Sabtu, 14 Desember 2019

Mengulas Buku The Outsider Karya Albert Camus


Seorang Pekerja atau Intelektual; Le Mythe de Sisyphe




Mengulas Buku  
Judul: The Outsider
Penulis: Albert Camus
Penerjemah: Natalia Trijaji
Terbit pertama: 1955
Cetakan di Indonesia: Ecosystem 2017
Halaman: 164
Isbn: 978-602-1527-53-5


Albert Camus lahir di Aljazair pada 1913. Masa lalu yang gelap kan menjadikanlebih bisa menata hidup dengan baik dengan cara berbeda, walau absurdis. Keadaanya Albert Camus, sangat memiriskan masa kecilnya. Sehingga pergi ke Paris untuk berkerja disurat kabar Paris Soir sebelum kembali ke Aljazair. Karya pertamanya yang penting, L’Etranger (The Outsider) dan esai panjang Le Mythe de Sisyphe (The Myth of Sisyphus), diterbitkan ketika kembali ke Paris. Tahun 1941 masuk menjadi anggota perlawanan ketika pendudukan Prancis oleh Jerman. Ia menyumbangkan tulisan di untuk surat kabar bawah tanah Combat yang didirikannya. Setelah perang ia mengabadikan diri untuk menulis dan memperleh reputasi Internasional berkat buku-buku karyanya seperti La Peste (The Plague) pada 1947, Les Justes (The Just) pada 1949 dan La Chute (The Fall) pada 1956. Di tahun 1950-an memperbarui minatnya pada teater, menulis dan menyutradarai adaptasi karya William Faulkner yaitu requiem for a Nun dan the possessed karya Dostoyevsky, mendapat hadiah Nobel untuk bintang sastra pada 1957. Novel terakhirnya Le Premier Homme (The First Man) belum selesai ketika ia meninggal akibat kecelakaan di jalan pada 1960. Karyanya telah diterjemahkan lebih dari 30 negara. Filsuf dan penulis Sartre memberikan penghormatan pada Camus dalam obituarinya, “Albert Camus tak akan pernah bisa berhenti menjadi salah satu kekuatan penting dalam domain budaya kita, juga dalam mewakili, dengan caranya, sejarah Perancis dan abad ini. 

Dalam buku The Outsider sang pemberontak 2017. Karya Albet Camus akan menjadi bukti jelas dengan karya-karyanya, terkhusus pada The Outsider memberikan anggapan jelas bahwa hasil pemikiran merupakan representasi yang dituangkan dalam karyanya. Dan semua orang akan memiliki pandangan pada Albert Camus dengan membaca karya-karyanya, sebagai orang absurdisme. Pada roman yang ditulisnya ini memberikan dasar pemikiran netral dan putih, menjadi bagian dari masa lampau. Bahawa Sartre mengatakan bahwa ia “memberikan kesan tersendiri di setiap kalimat. Gaya penulisannya menambahkan kesan kesendirian sang karakter dalam mengahdapi keseharian (dunia) dan dirinya sendiri.” Dan akan memberikan pandangan secara liberal, rasional, dan kejutan. Dalam kehidupan sehari-hari dalam menjalani hidup. Bahwa manusia tidak hanya menjaga moral, tapi Albert Camus bisa memberikan sebuah pandangan moral, dengan cara hidup dan kehidupan sederhan begitu rill.

Albert Camus dalam memaparkan kehidupan begitu rumit dengan ke-absurdan sangat sederhana dan bisa dengan mudah dicerna. Bagaimana seorang anak kehilangan seorang ibu begitu disayangi, bahkan belum pernah membalas budinya, karena sakit dititipkan ke panti asuhan. Bagaimana tidak merasa terpukul dan merasakan kehilangan serta depresi mendengarkan ibunya meninggal pada saat ia bekerja. Ia bekerja karena merasa masa tua seorang ibu harus dirwat dengan baik, dengan begitu susahnya dalam hidup hingga harus dititipkan ke pantiasuhaun Wreda, kepalangan hidup dirasakan merawat ibunya tidak bisa, lantaran tolok ukur membahagiakan dengan adanya harta bukan hanya keinginan;“Aku merasa seolah-olah ia menyalahkan diriku atas sesuatu, maka mulai kujelaskan. Tapi ia menyala. “Anda tak perlu membenarkan diri, anakku. Sudah saya baca berkas ibu anda. Anda tak mampu mengurusnya dengan layak. Ia butuh perawat. Penghasilan Anda tak mencukupi. Dengan pertimbangan banyak hal, ia lebih bahagia di sini.” Ku jawab, (hal.3)

Hidupnya merasa sudah mengalami tekanan. Pada saat mendapat tekanan batin, semua pemikiran normal manusia terkadang tidak dapat dipungkuri tidak bisa optimal. Dalam pemikiran jernih manusia bisa memikirkan hal baik dan buruk, jelek dan buruk, tua dan muda. Sangat rapi dalam berpikir. Namun tidak akan bisa menjadi normal ketika manusia mendapatkan sebuah kejolak bersebarangan dengan harapan diri manusia. Ketika kondisi melelahkan bisa saja manusia seperti Gregor Samsa seorang manusia yang berubah menjadi seekor kecoa, dengan cara tiba-tiba berubah, hal itu telah ditulis dalam Metamorfosis karya Franz Kafka.  Ketika kondisi paling rumit dan sulit manusia sebagai makhluk pekerja keras akan senantiasa merasakan lelah dalam kondisi seperti itu manusia akan merasakan hidup tidak normal, seharusnya baik menjadi tidak baik, seharusnya berkualitas menjadi tidak berkualitas, hal itu dapat dirasakan manusia paling normal, maka absurdutas menjadi kualitas manusia hidup, ketika dalam kondisi apapun menjadi manusia semestinya memahami fungsi“Aku ingin merokok di depan jenazah ibu sebagai hari terakhir melihatnya.” (hal.25)

Penulisan roman ini sangat menarik menceritakan sebuah dinamika hidup dari manusia dari 0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10, dan kembali pada 0 (nol). Bukan sekedar batin dari tokoh melainkan menceritakan abusurditas mengenai kematian. Kematian manusia seharusnya dipahami dengan begitu menyenangkan dan penuh dengan kenikmatan hidup, bagi manusia, perlu dirayakan, mengapa? karena setiap manusia meninggal tidak akan kembali  ke dunia lagi, walaupun ada yang kembali tentu itu kebetulan. Manusia ketika sudah tiada akan merasakan kemerdekaan hak, kebebasan manusia telah berakhir. Dunia baru akan tiba masuk pada tahap hidup ke-tiga alam berzah. Namun,  setiap apa yang hilang menyisakan kenangan bagi yang mersakan akan merasakan kehilangan; fimily yang tua, muda, merasakan. Kehilangan merupakan kewajiban untuk di dunia namun semua kenangan akan menjadi harapan manusia untuk selalu tetap hidup dan suaranya akan lebih nyaring dari dalam kubur.

Albert Camus menawarkan pandangan sederhana dalam perspektif mengenai manusia yang meninggal. Meninggal menjadi hal paling wajar apalagi dengan umur yang telah tua, menjadi sesuatu kehilangan paling normal, bahkan  dengan begitu saking tua renta sakit-sakitan, terkadang manusia menunggu dan berdoa segera saja berakhir hidupnya si tua renta daripada merepotkan yang masih hidup” terkadang akan ditemui di masyarakat kini dan dulu.

Hal tersebutdisebabkan sering kali, tua renta sudah terserang penyakit dikarenakan daya tubuh tidak sehat lagi. Banyak masalah tubuh lainnya,  Meninggal di tempat biasa ketika menjalani hidup tenang, nyaman, tempat tersebut Panti Asuhan. Masyarakat seharusnya mengambil hikmah dari cerita Albert Camus yang absurd, sadar akan semua kejadian tidak memiliki nilai negativ seharusnya positiv dengan kematian. Ketiadaan tidak perlu dinilai oleh manusia yang masih hidup, mau kremasi, kubur, atau letakkan di pohon. Manusia tidak ada hak menilainya baik dan buruknya kematian. “Ibu yang meninggal berada di Panti Asuhan dengan umur 64 tahun, dan meninggalnya seseorang bukan diamati dari ideologi, agama, dan tempat tinggal”.(hal 21)

***

The Outsider sang pemberontak roman bukan hanya menceritakan kehidupan begitu tragis, melainkan kisah hidup seseorang setelahnya menemukan kesunyian selalu merasakan keramaian. Sebab dalam dirinya akan tetap seperti halnya manusia pada umumnya tanpa ada masalah. Absurditas menyatu pada tokoh-tokoh yang tidak ditutupi akan semua dunia begitu rapi dalam menjalani hidup, keteraturan dan ketergantungan yang seharusnya dituntut padanya tidak menjadi masalah besar akan semua itu, asal bisa tetap berjalan hidup tanpa berpikir rapi. Eksistensialis dan esensialis tidak akan menjadi absolut dalam dunia, kebenaran hanya ada dalam diri dan kekacauan, kesangsian  hanya di dalam asumsi.  

Dalam buku ini juga menceritakan seorang penerima nobel sastra pemenang penghargaan Albert Camus. Pada 10 Desember 1957. Dalam pidato kebudayaan menyampaikan beberapa perjalanan yang selalu pertanyaannya. Pada saat pidato kebudayaan setelah dikabarkan bahwa menerima penghargaan. Dalam pidatoyang begitu bijak dengan membuka bahwa kesadaran seseorag seniman perlu adanya pengakuan dan diakui oleh manusia lainya. Jiwa merendah untuk menunjukkan bahwa penghargaan itu pantas akan dirinya, dengan pertimbangan bahwa semua kelebihan setiap kerja manusia disesuaikan penghargaannya, dengan kerja-kerja kebudayaanya dalam berseni.“Seniman menyatu dirinya dengan yang lain, di tengah keindahan yang tidak bisa dia lakuakan dan lingkungn yang tidak dapat dilepaskan darinya. Itulah sebabnya seniman sejati tidak mencemooh apa-apa: mereka berkewajiban untuk mengerti daripada menilai. Dan jika mereka harus berpihak di dunia ini, mereka mungkin hanya berpihak pada masyarakat, di mana menurut kata-kata hebat Nietsche, ‘ bukan hakim tapi pencipta akan memerintah, apakah dia seorang pekerja atau intelektual” (hal 155)

The Outsider dalam tokoh Merusault sebagai seorang pria tanpa pretansi heroik, rela mati demi kebenaran. Dan tokoh tersebut merepresentasikan Kristus yang sepantasnya kita terima. Akan dipahami setelah penjelasan ini bahwa saya katakan ini tanpa maksud menghujat melainkan semata-mata dengan cinta yang mungkin ironis, yang berhak dirasakan seorang seniman terhadap tokoh ciptaanya. Albert Camus 8, Januari 1955.



Akhmad Mustaqim  2019


Tidak ada komentar:

Posting Komentar