Kamis, 05 Desember 2019

Resensi Buku Manurung 13 Pertanyaan untuk 3 Nama Karya Faisal Oddang



Kematian Sakti, Melahirkan Keramaian Panjang




Judul: Manurung 13 pertanyaan untuk 3 nama
Penulis: Faisal Oddang
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 2017
Halaman: 125
Isbn: 9786020376813


Manurung menyisakan pertanyaan di masa kini dan masa depan. Lalu apa yang lebih arif dari masa lalu, jika bukan waktu yang menjadikan abu dan menyisakan debu. Dan setiap peristiwa masa lalu, yang terjadi dalam kehidupan, akan menimbulkan pertanyaan besar. Kala merasa selalu ingin tahu, yang menggebu rasa itu. Begitulah manusia, namun tidak semua sama. Dalam tradisi pengetahuan ilmiah, pertanyaan yang bagus memiliki nilai sangat tinggi. Pertanyaan akan memberikan langkah tuk menemukan sebuah emas di dasar lautan, lalu ada cara-cara untuk masuk ke dasar itu mampu dilaluinya, sebab akan menggugah rasa tidur atau sekedar istirahat panjang menikmati rebahan.

Epos Mahabarata begitu fenomenal ada pada perang beratayuda. Semua orang ketika mendengar perang tersebut, selalu ingat pada para Pandawa dan Kurawa, walau yang tak kalah penting ada Krisna dan Sengkuni. Namun modernisasi hari ini semua cerita itu bisa ditemukan dengan beberapa versi, bahkan tidak hanya bentuk teks (buku), namun juga ada visual (tradisi lisan, dan flim), yang tokoh serta semuanya direprentasikan oleh para pegiat karya serta bisa berkarya. 

Dalam buku Manurung 13 Pertanyaan Untuk 3 Nama (2017) karya Faisal Oddang buku karya sastra berupa puisi, namun bukan sekedar puisi yang lebih dikenal dengan memberi nilai esetetik, melainkan puisi memiliki kekuatan narasi begitu memukau sebab serasa asing ketika dibaca, puisi tersebut berisi mengenai pertanyaan-pertanyaan terhadap 3 nama, yang tidak akan lekang oleh waktu, akan selalu dikenal oleh masyarakat Bugis, sebab La Galego bukan suatu yang baru. Pada pengantar Manurung ditulis Faisal Oddang mengatakan. Bahwa Jhon Leyden menempatkan sebagai representasi dari sastra Bugis yang mengandalkan irama dalam bukunya on the Languages and Literature of the Indone Chinese Nations (1808, setelah Leyden , selanjutnya ada Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (1817), di tahun 1820. Jhon Crawfurd meski tidak secara langsung menyebut La Galigo. Faisal Oddang memposisikan dirinya sebagai orang yang cinta akan budaya sendiri, namun tidak memahaminya asal usul akan kepastian mengenai La Galigo.

13 pertanyaan dengan 3 nama Faisal ingin nyampaikan dalam bentuk puisi, dalam 3 tersebut terdiri dari Datu Palinge, Sawerigading, dan La Galigo. 13 pertanyaan dibagi ke setiap nama yang telah disebut. Lima pertanyaan ke Datu Palange, Sawerigading lima pertanyaan, dan La Galigo tiga pertanyaan. Dari semua dirayakan dalam puisi berjudul Manurung. Yang berkisah bahwa dari 3 nama tersebut akan selalu hidup dalam kehidupan. “Cerita-cerita tentang kalian terus disampaikan dari waktu ke waktu semua sibuk membicarakan istana, pesta, perang, sabung ayam-tak ada kami di sana, kami hanya muncul ketika kalian butuh seorang sebagai tumbal untuk kesenangan yang kalian inginkan. Kalian butuh budak entah di dia kate entah albino, orosada atau orekelling (bait 12. Hal.21).

***

Pada pengantarnya Faisal Oddang memberi gambaran mengenai tokoh-tokoh yang dilontarkan pertanyaan dimulai dari Datu Palinge, ia istri dari Datu Patotoe. Sang Penguasa Dunia Atas (Botting Langi) yang mengirim Batara Guru, anaknya, untuk mengisi Dunia Tengah (Ale Kawa) yang kemudian berpasangan dengan perempuan dari Dunia Bawah (Buri Liu). Selanjutnya ada Sawaragading keturunan ketiga dari Dunia Tengah yang perannya cukup penting dalam La Galigo. Dan yang ketiga, La Galigo, putra Sawerigading. Ketiga tokoh yang diberi pertanyaan dalam buku ini memiliki darah manurung. R. A. Kern menjelaskan bahwa manuung secara harfiah berarti “turun ke bawah” lebih luasnya lagi, bahwa manurung berarti orang-orang atau benda-benda yang turun dari langit. Pada akhirnya Manurung kini tiba dalam bentuknya yang lain-ia bentuk pertanyaan dibentuk dalam puisi.

Pertanyaan kepada Datu Palinge dalam puisi Manurung; 1, di bumi, ketika anakamu sebagai hamba setelah suami benar-benar menjadi Tuhan. Kesedihan macam yang telah kausembunyikan di dadamu?,2. Sudahkah kauajarkan kepadanya tentang wajah Kesedian yang kelak datang kepadanya setelah da seesai menciptakan Bumi dan isisnya?, 3. Ada yang kaupahami tentang Keseian dan seseorang yang terasing karena kekuasaan?, 4. Seseorang perempuan datang dari bawah laut, cukupkah itu bagimu untuk mengganti segala yang hilang dari dari Batara Guru?, 5. Ketiak cucumu mati lalu memakannya dan kau tak menegur mereka?. 

Sesuatu yang dipertanyakan akan memberikan pertanyaan besar, mengungkap-ungkap beberaa mesteri. Apalagi berkaitan dengan peninggalan manusia dianggap sakral, dengan beberapa bukti pada literature yang telah berserakan membicarakan La Galigo dalam teks sejarah telah ada. Faisal menyajikan dalam bentuk teks puisi memiliki kekauatan narasi sebagai bukti dalam menyajikan segela manusia berhubungan dengan dirinya dan tuhannya, serta teks puisi mempetajam dengan sebuah sifat dan kondisi yang menjadi pertanyaannya. 
Teks dan konteks dalam puisi mengenai pertanyaan kepada Datu Palinge dalam puisi berjudul “ Di Bumi, ketika anakmu terasing sebagai hamba setelah suamimu benar-benar menjadi Tuhan, kesedihan macam apa yang telah kamusembunyikan di dadamu?, “apalah arti Tuhan bila tak ada manusia yang menyembah?” langit sungguh riuh tetapi suamimu bersedih atas nama sepi-sesorang yang ia percaya telah melubangi hatinya dengan pertanyaan yang susah payah ia jawab. (bait. 1. Hal.27)

Sebuah keharusan manusia memahami tentang kematian dalam hidup. Minimal mengetahui nama dari kematian itu sendiri, jika perlu mengenal kematian lalu menjadikan bagian dari hidupnya selayaknya pacar jangan sampai jomblo dengan kematian.  Ketika bisa menjadikan bagiannya akan senantiasa mempersembahkan pada dunia untuk bisa memberi nilai guna. Selayaknya Datu Palinge selama hidup. Pada bait puisi Faisal menusliskan”Menusia harus mengenalnya meski tidak pernah Kematian mengulurkan tangan untuk dijabat atau mengucapkan nama untuk dikenang. Sama sekali tak pernah.(bait.26.hal.64)

***

Adakah penyesalah dalam hidup Sawerigading, ketika dilontarkan lima pertanyaan bentuk puisi. Bahwa ketika semasa hidup hanya bisa tersenyum bersama dengan keindahan alam semesta? , memakan, makananan enak di bumi, mencintai dengan begitu agresif,  ketika dalam sadarnya setiap langkah hidupnya masih belum bisa mengenali dirinya sendiri. Kenal memahami serta mencari ketidak lengkapan untuk melengkapinya. 1. Apakah kau menatap sepasang matanya sebelum cinta membuatu budat dan bahan tak mampu melihat dirimu sendiri?, 2. Apa yang kaukenang dari tubuh-tubuh tak bersalah yang kausiksa dan kaubunuh demi berahi dan selangkanganmu yang basa?, 3. Masihkah kaukenanli amis lumuran darah budak di batang pohon Welenreng itu?, 4. Bagaiamana ungkin kau berbahagia dengan We Cubai jika cinta telah kaucurangi, telah kaurebut dengan dusta-dengan menciptakan suangai darah dari leher orang-orang tak bersalah yang kautebas?, 5. Masih bisakah kau tersenyum jika kelak mengenang sejumlah perang yang telah kaulalui?.
Apa yang akan disesali dalam peristiwa besar semasa hidup? Pertanyaan akan dibalas dengan pertanyaan. Bahwa penyesalan ketika hidup, pasca-kehidupan. ketika hanya bisa memandangi bumi dan isinya, merasakan bahwa memiliki dan sebagai manusia hanya bisa memakan serta membuat tumbuhan tambah subur, dan itu hanya untuk dinikamati sendiri. Apa harus segera tiada meninggalkan dunia? Dan pertanyaan itu masih bisa menjadi sumber pengetahuan baru dan besar dalam kehidupan di modernisasi ini. Jika dibenturkan. Bahwa apa yang hilang tentunya akan menjadi keinginan besar untuk menemukan sebuah kebahagiaan. Hanya bahasa lisan dan tulis menjadi pertaruhan hari ini, kedua ini masih menjadi permasalahan tersendiri dalam menghadapi enaknya rebahan yang tak ada bumbunya terasa nikmat. Ketika itu masih dinikmati tidak akan menemukan diri sendiri.

“Apakah kau menatap sepasang matanya sebelum cinta membuatmu buta dan bahkan tak mampu melihat dirimu sendiri?,
Waktumu telah tiba, matahari yang terbit dan matahari terbenam bukan hanya memindahkan peristiwa, diam-diam malam mencapkakan satu demi satu perkara yang kaumiliki, termasuk sisa hidupmu.
“siapa yang telah menyembunyikannya dariku?”
Pitotoe menciptakan cermin untukm di tubuh seorang perempuan, kau tak ingin menkahi dirmu sendiri, kau percaya bahwa surga tak pernah jauh darimu, bukan di Langit atau di Bawah laut. (hal.73)

***

Tokoh ketiga termasuk yang terpenting dalam karya sastra puisi berjudul Manurung ini. La Galigo hanya terbagi tiga pertanyaan. Namun tidak kalah mesterinya; 1. Untuk kematian-kematian yang menjemput hidupmu yang baru, perkabungan macam apa yang telah kaulakukan, 2. Siapa yang telah mengajarimu bertahan hidup tanpa cinta dari seorang ibu, ibu yang justru ingin menjadikanmu umpan ikan-ikan yang kelaparan?, 3. Kenapa kau, dan dua orang sebelum dirimu tidak juga menjawab pertanyaanku? Apakah menuntut kebenaran melaui sejumlah pertanyaan hanya akan berakhir dengan pertanyaan itu sendiri?.

Sebuah pertanyaan sebelum-sebelumnya itu hanya menjadi pertanyaan pula, namun tetaplah sebuah 
pertanyaan dalam intelektual sebuah kegegelisahan pribadi atau semua orang yang belum bisa memahami hal-hal tertentu, peninggalan hanya menjadi kenangan dan peritiwa besar ketika bahasa hanya menjadi alat dan lisan sebagai penyampai. Dan puisi sebuah pertanyaan ulang untuk menemukan pencerahan, namun teks sebagai alat atau pisau analisis menemukan jawaban. Kebenaran dan kebingungan diciptakan agar semua orang merasakan keduanya. Kebenaran menjawab setiap perkara, dan kebingunan akan menjawab sebuah skeptis. Keduanya aka nada pada semua prasasti yang ada; La Galigo dilontarkan pertanyaan dalambentuk puisi;

“Untuk kematian-kematian yang menjemput hidupmu yang baru, perkabungan macam apa yang telah kaulakukan?” (hal.109)
Semua terlahir ke dunia di langit Tuhan hanya memberikan sebuah fasilitas. Kebutuhan manusia telah diberikan. Dan manusia ketika melahirkan tidak campur  tangan-Nya. Sampai kematian hanya menentukkannya, bagaimana hidup bisa menentukan pada pencipta padadal manusia itu sendiri akan mengurusi semua kelahiran, kehidupan, dan kematian. Apa akan menyalahkan Pencipta yang rata-rata ada, belum tentu benar dan belum tentu salah. Namun apakah akan memberikan penderitaan kepada orang lan, terkhusus pada orang tua sendiri, sanak keluarga, dan apakah akan memberikan sebuah kerugian kepada orang-orang disekelilingnya.
“Tak ada kettuban yang pecah, bahkan setelah ibumu bosan mendengar talu lesung yang datang dari arah Mario.
Yang pecah hanya langit, pecah seperti rekah bunga anggrek berwarna abu-abu, sebelum kelopaknya tanggal satu demi satu.
Kau menyiksa ibumu dengan rasa sakit yang tak mampu ia tanggung,
Langit tidak terlalu campur tangan  untuk rasa sakit meski sejumlah hadiah dikirim untuk menawarnya.
Meski telah mereka kirim paying untuk tadungmu.
Budak-budak kate dan albino disembelih sebagai tumbal agar gumpal darah di selangkangan ibumu mencair dan mengalir. (hal. 109)

Faisal Oddang  muda dengan karya-karya lokalitas sangat memukau, dan semoga terus membuat khasanah sastra lebih berwarna bagi orang-orang yang non-sastra yang beranggapan bawah sastra bukan hanya sekedar fikif, imajinatif, dan bahkan berbaur milankolis. Kehadiran sastra memberikan kategori sastra serius sebab bersentuhan dengan fakta, cerita epos, dan sejarah. Detail dalam penyampaian, membuat deskripsi serta narasi yang dibangun begitu serius. Karya Manurung ini butuh ketekunan membaca, teliti, dan mencari makna diksi tidak familiyar, serta memaknai bait setiap-bait untuk menemukan intiasari dari karya sastra puisi berisis 13 pertanyaan untuk 3 nama. Puisi ini bukan sekedar membicarakan ideal yang berada di daerah penulis, yaitu Bugis dan sekitarnya, akan tetapi memberikan sebuah tawaran pengetahuan kontekstual.

  


Akhmad Mustqim 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar