Senin, 21 September 2020

Burung Jalak Berdarah Biru

Aku yang ingin sekali memiliki dada seperti manusia, memiliki kepala seperti manusia, memiliki mata biru seperti manusia, memiliki hati seperti manusia yang bisa dihormati dan bisa dipahami apa yang bisa dimengerti. Bukan yang bermata merah dan berdarah merah ditakuti.

Di dalam Masjid begitu ramai. Aku pernah berfikir ada apa ramai-ramai di sana. Lalu ingin aku bertanya tapi kepada siapa? sadar tidak ada yang memahami keinginan dan bahasaku kecuali Nabi Sulaiman dan Angling Darma di Indonesia. Kalau seperti ini ingat dengan sejarah masa nenek moyangku. Mungkin Tuhan menciptakanku bukan untuk manusia jika untuk manusia pasti manusia harus memahami bahas aku.

Pada saat adzan berkumandang dan aku berbunyi. Manusia mendatangi sangkarku dipukul-pukul maksudnya tidak tahu, namun saking kagetnya aku harus berhenti.  Tidak tahu apa maksud manusia. Waktu yang panas matahari di musim kemarau. Aku hanya bertengger di sebelah teras Masjid. Apa yang harus aku lakukan. Mengapa setiap aku berbunyi di Gereja, Masjid, dan di Vihara mereka memberhentikan ku untuk berbunyi. Bahkan manusia tidak segan untuk melemparkan batu ke aku.

“Sebenarnya aku juga ingin seperti mereka melakukan doa dan meminta kepada Tuhan”

Aku sebagai makhluk bebas diciptakan, sebelum banyak aku hidup dalam sangkar. Banyak peristiwa menjadi cerita. Dan ingat dengan perjalananku. Tepatnya di Indonesia menjelajahi beberapa tempat. Banyak peristiwa yang dapat direkam dalam otakku. Dan bisa ku jadikan cerita pada nenek moyangku. Mending menjadi qudrat burung yang lepas bebas dan menelusuri kehidupan sesuai napas yang tidak pernah terbatas, kecuali tiba saatnya.

Aku pernah berjalan-jalan ke beberapa wilayah Ke Makassar, Bali, dan Papua. Tidak pernah menemukan perbedaan karena Ini masih dalam wilayah Indonesia letak geografis yang tidak jauh berbeda. Pada saat terbang menelusuri setiap hutan terbang sesuai dengan inginku. Tuhan memberi sayap karena berharap kehidupanku bebas. Tapi nasib di bumi tidak dapat diprediksi. Di bumi Tuhan memberikan kebebasan kepada manusia: berbunyi Tuhan tidak akan mengubah nasibnya suatu kaum kalau tidak kaum itu mengubah sendiri. Wajar kala manusia melakukan sewenang-wenang kepada kaum hewan, termasuk diriku.

Hal paling sadar ketika berbicara tentang kebebasan. Aku senang ketika harus lapar bisa mencari sendiri. Pada saat mencari makan di hutan sering aku tertangkap oleh manusia. tidak mengerti dengan maksudnya manusia itu, tidak pernah tahu mengapa harus menangkapku. Apa salahku. Setelah tidak segan-segan memasukkan ke dalam sangkar. Pertama ku ditangkap di Makassar di daerah hutan yang ada pohon kehidupan setelah kematian. Namanya Pohon Puya. Keunikan daerah itu kematian bayi diposisikan kedudukannya. Di atas dan di bawah seperti halnya hakim kehidupan itu terletak pada manusia.

***

Ketika aku berhasil lepas, kesenangan tidak bisa diukur. Cukup dengan keadaan yang bebas hanya dengan kebebasan itu paling membuatku bahagia. Lepas dari sangkar orang Makassar. Dengan qudrat bebas, melanjutkan perjalananku. Tibalah di mana pulau paling di rindu banyak orang ingin mengunjunginya. Nama pulau itu, Bali.

Pernah juga aku ditangkap di daerah Bali. Pada saat aku menelusuri Kota Bali dan bertengger daerah Pantai Kuta, begitu panas tempat ini.

Dalam perjalanan yang telah lepas. Ketika berhasil lepas dari orang Makassar. Tubuhku sangat lemas. Memanfaatkan kesempatan. Aku bisa lepas gara-gara akan dimandikan pada saat pagi, setelah itu biasanya dijemur, sebagaimana bisa sehat seperti manusia, ya, seperti para manusia di Pulau Bali yang berjemur.

Apa, mungkin karena aku merasa orang-orang di pantai itu sudah tidak merasakan panas, pakaian yang membuatku tidak kuat menahan. Andai saja aku jadi manusia, dan aku sendiri masih belum tahu dengan jenis kelaminku. Mereka sangat putih mulus kulitnya ingin sekali aku dekati agarku lebih tahu pori-pori orang berjemur itu. Dan perasaanku ketika melihat orang Itu semakin dekat kult, dan putihnya itu berbeda dengan orang-orang Bugis di Makasar. Molek iya, tapi beda. Mungkin bukan orang Indonesia.  

**

Berapa jam kemudian Jalak mampu mendekat. Lalu mencoba lebih dekat ingin sekali tahu siapa orang itu yang begitu pamer atas tubuhnya. Padahal ini panas dan baru tahu orang-orang ini ingin berjemur. Karena apa ia berjemur. Ia menyimpan pertanyaan besar. Setelah berhasil mendekat ke arah itu baru tahu kalau pori-pori orang itu lebih besar lobangnya daripada orang Indonesia dan terbukti itu bukan Indonesia. Pantasan saja. Kulit putihnya tidak seindah kulit orang bugis, Makassar, dan orang Bali yang tadi ditemukan di Gilimanuk sebelum tiba di sini.

Keasikan menonton orang-orang bertubuh seksi yang transparan, sambil memakan sisa-sisa kacang yang dimakan oleh orang-orang berkulit putih.  Jalak, tidak sadar ada orang orang berkulit putih berdarah Bali blasteran dengan Belanda, karena sudah lama di Bali kini sudah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).  Melihat Jalak yang elok dilihat berbeda dengan Jalak bali. Lalu ditangkap lah Jalak tersebut. Brakk... Coekkk, Coeekk, Coeeekk. Berbunyi keras tanpa tidak tahu apa yang dimaksud manusia. Padahal kaget dan ingin lepas maksudnya.

*

“Tolong, tolong, tolong. Lepaskan aku”. Dalam mengeraskan ocehannya.

 Manusia hanya ingin menangkapku tidak mengerti keinginanku. Manusia hanya tahu aku Ini hidup untuk manusia padahal aku tidak untuk mereka seandai untuk mereka mengapa ia tidak tahu keluh kesahku. Andai Tuhan bisa diajak dialog aku protes padanya mengapa manusia dicipta bukannya hanya merusak tatanan alam.

Aku pasrah sekarang, akan dibawa ke mana aku Ini. Ombak di dasar laut Kota sepertinya hanya sekali bisa kurasakan indahnya dan melihat pemandangan indah. Gelap sudah akan dibawa kemana aku ini. Walau mataku tidak disumpal, tapi gelap kini dirasa, merasakan kelembutan dan menyangka ini kain yang lembut. Membuatku tidak bisa melihat bumi. Tempat yang sangat sempit untuk menggerakan sayapnya tidak bisa 'Greekk'… jejak kaki manusia yang membawaku masih terdengar. Dan bunyi “Greekk’ itu terdengar curiga kalau itu sangkar buatku. Sama Halnya di Makassar. Hidup burung akan tambah kurus, karena tidak harus lepas dan tidak bebas, apa Tuhan mentitahkanku seperti ini. Hidup dari sangkar ke sangkar. Manusia itu berkata sendiri.

"Kau di sini aja"

Aku dengar kata itu Aku tidak tahu dengan arti itu. Hanya anggap itu bunyi manusia.

‘Greek’,,, “masuk ayo, tenang ya”, manusia bergumam.

 Tangan menerkam masuk dalam gelap. Aku mulai melihat dunia lagi. Sangkar yang tidak akan asing tidak akan pernah membuat bahagia, walau ini tempat istimewa berbeda dengan yang lain, lebih luas tempatnya. Aku berbunyi dengan bertujuan mencari teman apa yang bisa aku rasa di sini.

Weeekkk, koweekkk, bunyi itu terdengar keras. Dan aku yang ada dari sebelah timur. Bersyukur ada teman bicara di sini.

 

"Kamu bisa bicara denganku?" dengan bahasa aku sendiri

"Bisalah, aku di sebelah kananmu". Saut Bio jambul kuning.

" Enak kamu tidak disangkar"

"Kalau aku di Sangkar pasti aku habisi sangkar itu, ini mulutku yang kuat memang Tuhan ciptakan untuk tidak di Sangkar"

"Nasibku ya gini". Dengan bunyi yang sedih berkata padanya.

" Jangan bersedihlah, jalanmu. Aku sudah nyaris tidak memiliki teman dan keluarga sudah tidak ada, nyaris punah bangsaku. Walaupun ada tapi adanya di Brazil, pernah sebelum keluargaku meninggal berkata kalau  di sini telah tidak ada. Di sana masih ada"

"Iya, aku dengar juga seperti itu, kau di asalnya, Masalembu ya? Wilayah yang dikenal dengan segitiga bermuda".

" Bukan, aku di Masa Kambingnya. Iya benar, wilayah segitiga bermuda itu tempat paling angker lautan  itu. Kalau ingat dengan itu, bersyukur jadi burung karena tidak ada kaitannya dengan hal seperti itu".

 

Aku sekarang tidak pernah, kesepian, sekian lama banyak bertemu dengan orang-orang tapi tidak bisa bicara denganku. Manusia tahunya hanya mengagumi tanpa sadar membuatku luka. manusia hanya menjadikan aku riasan dan tanpa memikirkan kebebasanku. Kalau memang ada hubungan manusia denganku seharusnya tidak menyiksa

Dan sekarang tidak sebahagia hari ini. Tempat ini. Ada teman yang bercerita, bagaimana luka-luka ini masih saja belum terobati, tapi hanya dengan cerita luka lebih tidak terasa. Bercerita pada orang lain tujuan untuk tidak mudah melupakan.

Karena sudah banyak manuskrip yang telah dibakar oleh rezim orde baru, 29 judul tulisan dibakar. Kini aku ingin sekali menuliskan cerita panjang yang ingin sekali ketika nanti telah merdeka keluar dari penjara dijadikanlah 4 judul buku. Dalam setiap bukunya akan kujadikan cerita perjalanan. Di pulau Buru separuh dari hidup ada di penjara.

“Aku hanya ingin bersuara ketika semua cerita ini bisa dibaca serta semua orang tahu bagaimana burung Jalak yang bukan Jalak Bali, bisa jadi bagian dari keabadian negeri”.

Dan aku Bisa menyampaikan pada mulanya perjalananku di Nusantara. Dan aku akan mempresentasikan salah satu tokoh dalam cerita, tokoh pejuang kemerdekaan yang tidak hanya mementingkan Agama serta membenahi agama tapi membenahi kehidupan manusia untuk merdeka. Karena ada salah satu pejuang sebelum kemerdekaan Negara Indonesia mati-matian memperjuangkan tapi tahapan itu belum bisa dibentuk secara sempurna karena masih jauh dari kesadaran rakyat tentang dirinya. Bahwa kita hidup di Negara sendiri harus berdikari.

Dan perjuangan mengubah nama Kuning menjadi Merah Putih. Aku hanya ingin rakyatku tahu bahwa dengan membaca serta tahu tentang sejarah akan lebih paham menjalani arah hidup.

**

Ketika sudah 2 tahun di dalam sangkar. Bersama orang bali, Jalak hanya merekam bagaimana ia melihat majikannya. Beberapa lama hidup bersama nya. Tidak pernah menegur Jalak berbunyi kala waktu malam. Karena dengan keramaian bunyi Jalak bisa menyembunyikan sesuatu.

Dan ketika sadar, bahwa setiap malam Rabu dan Kamis melihat kelakuan majikan laki-laki yang bejat. Sering  melihat kemesraan dengan perempuan saban bulan berbeda beda masuk ke kamarnya. Setiap malam Rabu dan Kamis tepatnya. Karena majikan perempuanku saban hari bekerja. Menafkahi lelaki bejat. Kebingungan ini menyaksikanku mengapa yang menafkahi kok perempuan dalam berumah tangga. Aneh memang hidup manusia itu.

Aku ingin lepas tapi kapan ada kesempatan. Pertama aku membuka diri dengan cara mengatur strategi. Dan berdoa bagaimana Tuhan memberikan kesempatan kepadaku. Dalam sangkar berbunyi dengan begitu ramai, ramai untuk bisa disamperin. Mengira kalau aku harus makan. Hanya dengan berbunyi tengah malam pukul 01;30 Wib. Dan itu bukan hari tepat ketika laki-laki tidak membawa perempuan ke kamarnya.

***

Ia yang tidak pernah merasa kalau bunyi pada saat malam Jalak memiliki tanda tidak baik bagi metos Jawa. Bunyi Jalak, itu memberikan tanda kalau akan ada kematian, dan terkadang ada pencurian tanda itu menjadi symbol kalau akan ada musibah.

Pemilik Jalak itu memandangi dan curiga. Bunyi malam-malam seperti mengganggu tidurnya. Padahal lagi berdua dengan Istrinya di kamarnya. Di kamar sebelah Jalak itu berbunyi lalu ia nyamperin Jalak itu. Kebanggaan Jalak, mempersiapkan dirinya

“Kenapa burung ini, malam-malam bunyi,” bergumam laki-laki itu.

“Urus sana burung Jalak yah.. malam-malam ramai aja”. Dengan mata yang sedikit terbuka dan tertutup lagi.

Tanpa tidak sadar kalau ada manusia dengan kesadaran paling tinggi. Kepekaan seperti bunga yang telah layu setelah tanpa air selama tiga hari. Bunga yang tidak pernah disiram tapi tetap ada baunya, harumnya, dan keindahannya. Lalu mekar bunga itu dan membaca malam itu.

Dibukalah sangkar Jalak itu. Lalu bersiaplah Jalak itu untuk keluar. Burung Jalak yang sudah beberapa waktu merencanakan untuk keluar. Karena masih banyak orang-orang itu sadar. Dan pada saat lengah mencoba untuk keluar dari sangkar itu. Setelah dibuka pintu keluarnya lalu memasang pakannya. Keluarlah Jalak dengan memanfaatkan celah manusia itu.

Jalak hanya merasa bahwa hewan hanya bisa memanfaatkan kelemahan manusia tanpa seperti itu kekuasaan akan tetap berpihak pada manusia.

*

Byurrr… keluralah Jalak itu. Kini aku sudah bebas dari manusia. Yang aku benci dari manusia katanya sempurna tapi mengapa masih lupa dengan tanggung jawab, bahkan yang fatal ketika sering lupa memberi makan, minum, dan bahkan lupa menjemurku berjam-jam hingga tidak memikirkan panasnya matahari yang mencapai 15 juta Celcius. Rasa hanya ada pada diri manusia yang panas tanpa disadari oleh keadaan manusia. Hingga teringat dengan temanku mati gara-gara kepanasan. Maka kekerasan manusia itu tanpa disadari membuka luka yang tanpa dirasa., tapi lama dilupa.

Jalak yang sering berbunyi kini telah menjadi sunyi. Bio Jambul Kuning merasakan kesepian kenapa begitu cepat ditinggalkan oleh Jalak.sudah 5 tahun menjadi penghuni menemani tempat ini. Menyaksikan ketidak kesetiaan bos laki-laki, disebabkan karena diberikan kesempatan kepadanya, tradisi itu tidak pernah memberikan kebaikan,. Walaupun  sadar sebagai Bio tidak bisa apa-apa datanglah tiba-tiba mengucapkan selam. Kini teman bicara sudah tidak ada, bagitu cepat baginya.

 

 


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar