Sabtu, 28 Agustus 2021

ANGKRINGAN DAN PEMERSATU

:Kepada yang berkepala Post-strukturalis

"kita bertiga berbeda Tuhan, ada yang sama tapi beda cari menyembahnya. dari arah utara menemukan cara dan cita-cita masih terasa, bahwa ada cinta dari alasan berbeda." 

Untuk merasakan hal yang ada di depan kita tidak hanya bersuara keras atau kecil.
Mulut ia tak diam mempermainkan asap rokoknya, hingga menggulung-gulung ke udara.
Dan rasa gelap diganti dengan dingin yang tenang saat bersama.

Ia keluar dari tempat tinggalnya yang megah dan besar. sebab, dirasa sangat menakutkan. Karena pikirannya tak dapat direda dengan bacaan atau dengan hiburan lainnya. Maka mencari teman berdiskusi, ia berani berdiri asalkan dapat menghasilkan teman ngopi. Dan sepi yang menyelimuti dan berganti dengan ngobrol bukan tentang sunyi dan sepi, namun tentang pemikiran orang-orang besar dengan hasil bacaannya.

Sepertiga malam kita berpindah tempat mencari tempat lagi, untuk melapangkan ketangan kembali. Perbincangan masih tentang apa yang telah lama dan ada. Tapi, belum selesai oleh diri kita masing-masing. Salah satunya, tau tentang apa yang ada, namun belum bisa melakukan tindakan apa-apa,    kecuali hanya membagi cerita tentang rasa dalam buku dan cinta pada sesuatu.
Kami bertiga, setelah sekian lama kenal, waktu pertama kenal pada saat sama-sama mengikuti kelas Residensi Studi Falsafat. Saat itu, kita tahu asal, di mana belajar, dan Tuhannya. Serta pada akhirnya kita bisa tahu satu-persatu 'kesukaan mereka, mulai dari pemikiran tokoh besar dan rasa kopi apa yang paling cocok saat kondisi seperti ini.' Semua seperti seorang pejalan kaki--yang pelan-pelan akan sampai, baik secara cepat ataupun lambat, tapi tepat.

Kota ini dan negara sudah tidak biasanya, ambulance, Satpol PP, dan waktu keluar rumah dibatasi, sehingga ada kehidupan yang tidak biasa terjadi lantaran pandemi tak bisa dibendung lagi. Kita patut bersyukur lagi dan terus membesarkan jiwa lapang, walaupun ini berat dan tak ada ujung kapan berakhir. Semua orang ada yang lebih ganjil dengan kondisi ini, seperti pejual kaki lima, dan angkringan. Sambil ditanyakan "bagaimana kondisi sekarang penjualannya bang?" Dengan bahasa Indonesia yang baik, bertanya. Ia, pejual menjawab "sangat jauh dan penghasilan sangat kecil, tidak biasanya sebelumnya berjualan masa pandemi, apalagi PPKM level 4 ini, sangat terasa sakitnya, tapi gimana lagi mas." Dengan bahasa Jawa ibu yang lemah lembut menjawabnya. Begitulah hidupnya dia sambil senyum tenang.

Kita bertiga segera bergegas pulang, jarum jam telah menunjukkan ke angkat 1.30 Wib. Semua orang bergegas pulang, dan saya pun juga bergegas. Sambil melangkah pulang menuju sepeda motor, kami bertiga lalu langsung menuju masing-masing tempat, ditandai dengan bersalaman dan Michell langsung naik ke motor Ravi, dan ngebut langsung pulang. Begutulah. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar