Jumat, 20 Desember 2019

Cerita Pendek

Baju Hitam Tak Pernah Usai

Awalnya tidak sengaja memaksa untuk menatap mata yang tidak pernah asing dalam angan, yang bahkan terkadang membukakan rasa ingi. Ingin apa yang tak ingin bisa dijelaskan dalam bentuk tulisan, tentu dalam hal itu seperti baru dalam kalbu.

Seperti halnya aku mencoba dengan lari pagi niatnya berolahraga, lari-lari kecil di kamar mandi sebelum mengguyurkan air ke badan yang telah telanjang. Pikiran datang semua mengenai banyak hal yang terlitas atau yang tidak pernah terlintas. Trringat dengan proses kreativnya Budi Darma "ketika wahyu datang bersegera mengambil kertas lalu berbegas ke kamar mandir lalu nenulisnya". Itu hanya sekedar rasa yang tak ingin selali bedakan dengan halnya manusia normal.

Mungkin saja aku menganggap itu kejutan atau hal baru, bagi sewaktu berpikir secara rasional. Dengan pertama kali aku telah keluar dari kamar dengan niat ingin pergi ke Perpustkaan dengan menyesali waktu yang menjadi abu dengan kesia-siaan. Sebab sunrise tidak dapat dinikmati selayaknya kenikmatan menghirup udara pukul 3:00 Wib dinihari. Kala duduk melepaskan sepatu aku mencoba berpikir apa yang dapat aku lakukakan dengan keadaan seperti ini, pertanyaan itu seperti menjadi kegelisahanku tersendiri dari tawa seorang teman kamar kos sebelah begitu tanpa beban, dan kermaiaan di tetangga dengan bernyanyikan lagu Doremi berjudul Tolong, aku ingat dengan seorang yang tadi malam bertemu mengenakan baju hitam dan teringat pada saat sholat berjemaah dengannya di tengah hutan kala senja dan gelap bersamaan dirasa, mukenna yang digunakan sarasa serasi dengan anugerah senyum dan lupa akan siapa yang melahirkan lalu bagaimana merawatnya kala nanti bisa bersama.

Aku masih memperhitungkan itu semua dan aku masih mempertanyakan itu semua tentang apakah akan ada hal yang sama dari logika dan rasa itu. Sedangkan cemburu menyelimuti kala angin dan hari tak dapat mendektenya. Tapi itu terlalu lebay bukan rasa tidak perlu berlebihan nanti kalau berlebihan, kalau gula di dalam tubuh kita berlebihan akan menjadi deabetes. Santailah berdoalalah seperti doa yang pernah dipanjatkan suatu ketika ia bestatment disela menjadi satu panggung dalam satu acara. Bukan itu yang ku ingat tapi spontanitas pegangan tangan tak pernah ku lakukan pada perempuan kala itu mengubur semua nafsu birahi kecuali naluri memiliki untuk melengkapi.

Baju hitam yang tak pernah ada ujung dalam angan yang dewasa akan semua peradaban. Buku-buku yang ku tulis dan ku baca mengisi setiap rasa ingin prioritasku kepada-Nya dan kepadanya. Namun dalam naluri sadar semua hanya tertuju pada satu membenahi diri lebih dulu karena aku belum tahu ia akan sensara ketika bersama atau bahagia kala bersama, sebab kondisi saat ini masih dalam keadaan tidak bisa dipahami arahnya. Biarkan saja angin menjadi desir dengan kudrotnya dan suatu saat berhenti dengan haknya. Begitupun aku dan-nya.




Akhmad Mustaqim 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar