Minggu, 29 Desember 2019

Resensi Buku Rumah Jadah karya Royyan Julian



Menemukan Kematian Dalam Kehidupan




Judul: Rumah Jadah
Penulis: Royyan Julian
Penerbit: Basabasi
Edisi: Pertama, September 2019
Tebal: 131 Halaman
ISBN: 978-623-7290-22-3

Fenomenologi tradisi, budaya, dan agama. Suatu hal yang tidak bisa dilupakan atau ditinggalkan dikehidupan bersosial. Menghadapi permasalahan untuk diselesaikan dengan cara membuka pandangan baru merupakan kesadaran  Pada dewasa ini hal baru menjadi pilihan hingga terjerumus pada dinamika yang jauh dari realitas sosial yang berada di desa. Kontestasi kepala desa yang selalu menuai konflik vertikal, sering terjadi karena adanya gesekan dari bawah (para pendukung yang fanatik) membangun narasi negatif secara kolektif ke atas melahirkan konflik, hingga jatuh korban. Ketika segala kepentingan dikaitkan dengan kepentingan politik kotor, maka dengan mudah kita menemukan kematian dalam kehidupan.  
Fragmen pada novela berjudul Rumah Jadah (2019) berlatar hiruk pikuk kehidupan di Madura yang begitu kental, dengan tradisi jodoh-dijodohkan ketika masih berada dalam kandungan, konflik  kontestasi kepala desa, dan isu agama. Semua masih bisa dirasakan hingga sekarang, masih begitu kental bahkan seperti mendarah daging. Sebagai orang yang berdarah Madura masih merasakan kebiasaan tersebut, tidak menjadi Madura yang ideal melainkan membuka cara pandang baru pada narasi kontekstual yang melahirkan sintesis. 
Novela Rumah Jadah ini penulis Royan Julian membuka awal cerita dengan begitu memukau. Pembukaan cerita dengan tragedi kematian yang menghebohkan, kematian seorang perempuan yang tidak wajar. Di makam Syekh Jakfar Sidik ditemukan perempuan meninggal dalam keadaan telanjang yang bernama Marsia. Setelah hilang semalaman, Marsia ditemukan mati terkapar di makam Syekh Jakfar Sidik. “Jenazah yang telanjang tampak kabur dilengkapi kabut pagi. Seorang menyelimuti jasad itu dengan daun jati sebagaimana Tuhan menutupi kemaluan dua manusia pertama dengan selembar daun ara sehabis mencicipi buah surga”. (hal.5)
Kematian Marsia membuka cerita dengan beberapa rentetan konflik, yang segera terungkap secara bertahap. Mengapa kematian tidak wajar yang berada di atas bukit di tepi Ngarai Kalajengking terjadi. Mengapa  meninggal dengan keadaan memeluk makam Syekh Jakfar. Jika ditellisik ternyata ia semasa hidupnya menjadi seorang tokoh berpengaruh diislam Syiah. Warga dihebohkan dengan kematian itu, dan bertanya-tanya mengapa bisa terjadi hal yang tidak wajar dalam hidupnya, bagi yang masih bisa menjadi.
Di lereng bukit Maronggi menjadi saksi yang menuai kontroversi, bahwa di bukit tersebut mata masyarakat menyadari bukan hanya tempat angker melainkan tempat ritual pesugihan. Pada suatu ketika Linggo dan Marsia ditemukan oleh salah satu pemuda, kalau mereka berdua sering mendatangi tempat tersebut untuk melakukan ritual pesugihan. Dan sadar akan keterasingan hidup mereka berdua membuat warga sadar, sadar untuk menghormati antara takut. Warga masih bingung dengan tragedi Marsia.  Stress yang terjadi pada Linggo sebagai suaminya merasakan tekanan batin atas kematian istrinya yang seperti menjadi aib baginya. Bahkan Linggo dan Maeda akan merasakan kematian dalam hidup yang tidak berkesudahan.
***
Novela ini menggunakan alur mundur. Peristiwa kematian Marsia pengatar menuju pengungkapan.  Sedangkan kronologis serta kejadian pasca kematian latar belakang tokoh Marsia dan Linggo lambat laun dibeberkan secara detail. Pada bab dua bercerita tentang masa lalu perjodohan Marsia dengan Fandrik, lelaki yang dituduh penyebab kematiannya Fandrik sakit hati pada Marsia karena telah dijodohkan sejak berada dirahimnya, tapi Marisa tidak menerimanya dengan bahagia. Perjodohan semenjak di dalam rahim tidak menjamin kebagaiaan. Hal ini menjadi bukti dalam realitas tradisi di Madura, menjadi wajar sejak dalam kandungan telah ditentukan kebahagiaannya oleh manusia. Memiliki dampak tidak baik meningkatnya perceraian, salah satu penyebabnya karena pada saat pernikahan tidak memiliki rasa cinta pada pasanganya, melainkan memiliki rasa takut, takut karma dunia yang selalu menjadi narasi tunggal harus patuh kepada orang tua yang senantiasa memiliki kuasa akan hidup manusia yang masih berada dalam rahim. Hak dalam hidup tidak dapat ditentukan sejak dalam rahim oleh manusia. manusia hanya bisa melakukan bukan memutuskan, keputusan ada pada hak Tuhan yang tertulis di  laufil mahfud.
Susahnya Marsia dalam pada kondisi dihadapinya, ketika harus memilih seorang laki-laki pilihannya. Lelaki yang dipilih bernama Linggo. Namun cinta bukan patokan bahagia bersamanya. Hidup terlalu sempit dalam memikirkan bahagia ketika bersamanya, seharusnya menjadi koreksi ketika melakukan pilihan, pasca memilih bagaimana bisa mengatasi setiap masalah rumah tangga. Marsia tidak bisa memiliki anak keturunan, ketika diusut dan diptukan oleh dokter kalau Linggo mandul. Hati Marsia tidak bisa menerima itu dan memaksa ingin memiliki anak. pada akhirnya ada cekcok rumah tangga. Dominasi perempuan dalam kondisi seperti itu menjadi utama. Sedangkan Linggo sangat mencintai dan buta cinta (bucin) denganya. Hingga rasa itu membuat lupa akan norma-norma agama, karma, dan budaya, yang akan memberikan dampak dalam kehidupanya.
Dan secara signifikan mementingkan keinginan bahagia pasanganya. Dalam kontruksi sosial ketika dalam rumah tangga tidak memiliki anak, ‘perempuan menang’  dan laki-laki akan menerima cibiran dari banyak orang secara halus. Tidak dapat dipungkiri masyarakat suaminya  lemah. Karena diselimuti malu dan merasa menanggung malu besar. Serasa menemukan kematian dalam hidup Linggo. Marsia tidak peduli dengan derita Linggo. Linggo sebagai suami mencari solusi dan setelah menemukan solusi yang begitu membuat menutup mata hatinya. Linggo meminta Madong dengan terang-terang untuk bersetubuh dengan Marsia. “Inilah adalah air matamu yang terakhir,” ucap Linggo sambil menyeka pipi istrinya. “Jangan biarkan Tuhan merasa menang dengan melihat tangismu. Kita telah mengalahkan-Nya dengan jerih payah. Kita sudah berhasil membunuh takdir-Nya yang kejam.” (hal.76)
***
Perlawanan takdir Tuhan tidak berenti disitu. Sosok Marsia tidak hanya menjadi perempuan biasa pada umumnya. Setelah konflik rumah tangga selesai. Berhasil memiliki anak. Marsia bertemu Fandrik dendam lama menyala mengingat pada masa lalu. Awal mulanya konlik pribadi hingga ego dipertahankan, konflik perpolitikan dimulai. Mendengar kalau Fandrik akan mencalonkan diri menjadi kepala desa. Marsia yang tidak ingin dianggap orang sembarangan di desa tersebut, tidak ambisi kekuasaan tapi gengsi, maka ia segera bergegas pula untuk mencalonkan diri juga. Dan bukan hanya kemenangan menjadi tujuan utama tetapi juga harga diri keras ingin dipertahankan.
Marsia membawa misi menghalangi Fandrik ketika ada isu mencalonkan diri. Dengan Ra Wazir yang digagalkan untuk mencalonkan diri, untuk diganti Marsia. Konflik besar terjadi di dalam kontestasi politik bukan hanya  bentuk material (berbaur nyata) namun non-materil (berbaur mistis) dilakukan untuk mensukseskan tujuannya. Dinimika kampanye untuk menggait suara lebih banyak dengan mempengaruhi masyarakat dengan membuka aib lawannya akan terjadi. Cara apapun untuk mensukseskan akan dilakukan, itulah politik.
Kedua tim sukses adu cepat membakar kayu kropos untuk menyulutkan api menjadi besar. Bahkan isu agama kampaye di plosok desa eksis. Terkhusus di Madura yang menjadi mayoritas muslim, islamya Nahadatul Ulama (NU). Marsia meminta para tim suksesnya meminta untuk membawa isu agama lawanya Fandrik, sudah tahu kalau ia masih beriman ke Islam Syiah, itu dijadikan alat menciderainya. Tujuan tidak lain dan tidak bukan untuk mempengaruhi warga Desa Tanjung Mayang . Isu itu meluas sehingga pada saat ayahnya meninggal. Rumah Fandrik didatangi untuk turut berduka-cita, kesempatan itu dijadaikan klarifikasi terhadap isu tersebut kebenaran keluarga tersebut iman pada Islam Syiah.
Ra Wazir selaku tokoh agama serta menjadi kiyai sekaligus tim sukses Marsia, memanfaatkan posisinya pada saat di rumah duka tersebut, menoleh ke kamar, ia melihat foto Syaidina Ali. Arah mata memandang Ra Wazir memandangnya secara bersamaan, dan warga pecah mendengar isu itu, tidak ada harapan, agama selain Islam NU, bakhkan sampai kambingya pun NU, yang lain jangan sampai ada perbedaan, itu narasi dibangun. Itu menjadi bahan menjatuhkan pada saat berkumpul dengan masyarakat, melakukan sentilan. “Orang-orang tidak bisa membedakan mana foto Syaidina Ali dengan Syeh Abdul Qodir Jailani”. (hal.90)
Pembalasan kepada tim sukses Fandrik. Isu yang krusial dengan membawa dengan konteks pribadi. Menggilingnya dengan menggiring isu kalau Marsia dan Linggo seorang warga yang memiliki pesugihan kekayaaanya bukan hasil dari jerih payah kerja keras. Maeda perempuan muda yang cantik menjadi kambing hitamnya dan korban, anak dari mereka yang cantik, berpendidikan, tapi tidak ada laki-laki mana pun, mau mendekatinya karena takut kepada keluarganya, kalau mendekati takut menjadi tumbal.(hal.91)
Pada kontestasi politik tidak ada yang bisa menerima lawan politiknya baik, semua terlihat jelek. Itulah kebobrokan politik yang secara tidak langsung dalam novella ini Royyan Julian menarasikan secara detail. Bahwa kontestasi politik di Madura dalam lingkup desa terdapat konflik vertikal bahkan ada korban jiwa; bukan hanya mengenai norma moral, dan bahkan norma ber-agama. Bahwa kritik terhadap masyarakat Madura harus memiliki rasionalitas dalam memilih pemimpin bukan melihat gender bahkan politik praktis. Kesadaran kolektif sangat perlu di dunia politik sehingga bisa membedakan agama dengan politik, selaras dengan apa yang dituliskan bapak republik “Pisahkan agama dengan politik, jangan dicampur adukkan” Tan Malaka (1926).
Di Madura masih sangat kental dengan budaya Patriarki. Secara signfikan terjadinya politik gender.  Yang sejujurnya sangat diantisipai terjadi, namun di faktanya; apa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin?, bahkan posisi perempuan  menjadi posisi yang ideal sebagai posisinya. Terlihat pada Marsia melakukan perlawanan ke Fandrik. Salah satu warga yang bertanya tentang pemimpin baik. Pertanyaan itu dijabawab oleh Kiyai Karrar bahwa syarat pemimpin itu adil, jika bisa berbuat adil jadikanlah pemimpin (hal. 106)
Novela ini sebenarnya sangat konpleks membahas permasalahan dalam pemilihan kepala desa. Menceritakan stuasi begitu universal dan kontekstual, tidak ada yang ditutup-tutupi dan menjadikan Madura bukan sebagai wilayah yang ideal. Bahwa dalam budaya yang tidak baik diceritakan, bukan tidak perlu diceritakan, apalagi dengan isu sensitif mengenai gender, agama, ketika isu itu dipoles menjadi sangat seksi, dan menyebutkan isu ilmu santet dengan ritualnya begitu kompleks. Konlfik dalam pemilihan kepala desa hingga ada korban jiwa, sangat realistis di wilayah Madura masa kini.
***
Dalam pembacaan ini ada hal cukup mengganggu dalam pembacaan dan bertanya-tanya mengenai konteks bahasa yang disampaikan penulis Royyan Julian. Dalam percapakan tersebut, karena memang tidak dijelaskan secara detail tahunnya kapan cerita tersebut terjadi. namun asumsi selaku pe-rehal (pengulas), potret cerita ini berlatar tahun 1980-an, namun ada percapakan yang keluar konteks atau tidak sesuai dengan zamanya, dalam bahasa Jerman zaitgaes dalam percakapan dalam dialognya berbunyi“Cakep dari Hongkong”. Di halaman 32-33. Percakapan tersebut kurang selaras dengan konteks zaman, jika dilihat dari bahasa tersebut latar yang pas pada tahun 2010-an.
 Karena penulis pe-rehal (pengulas buku) berdarah Madura satu darah dengan penulis Rumah Jedah. Memberikan saran mengenai detailnya ketika menceritakan kronologi, yang terjadi pada permintaan Linggo kepada Madong, ada kesan tiba-tiba bahkan terburu, atau cerita yang mungkin terlalu terburu-buru serta mendadak dalam adegan  yang seharusnya mempu membangun. Di halaman 75-76. Ketika adegan  pertemuan Madong dengan Marsia. Tiba-tiba cerita yang bernarasi “Linggo memejamkan mata. Berharap ketika ia membukanya kembali, waktu telah usai dan semua berjalan lancar. “Perbuatan Marsia dan Madong memang berhasil. Perempuan itu hamil dan menangis”. Dalam kalimat tersebut serasa terburu-buru.
Hal menarik pula dari Royyan Julian dalam Rumah Jedah adalah gaya menceritakan dengan gaya-gaya homor. Dengan menyebutkan hantu-hantu begitu detail. Bahwa hantu Wewe Gombel. Pada pargraf tersebut membuat senyum pembaca.”Wewe sadar, ia tak mampu memenuhi kebutuhan anak asuhnya. Ia harus melepaskan si anak ke anak pangkuan ibunya yang sejati. Karena kasih sayangnya begitu besar, Wewe merelakan buah hatinya pulang ke rumahnya sendiri. (hal.44-45)
Sebagai penulis muda Kak Royyan Julian tak boleh berhenti di sini. Kelak keberanian akan ditunggu-tunggu oleh banyak pemuda seperti pengulas ini dan para pegiat sastra. Kebenaranian dalam menceritakan fragmen ke-daerahan. Tentunya akan lebih banyak lagi hal-hal lain perlu diceritakan melalui penanya. Walaupun karya novela merupakan hasil projek namun tidak lepas dari esensi novel lokalitas, dan karya sastra hasli dari kerja-kerja naluri,sehingga akan membuat perubahan diri secara evolusi, dan kejataman membaca dinamika, merekam peristiwa. Sebagai pembaca hanya menangkap teks apa yang telah menjadi karya, sehingga interpretasi tugas pembaca, penulis sebagai penggaris narasi.






Akhmad Mustaqim 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar