Rekonsiliasi Stigma Kebenaran Subjektif 1965
Resensi Buku
Judul: Kubah
Penulis: KH. Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 1995 terbit ulang 2017
Halaman: 211
Halaman: 211
Isbn: 978-979-22-8774-5
Dalam sejarah sudah jelas bahwa ideologi komunisme dan
pelakunya di Indonesia akan dilarang keras. Namun ada yang menarik dari peran
seorang kiyai. Memang seharusnya mengalami perlakuan tidak sewajarnya dalam
masyarakat. Kesalahan manusia akan selalu ada sebab itu bisa dikatakan bagian
dari kudrot. Maka akan melahirkan sebuah
pandangan bahwa hidup manusia ditentukan oleh pancaidera lihat dan masuk pada
logika, dan kadang menjadi dogma kuat dalam berpikir, berbicara, dan bertindak.
Pada tahun 1965 tentunya warga Negara Indonesia
dengan sejarah panjang penuh mesteri ketika dicari kebenaran dan kesalahanya. Namun,
sebuah kesalahan dan kebenaran di dunia tentunya memiliki sifat relative sebab
kita sebagai makhluk hidup. Apa akan narasi panjang tidak akan berkesudahan
ketika mencari benar dan salah di dunia,
terlalu sangat rapi ketika itu menjadi dasar berpikir. Kesalahan tentunya
memiliki justifikasi tidak baik dari segi moral agama, sosial, dan bahkan Negara.
Karya sastra yang bersentuhan dengan sejarah tentunya akan menimbulkan
perspetif subjektif dalam memaknai realita di masa lampau.
Dalam novel berjudul Kubah ini merupakan novel terbaik
pada tahun 1981 Yayasan Buku Utama Kementrian P & K. sudah diterbitkan
dalam bahasa Jepang. Tertulis di depan cover bahwa pada awalnya novel ini
merupkan novel ketiga yang dibaca dengan satu penulis. Bernama Ahmad Tohari,
karya sebelumnya berjudul Lingkar Tanah dan Lingkar Air, keduanya Di Kaki Bukit
Cibalak, dan banyak karya lainnya yang nanti saya coba baca lagi, senagaja
tidak disebutkan karya-karya lainya. Dan buku berjudul Kubah ini ingin
diresensi/diulas sesuai hasil apa yang ditangkap dalam teks.
Buku Kubah pada awalnya ingin diletakkan ”tidak akan saya baca ini membosankan”, bagiku memiliki karkter
berbeda, dan sempat berpikir apa karena suasana individu pembaca seperti saya, disebakan
karena membaca di tempat beda-beda, walau buku tersebut telah dibaca dua kali masih merasa kurang memahami begitu
detail dalam isinya, makanya dengan ini mencoba memberanikan diri untuk
memahami narasinya serta deskrptifnya dengan mengulas. Pada novel ini Ahmad
Tohari narasi serta gaya bercerita berbeda dengan novel sebelumnya pernah dibaca.
Namun pembuka dalam novel ini memang disetiap bab
memukau. Pada novel ini memiliki 10 bab. Tapi tidak semua akan dipaparkan
mungkin dengan memberikan kata kunci dengan pilihan dalam beberapa bab dan
diambil dari beberapa paragraf atau lebih kecil kalimat. Agar nilai kesabaran, kekuatan,
dan kesadaran. Sebagai mantan tahanan politik (Tapol) akan mengalami stuasi di
marjinalkan, dan masyarakat memiliki stigma seorang komunis. Dan dalam hidupnya
Karman akan merasakan itu. Kalau tidak kuat dengan semua makian serta perkataan
atau lebih tepatnya anggapan lebih daripada anjing
kepadanya, batinya akan mengalami depresi sosial. “Dan anehnya perubahan yang tampak merata di depan
mata itu membuat Karman merasa makin terasing. Akan jelaskan ada garis pemisah
dengan dirinya dan alam sekitar. Ia merasa tidak menjadi bbagian dari bumi lingkungan
yang sedang dipiaknya.” (hal 7)
Perasaan yang
menyelumutinya bahwa akan dirinya begitu kecil dihapan orang-orang. Dan bahkan
merasakan bahwa dirinya lebih kecil daripa semut. Bagaimana psikologis
terserang dengan begitu kejam kontruksi sosial, yang disitu ada kehidupan
masyarakat. Beranekaragam dalam berpikir, ada yang simpati dan empati, bahkan
ada yang apatis akan hal tersebut; apa yang dirasakan seorang mantan tapol yang
diasingkan ke Pulau Buru selama 12 tahun, wajar ketika semua orang akan
menganggap asing. Kemungkinan yang sepantaran nya Karman sudah meninggal,
berpindah tempat dari kampung halamanya, bahkan seorang perempuan yang telah
dipahami selangkangannya, serta kehormatan perempuan tersebut beri jalan oleh
Karman dengan ciptaan Tuhan pada laki-laki, perempuan yang bernama Marni dihalalkan
(istrinya) sebelum diasingkan ke Pulau Buru, bahkan telah memiliki anak dua bernama Rodio dan
Tini. Ditinggalkan pada saat berumur tujuh tahun. Ketika telah tiba di tempat
dulu awal pertama tinggal semuanya tiada, dan informasi dari teman-temannya
bahwa istrinya telah menikah kembali. Karman dengan berat hati menghalkan itu
semua terjadi, namun apalah daya dengan kesadaran begitu tinggi akan semua
hidup, gelap hari ini. Gara-gara partai yang telah diikuti. Tekanan batin
begitu sangat menyedihkan, ketika bertemu Kapten Somad bercerita semua dengan
kondisi dirnya dan kondisi keluarganya oleh kapten tersebut diceritakan. “Tanpa
diobati, kekosongan hati akan menghilangkan segala macam cita rasa hidup. Dengan
senang hati aku mengobati aku akan mengobatimu sebisa-bisaku. Namun aku kwatir syaratku
syaratnya terlalu sulit kau terima. Bagaimana?. Bahwa Kapten Somad memberikan
tiada obat paling bisa menyembuhkan melainkan dirinya sendiri dengan
kepercayaan, kepercayaan dirinya.” (hal.25)
***
Perasaan bemula awal Karman jatuh cinta pada Rafiah,
anak dari Haji Bakir. Mengalami pola pikir yang radikal akan anggapan semua
keputusannya, dan merasakan dirinya bahwa orang tdak punya tidak akan ditermima
melamarnya, berbeda dengan Abdul Rahman memiliki batu akik sekotak besar (lebih
kaya darinya). Itu pikiran jelek Karman akan anggapan strata akan dirinya bahwa
marasa kalau yang bermodal akan lebih berkuasa. Margo dan Triman menghasutnya
untuk memberikan doktrinisasi Karman kalau orang berkuasa karena harta akan
menindasnya, sehingga Karman mengikuti apa kata temanya. Hasutan yang tebal, “Mereka,
orang-orang kaya, adalah kaum menindas yang secara historis selalu
mempertahankan kelestarian kelasnya.” (hal.102).
Semua sudah dilalui oleh Karman sadar akan semua
tindakannya yang tidak baik dalam mengikuti partai. Partai Komunis Indonesia (PKI). Kesadaran Karman akan semua
asal-muasalnya, jiwanya terbakar oleh apa yang telah dikatakan kedua temannya. Berani
melawan dengan perkataan kepada Haji Bakir seorang dihormatinya. “Karman pun mulai
berani berterus terang meniggalkan masjid, meninggalkan peribadatan. Bahkan tentang
agama, Karman telah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu
untuk bius kaum tertindas.” (hal.103)
Buku merupakan karya sastra berupa novel. Menceritakan
seorang Karman seorang desa Pagaten. Seorang pemuda yang mengamalami distras
akan gurunya karena merasa seorang berkuasa akan senantiasa memperlakukan
masyarakat kecil sewing-wenang. Karman pada mulanya seorang takdim, namun
dengan hasutan untuk mengukuti ajaran tidak sejalan dengan ajaran agama hingga
menolak, dan bahkan Karman ditangkap diasingkan ke Pulau Buru. Dalam novel ini
menggunakan alur mundur dibukan dengan kronologi konflik di bab pertama, dan
selanjutnya menceritakan sebab musababnya Karman mengalami hidup yang begitu
menyedihkan. Diakhir hidupnya pada bab sepuluh, pada tahun 1977 Karman di jempu
oleh Tini anaknya dan Jabir, selama dua belas tahun tidak bertemu. Di bab terakhir
Karman meminta maaf kepada Haji Bakir telah disakiti, dan menebusnya dengan membetulkan kubah masjid, dengan keahlian
selama di Pulau Buru. Sehingga masyrakat menermi Karman sebagai manusia seperti
biasanya karena ketulusan ingin kembali ke jalan benar.
“Dan Karman merasakan kebersamaan kembali melihat
jalan kebersamaan dan kesetaraan dalam pergaulan yang hingga hari-hari kemarin
terasa mengucilkan dirinya, oh Kubah yang sederhana itu! Dalam kebisuan,
mahkota masjid it uterus mengumandangkan janji akan memberikan hak asasi kepada
setiap manusia yang sadar akan kemanusiaanya. Dan Karman merasa tidak
terkecuali”. (hal.211).
Akhmad Mustaqim 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar