Jumat, 08 November 2019

Gincu Merah



Merah itu mempesona pagi begitu segar angin menelusuri remang-remang di dalam pori-pori. Dalam ingatan ada warna merah dalam otak. Kebugaran ada dalam jiwa. Dingin itu membuka jiwa raga memaksa rupa itu berbahaya.
Pembuatan gincu yang masih belum bisa dipoles ke bibir. Ternyata bibir masih saja pecah-pecah dan suaranya masih saja bisa terdengar sempurna. Pertanyaan manusia itu perihal gincu masih tidak memiliki pengaruh pada ketajaman lidah hitamnya, sepertinya gincu merah hanya memberikan keindahan keanggunan.
Apa yang paling tajam dari mulut seorang perempuan. Manisnya ketika berbicara, atau ketika tersenyum setelah sholat dengan mengenakan mukennak putih. Padahal dalam otak dan hatinya tidak memiliki apapun kecuali rasa yang masih suci kecuali pertemuan itu di tengah malam. Perempuan itu terbangun melawan dingin berdiskusi melaui puisi yang terlahir pada saat itu pula. Dan menanyakan dari mana datangnya puisi, pada saat ilham mengampiri, lalu gincu itu sudah tidak berarti kecuali yang mengenai  bibir.
Jika aku seorang perempuan mungkin saja aku juga ingin punya gincu, gincu yang berwarna merah mungkkin yang begitu umum di Negara kita, kalau di luar negeri banyak aneka warna itu. Dan aku sempat pernah bercerita pada diriku sendiri pada saat angin tengah malam menelusuri jiwa yang kosong. Diskusi itu membuka bahwa tanpa gincu aku juga bisa berbicara.

***
Penggunaan bahasa sederhana paling dipahami
Aku pernah pergi keluar rumah tanpa gincu, perasaanku masih saja dalam keadaan paling tenang, namun diirku memkirkan perasaan orang lain tentang diriku lalu apa yang paling dikwatirkan. Bahasa. Bahasa yang begitu takut
Persoalan hati dengan dirinya sendiri. Tentang gincu yang sering dibawa tapi tidak pernah digunakan pada saat keluar rumah, bagaimana seorang perempuan tidak menggunakan bukan anti, apa Karena ia memiliki jiwa. Bahwa tidak ada dalam diri bukan sekedar gincu menjadi perempuan sesuatu. Sesuatu yang paling berarti.
Pada awal perjalananku di tahun 1987 an. Perempuan sepertiku tidak pernah menjadi impian lelaki karena aku benar-benar orang pribumi tanpa gincu, walau pun ada gincu pada saat itu menjadikan abu tanpa memiliki fungsi. Mengabdi pada nilai-nilai pribumi tidak yang memiliki produk gincu hingga waktu itu aku berdoa meminta kepada Tuhan kalau di negeri ini ingin ada pabrik gincu.
Beberapa tahun sudah, aku hidup tanpa gincu. Bicaraku masih saja lancar tidak ada masalah dengan diriku. Bagaimana orang-orang laki-laki sangat tulus mencintaiku, bukan hanya gincu yang dipuleskan ke bibirku yang sebenarnya agak tidak dibagus kalau dipandang, tapi namanya juga pemberian Tuhan harus disyukuri seandainya buatan manusia yakin akan banyak yang protes bagi kaum yang suka nyiyir bagi kaum elit politik tentunya bisa dikatakan lihai mengkritik.
Di tahun 2019 mulai dari kampanye pemilihan presiden banyak juga yang memakai gincu yang sangat merah menyeramkan. Ketika lisannya bersuara dan berkata serasa tidak ada yang paling salah semua serasa lurus, untuk saja suara tidak ada bentuknya tapi kenapa Tuhan menciptakan begitu tajam. Bahkan ada pribahasa jawa ‘suaramu adalah harimaumu’, mungkin itu termasuk kaum penganut dan pemilik gincu. Bagi yang pandai menyimpan gincunya dirasa ada juga yang akan nyinyirin, dikatakan orang yang apatislah tidak kritislah. Lagi-lagi gincu itu yang memoles bibir dan kadang dari lisan manusia mengeluarkan madu dan racun.
Tahun 2019 keos gara-gara gincu yang tidak pandai menyimpannya. Semua serasa merasa lebih cantik lebih lembut bahkan lebih ekstrim lagi merasa paling tidak ada yang salah warna, semua warna yang di bibir dianggap warna paling benar-benar merah. Padahal gincu itu harus disimpan dengan baik seperti pencak silat. Mengeluarkan jurus ketika memang darurat.
***
Aku seandainya menjadi gincu, bermimpi bukan hanya dipakai oleh Sahrini, Chelsea Islan, dan Ayunda. Mereka tidak pakai gincu pun sudah laku suaranya. Aku ingin gincu ini ketika membuat mempesona dipakai oleh orang-orang yang terpencil tidak memiliki hak untuk bersuara tajam. Namun apalah daya mereka kadang juga tidak bisa membersihkan bibirnya dulu kalau memakainya. Seharusnya dibersihkan dengan ilmu pengetahuan dengan membasahi bibirnya dengan buku, buku yang sesuai dengan bidangnya terpenting bisa membuka cakrawala bukan hanya bisa bicara. Kwatirku seperti itu, aku sebagai gincu tidak ingin dimanfaatkan untuk nipu. Aku teringat dengan bapak republik kita yang sudah tiada namun walau sudah tiada suaranya lebih keras dari dalam kuburannya karena bukunya. Walau tidak pernah menggunakan gincu di tahun 1926 ia menjadi tokoh berpengaruh di Indonesia. Tapi memang tidak menggunakan gincu karena dia lelaki yang kaku kalau pake gincu tidak tahan menahan tawaku ketika aku ada di bibirnya hehe.
Di tahun-tahun berikutnya ada Soe Hok Gie. Seperti ia juga kerap memanfaatkanku ,untuk merendahkan teman-teman seperjuangan untuk mengirimkan gincu dengan seperangkat alat kecantikan perempuan, mungkin semuanya akan paham maksudnya. Tapi ia juga pernah menggunakan gincu sebagai alat penyambung lidah rakyat ketika semua orang tidak menemukan arah jalannya revolusi di negeri ini. Soe julukannya seorang domonstran kritis, tajam, jujur dan berlandasan. Ia memoleskan setiap warna gincu ke bibir-bibir mahasiswa yang pada itu memiliki kegelisahan bersama akan ketidak selarasan pemerintahan pada masa itu sebutlah pada orde lama. Soe dan teman-temannya memoleskan warna merah gincu yang menyeramkan itu kepada mereka hingga namanya dikenang dan tahunnya menjadi sejarah yang sulit dilupakan. Berterima kasihlah ke Gincu.
Di tahun selanjutnya ada pula yang menggunakan jasa gincu. Aku sebagai gincu yang hanya digunakan untuk dimanfaatkan tidak pernah bermasalah. Karena semua memiliki pertanggungjawaban. Pada tahun 1995 perjuangannya menggunakan gincu dengan puisi-puisi yang dibacanya seperti menjadi ancaman dan samapai puncak tahun 1998 yang Hilang. Namanya Wiji Tukul. Sebagai gincu hanya mendoakan semoga tenang di alam sana. Aku berterima kasih telah memperlakukanku sebagaimana membela kebenaran tidak hanya dipoleskan ke bibir yang mencipta suara menyeramkan bagi tetangga sebelah dan membuat risihi.
***
Soekarno dan Hitler dalam sejarah ia menjadi seorang retorik terbaik di dunia dalam kajian bahasa Indonesia. Aku juga pernah berjumpa dengannya, di tahun-tahun sebelumnya kenal dengan seorang tokoh Saerekat Islam (SI), Umar Said Cokroaminoto yang tidak diragukan lagi menggunakan gincu dan tidak seperti ada terompet malaikat isrofil menggelegar menguncang dunia kala bepidato.
Mereka para ahli pembicara yang tidak hanya bicara. Apalagi dengan penggunaan gincu. Walau tidak akan semuanya benar, tapi lebih banyak benarnya. Gincu sebagai penyempurna kebaikan dan bisa sebaliknya. Aku berkata pada temanku yang bedak sangat sering digunakan oleh kaum hawa apalagi sekarang diera modern ini nyaris tidak ada yang tidak menggunakan.
“Aku hanya digunakan ketika perempuan itu pergi kekondangan”
“Aku tidak hanya itu, ketika ke pasarpun aku digunakan, walau kadang gak kuat dengan bau pasar tapi bahasa pasar walau kasar masih memiliki dasar, apalagi pada saat tawar menawar”.
“Enak juga jadi bedak, kenapa tidak banyak di pasar tidak menggunakan gincu?”
“Gincu itu mahal, biasanya hanya digunakan orang-orang yang ingin mengelabui, membuat pesona, di pasar kalau pakai gincu akan menjadi pembicaraan yang melebar menjadi sepasar hehe”
“Pantesan, banyak yang menggunakanku orang-orang elit politik yang suka berbicara”.
“Harus bersyukur masih bisa digunakan daripa tidak.!”
“iya sih, apa mereka bingung jika tanpa aku?”
“Antara bingung dan tidak, bingungnya tidak bisa membuat mempesona dengan warna dibirinya manusia tidak akan mempesona, tapi tidaknya semua orang akan lebih tanpak apadanya, tidak ada yang menipu melalui kata-kata”.
Jika semua hanya bisa berkata-kata tanpa gincu mengapa masih digunakan aku. Karena diriku jika ingin memperotes pengguna gincu yang keakuannya tidak melebur jadi abu, dan seharusnya pemakai gincu sadar akan dirinya bahwa hanya yang terbuat dari abu dan harus sadar akan semua itu tidak perlu besar akunya.
Aku ingin jadi gincu yang berguna bukan yang berbahaya. Warna tercipta agar bisa menjadi cahaya estetika.



Akhmad Mustaqim 2019

Lahir di Bangkalan. Mahasiswa jurusan Penddikan bahasa dan sastra Indonesia Semester VI,Universitas Islam Malang (UNISMA). Menulis antologi puisi berjudul Geriliya (Java,Creative 2017).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar