Sabtu, 02 November 2019

Memaknai Sepi dan Sunyi; Usaha Membunuh Sepi

foto:akhmad

Kesepian pertemuan
Kesunyian penafsiran
Persoalan penyikapan
Aku minta maaf pada waktu yang jadi abu dicari temukan disatukan tuk menyembuhkan rindu (Wislawa Zsymborzka)

Langit makin mendung lagi. Kota makin ramai lagi. Persoalan direnungkan akan menjadi pengetahuan. Membaca bukan sekedar memaknai ataupun menemukan. Hujan akan datang bulan akan segera hilang, peradapan baru akan lahir, bibit kering akan tiba membiru. 

Kucing tidur tenang bersama dengan anaknya dengan mesra mengorok. Sebagai pendengar aku tak bisa memahami. Mata memaknai rasa ia berdua berdekatan dengan orang-orang suka membaca buku. Tidurnya tidak sempat mendengarkan hasil bacaan, diskusi yang dikaji, ternyata bermimpi dinikmati.

Ada perempuan berbaju putih hitam seperti mahasiswi pada hari itu mungkin saja tepat hari Ujian Tengah Semester (UTS). Di samping kucing tidur masih saja ada pemuda membaca buku karya Felix K. Nezi dengan judul 'Usaha Membunuh Sepi', seperti biasa pada umumnya orang membaca buku, pemuda itu mengantuk dan sambil menguai lalu tidur di atas bukunya.

Mata yang sudah tidak enak di pandang. Suasana sudah biasa di bawah Perpustakaan Umum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Angin, awan, dan udara mendukung pemuda untuk segera menyudahi buku itu. Sebab Malang yang sejuk dengan cuaca begitu sangat kembali seperti biasanya. Dingin yang membuat mata ingin sekali menyentuh kasur empuk dan hanya bermimpi.

Dalam benak pembaca buku Felix K. Nezi. Pada bab terakhir yang ingin diselesaikan tampat itu dari semalaman membacanya. Buku itu sebenarnya Kumpulan cerpen. Dalam pikirannya ia hanya berpikir mengenai apa yang dipikirkan 'enak ya jadi kucing tinggal di Kampus tidak perlu baca buku, bayar SPP, dan repot mikir hidup.' tiba-tiba datang perempuan mahasiswi membawa makanan kucing. Kedua kucing yang lagi tidur langsung diangkat, dibuka makanan kucing lalu diberikannya. Serasa kalap kedua ibu dan anak kucing itu memakan. Pergi perempuan pemberi makanan itu. Setelah kenyang kedua kucing itu, satu persatu kembali lagi di samping pemuda baca buku itu. Tidur lagi, lalu diikuti oleh anaknya tidak habis memkan, makanan tersebut. Menyusul tidur di sampingnya.

Berbual lagi pembaca buku. 'enak sekali hidupnya kucing ini bisa jadi ini juga akan masuk surga dengan mudah nanti'. Manusia tentunya berbeda dari apa yang telah dijadikan Tuhan dengan beberapa kudrotnya. Manusia fungsinya berpikir dan hewan tidak. Sehingga ada yang menanyakan 'berdosakah hewan itu?' sepertinya tidak akan berodosa sautnya pembaca buku itu, karena hewan tidak punya perasaan, manusia yang akan berdosa kalau keliru karena memiliki rasa.

***
Isi buku dari apa yang dibaca pemuda itu, kalau usaha membunuh sepi merupakan sebuah cerita di mana, semakin manusia usaha membunuh sepi, semakin ramai sepi itu datang. Kecuali dengan berdoa sepi tidak akan menghampiri.
Kutipan dalam Cerpen berjudul Usaha Membunuh Sepi di bawa ini menjadi bukti dalam manusia mencari sunyi.

Doa-doa mampu menyelamatkan aku dari sepi. Entah bagaimana, sepi tak berani mengusik orang-orang berdoa. Usai misa pagi, hanya beberapa sepi yang kelihatan berdiri di pintu gereja dan menatap dengan benci (Hal 26-27).

Dalam hasil pembacaan pemuda itu akan memberi bukti bahwa setiap orang usaha membunuh sepi akan selalu ada perjuangan. Perjuangan melawan diri sendiri, mencari sesuatu yang tidak akan menyiksa diri sedangkan ketika kita mencoba membunuh sepi akan ada deraian luka ditemui.

Namun hanya ada jalan lain untuk bisa tidak ditemukan luka dan sepi tidak mengusiknya. Dengan berdoa serta sadar akan luka pada derita bahwa tidak selalu pemuda sibuk memikirkan siapa teman yang membuat ramai (pacaran), hal itu sebanarnya merupakan pilihan. Dan pilihan akan melahirkan sebuah kometemen diri sebagaimana nanti apa yang dicari bisa ditemukan dan dirasakan. Tanpa memikirkan apa kata orang berkata, Jomblolah, ginilah, ya itu hidup kalau selalu mengisi kata-kata orang lain ke dalam mangkok kita.

Sebenarnya sepi tidak perlu dicari akan datang sendiri. Ketika sudah bergantung dengan orang lain hidup dalam keramaian manusia akan menemukan selalu kesepian, tidak perlu usaha. Sehingga narasi tinggal tentang sepi dan sunyi seharusnya didalami secara etimologi.

Sepi merupakan pilihan pemuda atau manusia yang ingin menepikan diri walau pada dasarnya kata 'sepi' tidak ada imbuhan 'me' yang akan menjadi kata kerja. Sedangkan Kata 'sunyi' sebuah sifat dari kata 'sepi' dan akan memiliki kecenderungan kalau sunyi sebuah pilihan yang nantinya akan membuat kita ada dalam naluri menimbulkan sebuah pertanyaan dan pilihan akan sebuah kehidupan. Bahwa akan ada manusia bisa menemukan dalam pikirannya terbentuk dalam praktiknya. Dan pilihan itu akan kecenderungan tercipta idealis.
Dan teringat dengan kata-kata Soe Hok Gie.

Lebih baik diasingkan daripada menyerah dalam kemunafikan (hal 125, 2002)

Kata 'diasingkan' pada zaman millenial ini tidak relevan pada kaum muda. Akan tetapi lebih baik menggunakan kata 'mengasingkan' hal ini bisa masuk pada ranah bagaimana kaum muda sering-sering  mengasingkan diri untuk berpikir dalam melakukan tindakan. Korelasinya harus dilakukan objek rakyat sebagai acuan sebuah tujuan perubahan.

Tujuan pemuda tidak itu bukan hanya ada dalam buku dan menghatamkan buku banyak, namun hal itu juga harus terbentuk dalam karya. Dan dinamika akan selalu ada dalam masyarakat. Namun tantangnya jangan sampai kita 'diasingkan' selaras dengan kata-kata Soe Hok Gie bahwa kata diasingkan jangan sampai ada dalam jiwa masyarakat kepada kaum muda.

Membaca buku sebagai memperhatikan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dan mempermudah kehidupan diri sendiri dan orang lain.


Akhmad Mustaqim 2019
Ditulis di Perpustakaan UMM, sambil menyelesaikan buku Usaha Membunuh Sepi karya Felix K. Nezi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar