Rabu, 04 Desember 2019

Resensi Buku Kubah Karya Ahmad Tohari




Rekonsiliasi Stigma Kebenaran Subjektif 1965



Resensi Buku
Judul: Kubah
Penulis: KH. Ahmad Tohari
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 1995 terbit ulang 2017
Halaman: 211
Isbn: 978-979-22-8774-5

Dalam sejarah sudah jelas bahwa ideologi komunisme dan pelakunya di Indonesia akan dilarang keras. Namun ada yang menarik dari peran seorang kiyai. Memang seharusnya mengalami perlakuan tidak sewajarnya dalam masyarakat. Kesalahan manusia akan selalu ada sebab itu bisa dikatakan bagian dari kudrot. Maka akan  melahirkan sebuah pandangan bahwa hidup manusia ditentukan oleh pancaidera lihat dan masuk pada logika, dan kadang menjadi dogma kuat dalam berpikir, berbicara, dan bertindak.

Pada tahun 1965 tentunya warga Negara Indonesia dengan sejarah panjang penuh mesteri ketika dicari kebenaran dan kesalahanya. Namun, sebuah kesalahan dan kebenaran di dunia tentunya memiliki sifat relative sebab kita sebagai makhluk hidup. Apa akan narasi panjang tidak akan berkesudahan ketika mencari benar dan  salah di dunia, terlalu sangat rapi ketika itu menjadi dasar berpikir. Kesalahan tentunya memiliki justifikasi tidak baik dari segi moral agama, sosial, dan bahkan Negara. Karya sastra yang bersentuhan dengan sejarah tentunya akan menimbulkan perspetif subjektif dalam memaknai realita di masa lampau.

Dalam novel berjudul Kubah ini merupakan novel terbaik pada tahun 1981 Yayasan Buku Utama Kementrian P & K. sudah diterbitkan dalam bahasa Jepang. Tertulis di depan cover bahwa pada awalnya novel ini merupkan novel ketiga yang dibaca dengan satu penulis. Bernama Ahmad Tohari, karya sebelumnya berjudul Lingkar Tanah dan Lingkar Air, keduanya Di Kaki Bukit Cibalak, dan banyak karya lainnya yang nanti saya coba baca lagi, senagaja tidak disebutkan karya-karya lainya. Dan buku berjudul Kubah ini ingin diresensi/diulas sesuai hasil apa yang ditangkap dalam teks.
Buku Kubah pada awalnya ingin  diletakkan ”tidak akan saya baca ini membosankan”, bagiku memiliki karkter berbeda, dan sempat berpikir apa karena suasana individu pembaca seperti saya, disebakan karena membaca di tempat beda-beda, walau buku tersebut telah dibaca dua  kali masih merasa kurang memahami begitu detail dalam isinya, makanya dengan ini mencoba memberanikan diri untuk memahami narasinya serta deskrptifnya dengan mengulas. Pada novel ini Ahmad Tohari narasi serta gaya bercerita berbeda dengan novel sebelumnya pernah dibaca.

Namun pembuka dalam novel ini memang disetiap bab memukau. Pada novel ini memiliki 10 bab. Tapi tidak semua akan dipaparkan mungkin dengan memberikan kata kunci dengan pilihan dalam beberapa bab dan diambil dari beberapa paragraf atau lebih kecil kalimat. Agar nilai kesabaran, kekuatan, dan kesadaran. Sebagai mantan tahanan politik (Tapol) akan mengalami stuasi di marjinalkan, dan masyarakat memiliki stigma seorang komunis. Dan dalam hidupnya Karman akan merasakan itu. Kalau tidak kuat dengan semua makian serta perkataan atau lebih tepatnya anggapan lebih daripada anjing kepadanya, batinya akan mengalami depresi sosial. “Dan  anehnya perubahan yang tampak merata di depan mata itu membuat Karman merasa makin terasing. Akan jelaskan ada garis pemisah dengan dirinya dan alam sekitar. Ia merasa tidak menjadi bbagian dari bumi lingkungan yang sedang dipiaknya.” (hal 7)

Perasaan yang menyelumutinya bahwa akan dirinya begitu kecil dihapan orang-orang. Dan bahkan merasakan bahwa dirinya lebih kecil daripa semut. Bagaimana psikologis terserang dengan begitu kejam kontruksi sosial, yang disitu ada kehidupan masyarakat. Beranekaragam dalam berpikir, ada yang simpati dan empati, bahkan ada yang apatis akan hal tersebut; apa yang dirasakan seorang mantan tapol yang diasingkan ke Pulau Buru selama 12 tahun, wajar ketika semua orang akan menganggap asing. Kemungkinan yang sepantaran nya Karman sudah meninggal, berpindah tempat dari kampung halamanya, bahkan seorang perempuan yang telah dipahami selangkangannya, serta kehormatan perempuan tersebut beri jalan oleh Karman dengan ciptaan Tuhan pada laki-laki, perempuan yang bernama Marni dihalalkan (istrinya) sebelum diasingkan ke Pulau Buru, bahkan  telah memiliki anak dua bernama Rodio dan Tini. Ditinggalkan pada saat berumur tujuh tahun. Ketika telah tiba di tempat dulu awal pertama tinggal semuanya tiada, dan informasi dari teman-temannya bahwa istrinya telah menikah kembali. Karman dengan berat hati menghalkan itu semua terjadi, namun apalah daya dengan kesadaran begitu tinggi akan semua hidup, gelap hari ini. Gara-gara partai yang telah diikuti. Tekanan batin begitu sangat menyedihkan, ketika bertemu Kapten Somad bercerita semua dengan kondisi dirnya dan kondisi keluarganya oleh kapten tersebut diceritakan. “Tanpa diobati, kekosongan hati akan menghilangkan segala macam cita rasa hidup. Dengan senang hati aku mengobati aku akan mengobatimu sebisa-bisaku. Namun aku kwatir syaratku syaratnya terlalu sulit kau terima. Bagaimana?. Bahwa Kapten Somad memberikan tiada obat paling bisa menyembuhkan melainkan dirinya sendiri dengan kepercayaan, kepercayaan dirinya.” (hal.25)

***
Perasaan bemula awal Karman jatuh cinta pada Rafiah, anak dari Haji Bakir. Mengalami pola pikir yang radikal akan anggapan semua keputusannya, dan merasakan dirinya bahwa orang tdak punya tidak akan ditermima melamarnya, berbeda dengan Abdul Rahman memiliki batu akik sekotak besar (lebih kaya darinya). Itu pikiran jelek Karman akan anggapan strata akan dirinya bahwa marasa kalau yang bermodal akan lebih berkuasa. Margo dan Triman menghasutnya untuk memberikan doktrinisasi Karman kalau orang berkuasa karena harta akan menindasnya, sehingga Karman mengikuti apa kata temanya. Hasutan yang tebal, “Mereka, orang-orang kaya, adalah kaum menindas yang secara historis selalu mempertahankan kelestarian kelasnya.” (hal.102).
Semua sudah dilalui oleh Karman sadar akan semua tindakannya yang tidak baik dalam mengikuti partai. Partai Komunis Indonesia (PKI). Kesadaran Karman akan semua asal-muasalnya, jiwanya terbakar oleh apa yang telah dikatakan kedua temannya. Berani melawan dengan perkataan kepada Haji Bakir seorang dihormatinya. “Karman pun mulai berani berterus terang meniggalkan masjid, meninggalkan peribadatan. Bahkan tentang agama, Karman telah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama adalah candu untuk bius kaum tertindas.” (hal.103)

Buku merupakan karya sastra berupa novel. Menceritakan seorang Karman seorang desa Pagaten. Seorang pemuda yang mengamalami distras akan gurunya karena merasa seorang berkuasa akan senantiasa memperlakukan masyarakat kecil sewing-wenang. Karman pada mulanya seorang takdim, namun dengan hasutan untuk mengukuti ajaran tidak sejalan dengan ajaran agama hingga menolak, dan bahkan Karman ditangkap diasingkan ke Pulau Buru. Dalam novel ini menggunakan alur mundur dibukan dengan kronologi konflik di bab pertama, dan selanjutnya menceritakan sebab musababnya Karman mengalami hidup yang begitu menyedihkan. Diakhir hidupnya pada bab sepuluh, pada tahun 1977 Karman di jempu oleh Tini anaknya dan Jabir, selama dua belas tahun tidak bertemu. Di bab terakhir Karman meminta maaf kepada Haji Bakir telah disakiti, dan menebusnya dengan  membetulkan kubah masjid, dengan keahlian selama di Pulau Buru. Sehingga masyrakat menermi Karman sebagai manusia seperti biasanya karena ketulusan ingin kembali ke jalan benar.
“Dan Karman merasakan kebersamaan kembali melihat jalan kebersamaan dan kesetaraan dalam pergaulan yang hingga hari-hari kemarin terasa mengucilkan dirinya, oh Kubah yang sederhana itu! Dalam kebisuan, mahkota masjid it uterus mengumandangkan janji akan memberikan hak asasi kepada setiap manusia yang sadar akan kemanusiaanya. Dan Karman merasa tidak terkecuali”. (hal.211).


Akhmad Mustaqim 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar