Minggu, 03 April 2022

LELAKI YANG MENGUJI ARGUMENTASI DI HADAPAN PEREMPUAN


“Terkadang memang ada pembicaraan yang ‘ngotot’ tanpa dasar dalam sebuah diskusi, apalagi tentang bicara perempuan. Dan pada akhirnya saya kok pesimis…”


Terkadang kita tidak pernah percaya dengan apa yang telah menjadi pencerahan atas diri sendiri.  Kadang pula tidak pernah menerima secara reduksi akan hal pandangan yang telah mengakar serta jelas dalam konteks, bukan hanya teks. Hal ini seperti ada “kengototan”—yang tanpa dasar… lugas serta jelas tentang sebuah fenomena berkaitan dengan banyak orang. Tentu kita perlu menyadari apa yang ingin kita cari dari apa yang telah terjadi di tahun-tahun lalu. Apalagi keterbatasan atas membicarakan topik besar—yang begitu dekat dengan kita: perempuan.

Saya yang masih belum fasih memahami tentang apa “pemahaman” dan “pengetahuan” untuk membicarakan tentang apa yang terjadi di masyarakat. Apalagi tentang perempuan dan sejarah perkembangan perspektif berlaku di masyarakat kita. Tentu tidak akan pernah lepas dengan adanya konteks zaman. Apa benar perspektif perempuan yang setara dalam konteks umum dan khusus ini masih baru di negeri ini?.

Hal di atas tentu membuat kita berpikir bagaimana “pemahaman dibentuk oleh ‘pengalaman’ yang memang ada di sekitar kita bahkan bisa saja membuat kita tahu akan hal yang belum diketahui’…” sedangkan “pengetahuan dibentuk oleh hasil ‘pengalaman bacaan, pada pandapat-pendapat’ orang lain yang diterima dalam pikiran…”pembahasan tersebut akan menjadi lontaran kepada pembaca.

Seorang mahasiswa bertanya “gerakan yang ideal di Indonesia ini seperti apa untuk perempuan?” ujarnya dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar berkata.

Jawaban Adi (bukan  nama aslinya) “bagi saya sebagai perempuan tidak bisa memberikan pandangan ideal, yang dapat diambil contoh adalah Kartini dengan baca karya-karyanya, jangan idola ke-sosok tokohnya saja, tapi juga perlu mencerna pemikirannya… yang masih relevan, menurut ku.” Ucap dengan singkat, dan tidak menjawab  kembali.

Seperti itulah yang paling bisa disampaikan oleh Adi. Seorang yang sangat konsentrasi dengan kajian perempuan, walaupun jurusan dia hukum. Sekarang ia melanjutkan studi lanjut di salah satu kampus di Jateng. Kepedulian atas hak-hak perempuan saat di forum-forum selalu terlontarkan olehnya,  tentu dengan perspetif hukum. Perlu diketahui membicarakan hukum perlu memposisikan sebagai negarawan, bukan perspektif: agama, sosial, dan budaya.

Dia selalu memposisikan diri sebagai seorang yang membicarakan  sesuai dengan data, bukan sekedar bicara. Bicara dengan refrensi saat dilontarkan “Membicarakan Feminisme” karya Nadya Karima Melati. Dia pijakan yang selalu muncul dalam pembahasan itu dengan dasar-dasar yang begitu kental dalam dunia hukum.

Namun ketika laki-laki melakukan argumentasi di hadapan perempuan, siap-siaplah untuk bisa menerima segala resiko. Baik dan buruk mungkin perlu diterima di dalam pandangan mereka yang logis dan sesuai dengan realitas. Begitulah mungkin bisa dilakukan oleh para pembicara dan pembaca.   

Jangan sekali-kali membahas perempuan di sebuah kelompok yang di dalam forum tersebut tidak ada perempuan, jika suatu saat diketahui pasti akan disalahkan bagi yang tahu mengenai pembahasannya. Tentang apa yang akan dibicarakan harus diperjelas agar tak ada kesangsian dan kengototan tanpa ada dasar serta sadar, bahwa pembicaraan itu tidak pantas tanpa ada perempuan di dalam—yang tak dilibatkan.

Di Malang saat berproses menjadi mahasiswa,  kegiatan aktivisme yang memang membuat senang yang tidak mengganggu kuliah dan kerja. Kesibukan yang aktivisme tak begitu mengerikan seperti teman-teman lain yang sangat aktif. Saya hanya mengikuti beberapa kegiatan yang berbau bisa belajar tentang sedikit hal. Belajar sedikit hal yaitu fokus dengan kajian satu fokus contohnya belajar mengkaji hal paling dekat dengan kita yaitu kajian sejarah, literasi, pendidikan, dan sastra. Selain itu juga ada kajian mengenai sejarah perempuan dikiuti. Sebab Cak Hari yang menjadi penggagas.

Kajian tentang perempuan tersebut di konsep dengan cara bacaan ketat. Membaca buku seperti tadarus ngaji yang bergantian pertiga paragraf. Setelah membaca menginterpretasikan setiap kalimat sari apa yang telah dibaca. Sebagai pembaca tentu tidak hanya bicara tentang tekstual saja, tapi sering kita melebar untuk membahas secara kontekstual. Dan sepertinya dari buku yang berjudul "Sejarah Perempuan Indonesia" (2008) ditulis oleh Suzanna Coralie Luci-Para de Stuers. Sudah kurang lebih dua bulan mengkaji masih masuk ban dua. Secara konteks zaman buku tersebut mencoba merincikan dari setiap pergolakan perempuan dari urusan global hingga ke individual--buku tersebutlah berusaha membuka perspektif luas.

Secara fokus pembahasan awal-awal merujuk ke arah yang awal mula Nusantara ini akan dipengaruhi oleh apa... serta apa yang terjadi di masyarakat mempengaruhi sistem serta konstruksi sosial. Ternyata apa yang terjadi hari ini secara jiwa zaman punya pengaruh terhadap kejadian serta sejarah masa lalu. Bagaimana relevansi masa silam hingga sekarang masih terus dirasa kita. Namun hal tersebut tidak lepas dengan letak geografis yang menjadikan kita tahu bahwa itu semua salah satu merupakan representasi.

Sebuah wilayah yang memang ditandai dengan adanya sebuah budaya dan agama. Kedua tersebut akan menjadikan masyarakat sebagai makhluk sosial mempengaruhi. Jadi bagaimana masyarakat dapat memahami sebuah kehidupan sebenarnya sesuai dengan dasarnya. Sehingga tidak ada sebenarnya “kengototan-kengototan yang kaku”—yang membuat kita bisa lebih paham akan langkah ke mana dapat dilakukan oleh kita. Pilihan dari pemahaman yaitu “love is wisdom.”  

Jika saya pribadi ngotot dengan apa yang ada dalam agama. Karena masih sadar kalau agama memang menjadi kekuatan mengikat, lantaran sejak kecil telah taklik akan hal tersebut. Arti Agama secara etimologi; kata Agama berasal dari bahasa sansekerta agama yang berarti “tradisi”. Istilah lain yang memiliki makna identik dengan agama adalah religi yang berasal dari bahasa latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”.

Dalam artian  lain yang sebagai dasar jika, arti agama dalam bahasa Sansekerta adalah a= Tidak, gama: Kacau. Jadi agama adalah tidak kacau. Orang beragama adalah orang yang tidak kacau. Kalau ada orang yang kacau artinya orang itu tidak beragama. Sehingga apapun yang ideal ada dalam dada,  bukan ada pada logika. “Agama bukan Jurnalisme yang dapat diartikan sebagai penerima berita dan menghasilkan berita, tapi juga sebagai tafsir.” Ujarnya Muhammad Al-Fayyadl’s, kurang lebih lebih begitu untuk dapat memberikan pandangan terhadap Revisionisme Islam (diselenggarakan oleh Lingkar Studi Nahdliyyin, 22, Maret 2022).

Dasar yang mengakar terkadang membuat kita lebih bijak menentukan ideal sesuai dengan porsionalitas argumentasi. Seseorang dapat membenarkan sesuatu sesuai dengan referensi, tidak ada kesalahan yang tragis selama argumentasi bijaksana, walaupun tidak logis. Sebab setiap kebenaran di bawah matahari masih tidak absolut. Mungkin berbicaralah sesuai dengan apa yang kita miliki, tanpa membedakan antara baik dan buruk siapa yang bicara dan ideologi apa. Namun kebenaran terletak dalam hati. Jika kebenaran di hadapan tidak dapat dibuktikan secara logis, buktikanlah dengan hati secara bijak. Mungkin.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar