Kamis, 03 Oktober 2019

Bertemu Soesilo Toer; Bercerita Tentang Humanisme dan Nasionalisme

Foto: Hanifulloh

Aku memohon maaf pada masa lalu yang ku buang bersama waktu yang hilang, aku meminta pada masa depan menyangkan ingin mencipta jadi asa, aku ingin berjanji pada waktu yang sebentar lagi akan hilang dan tak kembali, aku ingin merasa bahwa yang dicita menjadi peristiwa bahagia. Dan kini tiba yang masih sangsi akan makna dan arti, yang hanya ada dada, aku minta maaf pada rasa ingin memiliki yang belum bisa berbentuk kata dan bahasa. Aku Hanya berharap doa dari waktu memukul kepalanya dan memahaminya.

Niat bertemu dan akan pergi ke sana beberapa tahun lalu, namun apalah daya belum bisa diizinkan oleh waktu. Pada awalnya yang tidak pernah disangka, berawal dari stori salah satu teman literasi kalau di rumahnya ada Soesilo Toer, ketidak sangkaan lagi niat mengambil tenda untuk pergi ke Bedengan ngecep (bermalam di hutan). Saya melihat beliau yang duduk seperti orang kosong pikirannya. Terus saya berhenti untuk membeli makanan buatnya.

Dari itu berpikir bahwa keinginan manusia akan selalu ada ada jalan akan, dan akan itu suatu saat kadang akan tiba apa yang menjadikanya impiannya. Ketika tidak akan menjadi cerita sendiri, setidaknya bermimpi jika tidak maka akan jatuh pada antara bintang-bintang. Dan impian untuk bertemu dengannya itu seperti halnya mimpi yang jatuh di antara bintang Itu.

Setelah saya berhenti dan memulai bercakap kepadanya. Dengan senyum awal dipersembahkan. Dan salam kepadanya tanpa berpikir agamanya.

"Assalamualaikum pak"
"Iya nak."
"Bapak lagi apa?"
"Lagi nunggu mati" dengan senyum dan menjelaskan bahwa hidup kan hanya menunggu, menunggu yang pasti atau yang tidak pasti. Katanya.
"Sudah berapa lama Pak?"
"Sudah 5hari dan besok pukul 5 akan kembali ke Blora"
"Ini Pak, kami bawa makanan, monggo Pak".
"Bapak sibuk apa sekarang?"
"Tetap kesibukan sebagai Rektor di jalananan melihat kehidupan nilai kemanusian yang dapat bapak temukan, hanya dengan menjadi pemulung bagiku tahu tentang hidup". Ujuranya dengan bangga.
"Dengan kondisi seperti ini apa yang berat dalam hidupnya Bapak?"
"Tidak ada yang berat dalam hidup ini, semua akan ada kehidupan, kehidupan yang memiliki banyak peristiwa, sebagai pemulung ini kerja kemanusian, setiap keindahan yang aku jalani ini bentuk kecintaan akan manusia lain, dengan membersihkan sampah dan dijadikan uang, itu nikmat hidup yang ku jalani, tidak perlu menjadi apa, karena hidup bukan bahagia, tapi tentang nikmat."
"Bagaimana dengan Perpustakaan Pateba?'
"Tetap, aku hanya merawat dan aku menulis tentang Pram 9buku"
"Apakah buku Pram di sana lengkap?"
"Tidak, Karena Pram berpesan jangan memaksa sempurna yang ada saja dijaga, buku cukup yang ada dijaga"
"Insyaallah suatu saat saya ke sana Pak"
"Silahkan, boleh kok menginap, terbuka untuk umum dan sudah kurang lebih dari 4-5 negera yang telah berkunjung ke Pateba. Di negeri ini sangat banyak seniman tidak dirawat, beda dengan Malaysia yang sangat baru merdeka tapi negara sana sudah lebih maju dari negeri ini, tidak ada bangunan di sana besar, dan sejahtera, itu aku rasakan ketika aku di undang jadi pembicara ke Malaysia, di Indonesia malah tidak dijaga padahal seni kerjaan orang yang mulia, contoh Pram tidak pernah dihargai karyanya oleh negeri sendiri, malah sebaliknya dianggap yang aneh-aneh Pram itu."
"Terus gimana Pak, Bapak pernah dapat apresiasi dsri masyarakat sekitar Bapak?"
"Iya ginilah hidup, tidak perlu meminta dihargai dan dihormati dengan apa yang kita miliki, semua akan tahu nanti sejarah akan membuktikannya, sekarang Aku hanya menerima, dan seperti ini hidup itu lebih bebas tanpa terikat"
"Iya Pak, apa di sana Bapak hidup bahagia?"
"Bahagialah, karena pemulung Itu yang membuat kita bahagia, karena tidak ada tekanan, dan paling nasionalis bagiku yaitu saya ini yang tidak hanya bicara tapi lebih memperhatikan keadaan, memilih sampah dengan gembira, di sana itu kurang lebih di Blora itu 56 orang, perorang akan mendapatkan 1glansi, kalai seperti aku dapat 3glansi kadang, jadi total setiap hari kurang lebih 30ton sampah di Blora aja, itu perhari bayangkan saja nak, siapa yang akan berpikir kalau wadah makanan dari para pejabat, bahkan Presiden dan Taperware yang adik bawa ini salah satu hasil dari daur ulang sampah yang aku pilih, itulah paling sederhana bahagia bicara makna"
"Bapak semoga sehat selalu." dengan senyum dan haru berbagi cerita kemanusian bahagia dan makna.
"Iya Nak, kalau kamu mau jadi manusia kadilah manusia yang tidak hanya tertawa dan bisa diberikan kepada manusia dalam bentuk apapun, karena hidup bukan tentang hari ini nak. Kamu mau ngecamp akan mencari apa di gunung?'
" Bukan gunung Pak, tapi hutan lepas biasanya tempat mengasingkan diri dari ramainya keadaan negeri yang sepertinya, sudah saatnya menyendiri di hutan, mengkoreksi diri tentang apa yang telah terjadi dan yang pernah saya lalui, dengan aksi kemarin demonstrasi bersama Dengan teman-teman Mahasiswa."
"Oh gitu ya caranya Nak, iya sudah Nak, tapi jangan lupa dengan segala keinginan yang dibangun bukan hanya untuk sendiri tapi kepentingan orang banyak, dan ketika Nanti jadi penguasa jadi yang bijaksana dan tahu tentang manusia."
"Iya pak terima kasih. Seharusnya seperti apa dalam pahlawan yang benar ada di negeri ini?"
"Banyak jasanya temanku Dan orang-orang yang berperan pada saat proklamasi tapi sekarang tidak jadi apa-apa, seharusnya menjadi pahlawan, seperti penulis teks prokalasi, penggerek bendera, dan pengebar bendera, sekarang tidak dimasukkan ke pahlawan nasional padahal itu wajib masuk karena telah berperan atas kemerdekaan."

Setelah pembicaraan sudah sampai dan itu sudah selesai, saya dan teman berpamit untuk berangkat ke bedengan. Karena Lia Lavenita, Deri, Ifa, dan Dicky sudah menungguku. Dan pesan itu saya ingat dan direkam dengan mendokumintasikan foto bersamaanya, Soesilo Toer adek dari Penulis ternama di Indonesia Pramoedya Ananta Toer.



Akhmad Mustaqim 2019
Cerita ini saya tulis di Bedengan 29, September 2019 disimpan dalam note Hp, dan selesai pada 2 Oktober. 

1 komentar: