minang yang dikenal dapat direduksi dalam pembahasaan budaya; “dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung.”—yang artinya kurang lebih “kita harus tahu di mana kita hidup paham tentang kebiasaan di wilayah tersebut, agar tidak ada kesangsian dalam bermasyarakat.” Itulah sekurang-kurangnya dapat dimaknai dalam konteks budaya—yang dikenal local wisdom. 

Kita perlu mengambil contoh. Saat kita hidup di Malang ini sebagai perantau “dari nun jauh di sana”—yang akan hidup di lingkungan Malang, yang memiliki budaya serta tradisi. Budaya dan tradisi tersebut perlu kita ketahui untuk bisa hidup dengan masyarakat berdampingan, serta bisa diterima dengan baik oleh sekitar. Sehingga hidup kita akan lancar serta dengan mudah masyarakat menerima dengan lapang tidak perlu mencari terkadang akan diberi. Karena, ketika memahami dan berbaur dengan budaya orang lain akan dengan mudah mencapai kehidupan damai dan tenang. 

Perlu menyadari menjadi diaspora sementara di kota orang dengan tujuan baik mencari ilmu pengetahuan. Tidak mudah mendapatkan, kala kebiasaan-kebiasaan kecil terjadi di sekitar tidak didamaikan dengan diri kita. Mengikuti alur atau konvensi di suatu wilayah sangatlah penting agar menjadi orang berbudi luhur. Selain itu, biasanya akan dengan mudah menjalani hidup di perantauan dan mudah menggapai ilmu pula. 

2/

Secara umum makna budaya dan berbudaya adalah kesadaran manusia. Bahwa bahasa, ide, dan pola pikir, serta daya cipta manusia—yang tidak lain semua itu hanya dimiliki manusia, makhluk lain tidak. Maka ada yang mengatakan manusia makhluk simbolikum atau makhluk dapat membaca dan mencipta simbol/bahasa. Akan tetapi, kadang manusia tidak menyadari akan hal itu dan enggan memahami apa esensi manusia berbudaya, salah satunya yaitu berbahasa dengan baik. 

Bahasa menurut Habermas bukan hanya sebagai alat komunikasi melainkan tindakan. Pernyataan tersebut sangat luas untuk ditafsirkan secara semantik saja. Namun juga perlu dan butuh dimaknai secara semiotis atau secara filosofis. Makna secara semantik ya manusia berbahasa merupakan tindakan manusia sebagai eksistensi makhluk simbolik. Sedangkan secara semantik sebagai alat komunikasi, ya memang semestinya manusia bisa berbahasa dan bisa berbudaya dengan bahasa. Makan secara filosofis dapat dikatakan bahasa sebagai identitas dan entitas manusia berkehidupan yang baik berbudaya. 

Manusia yang bisa menciptakan keberagaman bahasa. Dengan budaya keseharian yang dapat dijadikan hidup berbahagia, yang berdampingan dengan apa yang telah dicipta atau dilakukan kepada orang lain. Hidup yang dirasakan oleh manusia lain bahwa hidup berbahagia itu bagian dari budaya. Namun bukan yang hedonism melainkan hidup minimalis sesuai kehidupan dan kebutuhan. 

Jadi budaya adalah segala daya dari budi, yakni cipta, rasa dan karsa.1 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia budaya artinya pikiran, akal budi, hasil, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.2 Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok.

Lalu budaya yang hasil dari karya manusia yang diakui oleh negara lain bagaimana? Seperti halnya; tempe diakui diresmikan Unesco produk Jepang, Reog, Li Galigo, dan budaya lainnya. Hal tersebut dapat dipandang dari dua sisi. Pertama dari segi masyarakat Indonesia yang kadang kurang peduli dan memberi apresiasi kepada budaya, sehingga ketika budaya diambil akan merasa dirugikan. Padahal sebelumnya tidak diperhitungkan atau diperhatikan. Kedua memang secara konvensi Unesco mereka mengajukan hak cipta budaya yang diakuinya sangat kuat sehingga wajar meresmikan sebagaimana sesuai ketentuannya. 

Adapun cara merawat budaya yang tak benda dan benda, yaitu dengan cara memulai dari diri kita sendiri, lalu memulai memberikan dampak kepada kelompok lain. Atau dapat memberikan dampak dalam kehidupan kita. Sehingga itulah cara paling efektif untuk tetap bisa merawat secara skala kecil. Karena negara terkadang belum bisa menjangkaunya. Walaupun terjangkau kadang masih bersifat deliberatif. 

Deliberatif suatu kesepakatan yang akan lama dan alot dengan penggunaan logika dan nalar dan alih-alih kekuasaan, dialog, dan kreativitas. Sehingga budaya merupakan sebuah hal yang nunggu disepakati oleh beberapa elemen saja, yang dapat dikatakan terkadang kurang berkompeten di bidangnya. Lalu bagaimana budaya dijadikan laku kehidupan sehari-hari.  Jika pendapat Habermas (1992) mendeskripsikan demokrasi deliberatif sebagai model demokrasi yang melahirkan aturan hukum yang legitimasinya bersumber dari kualitas prosedur deliberasi, bukan saja dalam lembaga-lembaga formal negara (seperti parlemen), tapi juga yang terpenting dalam masyarakat secara keseluruhan.

Semoga kita bisa menjadi makhluk berbudaya dan memahami budaya. Selamat berdiskusi. 




*Catatan penulis  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar