Minggu, 22 April 2018

Dihari Kartini Ingat Kartono

foto: Detiknews.com


Ketika ingat dengan R.A Kartini seharusnya ingat juga R.M Panji Sosrokartono. Sebagai tokoh perempuan, Kartini di masyarakat dikenal tokoh emansipasi perempuan dengan kibiasaan menulis surat menceritakan kehidupan kaum wanita yang tidak ada ruang untuk memliki pendidikan lebih tinggi pada masanya. Namun jangan lupa dengan sosok kakak Kartini, pelopor pergerakan kemerdekaan serta salah satu tokoh yang ditakuti oleh penjajah Belanda. Ketika ingat dengan Kartini dan Kartono lebih baik mencoba untuk memahami dan menganamalkannya, dari gagasan-gagasannya mengenai emansipasi wanita dan ajaran adhiluhung.
            Pada 21/04/2018 semua kaum tua hingga kaum milenial hinga generasi Z, merayakan hari Kartini, dengan sedemikian rupa antusias masyarakat berbagai cara, ada yang hanya berososial media, ada yang berkebaya dengan gaya budaya pada zaman dulu, ada yang karnaval, ada pula yang membagikan bunga-bunga di pinggiran jalan, dan masih banyak cara-cara mereka dalam menginat Kartini. Banyak cara dalam memperingati apa yang telah terjadi menjadi sejarah, ada lagi yang mengatakan bid’ah ada menginat sejarah, bagi yang arif sebagai peningkatan rasa cinta terhadap negara (nasionalisme).
 Indonesia sudah tidak asing lagi untuk mengenal sosok perempuan Jawa tepat warga Jepara yang dikenal R.A Kartini. Kartini juga salah satu pahlawan perempuan di Indonesia, selain Cut Nyak Dien. Kartini pula dikenal dengan gagasannya mengenai emansipasi wanita, pada masa itu kaum perempuan ada ketimpangan terhadap memperlakukan kaum perempuan sehingga sosok Kartini di Indonesia menjadi pioneer dengan pandangan terhadap kehidupan di Indonesia terhadap perempuan. Dengan kecerdasannya serta luasnya bacaannya Kartini mengulang apa yang sudah ada pada abad ke-14 M sudah ada gerakan untuk memperjuankan persamaan bagi wanita.
            Jepara tahun 1892 kegelisahan Kartini setelah Lulus ELS tidak diperbolehkan untuk melanjutkan sekolah kejenjang lebih tinggi oleh ayahnya ( Marihardono 2016 :12). Hal itu merasa bahwa sudah tidak akan merasakan kebebasan pada masa mudanya dalam belajar karea harus memasuki masa pingitan dalam tradisi bangsawan Kartini (persiapan pernikan). Kaum perempuan pada masa itu sangat terikat oleh budaya. Kehidupan yang ada disekitarnya kental akan adat dan budaya, khususnya pada kaum perempuan. Sehingga perkembangan kehidupan kaum perempuan hanya patuh tanpa ada kebebasan untuk belajar pendidikan lebih tinggi, dalam surat-surat Kartni “Habis Gelap Terbitlah Terang”, bahwa pada esensi dari emansipasi wanita yang diperjuangkan bukan untuk menyamakan dirinya dengan kaum laki-laki dari segi drajat, akan tetapi pendidikan lebih tinggi untuk bisa menjadi pendidik yang diterima oleh anak pertama, ketika perempuan nanti sudah memiliki keluarga (bersuami), lebih dekat dengan seorang anak sehingga anak akan didik pertama pada realita perempuan memang lebih dekat dengan seorang perempuan. Sehingga pertumbuhan dan karakter seorang anak akan dipengaruhi oleh siapa yang mendidik.
            Selain itu juga Kartini dalam surat-suratnya mengenalkan budaya Indonesia serta kehidupan perempuan di Indonesia pada teman yang ada di Belanda salah satu Stella, 18 Agustus 1899 yang berisi dalam suratnya. Tulisan surat diambil dari buku sisi lain Kartini (Marihardono, 11:2016). 
“Bagi saya hanya ada dua macam keningratan, keningratan fikiran (fikroh) dan keningratan budi (akhlak),. Tidak ada manusia yanglebih gila dan bodoh menurut presepsi saya dari pada melihat orang membanggakan aal keturunannya. Apakah akan berhenti beramal sholeh orang bergelar macam Graf atau Baron?.. tidaklah dapat dimengerti oleh pikiranku”.
            Relevansi yang harus dibawa pada masa kini modernisasi ini, perkembangan zaman serta gaya hidup menusia dipengaruhi oleh kehidupan yang terkontaminasi oleh budaya yang hari menjadi tren. Seumpama budaya barat serta budaya timur itu kebanggaan, hal itulah menjadi ancaman budaya Indonesia akan di kesampingkan, sehingga yang diutamakan gaya hidup, gaya berinteraksi, berbahasa, budaya yang terancam salah satunya secara signifikan lunturnya sikap gotong royong, lebih banyak menjadi indivisualis yang menerapkan gaya hidup barat lebih banyak yang apatis terhadap social, menurut Jane teman bicara di perpustakaan, dia mahasiswa Amireka yang belajar bahasa Indonesia di salah satu universitas di Malang, gaya hidup orang Indonesia dalam bersosial berieraksi sangat  berbeda dengan orang Amirika, khusus dalam adat sapa menyapa, itu salah satu bukti kekayaan dan adat budaya Indonesia ini akan mudah diterima di negara lain. Berbanggalah. !
Raden Mas Panji Sosrokartono
            Kartono dalam sebutannya, kakak dari Kartini seorang darah jawa asli yang menguasai 24 bahasa nama Kartono lebih dikenal di negara orinje atau Belanda. Dengan membawa budaya dan sebuah gaya hidup asli Indonesia sehingga dalam kehidupan di Belanda pada masa studinya Kartono mengenalkan ramuan-ramuan jawa (jamu jawa yang dari tidak ada di dalam Belanda). Sehingga mengenalkan bagaimana mengobatkan orang sakit tidak perlu ke dokter sehingga Kartono dalam buku ajaran Adhiluhung (Syuropati, 2015:25) , dengan kekuatan speritualitas jawanya mampu mengobati orang sakit tanpa pergi kedokter. Sehingga teman-teman studinya di Belanda membberikan julukan dokter tidak memiliki jarum suntik dari Indonesia.
            Ajarannya pada modernisasi sekarang ini perlu sekali bagaimana ancaman karakter anak bangsa merisaukan untuk menjadi generasi penerus bangsa yang seperti apa?, ketika generasi hanya mampu mengandalkan kepiawaian berbicara, kepiawaian berbahasa, kecerdesaan. Maka generasi itu akan hanya bisa mengenalkan apa yang ada di Indonesia akan tetapi tidak ingin mengamalkan apa yang ada dalam Indonesia, jika karakter generasi bangsa enggan atas budaya yang ada di Indonesia, apa yang menjadi kebanggaan bagi kita. Apalagi tidak ingin mengklaborasikan sebuah nilai karakter edukasi pada masa lalu, sebuah nilai edukasi pada masa lalu untuk dijadikan sebuah pondasi hidup untuk menjadi generasi abdi pada negara (Nasionalisme). Kh. Hasyim Ashari tokoh NU serta pahlawan Republik Indonesia pernah berfatwa bahwa “Nasionalisme adalah salah satu bagian dari iman kita” (Hibbulwaton Minal Iman).
            Jika tidak bisa seperti apa yang dilakukan oleh para pahlawan negara yang dulu, setidaknya generasi akan berkembang dengan apa sekarang terjadi, untuk bisa mengimbangi apa yang harus dijalani dengan mengimbangi selayaknya hidup di Indonesia. Sehingga menjadi manusia yang konservatif, sehingga jiwanya terbentuk, tanpa mudah menkafirkan.

Tulisan dimuat oleh 
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang
22, April 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar