Selasa, 10 September 2019

Perempuan Membawa Bunga Sebelum Perang Usai


Pagi telah berlalu
Mahasiswa pada memulai pelajarannya
Semangat baru akan segera tiba dan berlalu seketika ketika melihat dunia luar begitu luas
Pemuda pergi ke toko buku mencari sesuatu ingin mencipta peristiwa cerita dibait-bait kata terangkum dalam benak, untuk tidak lupa memfoto, menuliskan, dan membenturkan dengan keadaan dirinya.
Buku-buku yang dulu pernah ku tidak tahu banyak berserakan menggairahkan; ingin sekali membawa dan membacanya dalam begitu cepat tapi bisa memahami, bukan sekedar cepat namun tidak bisa mengunyah dengan sempurna.
Bahagia dari pemuda bagi yang pernah punya peristiwa besar di tempat yang pernah dikunjungi dan itu ada karena ada kenangan di sebuah toko buku Togamas, sebelum berangkat berangkat ketika naik sepeda motor kala masuk ke dalam, wajah perempuan itu datang tiba-tiba di lantai 2 di rak paling barat tepat 1 tahun lalu dia menyamperin kala itu membaca buku Eka Kurniawan dan bukunya Budi Darma.
Wajahnya begitu jelas, di tambah dengan satu buku kesukaannya ia yang pernah memesannya punya Mochtar Lubis judulnya Senja di Jakarta, buku itu pernah dicicil kepada yang selalu mendambakan dalam doanya hidup selalu ada dan ada di posisi setelah semua paling penting, dia seperti menjadi yang penting pula karena disebut tidak paling belakang.

Sebelum berangkat hari ini ia datang dan ingin sekali bisa memahami apa yang terjadi dengan naluri. Dan ada kepadanya untuk bisa dipahami bahwa ini bentuk rasa penasaran paling dalam, dan paling ku benci kala hanya ia mengkasihani. Wajahnya pernah ku membayangkan kalau ia berkepala tanpa otak yang transparan.

Pagi-pagi namamu menabrak menyiksaku untuk bisa berkata namun tidak bisa meberi makna, bergumam dengan sendirinya tidak bisa berkata hanya jiwa meronta hati berdialog tentanmu terus menerus, hingga pada akhirnya apa yang akan terjadi wallahuahlam. Kau sempurna dalam benakku mengapa itu terjadi apa ada rencana terselubung Tuhan.

Aku pernah bersama dengan yang lain, tiba-tiba otakku tanpa keinginan terbentur wajahmu. Kau seperti bunga di depan rumah tidak ada aroma dipersembahkan kau menjadi keindahan. Namun keindahan masih sangsi dengan semua yang terjadi dengan diri ini. Mengabdi untuk abadi dengan menulis untuk menjadi abadi tak ku sadari tak bisa menjadikan abadi, kesakitan hati ingin melupakan hanya luka berceceran darah merenggut sepi dari sunyi paling abadi bagiku.

Perempuan yang membawa buka sebelum perang usai. Harapan apa yang akan diharapkan selagi hanya memberikan sebuah penderitaan bukan keharuman. Tunggu saja pada suatu masa akan ada keharuman bisa dirasa secara sempurna. Pernah aku ingin bermimpi pada malam ada yang membawa bunga bangun pagi menyicipi keringat hangat keluar secara liar. Lalu keluar bersama pagi bertepatan dengan selesainya matahari terbit.

Bunga yang dibawa akan lalu, namu setelah usai perang telah diambilnya nikmati saja segala peristiwa ketika semua sudah tiada. Dan kampung pecah menampar luka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar