Selasa, 13 Agustus 2019

Pesan Kepada Calon Penulis yang Frustasi

Gambar: refrensiadunia.com


Kegagalan menulis ketika sudah berhenti menulis, kreatif yang satu Ini seperti halnya seorang pelukis, menulis menuangkan ide dalam bentuk teks, ketika sudah usai perlu pengembangan, mengembangkan ide itu perlu latihan yang memerlukan proses panjang. Pikiran kita bukan memikirkan pembaca dengan karya yang kita tulis, melainkan apa yang bisa sampaikan dalam teks. Pada suatu hari, ketika merasa tidak pantas menjadi penulis, hal wajar, karena kita masih sadar dengan 'kita memiliki pembaca apa tidak'. Tugas seoang penulis memang bukan untuk memberikan jalan, tapi lebih tepat memberikan sebuah pandangan cara-cara jalan menemukan jalan buntu.

Melalui teks penulis akan hidup di dalam diri setiap pembaca. Dari mana datangnya penyesalan, mungkin masih berpikir apa respon dari pembaca yang tidak terlalu banyak. Kita tahu kadang memberi apresiasi pada penulis, sebuah kebanggaan tersendiri. Menulis cara memaknai sunyi yang rumit ditemukan dalam keadaan paling ramai dituangkan pada keadaan sosial dan dijadikan sebuah rujukan. Bersyukurlah ketika ide yang terbentuk teks menjadi pengetahuan, hingga diakhir hidup dengan seperti itu akan  ada keabadian.

Akhir-akhir ini saya tidak terlalu intensif menulis. Bukan tidak ada waktu namun labih tepatnya serasa menulis sudah menjadi puncak kebosanan dan seperti diputuskan oleh akal kalau hati bicara kala sunyai berkata "Mungkin saja saya tidak ditakdirkan jadi Penulis". Hal itu menjadikan cara berpikir yang sesuai dengan harapan. Saya tidak tahu dari mana datang akal pikiran itu apa hukum sebab akibatnya dapat ditemukan.

Salah satu teman dekat namanya Dani. Ia memang ingin sekali menjadi penulis (ambisius). Pada suatu saat keluh kesahnya dengan kegagalan menjadi penulis dengan membawa cerpen yang belum jadi. Dan itu disuruh bacakan ke saya. Dalam hati hanya berkata mengapa masih berkata gagal menulis atau menjadi penulis, samapai mana parameter berhasil menulis. Hal itu akan berkaitan dengan apa yang dibaca dan kepada apa mentitahkan dirinya sebagai penulis. Ketika sudah menyodorkan karya bagiku itu sudah bentuk proses akan menjadi penulis. Apa yang paling susah dalam melawan keinginan besar, tidak lain dan tidak bukan yaitu malas dan bagaimana memulainya ide. Tentunya itu akan menjadi kegelisahan dalam proses mendalami dunia tulis menulis.

Menulis itu serasa capek atau kadang kehilangan inspirasi atau bahkan disebabkan karena membaca kurang banyak. Kalau bilang setuju mungkin bisa jadi subjektif dan hal itu untuk menjadi objektif perlu kedalaman isi dan keluasaan pandangan. Bagiku menulis bukan sekedar hobi tapi keharusan sebagaimana nanti apa yang kita tangkap atau yang pernah kesasar dalam dunia Sastra, opini, esay, berita dan bahkan hanya cerita di buki harian. Berharap akan membantu pembaca yang nanti akan menjadi langkah sederhana setidaknya langkah itu tidak membuat orang selaku pembaca tidak tersesat dalam ruang paling sempit. Minimal kesangsian orang lain diluruskan oleh apa yang ditulis sebelumnya, khususnya saya dan teman saya yang sudah merasa gagal menjadi penulis.

Pernah seketika di suatu malam di samping makam memikirkan hal itu bagaimana kita menjadi penulis. Di makam yang begitu gelap seperti menyeramkan karena tepat pukul 2:00 Wib tengah malam. Mengambil buku dan menuliskan kegelapan sebagai objek tulisanku. Pada saat itu saya sendiri namun pada saat berkumpul kita membahas tulisan itu, hasil apa yang didapatkan. Pertimbangan kurang faedah itu seperti tidak menjadikan kita lebih baik atau bahkan hanya sekedar ngobrol seperti tidak serius. Pembahasan itu biasa dilakukan di warung kopi, dan di manapun kita berada.

Tempat paling biasa kita membahas tentang banyak hal yaitu di tempat kerja saya. Di situ ada teman seperjuangan belajar menulis dan selalu membaca. Namanya Deri, biasa di tempat bekerja banyak hal di bahas kala semua orang tidak menganggap kita paling menarik namun bagi kita tetap apa yang berkaitan dengan ide perlu kita perbincangkan. Daripada membicarakan orang lain atau bahkan hanya bicara mengenai kecantikan perempuan. Boleh juga taoi tidak seharusnya menjadi kewajiban disetiap saat itu akan menjadi pembicaraan, tidak ada masalah kala mengaduk kopi dan meminum kopi tidak selalu bicara idealisme tapi selingan sebagai lelaki normal permpuan menjadi selingan kala semua pembicaraan sudah seraaa membosankan.

Memulai lagi ketika malam itu kita selalu berbicara ngawur seperti kemana-mana kita berkelana dalam Imajinasi, walau agak liar berpikir tapi tidak melampaui batas kekikiran diri untuk berbagi dan bisa menemukan sebuah solusi. Dari itu pembicaraan sering terjadi dan menjadi bukti keberadaan kita sebagai manusia. Ide yang ditulis kadang memiliki perbedaan jauh berbeda orientasinya, dan kita memiliki tata niat berbeda, tapi dalam praktik masih saja sama. Dari mana kita akan menemukan makna tentang itu semua. Menulis cara kita mencatat apa yang kita rangkap kita nanti bisa konsisten akan memiliki kebanggaan sendiri.

Dan hari ini bisa dikatakan hari lahirnya kita selama berproses mengumpulkan ide dan menjadikan jadi satu sebagaimana kita sama-sama memiliki misi sama, dunia literasi akan menjadi Menjadi wadah kita. Memberikan ruang dan kesempatan kita dalam berkreasi. Mungkin bisa dikatakan telat walau tidak kita anggap telat karena itu masih dalam proses belajar. Sekarang kami bertiga membuat akun IG yang dijadikan identitas keberadaannya gerakan literasi kita. Pada awalnya hanya diberi mana toreh maos, kini diberi nama 'Gerilya Literasi' semangat nama ini semoga menjadi langkah paling awal dan tidak ada akhir kecuali nanti bisa dijadikan sebuah bukti bahwa kita sudah tiada, dan berharap ruang itu tetap ada.

Semangat yang kita bawa untuk membetuk, bukan hanya ada pada eksistensi namun esensi dari semua itu kita perlu diperhitungkan. Seperti apa yang dilakukan kita bukan beroentasi mengenai materil namun ingin lebih menawarkan nilai edukasi. Yang nanti bisa menunjang pada kehidupan kita dan semuanya yang kita cermati sebagai bukti keseriusan hati menata diri.

Jika menulis tugas keabadian maka hanya kesunyian yang harus ditempuh untuk menemukan, arti dari apa yang akan dituliskan. Sehingga perasaan kita akan bisa dirasa dimasa akan datang, ketika semua bisa ditempuh dengan baik kerisauan kegelisahan, disisipi mengenai pengetahuan, mungkin saja akan melahirkan sebuah cara baru di masa depan para pembaca kita.

Saya pernah teringat dengan surat yang ditulis oleh Mario Vargas Illosa, pesan kepada soorang novelis muda. Menulis itu tugas yang tidak mudah, apalgi menulis fiksi. Menulis fiksi Itu seperti meletakkan cacing pita di dalam tubuh kita, dan cacing pita itu akan menggerogoti tubuh kita. Karya itu seperti halnya cacing pita tidak akan terlihat oleh manusia namun akan ada di dalam diri manusia. Bahkan terkadang akan cacing itu akan membuat penyakit pada manusia.

Penulis akan memberikan ide dan cara yang akan lahir seperti halnya pengetahuan, Pengetahuan yang akan bisa dirasa oleh manusia akan datang, bagaimana nanti suatu saat ketaatan manusia memberi acuan pada apa yang ditulis, yang kita persembahkan pada pembaca. Apapun maknanya akandl diberikan pada pembaca, fiksi tercipta oleh akal budi manusia yang transenden. Sebagaimana nanti hasil dari renungan hanya tercipta sebuah puisi hal itu, dan bagiku itu bukan bentuk kegagalan untuk jadi penulis. Itulah seorang penulis yang selalu mampu mencoba mencipta hal baru. Yang nanti akan melahirkan ide pada pembaca.

Tulisan ini saya teruntukkan teman saya yang mengeluh untuk jadi penulis. Merasa gagal karena dirinya merasa masih belum apa-apa. Bagiku itu sikap seorang penulis yang seperti halnya seorang pelukis, ia tidak akan merasa bahwa lukisannya bagus dan indah. Bahkan akan selalu merasa gagal melukis. Teringat dengan Aan Mansur seorang penyair dan penulis, karyanya yang dikenal puisi yang Tiada New York Hari Ini dibacakan Nicolas Saputra dalam flim Ada Apa dengan Cinta 2 (AADC 2).  Ia pernah bercerita mengenai proses menulisnya disalah satu perbincangannya ia berkata "saya dalam menulis masih belajar". Dengan seperti saya meyakinkan sikapmu seperti itu sudah menunjjukan kalau kamu bakat jadi penulis. Saya pernah meyakini kau lebih bisa daripadaku sebab kegigihan belajar yang kuat itu membuat saya yakin. Ketika sering berbicara tentang tulisan mungkin saja kita sama-sama tidak akan pernah menunjukkan mana yang salah dan mana yang benar. Kita sering melakukan memberikan pujian dalam sastra dikenal (apresiasi sastra). Dari itu saya yakin sebagai pemula akan terus belajar. Saya pernah dikirimi tulisan olehmu melalui pesan WA dan saya sanjung tulisan itu, bahwa tulisanmu itu bagus tapi belum baik, karena baik itu subjektif. Dengan bijak kamu bilang "mengenai menulis kita pemula, yang sudah jadi penulis seperti Faisal Oddang itu" itu pernah kamu ucapkan ke saya.

Saya juga pernah berpikir, kalau saya menulis sebaik apapun siapa yang akan baca. Mungkin Dani teman seperkopianku yang ingin jadi penulis, bahkan dalam ceritanya kalau gagal jadi penulis, ia akan pulang ke Situbondo katanya mau jadi penjual tembakau. Saya waktu itu senyum saja. Kegelisahan yang sama bagaimana mungkin kita akan memiliki pembaca sedangkan kita masih jauh dari kata yang orang banyak tahu dan kita mah orang yang tidak memiliki power ketenaran. Pembaca kita kadang dipaksa, kalau yang punya teman dekat dan pasangan paling hanya itu yang kita beri tahukan tentang tulisan kita. Yang paling ingin memamerkan kita membuat status di WA agar sedikit ada yang tahu bahwa kita pernah menulis sesuatu. Rasa Itu hanya sementara kepuasaanya, sebaab tidak semua patut dibanggakan dan kedang membanggakan. Sebagian hanya mencemooh tulisan, itu bagian yang pasukan nyinyir. Yang hidupnya bisa dikatakan sudah baik dengan apa yang telah dijelani dengan baik dan jelas. Sedangkan kita sebagai orang yang hanya menggemari menulis dan baca, tidak memiliki apa-apa. Hasil tulisan belum bisa kita makan, tidak perlu dibanggakan tapi harus sadar menulis bukan seperti halnya menanam jagung, kacang, dan kopi. Menulis seperti halnya menanam pohon beringin, ketika besar kadang bisa angker kadang tidak berani untuk di potong, tapi pohon beringin, ya pohon beringin, ketika hujan bisa melindungi manusia berteduh.

Saya juga pernah bercita-cita dan bermimpi bahwa tulisanku bisa digemeri seperti halnya seorang penulis kalau di Indonesia Pramoedya At, Akhmad Tohari, Seno Gumira, Eka, Tirto, Hamsah Funsiri, Abdul Hadi WM, Afrizal Malna, Budi Darma, Danarto, GM, Tan Malaka, Bung Karno, dan Hatta. Kalau di luar negeri seperti Vigtor Hugo, Haruki Murakami, Ernes Himengway, Sastre, Gabriel Marques, Jorge Luis Borges, Albert Camus, Shakespeare, Pablo Neruda, Wislawa, dan Kafka. Semua Itu akan menjadi impian seorang penulis karya diimpikan oleh para penulis, setiap karya dari orang yang disebut itu karyanya akan selalu ditunggu oleh para pembaca, penulis tidak punya penggemar karena bukan dirinya yang persembahkan, tapi teks yang dipersembahkan. Pengemar dikhususkan ke artis saja.

Menulis itu seperti seorang pengemis mencari keberuntungan, dan kadang mencari dengan keras untuk menghasilkan. Dan untuk bisa menjadi pengemis baik mampu mengumpulkan uang receh itu tingkat keberhasilan pengemis. Sikapnya penulis bagiku samahalnya dengan penggaris, mengukur lurus dan jauhnya sampai mana ide, kreatifitas, dan pengetahuan.

Kualitas tulisan ketika kita sudah berani keras mengasingkan diri, diasingkan diri pemikiraan orang-orang lain. Jalan sunyi dalam menemukan makna yang diterima oleh setiap disiplin ilmu.



Akhmad 2019
Tulisan ini teruntuk para calon penulis atau yang belajar menulis seperti halnya saya ini yang masih belajar menulis. Kepada teman ngopi Dani Alfian yang frustasi ingin jadi penulis.

1 komentar:

  1. Terima kasih, ini masih belajar manulis mas. siap saya akan mampir ke blognya.

    BalasHapus