Kamis, 01 Agustus 2019

Korelasi Literasi dengan Revolusi



“Tujuan literasi mempertajam cara pandang, memperluas pengetahuan, dan memperhalus perasaan”

Literasi pada umumnya sebuah keterampilan bahasa yang meliputi sebuah proses kreatifitas mendalami bahasa. Keterampilan tersebut perlu yang namanya perjalanan, sebuah langkah yang akan menjadikan tambah bisa melakukannya. Secara etimologi literasi bentuk dari kemampuan membaca dan menulis, kedua kemampuan tidak akan pernah didapatkan ketika memisahkan dari kegiatan baca dan menulis. Kedua tersebut sebuah keterampilan yang tidak lain tidak bukan harus bisa dijalankan  untuk bisa mencapai.

Menekuni dunia literer sebenarnya bukan temasuk hobi, walau pada sebagian orang menganggapnya sebuah Hobi. Beberapa hari lalu Times Indonesia memuat artikel berjudul “Ayo Membaca” pada 20 Juli 2019  yang ditulis oleh salah satu Dosen Bahasa Inggris Muhammad Yunus. Ia memaparkan bahwa membaca sebuah kewajiban dan menjadi kebutuhan.  Tulisannya memberikan indikasi mengajak kepada generasi  khususnya kepada saya pribadi sebagai pemula untuk bisa memahami esensi dari literasi tersebut. Kegitan baca dan tulis yang masih belum dikatakan masih jauh dari memiliki kemampuan.

Menggemari literasi sebenarnya sebuah pekerjaan yang paling humanis. Dengan kegiatan tersebut akan membuka pandangan kita sehingga lahirlah pola pikir yang rovolusi.

Membuka pandangan dengan membaca dan menyadarkan dengan menulis, karya tulis menjadi alat transformasi yang akan hidup dalam kepala-kepala manusia yang gemar membangun peradapan, membangun cara pandang mengenai masa depan yang lebih cerah, sebab proses kreatif terjadi karena adanya hubungan antara sublimasi jiwa bercorak pada sekelilingnya.

Ketika melihat proses dari sejarah, khususnya sejarah Indonesia, revolusi terjadi bukan hanya lahir dari manusia yang biasa-biasa. Revolusi jihat kita kenal lahir dari kaum Muslim KH.Hasyim Ashari menyuarakan hal tersebut menunjukkan gerakan tersebut menjadi tolok ukur bahwa para pendiri bangsa kita tidak menjahui budaya membaca dan menulis disingkat menjadi literasi. Setelah itu kita juga kenal denga yang namanya Tirto Adi Suryo, Hos Cokroaminoto serta murid-muridnya yang tiga Soekarno, Samaoen, dan Kurtosuwiryo. Pada Tahun 1928 kita kenal dengan nama sumpah pemuda lagi-lagi pelopor seperti M. Yamin dan M. Hatta menjadi salah dua dari mewujudkan nama Hindia menjadi Indonesia.  Sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional. Nama-nama tersebut sebagai tokoh-tokoh pendiri bangsa tidak keluar dari sebuah cita-cita yang rovolusi, namun yang menjadi perhatian kita hari ini dan disadari bahwa tidak akan tercipta revolusi jika pendiri bangsa tidak mengenal, mengamal, dan memperaktikkan literasi. Dengan membaca mereka akan membuka kesadaran hingga kesadaran akan terbuka. Mengapa dalam sejarah Tirto Adi Suryo ingin sekali membangun media di Nusantara bertujuan agar masyarakat sadar dengan sendirinya dengan hasil bacaan. Bahwa ini negeri kita sendiri mengapa penjajah seenaknya menguasai bahkan terjadi imperialis.

Para pendiri bangsa tentunya cinta terhadap literasi, bukan hanya merayakan revolusi yang menjadi dasar awal. Membaca dan menulis membuka kesadaran diri. Hingga proses itu bisa menemukan caranya. Dalam sejarah seorang ulama besar Kh. Hasyim Asari. Dan M. Hatta, Tan Malaka, dan Habibie, bahkan ketika ingat sejarah itu. Lebih intensif ketika menelisik riwayat M. Hatta mendalami literasi sangat kental. Bahkan dalam riyatnya nyaris separuh hidup tidak lepas dari yang namanya buku dalam kesetiap hariannya. Hingga kata-kata yang ada di dalam bukunya, menunjukkan bahwa bahwa ia cinta literasi. “Aku tidak apa-apa di penjara, di asingkan asalkan jangan dijauhkan dengan buku”. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemikir besar dengan tindakannya tidak hanya lahir secara tiba-tiba melainkan ada peristiwa ditemukan di luar dirinya yaitu dengan membaca.

Literasi yang akan membuat revolusi, bisa berkembang yang lebih lembut. Contoh sederhana dalam sebuah perubahan tanpa paksaan hanya dengan membaca dan menulis bahwa tanpa disadari secara tidak langsung rangsangan otak akan lebih memiliki keluasan berpikir dan kehalusan cara melakukan. Sebab kerja otak dikoyak oleh kata-kata dalam sebuah teks atau buku yang dibaca.

Literasi di era sekarang beranekaregam. Ada literasi Skunder bahkan ada yang primer. Membaca sekunder dengan melihat flim, mendengar cerita bacaan di youtube hal itu masuk pada baca sekunder. Hal itu menunjukkan bahwa dalam  membaca era sekarang ini tidak hanya membaca dalam bentuk buku, sedangkn baca primer membaca buku sesuai dengan kebutuhan. Menonton flim masuk proses membaca pula. Namun hal tersebut kita harus bisa membedakan membaca yang ada dalam ajaran agama kita. Bahwa kita semua tidak pernah mendapatkan himbauan untuk menulis, tapi menjadi kewajiban sebagai manusia yaitu membaca.

Literasi Perspektif Islam
Menelisik arti literasi dalam kewajiban Islam. Sebenarnya dalam agama sudah diberikan pandangan bagaimana peradapan bisa dikerjakan diciptakan, bahwa dengan membaca bisa mencipta, dengan menulis akan memengilhami tradisi. Ketika ada hal yang tidak dipahami, dengan membaca akan bisa memahami, dan hal itu bisa, asal dapat dipertanggungjwabkan dengan sebuah bukti yang berbentuk tulisan.

Dalam Agama Islam mewajibkan umatnya untuk menulis. Meski yang diperintahkan secara eksplisit dalam QS. Al-Baqarah [2]: 282, adalah menuliskan hubungan muamalah dalam utang-piutang tapi itu secara implisit mendorong umat Islam untuk melakukan menulis sebagai bagian hidup sehari-hari.
Salah seorang Ulama kenamaan yang sering menyuntikkan energi atau semangat menulis yaitu Imam Al-Ghazali. Perhatikan dan renungkanlah penuturan Sang Hujjaratul Islam: " Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis." Barangkali, yang dimaksudkan Imam al-Ghazali dengan pernyataan ini bahwa seorang Muslim dapat beramal sholeh dengan menulis buku. Sebab, dengan menulis buku, ia secara otomatis harus belajar ilmu terlebih dahulu, lalu diamalkan dengan ikhlas. Berbeda dengan anak raja yang dengan segala fasilitas dan kekuasaannya ia dapat beramal sholeh. Demikian halnya dengan anak seorang ulama besar, yang dengan ilmunya ia langsuang dapat berdakwah di tengah-tengah masyarakat.

Hal itu menunjukkan tonggak perubahan bukan hanya ada pada kekuatan otot malainkan kekuatan otak yang tertuang dalam tulisan hingga terciptalah kerja kemanusian yang melahirkan sebuah revolusi. Revolusi yang akan ada dalam jiwa muslim tentunya berbeda dengan yang ada di dalam jiwa orang-orang non-mus. Walau pada dasarnya tingkat baca orang Indonesia rendah belum tentu secara kualitas pandangan spiritualitas memiliki cara sendiri mengamalkan literasi menjadi tradisi dalam diri untuk mengubah diri secara evolusi.
Rendahnya tingkat baca orang Indonesia PISA mungkin kurang luas menelitinya. Ketika PISA meneliti di ruang lingkungan Pesantren Negeri kita diyakini kalau berada diperingkat terakhir nomor  dari bawah. Orientasi penelitian PISA terletak pada jurnal dan perkembangan sains saja. Sehingga secara kesat mata tidak ada yang tanpak nilainya, kecuali kaum sarungan dalam membaca Al-Quran, Kitab kuning, dan Kitab yang ada di Pesantren pasti penelitian PISA tidak semiris kita dengarkan. Karena berbagai cara memaknai membaca ia harus memaksa dari rasa yang paling tidak asing bagi kita, yaitu "Malas". Ketika hal itu menjadi satu dalam hati malas dibiarkan maka kualitas akan diragukan. Membaca mengenal peradapan, memperluas pengetahuan, memperluas perasaan, dan  mempertajam kemauan.


Nama: Akhmad, Mahasiswa Semester VI Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), bergabung Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena FKIP-UNISMA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar