Jumat, 01 April 2022

PENGALAMAN DAN PERKENALAN

(sebuah cara-cara lain yang pernah dilakukan oleh Hunter S. Thompson, pelopor Jurnalisme Gonzo)


Terkadang kita tidak dapat membedakan antara berita dan sastra. Kalau berita dapat informasi sesuai dengan apa yang dicari oleh pencari berita (wartawan). Kalau karya sastra ‘puisi’ didapat dari cara kontemplasi atau rasa yang sering masuk ke diri (sastrawan), di dalamnya. Terkadang pengalaman hidup bisa dijadikan puisi, kadang pun juga bisa dijadikan berita. Lalu apa yang membedakan keduanya: pengalaman dan perkenalan. 

Umi Latifah (bukan nama asli, tapi ia mahasiswa), ia menyodorkan hasil tulisan-tulisannya—yang beberapa hari, bahkan setiap pagi ‘ia menulis’… “katanya” ya, itu mungkin latihan menulis,  atau sedang mengalami gundah dalam  hatinya. Salah satu cari cara paling  baik yang disadari kini menulis. Dengan bahasa Jawa yang baik dan benar serta menggunakan intonasi tinggi, ia berkata lalu menyodorkan.

“Mas, ini tulisanku, coba baca karya ini, bagus kah.” Ujarnya saat ngobrol di warung kopi bersamanya. Seperti biasa  tidak dapat menolak apa  yang memang diminta untuk dibaca. Saat itulah perkenalan  dengan puisi, puisi yang selalu ditulis olehnya, setiap pertemuan selalu membawa dan menyuruhnya membaca tanpa berpikir baik atau buruk  diberikannya. Dalam proses, yang paling baik meminta komentar.

Dulu saya punya pengalaman membaca serta menulis. Pada awalnya hanya ingin menulis, tanpa berpikir baik buruk, menulis saja. Saat itu masih ada pengalaman memutuskan untuk cuti kuliah pada saat semester empat. Saat memutuskan cuti kuliah, ada hal yang memang diharapkan oleh perjalanan itu. Dalam hati berkata, “walaupun saya memutuskan cuti dengan sangat berat, ingin sekali tidak berhenti belajar ingin tetap menghasilkan karya, saat balik ke Malang…” singkatnya perjalanan itu memang membuat untuk melakukan proses latihan menulis, saat bekerja di pabrik.

Di tas selempang hitam yang saya miliki menjadi saksi dalam perjalananku belajar membaca dan menulis. Tas tersebut selalu dibawa ke pabrik. Isinya ada buku bacaan dan alat tulis untuk mencatat. Tidak disangka-sangka juga saat masuk ke dalam pabrik satpam selalu memantau tasku yang memang ukurannya berbeda dengan para pekerja yang lain atau buruh. Saat pagi memulai kerja. Karena saya diberikan nasib baik dalam bidang pekerjaanku. Kebetulan ditempatkan di posisi menghitung barang-barang keluar masuk untuk pengiriman, dan menghitung hasil para buruh perempuan mempacking—yang kerja masuk malam—bahkan lembur. Di pagi hari hasil itu dihitung, saya sebagai penanggungjawab.

Saat mencatat di buku catatan untuk pekerjaan, ada juga ide yang tertuang saat memandang banyak hal di dalam pabrik. Jadi proses menulis puisi yang saban kali menulis, saya melakukan penulisan yang penting bisa dibaca. Proses tanpa pengalaman paling baik. terpenting tangan saat itu mampu menangkap banyak kejadian, dijadikan tulisan. Walaupun tulisan tersebut ada yang jadi puisi bahkan tidak jadi, hanya menjadi tulisan ceramah dan bahkan hanya menjadi motivasi diri, isinya.

Menulis puisi memang tidak dapat dijadikan pilihan untuk bisa membuat kaya. Mengingat setelah membaca tulisan Wahyu Prastya dalam buku berjudul “Wahyu Menulis Puisi” penerbit Pelangi Sastra (2019). Bahwa bagaimana melakukan pekerjaan menulis puisi?, ia menjawab ya menulis saja, siapa tahu nanti akan menjadi puisi… pungkasnya dalam pengantar bukunya.

Begitupun dengan temanku yang bernama Umi Latifa (dengan bukan nama aslinya). Ia menulis dan bahkan sering menyodorkan hasil tulisannya yang sangat ambisius. Tidak pernah salah dalam proses menulis atau apapun, ambisi diperlukan untuk menjadikan kita lebih memiliki tujuan dalam pencapain dalam hidup. Dia pernah berkata dengan perkataan sebenarnya yaitu, “mas saya ini dengan sadar ingin menerbitkan banyak buku ke depannya… sudah aku siapkan dua draf tulisan dengan judul (ju***ng) dan (nama-nama makanan Indonesia), yang akan menjadi puisi…”

Dengan senyum yang sumringah, menawarkan pandangan positif. Dengan kata lain saya tersenyum dengan memuji dengan hal sederhana “terus menulis, akan siap untuk membaca, ya minimal saya akan menampung banyak derita dan tawa dari isi puisi… hehe” jawabnya dengan bahasa Indonesia yang baik dan intonasi rendah, menjawabnya. Dan sepertinya memang memberikan dampak positif. Karena setiap pertemuan ia menyodorkan puisi untuk segera diterbitkan. Tapi akan diterbitkan setelah tugas akhirnya selesai (ini pernyataan yang tidak sebenarnya, karena di bumi ini tidak ada tugas akhir kalau masih memiliki keinginan, manusia punya hasrat mencapai hal-hal lainnya, lagi…). Tapi sebagai seorang yang sama-sama belajar menulis, harus terus bisa saling berbagi.

Pada saat hari jumat kalau tidak salah dan lupa, saya bersamanya. Tapi ada yang ikut serta saat itu. Kita saling mengerjakan artikel. Artikel tentang unsur estetika dalam iklan, yang menggunakan teori pendekatannya aliran Praha, tokoh salah satunya Roman Jakobson. Walaupun terlalu strukturalis kajiannya. Akan tetapi tetap merasa sulit kalau menganggap itu mudah dan tidak membacanya. Kondisi membuat artikel kurang lebih kita bersama dengan orang yang ikutan tersebut enam jam bersama hingga larut malam. Namun konsep usaha tidak mengelabui hasil, ternyata benar, hasilnya selesai walaupun sama-sama tidak tahu benar atau salah, hanya dikerjakan sesuai pedomannya.

Artikel selesai. Namun kepulangan kita tidak dapat direalisasikan secara cepat karena masih ada yang menghalangi, yaitu hujan. Tidak bisa dipungkiri—hujan yang sangat awet, membuat kita harus banyak hal untuk dibicarakan. Saat ide sudah tidak dapat diobrolkan lagi, bahkan merasa sudah cukup di pertemuan ini. Pembicaraan beralih menjadi pembicaraan para idola dan tokoh di dalam buku (yang kadang lupa buku apa dan tokoh apa yang diobrolkan), tapi tetap saja diobrolkan asalkan ada orang ganteng lewat dan barista teman saya yang memang golocking… banyak naksir, dia pamit pulang, walaupun hujan. Tapi obrolan kita tetap berjalan.

Obrolan mula-mula dibuka  dengan hal-hal gelap dalam hidup; tentang pasangan yang gagal bersama disebabkan orang ketiga, keluarga yang memang sangat menyedihkan karena belum bisa dibahagiakan, dan juga pertemanan yang sangat sibuk dengan diri-sendiri, dan seorang dosen susah ditemui, bisa ditemui tapi konsep serta hasilnya tidak sesuai menyedihkan, dan hidup seperti merasakan kesedihan tidak ada lagi. Ya… walaupun dari sisi banyak ditawarkan cara lain untuk mengingat bahwa kesedihan tidak hanya hanya dirasakan oleh kita, dan masih banyak yang lebih tidak beruntung dari kita… mahasiswa.

Mula-mula pertanyaan dimulai dengan “karya ini dan punya Liya (nama asli dengan karakter tidak sebenarnya) lebih bagus mana, mas?” dengan cepat menjawabnya, “bagus karya itu relatif, jawabannya ini saya jawab secara subjektif sebagai pembaca ya…” dengan senyum menjawab dan melontarkan jawaban singkat. Berkata.

…“Karya bagus itu saya harus memohon maaf kepada penulis besar serta para kritikus paling masyhur di negeri ini dan di luar negeri ini. Sebab jawaban ini hanya menjadi jawaban secara pribadi untuk tetap menganggap kalau dua karya yang saya baca sekaligus sebagai editor: ada yang memiliki gaya  menulis naratif dan juga secara pola lama—yang terpenting dapat disampaikan tentang nilai (isi hatinya. Itu yang dapat saya sampaikan paling sederhana dan tidak bisa berlebihan dan pedas, karena yang pedas cukup cabai, saja hehe. Saat itu dengan senyum yang lain disampaikannya.

Mengingat dengan salah satu penyair Arab tepatnya di Damaskus (1965) pernah menulis esai berjudul “Petry Buses” untuk menjawab pertanyaan mengenai menulis puisi, pujangga tersebut bernama Nizar Qabbani. Dalam esainya mengatakan “Menulis, adalah seni keterlibatan,” kutipan esai tersebut diambil dari esai yang ditulis Dea  Anugrah (2016) dimuat oleh media Tirto.id.

Kutipan Nizar Qabbani, membuat kita berpikir sekaligus memberikan jawaban atas sodoran tulisan-tulisan yang diberikan oleh Umi Latifah (bukan nama asli). Ia memang gemar  menulis dan saat itu pula temannya sering mendiskusikan sebuah karya dengan  banyak  hal dapat dikerjakan. Tentu, selain tugas akhirnya yang akhir-akhir ini membuat pusing katanya.

Temannya dengan menyodorkan sebuah tulisan untuk sesekali dan kadang setiap pertemuan tidak dilakukan. Ya mungkin saja karena kesibukan yang lain hingga terlupakan luka-luka yang menimpa, hingga saat bahagia lupa menulis puisi dan membaca, kecuali membaca Wa.

Temannya menyodorkan cerita. Setelah lama tidak bisa pulang  menunggu hujan. ia bercerita banyak panjang lebar. Nama temannya Tabrani (nama asli, tapi bukan sebagai teman saja). Sebagai seorang yang hanya bisa mendengarkan, ternyata ia juga menulis puisi sebagai bentuk terapi. Ia menceritakan kisahnya pada tahun 2021 bulan Juni-Juli kalau tidak salah, tepatnya. Ia merasakan kekuatan dalam hidup. Saat mengingat semua sangat menyentuh akan membawa penceritaannya.

Ia bercerita tentang keluarganya. Khususnya ibunya yang sedang sakit dan bersamaan dengan putusnya cinta bersama dengan pasangannya yang telah menjalin hubungan  selama 5 tahun lebih. Sejak itu memang masa sulit keluarganya, ditambah memang pandemi covid 19 marak-maraknya.  Keluarga yang harus melakukan isolasi mandiri, karena semua keluarga positif covid. Ditambah ibunya sangat—yang tidak wajar (sakit lama di rumah sakit), bahkan syukur karena masih diberikan kelancaran dan sekarang masih bisa beraktivitas dengan baik. Kesempatan bagi Tabrani untuk membuat kedepannya membahagiakan orang tua perempuannya dengan gelar yang masih diperjuangkan, dan itu memang harapan satu-satunya, selain memang cinta yang (pasanganku yang dulu kurang beruntung denganku, menyia-nyiakan emas untuk mendapatkan batu kerikil hehe). Tersenyum  dengan sumringah dengan mata berkaca-kaca kalau luka tak dapat berbohong pada air mata, kecuali air mata haru yang dibuat oleh seorang yang dicinta, akan jadi bahagia.

Cerita itu memang menjadi pertemuan kita hari itu, yang memang tujuan awal untuk menyelesaikan artikel. Artikel selesai dan sambil menunggu hujan, kita tetap melakukan kisah-kisah atau menceritakan genjilan dalam hidup.  Namun penceritaan yang ganjil bukan untuk bisa melahirkan rasa benci pada masa lampau yang telah terjadi, bahkan untuk membanggaka sebuah kekacauan masa lalu. Cerita ini bentuk jalan untuk tetap bisa mengubah lebih baik untuk kedepannya.

“Kelemahanku kini yaitu ambisius, yang memang membuat aku harus bisa mencapai dengan cara apapun tanpa merugikan orang lain… apakah itu salah mas?”ujarnya dengan akhir pertemuan.

“Tidak salah kalau kita masih sadar akan hal tersebut… terpenting prioritaskan serta pandanglah keluarga  kita yang perlu dibahagiakan dengan cara-cara kita ini, yaitu apa yang telah dilakukan di dunia pendidikan, hingga sekarang. Sudah pulang dulu).

Dalam setiap pertemuan kadang bisa saja menimbulkan sebuah jalan baik dalam kehidupan kini dan masa akan datang. Seorang bisa berekspresi dengan cara dan sesuai dengan kemampuannya sendiri untuk memberikan fungsi dan manfaat. Namun yang utama bisa paham akan hal bahagia dicipta dengan cara sederhana namun  bisa menjadi luar bisa. Mungkin. 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar