Senin, 04 November 2019

Bingung Menulis Puisi; Abadi

Bingung Menulis Puisi

Saya hari ini ingin menulis sesuatu. Tapi untuk memulai masih bingung akan menulis apa. Pertanyaan itu hanya ada dalam hati dalam hati hanya berkata mungkin menulis saja puisi, katanya mudah tapi bagiku susah. Namun mau tidak mau harus mencoba:

Langit mendung turun masuk ke dalam kekosongan
Aku bukan hewan bisa terima apa adaNya
Aku manusia diberi rasa menerima
Suka-suka menerima
Ada gado-gado pada kata
Sebelum matahari menyinari ada dosa-dosa bersama doa-doa

Setelah itu dianggap selesai. Melihat sekeliling mengenai apa yang telah terjadi, bahwa puisi hanya bagian dari apa yang terjadi di samping kita. Ada yang bisa disampaikan dengan bahasa ada pula yang tidak dengan bahasa. Bahasa merupakan representasi rasa. Rasa tidak semua tertaung dalam bentuk eksistensi, kadang hanya samapai pada esensial.

Ketika seruan 'adduh' dibahasakan akan hanya menjadi subjek. Dan realitas dipertegas oleh bahasa mahkluk lain, bagaimana mungkin cita-cita, cinta, akan berbentuk. Kecuali, hanya bisa ditemui pada perjalanan, bukan ditemukan secara tiba-tiba dan beruntung.

Namun ketika beberapa hari lalu ikut diskusi bedah buku bersama dengan teman dan sekaligus saya anggap itu guru. Namanya M.A. Masud. Dalam perbincangan itu masih tersirat kata-kata bahwa dalam proses penulisan puisi ada dua. 'Menemukan' dan 'Menemui' kedua kata ini memiliki makna berbeda. Terkadang kalau menemukan itu secara tiba-tiba datang lalu menuliskan ide tersebut tuk dijadikan puisi. Menemui usaha menemukan sebuah ide dan menuliskan puisi tersebut menjadi hal paling berarti bagi penulis puisi.

Secara esensial memiliki tujuan sama, mendapatkan nilai estetika, spritual, dan lokalitas. Ketiga yang disebutkan merupakan dasar dari apa yang ada dalam sebuah karya sastra. Dan ketika itu lepas dari seorang penulis maka akan terjadi kematian pada penulis dalam makna puisi tersebut.

Di pertegas dalam memaknai puisi oleh Roland Barthes seorang peneliti sejarah sastra di Prancis pada tahun 1965 mendeklarasikan bahwa kematian penulis setelah karya sastra telah selesai, tidak ada lagi kaitannya dengan penulis. Jikapun ketika karya sudah selesai dan ada salah satu pembaca menanyakan dan makna tidak sesuai dengan apa yang di interpretasikan pembaca maka tidak perlu menyalahkan penulis ketika penulis menjawabnya tidak sesuai. Sebab penulis hanya mempersembhkan teks dalam karyanya. Pertanggung jawabannya ketika tulisan berupa teks ada terlahir maka kematian penulis datang, sebab dalam penggarapan karya penulis masuk pada penderitaan yang akan mati.

***
Apa yang indah dari menulis? Pertanyaan itu tidak bisa dijawab dengan ucapan melainkan dengan sebuah kebanggaan tersendiri, tidak hanya bicara bisa menulis tapi bisa membawa diri seperti seorang pengemis pada Tuhan. Ketika Menulis selalu mencari bukti dari sebuah kesucian diri dengan tulisan, pengemis mengambil kasihan dari para manusia yang berjiwa dermawan. Dan kejadian kadang menjadikan sebuah amalan tersendiri.

Jika ada pertanyaan apakah akan menjadi penulis; cita-cita dilahirkan dari sebuah keinginan sedangkan keinginan tidak dapat ditempuh dengan sekedar ingin, menulis dengan keinginan hati merupakan sebuah pilihan. Dan kadang menjadi sebuah tiba-tiba datang dan lahir. Hal paling sederhana membaca buku dan membuka diskusi dengan hasil bacaannya. Jika merasa lebih akan sedikit berani bercerita dengan apa yang telah dianggap oleh mata dalam teks, belum realitas. Penulis sebagai subjektifitas akan selalu memantau beberapa hal; kehidupan, ideologi, dan pandang hidup. Jika itu ada akan ada sebuah tambahan-tambahan lainnya.

Dalam dunia tulis ada yang pernah menanyakan, filsafat kepenulisan yang pernah dilontarkan pada tahun 2018 lalu. Disalah satu tempat Oase Literasi di Malang tepatnya. Pada saat itu membagi pengalaman menulis padahal saya pribadi masih belajar menulis. Memberanikan diri samahalnya dengan saya lakukan menulis, tidak tahu apa-apa tentang pengetahuan, namun menulis sesuatu hal ingin selalu Ingin selalu dilahirkan, kadang lahir secara primatur sudah menjadi biasa. Apa yang lebih indah dari menulis, yaitu kebebasan dalam menuangkan ide tanpa ada batasan. Teruslah menulis motivasiku. Pada saat itu salah peserta menulis secara filosofis menulis itu esensialnya apa dalam dibenturkan dengam filsafahnya; hal itu membuka pengetahuan baru sekaligus membuat kebingungan baru. Dari hal itu saya ingat dengan tulisan seorang filsuf Yunani, Rene Descretes dengan seloganya 'aku berpikir maka aku ada' itu Cogito Ergo Sun dalam bahasa Prancis.

Pernyataan yang dilontarkan menjadi fenomenal sehingga dalam hidup selalu menjadi refrensi para intelektual. Ide manusia kadang bisa tercipta secara tiba-tiba, kadang tidak bisa direncanakan, hanya bisa direnungkan. Berpikir dalam ranah ilmu diteori activa relativitas jauh dari realitas hanya ada dalam pikiran, Ketika dibentuk dalam tulisan makan akan menjadi dasar perubahan. Sehingga pemikiran kita akan senantiasa membawa dan berada dalam sebuah tindakan.

Menulis cara terbaik tidak bisa melupakan efektif memperdalam perasaan dan membuka kepekaan. Menjadi saksi sejarah di masa yang akan segera menjadi masa lalu.



Akhmad Mustaqim 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar