Seorang Pekerja atau Intelektual; Le Mythe de Sisyphe
Mengulas Buku
Judul: The Outsider
Penulis: Albert Camus
Penerjemah: Natalia
Trijaji
Terbit pertama: 1955
Cetakan di Indonesia:
Ecosystem 2017
Halaman: 164
Isbn: 978-602-1527-53-5
Albert
Camus lahir di Aljazair pada 1913. Masa lalu yang gelap kan menjadikanlebih bisa menata hidup dengan baik dengan cara berbeda, walau absurdis.
Keadaanya Albert Camus, sangat memiriskan masa kecilnya. Sehingga pergi ke Paris
untuk berkerja disurat kabar Paris Soir sebelum
kembali ke Aljazair. Karya pertamanya yang penting, L’Etranger (The Outsider) dan esai panjang Le Mythe de Sisyphe (The Myth of Sisyphus), diterbitkan ketika
kembali ke Paris. Tahun 1941 masuk menjadi anggota perlawanan ketika pendudukan
Prancis oleh Jerman. Ia menyumbangkan tulisan di untuk surat kabar bawah tanah Combat yang didirikannya. Setelah perang
ia mengabadikan diri untuk menulis dan memperleh reputasi Internasional berkat
buku-buku karyanya seperti La Peste (The
Plague) pada 1947, Les Justes (The
Just) pada 1949 dan La Chute (The
Fall) pada 1956. Di tahun 1950-an memperbarui minatnya pada teater, menulis dan
menyutradarai adaptasi karya William Faulkner yaitu requiem for a Nun dan the
possessed karya Dostoyevsky, mendapat hadiah Nobel untuk bintang sastra
pada 1957. Novel terakhirnya Le Premier
Homme (The First Man) belum selesai ketika ia meninggal akibat kecelakaan
di jalan pada 1960. Karyanya telah diterjemahkan lebih dari 30 negara. Filsuf
dan penulis Sartre memberikan penghormatan pada Camus dalam obituarinya,
“Albert Camus tak akan pernah bisa berhenti menjadi salah satu kekuatan penting
dalam domain budaya kita, juga dalam mewakili, dengan caranya, sejarah Perancis
dan abad ini.
Dalam
buku The Outsider sang pemberontak
2017. Karya Albet Camus akan menjadi bukti jelas dengan karya-karyanya,
terkhusus pada The Outsider
memberikan anggapan jelas bahwa hasil pemikiran merupakan representasi yang
dituangkan dalam karyanya. Dan semua orang akan memiliki pandangan pada Albert
Camus dengan membaca karya-karyanya, sebagai orang absurdisme. Pada roman yang
ditulisnya ini memberikan dasar pemikiran netral dan putih, menjadi bagian dari
masa lampau. Bahawa Sartre mengatakan bahwa ia “memberikan kesan tersendiri di
setiap kalimat. Gaya penulisannya menambahkan kesan kesendirian sang karakter
dalam mengahdapi keseharian (dunia) dan dirinya sendiri.” Dan akan memberikan
pandangan secara liberal, rasional, dan kejutan. Dalam kehidupan sehari-hari
dalam menjalani hidup. Bahwa manusia tidak hanya menjaga moral, tapi Albert
Camus bisa memberikan sebuah pandangan moral, dengan cara hidup dan kehidupan
sederhan begitu rill.
Albert
Camus dalam memaparkan kehidupan begitu rumit dengan ke-absurdan sangat
sederhana dan bisa dengan mudah dicerna. Bagaimana seorang anak kehilangan
seorang ibu begitu disayangi, bahkan belum pernah membalas budinya, karena
sakit dititipkan ke panti asuhan. Bagaimana tidak merasa terpukul dan merasakan
kehilangan serta depresi mendengarkan ibunya meninggal pada saat ia bekerja. Ia
bekerja karena merasa masa tua seorang ibu harus dirwat dengan baik, dengan
begitu susahnya dalam hidup hingga harus dititipkan ke pantiasuhaun Wreda, kepalangan
hidup dirasakan merawat ibunya tidak bisa, lantaran tolok ukur membahagiakan
dengan adanya harta bukan hanya keinginan;“Aku merasa seolah-olah ia
menyalahkan diriku atas sesuatu, maka mulai kujelaskan. Tapi ia menyala. “Anda
tak perlu membenarkan diri, anakku. Sudah saya baca berkas ibu anda. Anda tak
mampu mengurusnya dengan layak. Ia butuh perawat. Penghasilan Anda tak
mencukupi. Dengan pertimbangan banyak hal, ia lebih bahagia di sini.” Ku jawab,
(hal.3)
Hidupnya
merasa sudah mengalami tekanan. Pada saat mendapat tekanan batin, semua
pemikiran normal manusia terkadang tidak dapat dipungkuri tidak bisa optimal. Dalam
pemikiran jernih manusia bisa memikirkan hal baik dan buruk, jelek dan buruk,
tua dan muda. Sangat rapi dalam berpikir. Namun tidak akan bisa menjadi normal
ketika manusia mendapatkan sebuah kejolak bersebarangan dengan harapan diri
manusia. Ketika kondisi melelahkan bisa saja manusia seperti Gregor Samsa
seorang manusia yang berubah menjadi seekor kecoa, dengan cara tiba-tiba
berubah, hal itu telah ditulis dalam Metamorfosis karya Franz Kafka. Ketika kondisi paling rumit dan sulit manusia
sebagai makhluk pekerja keras akan senantiasa merasakan lelah dalam kondisi
seperti itu manusia akan merasakan hidup tidak normal, seharusnya baik menjadi
tidak baik, seharusnya berkualitas menjadi tidak berkualitas, hal itu dapat
dirasakan manusia paling normal, maka absurdutas menjadi kualitas manusia
hidup, ketika dalam kondisi apapun menjadi manusia semestinya memahami fungsi“Aku
ingin merokok di depan jenazah ibu sebagai hari terakhir melihatnya.” (hal.25)
Penulisan
roman ini sangat menarik menceritakan sebuah dinamika hidup dari manusia dari
0,1,2,3,4,5,6,7,8,9,10, dan kembali pada 0 (nol). Bukan sekedar batin dari
tokoh melainkan menceritakan abusurditas mengenai kematian. Kematian manusia
seharusnya dipahami dengan begitu menyenangkan dan penuh dengan kenikmatan
hidup, bagi manusia, perlu dirayakan, mengapa? karena setiap manusia meninggal
tidak akan kembali ke dunia lagi,
walaupun ada yang kembali tentu itu kebetulan. Manusia ketika sudah tiada akan
merasakan kemerdekaan hak, kebebasan manusia telah berakhir. Dunia baru akan
tiba masuk pada tahap hidup ke-tiga alam berzah. Namun, setiap apa yang hilang menyisakan kenangan
bagi yang mersakan akan merasakan kehilangan; fimily yang tua, muda, merasakan.
Kehilangan merupakan kewajiban untuk di dunia namun semua kenangan akan menjadi
harapan manusia untuk selalu tetap hidup dan suaranya akan lebih nyaring dari
dalam kubur.
Albert
Camus menawarkan pandangan sederhana dalam perspektif mengenai manusia yang
meninggal. Meninggal menjadi hal paling wajar apalagi dengan umur yang telah
tua, menjadi sesuatu kehilangan paling normal, bahkan dengan begitu saking tua renta sakit-sakitan,
terkadang manusia menunggu dan berdoa segera saja berakhir hidupnya si tua
renta “daripada merepotkan yang masih
hidup” terkadang akan ditemui di masyarakat kini dan dulu.
Hal
tersebutdisebabkan sering kali, tua renta sudah terserang penyakit dikarenakan
daya tubuh tidak sehat lagi. Banyak masalah tubuh lainnya, Meninggal di tempat biasa ketika menjalani
hidup tenang, nyaman, tempat tersebut Panti Asuhan. Masyarakat seharusnya
mengambil hikmah dari cerita Albert Camus yang absurd, sadar akan semua kejadian
tidak memiliki nilai negativ seharusnya positiv dengan kematian. Ketiadaan tidak
perlu dinilai oleh manusia yang masih hidup, mau kremasi, kubur, atau letakkan
di pohon. Manusia tidak ada hak menilainya baik dan buruknya kematian. “Ibu
yang meninggal berada di Panti Asuhan dengan umur 64 tahun, dan meninggalnya
seseorang bukan diamati dari ideologi, agama, dan tempat tinggal”.(hal 21)
***
The
Outsider sang pemberontak roman bukan hanya menceritakan kehidupan begitu
tragis, melainkan kisah hidup seseorang setelahnya menemukan kesunyian selalu
merasakan keramaian. Sebab dalam dirinya akan tetap seperti halnya manusia pada
umumnya tanpa ada masalah. Absurditas menyatu pada tokoh-tokoh yang tidak
ditutupi akan semua dunia begitu rapi dalam menjalani hidup, keteraturan dan
ketergantungan yang seharusnya dituntut padanya tidak menjadi masalah besar
akan semua itu, asal bisa tetap berjalan hidup
tanpa berpikir rapi. Eksistensialis dan esensialis tidak akan menjadi
absolut dalam dunia, kebenaran hanya ada dalam diri dan kekacauan,
kesangsian hanya di dalam asumsi.
Dalam
buku ini juga menceritakan seorang penerima nobel sastra pemenang penghargaan
Albert Camus. Pada 10 Desember 1957. Dalam pidato kebudayaan menyampaikan
beberapa perjalanan yang selalu pertanyaannya. Pada saat pidato kebudayaan setelah
dikabarkan bahwa menerima penghargaan. Dalam pidatoyang begitu bijak dengan
membuka bahwa kesadaran seseorag seniman perlu adanya pengakuan dan diakui oleh
manusia lainya. Jiwa merendah untuk menunjukkan bahwa penghargaan itu pantas
akan dirinya, dengan pertimbangan bahwa semua kelebihan setiap kerja manusia
disesuaikan penghargaannya, dengan kerja-kerja kebudayaanya dalam berseni.“Seniman
menyatu dirinya dengan yang lain, di tengah keindahan yang tidak bisa dia
lakuakan dan lingkungn yang tidak dapat dilepaskan darinya. Itulah sebabnya
seniman sejati tidak mencemooh apa-apa: mereka berkewajiban untuk mengerti
daripada menilai. Dan jika mereka harus berpihak di dunia ini, mereka mungkin
hanya berpihak pada masyarakat, di mana menurut kata-kata hebat Nietsche, ‘
bukan hakim tapi pencipta akan memerintah, apakah dia seorang pekerja atau
intelektual” (hal 155)
The
Outsider dalam tokoh Merusault sebagai seorang pria tanpa pretansi heroik, rela
mati demi kebenaran. Dan tokoh tersebut merepresentasikan Kristus yang
sepantasnya kita terima. Akan dipahami setelah penjelasan ini bahwa saya
katakan ini tanpa maksud menghujat melainkan semata-mata dengan cinta yang
mungkin ironis, yang berhak dirasakan seorang seniman terhadap tokoh ciptaanya.
Albert Camus 8, Januari 1955.
Akhmad
Mustaqim 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar