foto: Detiknews.com |
Ketika ingat
dengan R.A Kartini seharusnya ingat juga R.M Panji Sosrokartono. Sebagai tokoh
perempuan, Kartini di masyarakat dikenal tokoh emansipasi perempuan dengan
kibiasaan menulis surat menceritakan kehidupan kaum wanita yang tidak ada ruang
untuk memliki pendidikan lebih tinggi pada masanya. Namun jangan lupa dengan
sosok kakak Kartini, pelopor pergerakan kemerdekaan serta salah satu tokoh yang
ditakuti oleh penjajah Belanda. Ketika ingat dengan Kartini dan Kartono lebih
baik mencoba untuk memahami dan menganamalkannya, dari gagasan-gagasannya
mengenai emansipasi wanita dan ajaran adhiluhung.
Pada
21/04/2018 semua kaum tua hingga kaum milenial hinga generasi Z, merayakan hari
Kartini, dengan sedemikian rupa antusias masyarakat berbagai cara, ada yang
hanya berososial media, ada yang berkebaya dengan gaya budaya pada zaman dulu,
ada yang karnaval, ada pula yang membagikan bunga-bunga di pinggiran jalan, dan
masih banyak cara-cara mereka dalam menginat Kartini. Banyak cara dalam
memperingati apa yang telah terjadi menjadi sejarah, ada lagi yang mengatakan
bid’ah ada menginat sejarah, bagi yang arif sebagai peningkatan rasa cinta
terhadap negara (nasionalisme).
Indonesia sudah
tidak asing lagi untuk mengenal sosok perempuan Jawa tepat warga Jepara yang
dikenal R.A Kartini. Kartini juga salah satu pahlawan perempuan di Indonesia, selain
Cut Nyak Dien. Kartini pula dikenal dengan gagasannya mengenai emansipasi
wanita, pada masa itu kaum perempuan ada ketimpangan terhadap memperlakukan
kaum perempuan sehingga sosok Kartini di Indonesia menjadi pioneer dengan
pandangan terhadap kehidupan di Indonesia terhadap perempuan. Dengan
kecerdasannya serta luasnya bacaannya Kartini mengulang apa yang sudah ada pada
abad ke-14 M sudah ada gerakan untuk memperjuankan persamaan bagi wanita.
Jepara
tahun 1892 kegelisahan Kartini setelah Lulus ELS tidak diperbolehkan untuk
melanjutkan sekolah kejenjang lebih tinggi oleh ayahnya ( Marihardono 2016 :12).
Hal itu merasa bahwa sudah tidak akan merasakan kebebasan pada masa mudanya
dalam belajar karea harus memasuki masa pingitan dalam tradisi bangsawan
Kartini (persiapan pernikan). Kaum perempuan pada masa itu sangat terikat oleh
budaya. Kehidupan yang ada disekitarnya kental akan adat dan budaya, khususnya
pada kaum perempuan. Sehingga perkembangan kehidupan kaum perempuan hanya patuh
tanpa ada kebebasan untuk belajar pendidikan lebih tinggi, dalam surat-surat
Kartni “Habis Gelap Terbitlah Terang”, bahwa pada esensi dari emansipasi wanita
yang diperjuangkan bukan untuk menyamakan dirinya dengan kaum laki-laki dari
segi drajat, akan tetapi pendidikan lebih tinggi untuk bisa menjadi pendidik
yang diterima oleh anak pertama, ketika perempuan nanti sudah memiliki keluarga
(bersuami), lebih dekat dengan seorang anak sehingga anak akan didik pertama
pada realita perempuan memang lebih dekat dengan seorang perempuan. Sehingga
pertumbuhan dan karakter seorang anak akan dipengaruhi oleh siapa yang
mendidik.
Selain
itu juga Kartini dalam surat-suratnya mengenalkan budaya Indonesia serta
kehidupan perempuan di Indonesia pada teman yang ada di Belanda salah satu
Stella, 18 Agustus 1899 yang berisi dalam suratnya. Tulisan surat diambil dari
buku sisi lain Kartini (Marihardono, 11:2016).
“Bagi saya hanya
ada dua macam keningratan, keningratan fikiran (fikroh) dan keningratan budi
(akhlak),. Tidak ada manusia yanglebih gila dan bodoh menurut presepsi saya
dari pada melihat orang membanggakan aal keturunannya. Apakah akan berhenti
beramal sholeh orang bergelar macam Graf atau Baron?.. tidaklah dapat
dimengerti oleh pikiranku”.
Relevansi
yang harus dibawa pada masa kini modernisasi ini, perkembangan zaman serta gaya
hidup menusia dipengaruhi oleh kehidupan yang terkontaminasi oleh budaya yang
hari menjadi tren. Seumpama budaya barat serta budaya timur itu kebanggaan, hal
itulah menjadi ancaman budaya Indonesia akan di kesampingkan, sehingga yang
diutamakan gaya hidup, gaya berinteraksi, berbahasa, budaya yang terancam salah
satunya secara signifikan lunturnya sikap gotong royong, lebih banyak menjadi indivisualis
yang menerapkan gaya hidup barat lebih banyak yang apatis terhadap social,
menurut Jane teman bicara di perpustakaan, dia mahasiswa Amireka yang belajar
bahasa Indonesia di salah satu universitas di Malang, gaya hidup orang Indonesia
dalam bersosial berieraksi sangat berbeda
dengan orang Amirika, khusus dalam adat sapa menyapa, itu salah satu bukti
kekayaan dan adat budaya Indonesia ini akan mudah diterima di negara lain.
Berbanggalah. !
Raden Mas Panji
Sosrokartono
Kartono
dalam sebutannya, kakak dari Kartini seorang darah jawa asli yang menguasai 24
bahasa nama Kartono lebih dikenal di negara orinje
atau Belanda. Dengan membawa budaya dan sebuah gaya hidup asli Indonesia
sehingga dalam kehidupan di Belanda pada masa studinya Kartono mengenalkan
ramuan-ramuan jawa (jamu jawa yang dari tidak ada di dalam Belanda). Sehingga
mengenalkan bagaimana mengobatkan orang sakit tidak perlu ke dokter sehingga
Kartono dalam buku ajaran Adhiluhung (Syuropati, 2015:25) , dengan kekuatan
speritualitas jawanya mampu mengobati orang sakit tanpa pergi kedokter.
Sehingga teman-teman studinya di Belanda membberikan julukan dokter tidak
memiliki jarum suntik dari Indonesia.
Ajarannya
pada modernisasi sekarang ini perlu sekali bagaimana ancaman karakter anak
bangsa merisaukan untuk menjadi generasi penerus bangsa yang seperti apa?, ketika
generasi hanya mampu mengandalkan kepiawaian berbicara, kepiawaian berbahasa,
kecerdesaan. Maka generasi itu akan hanya bisa mengenalkan apa yang ada di
Indonesia akan tetapi tidak ingin mengamalkan apa yang ada dalam Indonesia,
jika karakter generasi bangsa enggan atas budaya yang ada di Indonesia, apa
yang menjadi kebanggaan bagi kita. Apalagi tidak ingin mengklaborasikan sebuah
nilai karakter edukasi pada masa lalu, sebuah nilai edukasi pada masa lalu
untuk dijadikan sebuah pondasi hidup untuk menjadi generasi abdi pada negara
(Nasionalisme). Kh. Hasyim Ashari tokoh NU serta pahlawan Republik Indonesia
pernah berfatwa bahwa “Nasionalisme adalah salah satu bagian dari iman kita” (Hibbulwaton Minal Iman).
Jika
tidak bisa seperti apa yang dilakukan oleh para pahlawan negara yang dulu,
setidaknya generasi akan berkembang dengan apa sekarang terjadi, untuk bisa
mengimbangi apa yang harus dijalani dengan mengimbangi selayaknya hidup di
Indonesia. Sehingga menjadi manusia yang konservatif, sehingga jiwanya
terbentuk, tanpa mudah menkafirkan.
Tulisan dimuat oleh
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang
22, April 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar