Sabtu, 07 September 2019

Kerinduan Ibu di Era Soeharto; 1993

Kerinduan Malapetaka; 1993

Kesangsian dari sekian persoalan merupakan awal dari pengenalan tentang adanya pengetahuan. Bersyukurlah dengan semua yang telah ditemukan dan dirasakan, tanpa harus menikmati.

Awal akan menentukan kita menemukan sebuah soal perubahan. Menanyakan semua kekcauan yang pernah dialami. Pada saat keluarganya berantakan karena ada perceraian penyebab dari kekacauan dari dalam menemukan hal baru. Apa akan hanya menjadi sebuah hambatan dalam melangkah dari apa yang pernah dijalaninya, Ibunya yang hilang dan tidak pernah melihat senyumnya semenjak berumur 1tahun. Keadaan itu mungkin menerjemahkanya pemahaman tentang hidup yang berarti untuk tidak hanya menerima apa adanya dan kesadaran akan menjadikan kita untuk bisa bekerja lebih leluasa.

Maja anak yang memang dilahirkan kala Jakarta dalam keadaan mengalami sebuah perkembangan. Karena Jakarta Ibu Kota maka tidak lain dan tidak bukan, pembuangan oleh presiden Soeharto dilakukan. Hingga orang-orang banyak menyebutkan bapak membangun. Kala itu tahun 1993, Juli 16 Sabtu Pahing dilahirkannya.

Ayah darinya memiliki keperpihakan kepada Soeharto. Kala itu menjadi seorang ketua Satpol PP tapi di atasnya. Itu, menjadi ketua untuk pengusiran bapak, ibu di sebuah relokasi tanah milik Negara dan akan digusurnya. Tepatnya kepala bagian gusur rumah di era Bapak membangunan menjadi kuasa. Semua yang melanggar dan tidak sesuai dengan yang diharapkan akan disingkirkan. Amarah dan rasa iba ada kala melihat anak-anak menangis dan nenek hanya bisa menerima dan ada yang tidak menerima. Itu tugasnya bagi Bapak.

RS. Mawar menjadi saksi terakhir di Jakarta. Suster yang hanya tau kelembutanku kala itu. Tidak ada yang paling sederhana dari apa yang ada dalam cerita, peristiwa pada masa itu dirasa hari ini mengenai apa yang terjadi tak ada yang dapat disesali. Kecuali, bapak yang telah mememiliki cerita paling mengejutkan dalan benakku itu mengerikan pada tahun 1993 perekonomian Indonesia aman bagi nenekku kala pernah bertanya padanya. Ibu yang melahirkan tidak diketahui kini hanya ia masih menghafal pertamaku wajah dan kulit masih lembut. Bapak yang membela hak kewajibannya apa yang memang menjadi tanggungjawab sebagai mana orang tua yang sudah memiliki anak dan istri.

Semua problematik menjadi taktik. Pertemuan yang tidak pernah diharapkan, bahwa menyatunya rasa dalam kalbu menggebu kala pertama kaliku memiliki sesuatu. Kebahagian seorang ayah kala pertama kali memiliki anak tidak dapat diukur. Ingin cepat pulang kala pertama kali mendengar kalau anaknya sudah lahir. Tugas menjadi hambatan kala pertama anaknya yang sekian lama ditunggu tidak dapat mendampingi ketika istri memperjuangkan apa yang harus dipertahankan, ketika lahir harus diperhatikan.

Istri yang sendiri di rumah sakit. Hanya ada seorang dokter, berharap ada orang selain suster merawat menanyakan tentang itu semua itu bisa membawa peristiwa paling bahagia melihat anak pertama lahir hasil dari perjuangan sendiri suami tidak berada di tempat. Hanya suster dan rumah sakit menjadi saksi tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali hanya kesadaran akan keadaan suami dan keluarganya. Suami yang telah memasrahkan sebelum berangkat ke medan peperangan melawan masyarakat yang memepertahankan tempat tinggalnya, dan saya memaksa dengan sebuah tanggungjawab hak kewajiban sebagai pekerja. Tega bagian dari cara membuka rejeki dengan seperti itu kesejateraan hidup dalam ekonomi lancar, secara kebahagian masih dipertanyakan. Di mana letak kebahagian?. Hati Bapak itu bertanya kala masa-masa itu masih penuh dengan tanda tanya, dan paling mengrikan kebutuhan, yang seharusnya dengan berdamai, bisa ada jalan ketika disentuhkan padanya dengan sejarah dalam dirinya yang kini hidup menjelma mengerikan. Hingga tidak ingin menjadi warga Indonesia. Sepertinya teh manis tidak akan terasa ketika semua diri sudah tidak ingin berbenah diri mencicipi.

***
Masalah yang ditambah lagi oleh ayahnya. Ketika semua yang harus dilakukan pada bayi, kala itu masig genap 25hari umurnya. Ia harus merasakan panas dunia lebih awal, seharusnya masih berada dalam tempat paling enak di rumah sakit untuk sementara memulihkan yang lembut menjadi keras. Peradapan hanya akan menjadi kenangan ketika cerita itu sampai.

Bayi itu digendong lalu di bawa pulang ke Kampung halamannya. Ibu darah nifas belum suci. Menanggung dan menggendong keluar dari rumah sakit.

"Ayo, segera pergi Dek, bawa Pujian Jalan Lurus". Ucap bapak suami yang baru pulang itu.
" Kenapa kak?" kasian Maja masih tidur." dengan rasa sakit dirasa darah masih belum berhenti mengalir dari arah perempuan biasanya melahirkan.
"Nanti Kakak jelaskan di Bus, ayo!" dengan nada berbisik-bisik kwatir akan ada yang mendengar.

Begegaslah, Jakarta yang panas dengan bangunan tinggi, jalanan yang akan biasa dilewati dan dirindukannya akan menjadi sepi bagi ibunya. Apa boleh buat dan tidak bisa melakukan apa-apa. Suaminya telah memaksa. Tidak harusnya luka di tempat ini berlangsung terus menerus, tahu kerjaan suami yang tanggungjawab, Tapi hobi mengadu ayam, judi, dan menggali pengetahuan kuno. Tidak, hanya tangan kosong keuangan mengalir begitu cepat dan datang begitu cepat. Maja yang masih merah diselimuti oleh pemberian bosnya, biaya rumah sakit telah ditanggung sebab Soeharto menjamin kehidupannya. Tidak lama kemudian tiba di kampung halamannya perjalanan 2hari. Istri yang belum sehat masih belum bisa ikut dengan bayi yang dibawanya. Masih merasa nyeri dan harus bisa menghentikan aliran darah dari kamluannya.

Disambutlah oleh nenek yang di kampung. Dengan sangat bangga cucu pertama yang masih merah seperti burung baru menetas. Mata yang masih belum berfungsi, hidung masih tertutup tanpa tahu bau, kuping, mulut, hanya menjadi hiasan, belum ada titah Tuhan fungsikan keindahan itu semua.

"Kenapa sudah dibawa pulang, kasian anak seperti ini langsung menepuh jalan panjang, ru-rur-ru cikc, cikc". Sambil menggendongnya, membunyikan mulut yang memberi makna kasih sayang pada saat digendong.
" Ibunya, akan nyusul masih berhenti di pamannya." ujarnya, dengan tersipu malu
"Kamu ini nak, nak, tidak ada kapoknya kerjaan seperti itu dilakukan terus, tidak malu ke anaknya ini." Dengan nada menyalahkan, tapi kasihan.
"Sudah, Bu, beri makan Maja itu, biasanya makan apa seumuran itu?".
" Seumuran ini, cukup pisang kripik dan air."

Semuanya serasa begitu singkat. Hari sudah tidak terasa, terasa menjadi detik dan jam. Sudah tiba Ibu dari Maja dihari ke 40hari, tepat nenek darinya mengadakan selametan (syukuran) atas pemberian nama ke bayi.

***
Bercerita ibu dari Maja, kalau kejadian di Jakarta. Tentunya Ibu dari ayahnya memahami atas itu semua.
"Kakak tetap kerhaanya Bu di Jakarta dan di kampung, ia dikerja polisi, orang yang bermasalah dengannya. Andai ketangkap tidak dibayangkan Maja tahu kerjaan ayahnya seperti apa. Kasihan aku akan menyembunyikan masalah ini dengan baik. Ibu, tolong jangan samapai tahu Maja hingga tumbuh besar nanti, agar tidak terganggu psikisnya dan pertumbuhan jadi anak yang sehat dan normal tanpa ada tetesan mengalir dari ayahnya".
" Buah tidak akan jatuh jauh dari mohonnya nak.!!" jawaban pesimis dari neneknya.
"Aku ingin Maja jadi buah yang jatuh dan dibawa jauh oleh kalilawar, hingga jauh dari pohonnya, dan lepas dari pohonyanya walau akan tahu batang akar asalnya, tanpa tahu keadaan pertumbuhan pohon selanjutnya berbuahnya".
" Iya, semoga saja nak. Itu mampi sempurna, dan luka 1993 hanya kau dan dia tahu, rahasia ini untuk Maja, biarkan 1998 merupakan reformasi dapat dipahami olehnya kala besar nanti ".


Akhmad 2019
Cerita ini ditulis di Perpustakaan Kota Malang. Dengan satu kali tulis, dan mengandalkan smartphone.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar