Sabtu, 24 November 2018

Menanyakan sebuah Toleransi di Kampus NU

Pada Hari Jumat pukul 14:00 Wib, Kampus Universitas Islam Malang (UNISMA) mengadakan sebuah sosialisasi mengenai empat pilar MPR RI di Gedung Abd. Rohman Wahid Pascasarjana. Saya sudah mendaftarkan diri karena gratis. Namun sebelum itu saya juga pergi ke Perpustakaan Pascasarjana bertemu dengan adek tingkat yang ingin membangun Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) di fakultasnya, diskusi berlangsung selama satu jam sambil seminar dimualai saya membicarakan cara bagaimana membentuk LPM. Sekilas saya memberikan konsep tentang membuat sebuah oraganisasi dalam kampus. Konsep yang ditawarkan ada dua cara, dalam membangun sebuah oraganasasi pertama yang harus ditata adalah niat: sebab dengan niat yang baik akan menghasilkan sebuah finis yang baik insyaallah.

Diskusi terus berlanjut dua konsep itu saya tuliskaan bahwa dalam membangun dalam sebuah lembaga itu harus memiliki strategi, bukan hanya mempersiapkan adanya PSDM yang militan, walaupun ada PSDM namun tidak bisa bergerak maka akan sulit dalam mengembangkan dalam sebuah perjalanan sebuah organisasi tersebut. Maka perlu pengguatan dari internal, jangan sampai hanya semangat di depan, jika ingin memualai dirinya harus kuatkan serta tekadkan lalu berangkatlah sebagai tujuan sebagai wadah belajar di dalamnya.

Konsep tersebut ada dua yaitu: Instan dan Proses 
Konsep dalam sebuah LMP dalam segi karya jurnalistik akan sama, namun strategi dalam melegalkan dalam organisasi yang pertama lakukan konsolidasi dengan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), "kamu harus memetakan strategi mendapatkan legalitas, serta memaparkan ke pihak BEM bahwa pemaparan konsep rancangan kerja yang kamu buat akan membuat ia akan percaya dengan sebuah proses dari pembentukan LPM, bahwa program yang diusulkan akan melakukan praktik jurnalistik dan mempersembahkan karya jurnalistik dalam bentuk Majalah, Buletin, Koran tempel dan Wabsite, ketika menyampaikan hal tersebut lambat laun SDM itu bentuk dengan memberikan pengetaguan mengenai jurnalistik sehigga semangat itu akan didasari dengan komitmen kita dalam melakukan sebuah praktik jurnalistik untuk menghasilkan karya jurnalistik sesuai dengan koridor poksi LPM". Hal tersebut tidak lepas dari sebuah kebijakan BEM alangkah baiknya menjadi BSO Bandan Semi Otonom di BEM-F langkah pertama sebagai pilihan yang instan dalam menentukan serta membangun. Langkah kedua yaitu kita menawarkan sebuah produk karya jurnalistik samahalnya dengan langkah pertama, yang membedakan nanti disebuah proses legalitas untuk memperlihatkan sebuah eksistensi sebagai pers kampus dengan melakukan praktik-praktik jurnalistik tanpa dibawah naungan BEM. Berdikari dengan menonjolkan prooduk dan akan dikenal tanpa memperkenalkan diri sebagai pers, namun hal itu menjadi hal yang paling berat butuh ekstra dalam melakukannya.

Setelah perbncangan sudah selesai saya langsung bergegas ke Seminar serta Sosialisasi MPR RI. Untuk menghadiri harus mendaftarkan dari jauh-jauh hari, maka perlu administrasi dulu ke panitia. Pada saat bersllangsung pula setelah masuk pada acara tersebut, saya duduk dipaling belakang dalam acara tersebut, namun buku yang didapatkan dikeluarkan sebagaimana bisa mencatat dan mengambil sedikita banyak dari apa yang disamapaikan oleh pemateri yang dari MPR RI. Pada sambungan dan pembukaan diacara tersebut, Prof. Dr. Maskuri, M.si,. membuka dengan nada yang bisa kita dengar, heroik penyampaiannya sebagai orator bahwa pengenalan  sebagai yang tepat yang paling aswaja bahkan dengan terang-terang menjelaskan bahwa UNISMA anti radikalisme dan ada di dalamnya mulai dari kariyawan serta setaf dan dosen akan dipantau terus dalam pengawasan mahasiswa yang menggukan.

Dalam hati saya tidak setuju karena kampus mederat akan selalu multikultural tidak memberikan ruang khusus dalam dunia belajar-mengangajar, ketika ada hal tersebut akan lebih kecil dalam melakukan kebajikan di Unisma dalam belajar bukan malah disudutkan dengan dallih islam radikal. Yang paling menjaggal pula mengapa hanya orang yang nyata muslim bercadar diberikan sebuah aturan sedangan yang lebih fulgar non-muslim ada mengapa tidak diterapkan aturan tersebut, ada ketimpangan dalam sistem kampus kita.

Jika memang ingin menanggulangi hal tersebut alangkah baiknya ada bimbingan khusus pada mereka yang senantiasa memakai cadar, serta menanyakan latar belakag dan tujuan dalam menggukan cadar, sebagai tradisi bukan kewajiban bagi kaum muslim menggukannya. Untuk menjaga rasa kemananusian bimbingan khusus bagi yang mengenakan cadar tersebut, bukan malah memperlakukan dengan dalih memberantas tentakan hak orang lain, terjadi memarjinalkan seorang.

Kebiakan tersebut mengacu kapada sebuah toleran, namun dalam praktik tidak toleran mengapa demikian lebih kwatir (ketakutan) daripada berani tapi mempelajari dari mereka yang bisa masuk ke dalam melalui mahasiswa yang dengan seperti itu mahasiswa yang dibimbing akan menjadi mahasiswa yang diitemewakan namun juga harus dipantau setiap gerak, maka dari itulah kita perlu mawas diri dari lingkungan ikita sendiri bukan melegalkan mengharamkan orang yang belajar nantinya. SK diturunkan dengan dalih menjaga tradisi NU. mari bersama beristifar dan merenungkan dengan baik ketika melakukan sebuah batasan yang berkaitan dengan agama.
"Saya menangis  dalam hati dengan sebuah keputusan, bukan mendukung tapi lebih mencegah dengan adanya hal tersebut ancaman maka kampus lebih memperhatikan dengan cara memberikan sebuah bimbingan"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar