Kematian Sakti, Melahirkan Keramaian
Panjang
Judul: Manurung 13 pertanyaan untuk 3 nama
Penulis: Faisal Oddang
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 2017
Halaman: 125
Isbn: 9786020376813
Manurung menyisakan pertanyaan di masa kini dan masa depan. Lalu apa yang lebih arif dari masa lalu, jika bukan waktu yang menjadikan abu dan menyisakan debu. Dan setiap peristiwa masa
lalu, yang terjadi dalam kehidupan, akan menimbulkan pertanyaan besar. Kala merasa selalu ingin tahu, yang menggebu rasa itu. Begitulah manusia, namun tidak semua sama. Dalam tradisi pengetahuan ilmiah, pertanyaan yang bagus memiliki nilai sangat tinggi. Pertanyaan akan memberikan langkah tuk menemukan sebuah emas di dasar lautan, lalu ada cara-cara untuk masuk ke dasar itu mampu dilaluinya, sebab akan menggugah rasa tidur atau sekedar istirahat panjang menikmati rebahan.
Epos
Mahabarata begitu fenomenal ada pada perang beratayuda. Semua orang ketika
mendengar perang tersebut, selalu ingat pada para Pandawa dan Kurawa, walau
yang tak kalah penting ada Krisna dan Sengkuni. Namun modernisasi hari ini
semua cerita itu bisa ditemukan dengan beberapa versi, bahkan tidak hanya
bentuk teks (buku), namun juga ada visual (tradisi lisan, dan flim), yang tokoh
serta semuanya direprentasikan oleh para pegiat karya serta bisa berkarya.
Dalam buku Manurung 13
Pertanyaan Untuk 3 Nama (2017) karya Faisal Oddang buku karya sastra berupa
puisi, namun bukan sekedar puisi yang lebih dikenal dengan memberi nilai
esetetik, melainkan puisi memiliki kekuatan narasi begitu memukau sebab serasa
asing ketika dibaca, puisi tersebut berisi mengenai pertanyaan-pertanyaan
terhadap 3 nama, yang tidak akan lekang oleh waktu, akan selalu dikenal oleh
masyarakat Bugis, sebab La Galego bukan suatu yang baru. Pada pengantar
Manurung ditulis Faisal Oddang mengatakan. Bahwa Jhon Leyden menempatkan
sebagai representasi dari sastra Bugis yang mengandalkan irama dalam bukunya on the Languages and Literature of the
Indone Chinese Nations (1808, setelah Leyden , selanjutnya ada Thomas
Stamford Raffles dalam The History of
Java (1817), di tahun 1820. Jhon Crawfurd meski tidak secara langsung
menyebut La Galigo. Faisal Oddang memposisikan dirinya sebagai orang yang cinta
akan budaya sendiri, namun tidak memahaminya asal usul akan kepastian mengenai
La Galigo.
13 pertanyaan dengan 3
nama Faisal ingin nyampaikan dalam bentuk puisi, dalam 3 tersebut terdiri dari
Datu Palinge, Sawerigading, dan La Galigo. 13 pertanyaan dibagi ke setiap nama
yang telah disebut. Lima pertanyaan ke Datu Palange, Sawerigading lima
pertanyaan, dan La Galigo tiga pertanyaan. Dari semua dirayakan dalam puisi
berjudul Manurung. Yang berkisah bahwa dari 3 nama tersebut akan selalu hidup
dalam kehidupan. “Cerita-cerita tentang kalian terus disampaikan dari waktu ke
waktu semua sibuk membicarakan istana, pesta, perang, sabung ayam-tak ada kami
di sana, kami hanya muncul ketika kalian butuh seorang sebagai tumbal untuk
kesenangan yang kalian inginkan. Kalian butuh budak entah di dia kate entah albino, orosada atau
orekelling (bait 12. Hal.21).
***
Pada pengantarnya
Faisal Oddang memberi gambaran mengenai tokoh-tokoh yang dilontarkan pertanyaan
dimulai dari Datu Palinge, ia istri dari Datu Patotoe. Sang Penguasa Dunia Atas
(Botting Langi) yang mengirim Batara
Guru, anaknya, untuk mengisi Dunia Tengah (Ale
Kawa) yang kemudian berpasangan dengan perempuan dari Dunia Bawah (Buri Liu). Selanjutnya ada Sawaragading
keturunan ketiga dari Dunia Tengah yang perannya cukup penting dalam La Galigo.
Dan yang ketiga, La Galigo, putra Sawerigading. Ketiga tokoh yang diberi
pertanyaan dalam buku ini memiliki darah manurung. R. A. Kern menjelaskan bahwa
manuung secara harfiah berarti “turun ke bawah” lebih luasnya lagi, bahwa
manurung berarti orang-orang atau benda-benda yang turun dari langit. Pada akhirnya
Manurung kini tiba dalam bentuknya
yang lain-ia bentuk pertanyaan dibentuk dalam puisi.
Pertanyaan kepada Datu
Palinge dalam puisi Manurung; 1, di bumi, ketika anakamu sebagai hamba setelah
suami benar-benar menjadi Tuhan. Kesedihan macam yang telah kausembunyikan di
dadamu?,2. Sudahkah kauajarkan kepadanya tentang wajah Kesedian yang kelak
datang kepadanya setelah da seesai menciptakan Bumi dan isisnya?, 3. Ada yang
kaupahami tentang Keseian dan seseorang yang terasing karena kekuasaan?, 4.
Seseorang perempuan datang dari bawah laut, cukupkah itu bagimu untuk mengganti
segala yang hilang dari dari Batara Guru?, 5. Ketiak cucumu mati lalu
memakannya dan kau tak menegur mereka?.
Sesuatu yang
dipertanyakan akan memberikan pertanyaan besar, mengungkap-ungkap beberaa
mesteri. Apalagi berkaitan dengan peninggalan manusia dianggap sakral, dengan
beberapa bukti pada literature yang telah berserakan membicarakan La Galigo
dalam teks sejarah telah ada. Faisal menyajikan dalam bentuk teks puisi
memiliki kekauatan narasi sebagai bukti dalam menyajikan segela manusia
berhubungan dengan dirinya dan tuhannya, serta teks puisi mempetajam dengan
sebuah sifat dan kondisi yang menjadi pertanyaannya.
Teks dan konteks dalam
puisi mengenai pertanyaan kepada Datu Palinge dalam puisi berjudul “ Di Bumi,
ketika anakmu terasing sebagai hamba setelah suamimu benar-benar menjadi Tuhan,
kesedihan macam apa yang telah kamusembunyikan di dadamu?, “apalah arti Tuhan
bila tak ada manusia yang menyembah?” langit sungguh riuh tetapi suamimu
bersedih atas nama sepi-sesorang yang ia percaya telah melubangi hatinya dengan
pertanyaan yang susah payah ia jawab. (bait. 1. Hal.27)
Sebuah keharusan
manusia memahami tentang kematian dalam hidup. Minimal mengetahui nama dari
kematian itu sendiri, jika perlu mengenal kematian lalu menjadikan bagian dari
hidupnya selayaknya pacar jangan
sampai jomblo dengan kematian. Ketika bisa menjadikan bagiannya akan
senantiasa mempersembahkan pada dunia untuk bisa memberi nilai guna. Selayaknya
Datu Palinge selama hidup. Pada bait puisi Faisal menusliskan”Menusia harus
mengenalnya meski tidak pernah Kematian mengulurkan tangan untuk dijabat atau
mengucapkan nama untuk dikenang. Sama sekali tak pernah.(bait.26.hal.64)
***
Adakah penyesalah dalam
hidup Sawerigading, ketika dilontarkan lima pertanyaan bentuk puisi. Bahwa
ketika semasa hidup hanya bisa tersenyum bersama dengan keindahan alam semesta?
, memakan, makananan enak di bumi, mencintai dengan begitu agresif, ketika dalam sadarnya setiap langkah hidupnya
masih belum bisa mengenali dirinya sendiri. Kenal memahami serta mencari
ketidak lengkapan untuk melengkapinya. 1. Apakah kau menatap sepasang matanya
sebelum cinta membuatu budat dan bahan tak mampu melihat dirimu sendiri?, 2.
Apa yang kaukenang dari tubuh-tubuh tak bersalah yang kausiksa dan kaubunuh
demi berahi dan selangkanganmu yang basa?, 3. Masihkah kaukenanli amis lumuran
darah budak di batang pohon Welenreng itu?, 4. Bagaiamana ungkin kau berbahagia
dengan We Cubai jika cinta telah kaucurangi, telah kaurebut dengan dusta-dengan
menciptakan suangai darah dari leher orang-orang tak bersalah yang kautebas?,
5. Masih bisakah kau tersenyum jika kelak mengenang sejumlah perang yang telah
kaulalui?.
Apa yang akan disesali
dalam peristiwa besar semasa hidup? Pertanyaan akan dibalas dengan pertanyaan.
Bahwa penyesalan ketika hidup, pasca-kehidupan. ketika hanya bisa memandangi
bumi dan isinya, merasakan bahwa memiliki dan sebagai manusia hanya bisa
memakan serta membuat tumbuhan tambah subur, dan itu hanya untuk dinikamati
sendiri. Apa harus segera tiada meninggalkan
dunia? Dan pertanyaan itu masih bisa menjadi sumber pengetahuan
baru dan besar dalam kehidupan di modernisasi ini. Jika dibenturkan. Bahwa apa
yang hilang tentunya akan menjadi keinginan besar untuk menemukan sebuah
kebahagiaan. Hanya bahasa lisan dan tulis menjadi pertaruhan hari ini, kedua
ini masih menjadi permasalahan tersendiri dalam menghadapi enaknya rebahan yang
tak ada bumbunya terasa nikmat. Ketika itu masih dinikmati tidak akan menemukan
diri sendiri.
“Apakah kau menatap
sepasang matanya sebelum cinta membuatmu buta dan bahkan tak mampu melihat
dirimu sendiri?,
Waktumu telah tiba,
matahari yang terbit dan matahari terbenam bukan hanya memindahkan peristiwa,
diam-diam malam mencapkakan satu demi satu perkara yang kaumiliki, termasuk
sisa hidupmu.
“siapa yang telah
menyembunyikannya dariku?”
Pitotoe menciptakan
cermin untukm di tubuh seorang perempuan, kau tak ingin menkahi dirmu sendiri,
kau percaya bahwa surga tak pernah jauh darimu, bukan di Langit atau di Bawah
laut. (hal.73)
***
Tokoh ketiga termasuk
yang terpenting dalam karya sastra puisi berjudul Manurung ini. La Galigo hanya
terbagi tiga pertanyaan. Namun tidak kalah mesterinya; 1. Untuk
kematian-kematian yang menjemput hidupmu yang baru, perkabungan macam apa yang
telah kaulakukan, 2. Siapa yang telah mengajarimu bertahan hidup tanpa cinta
dari seorang ibu, ibu yang justru ingin menjadikanmu umpan ikan-ikan yang
kelaparan?, 3. Kenapa kau, dan dua orang sebelum dirimu tidak juga menjawab
pertanyaanku? Apakah menuntut kebenaran melaui sejumlah pertanyaan hanya akan
berakhir dengan pertanyaan itu sendiri?.
Sebuah pertanyaan
sebelum-sebelumnya itu hanya menjadi pertanyaan pula, namun tetaplah sebuah
pertanyaan dalam intelektual sebuah kegegelisahan pribadi atau semua orang yang
belum bisa memahami hal-hal tertentu, peninggalan hanya menjadi kenangan dan
peritiwa besar ketika bahasa hanya menjadi alat dan lisan sebagai penyampai.
Dan puisi sebuah pertanyaan ulang untuk menemukan pencerahan, namun teks
sebagai alat atau pisau analisis menemukan jawaban. Kebenaran dan kebingungan
diciptakan agar semua orang merasakan keduanya. Kebenaran menjawab setiap
perkara, dan kebingunan akan menjawab sebuah skeptis. Keduanya aka nada pada
semua prasasti yang ada; La Galigo dilontarkan pertanyaan dalambentuk puisi;
“Untuk
kematian-kematian yang menjemput hidupmu yang baru, perkabungan macam apa yang
telah kaulakukan?” (hal.109)
Semua terlahir ke dunia
di langit Tuhan hanya memberikan sebuah fasilitas. Kebutuhan manusia telah
diberikan. Dan manusia ketika melahirkan tidak campur tangan-Nya. Sampai kematian hanya
menentukkannya, bagaimana hidup bisa menentukan pada pencipta padadal manusia
itu sendiri akan mengurusi semua kelahiran, kehidupan, dan kematian. Apa akan
menyalahkan Pencipta yang rata-rata ada, belum tentu benar dan belum tentu
salah. Namun apakah akan memberikan penderitaan kepada orang lan, terkhusus
pada orang tua sendiri, sanak keluarga, dan apakah akan memberikan sebuah
kerugian kepada orang-orang disekelilingnya.
“Tak ada kettuban yang
pecah, bahkan setelah ibumu bosan mendengar talu lesung yang datang dari arah Mario.
Yang pecah hanya
langit, pecah seperti rekah bunga anggrek berwarna abu-abu, sebelum kelopaknya
tanggal satu demi satu.
Kau menyiksa ibumu
dengan rasa sakit yang tak mampu ia tanggung,
Langit tidak terlalu campur
tangan untuk rasa sakit meski sejumlah
hadiah dikirim untuk menawarnya.
Meski telah mereka
kirim paying untuk tadungmu.
Budak-budak kate dan albino disembelih sebagai tumbal agar gumpal darah di selangkangan
ibumu mencair dan mengalir. (hal. 109)
Faisal Oddang muda dengan karya-karya lokalitas sangat
memukau, dan semoga terus membuat khasanah sastra lebih berwarna bagi
orang-orang yang non-sastra yang beranggapan bawah sastra bukan hanya sekedar
fikif, imajinatif, dan bahkan berbaur milankolis. Kehadiran sastra memberikan
kategori sastra serius sebab bersentuhan dengan fakta, cerita epos, dan
sejarah. Detail dalam penyampaian, membuat deskripsi serta narasi yang dibangun
begitu serius. Karya Manurung ini butuh ketekunan membaca, teliti, dan mencari makna
diksi tidak familiyar, serta memaknai bait setiap-bait untuk menemukan
intiasari dari karya sastra puisi berisis 13 pertanyaan untuk 3 nama. Puisi ini
bukan sekedar membicarakan ideal yang berada di daerah penulis, yaitu Bugis dan
sekitarnya, akan tetapi memberikan sebuah tawaran pengetahuan kontekstual.
Akhmad Mustqim 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar