Kamis, 05 September 2019

Kursi Pengobat Rindu; Karya Mo Yan Sorgom Merah





Kursi yang kau duduki tadi kini aku tempati karena dalam diriku ingin sekali sama dengan apa yang saya rasakan, karena bebera jam lalu melihat foto yang gayamu sama dengan yang biasa saya lakukan gaya itu, dan dari beberapa hari kamu ada dalam setiap hidupku. Wajahmu menjelma dalam pikiranku.

Pada saat itu kau ingin ku lupakan kamu ada dalam doa-doaku bahkan posisinya ada sebelumnya yang telah ada dalam hari-hariku. Lebih perhatian, lebih baik, dan lebih awal saya sayang. Apa yang terjadi dengan diriku?,
"Kamu memang tercipta sebelum yang aku adakan dalam hatiku" Ucap dalam hatinya.
Saya memang lama menyimpan sesuatu pada dirimu, dan sering melakukan perjalanan yang begitu sering, yang paling diingat kala kamu ikut ke toko buku dan mengambil buku, di situ ada hal yang terpatri yang kini masih menjelma dalam rasa hanya ada dalam jiwa.

Mengapa semua tercipta kadang berpikir tentang itu, menyalahkan rasa atau memang ia ada dalam jiwa tercipta nanti bisa menjadi teman jiwa. Bahkan dalam keadaan paling sunyi kamu datang mengisi kekosongan untuk sama seperti apa yang ada dalam jiwa kamu ada. Bersama dengamu begitu sering namun tidak seperti halnya saya bisa sering bersamamu selaras yang ada pada hari ini yang terjadi dan akan datang nanti masa yang tak pasti.

Hari ini di daerah Pasuruan ada demonstrasi masyarakat tepatnya di Alastlogo yang sudah beberapa lama konflik agraria terjadi, hingga pada akhirnya memakan korban. Dan kali ini masyarakat melakukan aksi meminta kepada pemerintah daerah bisa menutup tentara beroprasi di daerah tersebut karena telah sewenang-wenang. Tindakannya sampai memakan korban jiwa warga sekitarnya. Dan hari ini itu ada dalam jiwa kala dia datang ke tempat saya kerja, sedangkan rasa cinta ada didaerah Alastelogo kala datang dan duduk di kursi biasa ada di pojok tempat saya bekerja. Setelah masuk banyak di antaranya teman-temannya langsung dengan sapaan Islam saya lontarkan, kala adzan isyak akan berkumandang. Wajahnya membuatku tegang kala masuk ke dalam tempat kerja itu.
"Assalamualaikum...." dilontarkan ke mereka.
Sorot mata menuju ke saya kala lewat di sebelah mereka yang kurang lebih dari 6 temannya, yang katanya sepulang mengajar langsung datang ke tempat kerja. Paling aneh ada temannya menuju menyalami hingga mau nyumkem, saya malu kira saya kiyai, atau orang baik hehe padahal bedanya dosa saya dengannya sama, hanya praktiknya yang berbeda.

Perbincangan yang panjang mereka bersama dengannya. Mata yang tajam tertanam dalam, dalam kala sempat saya memandangnya. Ia, hanya tersenyum sambil memberi sebuah isyarat tanda tanya, pada saat ada pemesen yang sudah sekeian banyak kopi kali ini berbeda pemesannya, pesannya dari Mahasiswa yang memegang buku marxis buku berjudul Des Kapital Marx. Bagiku ia orang yang selalu mengedepankan arah pemikiran kiri, bukan anti kanan tapi lebih banyak bicarakan tentang materil. Dan saya buat kopi itu cara mengaduknya dimualai dari kiri, disesuaikan dengan arah pemikirannya agar menyatu. Teman seperjuangan di tempat kerja itu cengar cengir dengan tindakanku itu. Aneh katanya, tapi sebagai barista sangat dianjutkan untuk bisa lebih tajam soal kepekaan terhadap rasa, barista bagian orang yang selalu mempersembahkan rasa kepada orang lain tanpa memperhatikan rasa yang ada dalam dirinya.
"Kita sebagai barista jangan egois mengenai rasa, dan kita harus lebih tajam memahami rasa." ujarku pada teman kerja itu.
"Iya, iya harus itu, tapi kenapa masih jomblo. Hehe" dengan tersenyum sinis wajah sumringah bicara kata jomblo
"Kita kaum terpelajar tugas kita ya bisa memahami tanpa harus memiliki teman, hehe jomblo sebuah pilihan dan perempuan berbaju coklat itu yang tidak lain tidak bukan akan menjadi teman, teman hidup Wkwkw." sambil lalu berlaju kopi yang sudah diaduk 31x siap dihidangkan dan sambil tersenyum ia dilewati di sampingnya.
"Ini Mas, maaf agak lama." ujarku kepada pemesan kopi.
"Iya Mas".

Saya memulai lagi duduk di tempat bekerja dengan teman kerja, sambil bergurau tentang banyak hal, pada saat itu ia menceritakan hasil bacaan buku beberapa minggu ini. Dan buku yang di meja tepat samping mengaduk kopi bukunya Mo Yan dengan terpapang judul dengan jelas Sergom Merah, buku yang beberapa hari lalu beli di salah satu kegiatan literasi namanya Patjar Merah yang diselenggarakan di Malang, pada saat itu buku diskon besar- besaran di situ kita banyak ngobrol tentang buku dan banyak juga buku dibelinya. Sepertinya akan kembali dengan cerita teman itu mengenai hasil baca buku tersebut walau belum selesai tapi dia teman yang sangat suka dengan cerpen yang suka dengan aliran realisme magis bagiku ia pembaca yang harus saya tiru dengan cara baca dan belajarnya. Cekatan dan langsung paham mengenai cerita yang ditulis oleh penulis besar.

Buku Moyan katanya, bercerita tentang pembantaian sekaligus aliran realisme magis yang seperti karya para penulis Amirika Latin seperti Gabriel Marques, Borges katanya. Realitas yang ada dia menjelaskan bahwa Sergom Merah itu nama tempat kalau di Indonesia seperti tanaman Tebu dan tingginya lebih dari manusia katanya, dia bilang kalau yang menarik dari cerita cara menyampaikan narasi begitu memukau detail, terutama pada saat hukuman kakeknya yang ingin sekali membantu orang untuk keluar dari penjara namun sebaliknya ia malah kenak tangkap dan dari penangkapan itu dia seperti ketimpan tangga dan jatuh pas lurus balok yang besar, cerita ini mengingatkan pada cerita yang Boxer di novelnya George Orwiil Animal Farm yang bagitu kepalangan dalam hidupnya. Dia berkata kalau kakek yang ketangkap itu kuping, kulit, yang di potong dan dikuliti detail seruan itu detai Moyan bercerita, dan paling mengerikan itu kala pemotongan kemaluannya kakeknya itu, dalam seruanya "kalau bisa dipercepat saja bunuh agar rasa sakit masih terasa" ucapnya dalam narasi cerita itu. Teman yang detail dalam bercerita penasaran saya dengan karyanya, tapi saya masih berpikir kalau tentang cinta kita masih belum bisa dengan jelas menarasikan karena masih abstrak.

Ketika saya penasaran bergegas mencari sinopsis cerita dari karya terbaik Mo Yan Sorgum Merah. Saya menemukan sedikit ulasan dari internet akun membaca buku.



Sisnosis Sorgom Merah Mo Yan

Sorgum Merah, merupakan maha karya Mo Yan, novelis China yang pernah mendapat nobel sastra di tahun 2012. Mengisahkan sebuah kisah di mana China berada dalam jajahan Jepang di era 1930an, Sorgum Merah menuturkan hidup Yu Zhan'ao dan putarnya, Douguan, dalam mengarungi hidup, hidup yang penuh lika-liku. Dinarasikan oleh putra Douguan (tak disebutkan namanya), kisah mereka mengalir dengan kilasan waktu yang berpindah-pindah, dengan seting bertempat di Kabupaten Gaomi Timur Laut, China.

Diceritakan nenek sang narator dijodohkan paksa dengan Shan Bianglang, putra pengusaha penyulingan arak dari sorgum merah, Shan Tingxiu. Menolak perjodohan tersebut tokoh nenek mendapatkan pertolongan dari Yu yang sebelumnya menjadi tukan angkat tandu bagi Shan Tingxiu, dan berakhir dengan pembunuhan ayah dan anak keluarga Shan, sehingga nenek menjadi penguasa tunggal usaha penyulingan tersebut.

Namun penjajahan Jepang merubah kehidupan mereka. Ditambah perang saudara, membuat kehidupan Komandan Yu, menjadi berantakan dan tragis. Dan perjalanan hidup inilah yang diangkat oleh Mo Yan menjadi sebuah kisah epik, sedikit pahit, yang patut diacungi jempol.

Setelah itu panjang pembahasan saya dengannya sampai malam, ia sudah waktunya pulang kerja. Saya sendiri, dan kursi yang di duduki perempuan baju coklat saya ambil dan saya ingat dengan sorot matanya pada saat berpamitan sodoran tangan kepadaku. Saya baper mungkin, dan pada saat ia berkata lama tidak ketemu dia dengan menyapa "Mas lama tidak ketemu gimana kabarnya, miss you Mas, tapi bercanda Mas hehe" perempuan itu berkata kala saya membersihkan meja tempat pelanggan yang sudah selesai. Kata-kata itu saya ingat hingga saya haruz Menulis tentang itu semua. Kursi yang tadi di tempati kini saya tempati untuk bisa mengobati rindu dan ingin memilikinya. Karena ingin sekali jadi bagian darinya. Semoga panjang umur dan rasa itu tidak akan adil bagiku dan kesangsian caraku bisa memahami saya tentang rasa itu dan apa itu akan sama dengan apa yang saya rasa. Apakah akan menjadi cerita si Mo Yan seperti novel Sorgum Merah.







Akhmad 2019

Cerita ini representasi dari sebuah kegelisahan panjang tentang penderitaan yang bertubi-tubi karena mendalami rasa tanpa ada yang tahu. Dan Novel Sorgum Merah salah satu inspirasi cerita ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar